“Jadi aku sudah bisa di-launching?”“Hemm?” Aku menoleh ke arahnya.“Hari ini bisa diluncurkan? Aku kan kekasih baru Nayaka Raya,” ucapnya memperjelas yang dimaksud.Aku yang sedang berkutat dengan ungkapan ibu semalam, hanya mengangguk mengiyakan.‘Apa ibu tidak menyadari kalau jarak usia kami jauh, ya?’ pikirku dalam hati. Aku menoleh ke arahnya dan memperhatikan sosoknya yang tinggi besar.Memang kalau sekilas, tidak ada perbedaan yang mencolok di antara kami, yang merujuk pada usia. Alex yang selalu berpakaian rapi dan ketika bertemu orang, pembawaannya serius, seperti menutupi usia yang sebenarnya. Terlebih orang sekitar memanggilnya dengan sebutan Pak Alex.“Jangan memandangku terus. Nanti jadi benci. Benar-benar mencintai,” celetuknya dengan tetap konsentrasi mengemudi. “Tapi tidak apalah, itu yang aku harapkan.”“Kamu ini pagi-pagi sudah gombal.”“Ada apa? Ada yang kamu pikirkan?”Kali ini dia menoleh kepadaku setelah mobil berhenti karena lampu merah. Dia menatapku penuh per
“Bukankah hari ini hari jadi kita? Dimulai titik nol, untuk angka-angka berikutnya yang tidak terhingga,” ucapnya saat video call.Aku protes dengan perlakuannya. Entah berapa uang yang dititipkan ke Pak Wira, sampai seniorku itu dengan senang hati membantu proses syukuran itu.“Tapi bukan begitu caranya. Kamu tahu tidak, semua orang memandangku dengan tatapan aneh.”“Itu hanya perasaanmu saja. Yang penting, mereka akan menjagamu untuk aku.”“Maksudnya?”“Iya, lah. Semua orang tahu kalau Nayaka Raya kekasih Alexander Dominic. Tidak akan ada laki-laki yang macam-macam mendekatimu.”Aku merasa sungguh kesal. Selalu aku kehabisan kata-kata saat berpeda pendapan dengannya.Niatku menyembunyikan hubungan ini untuk menghindari keriuhan, dia justru mengumumkan dengan pengeras suara. Desas-desus yang mengatakan aku mempunyai kekasih, sekarang semakin menyeruak.Seperti mendapat panggung, semua orang berasumsi dengan hubungan kami.“Sudah, tidak usah didengar.Anggap saja itu supporter yang men
“Nak Alex mana?” tanya Ibu yang baru keluar dari kamar mandi.Bukan anaknya yang ditanya, sekarang malah si brondong itu. Ada rasa cemburu yang mencuat, selama ini sebagai anak tunggal perhatian ibu hanya kepadaku seorang.“Dia langsung kembali. Katanya masih ada kerjaan. Ini ada untuk ibu.” Aku menyodorkan tas berisi menu yang sama, ikan bakar madu.“Ini dari Nak Alex?”Aku mengangguk. Sepertinya ibu tidak tahu anggukanku, dia justru sibuk membuka bungkusan yang menguar baru sedap yang disertai beberapa jenis sambal di wadah kecil. Ibu menutup dengan tudung saji, katanya nanti aja akan dimakan.“Nak Alex itu baik, ya. Sudah sopan, perhatian sama orang tua lagi.”“Ibu tidak tanya tentang aku?” ucapku setelah mengambil minum dan duduk di sebelahnya. Kami berdua duduk menghadap meja makan.Ibu tersenyum, mendekat, kemudian mengambil tangan ini. Sambil menepuk punggung tanganku, dia berucap.“Dari awal pintu terbuka, mata ibu awas memastikan anak ibu ini baik-baik saja. Wajah terlihat
Jawabanku sudah mantap. Tidak peduli siapa Alex, yang penting diri ini ingin bersamanya. Ibu pun tidak mengungkit kecurigaannya pada usia kekasihku itu. Padahal, Alex mengatakan kalau dia tidak ada kesempatan menemui ibu. Wanita yang melahirkanku itu sibuk memilih perawatan untuk diriku yang terlihat tidak bening saat bersamanya. “Pokoknya, Nduk, ingat kata-kata ibu. Wanita itu, penampilan sangat dipentingkan. La wong cinta itu dari mata turun ke hati.” Jawaban iya, merupakan jalan aman dan tidak mengundang rentetan kalimat lainnya. Minimal tambahkan kalimatnya tidak mengular seperti kereta api. “Tapi tetep jangan berlebihan merubah penampilan. Sewajarnya. Wanita itu yang utama, kulit, dan kebersihan. Jangan sampai bau apalagi bolotan. Di sampingmu itu Nak Alex. Jangan sampai kamu dipikir asistennya, bukan kekasihnya.” “Ibu ini, lo. Sama anak kok tega banget.” Kesal juga dikatakan seperti itu. Mulutku mengerucut dengan dahi berkerut. “Ya harus. Ini demi kebaikanmu. Supaya kamu m
Semakin melangkah bersamanya, semakin rasa penasaran mencuat. Itu membuatku mengukuhkan hari-hari ke depan membersamainya."Kita langsung pulang?""Iya," jawabku langsungMasih ingat nasehat ibu sebelum pulang. Dia mewanti-wanti untuk menjauh dari lelaki ini saat kondisi tidak bisa aku kendalikan. Kedekatan dengannya memaksaku menumpulkan logika. Sebelum aku menyerah, lebih baik menghindar."Tapi besok harus datang sesuai janji.""Pasti."Pikirku, kalau bersamanya di waktu siang, pasti akan aman. Toh ini bukan di rumahnya yang besar kapan hari itu. Ini di tempat singgah tidak jauh dari kampus. POV Alexander Semesta sekarang memihak kepadaku. Giliranku sekarang mengusahakan untuk mengakhiri kesepian ini. Menghapus hari-hari yang lalu dan menggantikan dengan kebahagiaan dengan wanita tujuanku.Terlahir pada keluarga yang tidak sempurna. Sejak kecil dalam asuhan Kakek Sebastian tanpa mengenal cinta dari orang tua. Kata Tante Lela, kisah cinta ibu dan Papa seperti cerita di roman. Papak
POV Raya Hampir aku berbalik saat pintu terbuka. Penampilannya membuatku lupa bernapas. Dia yang biasanya berpenampilan rapi, sekarang menggunakan baju santai. Kaos sepak bola berwarna orange yang dipadankan dengan celana pendek sedikit melebihi lutut. Wajahnya yang segar dengan dibingkai rambut yang sedikit basah.Dia terlihat lebih … sexy.Huft!Sesaat, aku melihat diriku sendiri. Padahal aku sudah berusaha berpenampilan seringan mungkin. Menggunakan celana panjang lebar dan baju atasan berbahan satin. Tidak senada dengan tuan rumah.Acara memasak berjalan sesuai rencana Alex. Dia yang memasak dan aku hanya sebagai suporter. Dari tempat dudukku, mata ini hanya terpaku pada dirinya. Punggung lebar yang membelakangiku, tampak bergerak seirama dengan gerakan tangan yang lincah di atas wajan. Baru kali ini, aku melihat pesona lelaki memakai celemek.“Selesai!” serunya sambil berbalik.Aroma menggelitik menguar dari hidangan yang dituang ke mangkuk besa
“Sekarang giliranku yang melayani kekasihku,” ucapnya kemudian mengambil piring kosong di tanganku.Sedari tadi aku dimanjakan olehnya. Setelah berganti baju, aku langsung keluar kamar. Meja makan tidak hanya ada makanan, sekarang sudah ada bunga mawar sebagai pemanis. Tidak hanya itu, iringan lagu lawas diperdengarnya. Seingatku itu suara Louis Amstrong, karena bapak dulu sangat menyukainya.Makanan yang ada di piringku pun dia yang mengambilkan. Berbalik saat makan bersama ibu kapan hari.Dengan senyum tidak terlepas di bibir, aku memperhatikan kesibukan dan mulutnya yang tidak berhenti bicara. Dia tidak ubahnya seperti ibu, pantas mereka terlihat seperti seserver. Perlakuannya memang terkesan remeh, tapi ini membuatku merasa disayangi.“Badan kamu masih belum proporsional. Masih memerlukan karbohidrat dan protein. Lemak sedikit juga tidak masalah. Kalau asupan makanan kurang, kamu bisa gampang sakit. Don’t worry tentang kegemukan dan kata orang. Dengarkan kata saya saja,” ucapnya s
“Raya!”Aku yang sedang berjalan terkejut. Dari belakang, tangan ini ada yang menggandeng. Ternyata Mbak Leni pelakunya. “Aduh, Mbak Leni. Aku pikir siapa.”“Memang siapa lagi yang berani gandeng kamu seperti ini, selain aku. Hah?” Sambil senyum-senyum, dia menatapku dengan pandangan menyelidik.“Edan! Memang kalau orang lagi jatuh cinta mampu merubah segalanya, ya. Penampilanmu sekarang tambah keren dengan rambut pendek seperti ini,” ucapnya sambil menunjuk jempol tangan.“Cocok tidak?” ucapku sambil menunjuk rambut. Dari kemarin ada rasa mengganjal, apakah potongan rambut pendek sesuai dengan usiaku?“Sangat cocok. Bisa jadi sebentar lagi perpustakaan kita semakin ramai.”“Kenapa?” tanyaku sambil mengernyit.“Mau ngecengi kamu!” serunya aku sambut dengan tawa tergelak.Kami berjalanan beriringan menapak trotoar berpaving. Sesekali kami menyingkir karena pegawai kebersihan yang berusaha menyelesaikan tugasnya. Seperti biasa, Mbak Leni menceritakan hari minggunya yang penuh warna. Pe