“Mbak Raya?!” “Iya! Ini aku! Silakan kalian bicara apapun tentang aku. Kalau perlu, ajak semua orang yang datang untuk mendiskusikan aku dan kekasihku yang tampan dan kaya itu.” “Ma-maaf, Mbak Raya. Kami tidak bermaksud untuk__” “Aku tidak peduli maksud kalian apa. Toh, apa yang kalian keluarkan dari mulut, tidak berpengaruh sayangnya kekasihku itu. Dia tetap mesra dan sangat mencintai aku.” “Maaf, Mbak Raya.” Senyuman miring aku sajikan. “Kalian sudah kenal dengan aku. Kenapa tidak bertanya langsung saja? Justru bicara di belakang sesuatu yang tidak benar!” seruku kemudian mengambil napas yang terputus. “Okey, saya kasih tahu siapa Alexander Dominic kekasihku itu. Dia CEO Global Dominic Technologies, Tbk. Jangan dipertanyakan kekayaannya. Tanpa aku kasih tahu, kekasihku itu sangan tampan. Kalian iri, kan?” Mereka diam, hanya mata mereka sesekali mengerjap terlihat takut-takut. Namun ada satu orang yang terlihat tidak merasa bersalah. Bahkan sorot matanya terlihat menantang.
Riset membuktikan adanya korelasi antara usia, kedewasaan, dan kebijaksanaan. Katanya, kedewasaan dan kebijaksanaan berbanding lurus dengan usia. Namun, dalam waktu yang belum lama bersama dengan Alex, hasil riset itu terbantahkan.Mungkin ini seribu banding satu. Dan satu itu adalah kekasihku, Alexander Dominic. Siapa yang tidak bangga? Tidak peduli ucapan orang, lebih baik aku menyibukkan diri dengan bersyukur.“Kita ke Ria dulu. Ada yang harus aku pastikan. Setelahnya kita jalan-jalan.”“Oke! Aku juga kangen dengan dia.”“Aku iri dengan kalian. Sahabatan dan kompak sampai sekarang.”Aku membalikkan tubuh ke arahnya. “Kamu tidak punya sahabat?”“Tidak.”“Teman?”“Tidak juga.”Aku mendesah dan bergumam. “Kamu juga tidak punya saudara.”Sekali lagi aku menatap siluet wajah yang konsentrasi pada jalanan. Waktu pulang kerja seperti sekarang ini, memaksa jalanan menanggung beban berlebih. Sepeda motor saling berlomba untuk posisi terdepan. Seakan tidak peduli dengan keselamatan, mereka n
Dahi ini berkerut dalam, tidak mengerti apa niat Arman sebenarnya. Untuk apa dia ingin menemuiku? Bukankah setahuku dia sudah menikah.Ingin rasanya melumat tubuhnya sampai tidak tersisa. Seandainya aku bisa mendatangi dia tanpa halangan jarak dan waktu, aku pasti menghampirinya. Akan aku pinjam kekuatan super natural wonder woman untuk mencengkeram dan melemparnya ke planet pluto. Atau, ke salah satu planet di galaksi andromeda. Enak saja dulu menyakiti keluargaku dan sekarang akan mengusikku kembali. “Apa lagi pesan Ibu?”“Hmm?!”“Ada apa?” Alex menelengkan kepala dengan mata menyipit. Aura kecurigaan menguar dengan tatapannya yang tidak berkedip.“Ti-tidak ada apa-apa. Ibu cuma bilang kapan-kapan kita ke sana.”“Oh, begitu. Ok,” jawabnya sambil tersenyum.Aku bisa bernapas lega. Dia percaya dengan ucapanku. Tidak mungkin aku mengatakan kalau orang yang dulu pernah dijodohkan denganku, sekarang mencariku. Aku enggan mencemari kebahagiaan ini dengan kisah suramku dulu.“Kalau be
Laki-laki yang aku tetapkan sebagai musuhku terlihat menebar senyuman. Langkah pongah seperti dulu bergerak lebih cepat. Arman meninggalkan mobil berwarna biru lawas miliknya dulu. Aku masih ingat, dulu satu kali aku pernah duduk di kursi sebelah pengemudi. Tanpa sadar, kaki ini mundur beberapa langkah dan terhenti pada pohon palem di pinggiran jalan paving ini. Pandanganku melihat ke sekeliling. Sepi karena jadwal anak-anak sekolah berangkat sudah berlalu satu jam yang lalu. Tubuh ini gemetar teringat kejadian itu. Harusnya tadi aku mau dijemput Alex dan tidak bertemu dengan laki-laki ini saat berjalan menuju halte depan perumahan. Alasan ingin kembali ke rutinitasku dulu, sekarang justru menjadi bumerang. “Ka-kamu?” Laki-laki yang namanya pernah tertulis di undangan pernikahanku ini sekarang berdiri tepat di depanku. Sorot matanya menajam seakan mengupas penampilanku. Kedua alisnya sedikit bergerak, kemudian senyuman kembali disajikan. “Kenapa kamu ke sini?” Aku melemparkan tat
Seandainya ada wanita masa lalu kekasihku yang merasa kisahnya belum selesai, aku pasti tidak mau mencampuri urusan mereka. Dengan tegas, akan aku katakan kalau dia harus menyelesaikannya sebelum dia datang kembali kepadaku.Begitu juga sekarang. Alexander masa sekarang, sedangkan Arman itu masa lalu. Alangkah tidak tepat kalau aku membebani kekasihku itu dengan masalah yang ditimbulkan laki-laki itu. Aku harus menyelesaikan urusan kami dulu.Itu yang ada di pikiranku. Namun ucapan Alex memutar pendapatku itu. “Ibu sangat mencemaskan keadaanmu, Raya. Kamu jangan marah karena Ibu sudah menceritakan semuanya kepadaku,” ucapnya sambil mengusap lenganku.Kedua alis mataku masih tetap bertaut. Niat ibu memang baik, tetapi bukankah ini tindakan yang mendahuluiku? Aku memang anaknya, tapi masa laluku dengan Arman adalah hak sepenuhnya ada ditanganku. Kapan aku akan menceritakan ini kepada Alex, atau bahkan menguburnya dalam-dalam.Rasa malu dan tidak pantas menyeruak begitu saja. Aku wanit
Sampai mobil berhenti, perkataannya masih terngiang di telinga ini."Bilang saja kamu calon istriku, dan sebentar lagi menikah." Terdengar sekadar candaan, sih. Namun, bagi aku wanita yang umurnya sudah di batas ambang ini terasa beda. Langkahku seperti tidak menapak, antara mimpi dan nyata. Wajah inipun menghangat seiring pemikiran yang meletakkan harapan lebih.Calon istri? Menikah? Pacaran belum lama sudah berandai-andai terlalu jauh.Namun, isi kepala dan hatiku sekan tidak mendengarkan. Mereka justru disibukkan dengan pertanyaan, laki-laki inikah yang akan menemani hidupku? Sudah turun dari mobil pun, pikiran masih berkutat dengan hal yang sama. Mata ini menatap punggung kokoh berbalut jaket biru ini. Gerakan tubuhnya seperti menawarkan kehangatan untuk bersama, memberi perlindungan dan penghiburan di saat suka dan duka. Aku mengembungkan pipi, menahan napas dan menghembuskan untuk mengusir pikiran aneh ini.“Ayo, Raya!” ucapnya sambil mengulurkan tangan.Jarinya digerakkan me
“Alex. Pelan-pelan.”“Tenang saja. Aku akan melakukannya dengan lembut. Tidak kasar, kok. Kecuali khilaf,” bisiknya sambil tersenyum. Lebih tepatnya menyeringai.Aku mendengkus berusaha menghindar. Melihat ekspresinya, sudah aku bayangkan rasa sakit sebagai pembalasan perlakuanku.“Kamu tega, ya. Menodai aku. Katanya sayang. Tapi gitu. Please ….”“Enak saja. Ini hukuman dariku.”Mata ini aku kerjapkan, meminta pengampunan. Alih-alih mendapatkan keinginan, dia justru tertawa.“Ini kali pertama untukmu, kan? Dengan senang hati aku akan melakukannya. Sini!”Tangan yang masih tergenggam, ditariknya dengan paksa. Terpaksa, aku menyodorkan wajah sambil memejamkan mata bersiap menerima perlakuannya.Pletak!“Aduh!” teriakku sambil menangkup dahi. Katanya pelan, tapi sentilannya lumayan sakit. Belum sempat membuka mata.Sreeet!Rasa dingin terasa melintang di wajahku.“Alex! Kamu balas dendam!” teriakku sambil menelengkan kepala ke arah cermin. Noda bedak dicampur air melintang di wajahku.Me
“Harus masuk kerja?”Aku menoleh ke belakang. Alex yang sudah berpakaian rapi, berdiri bersandar di pintu dengan tangan berlipat di dada. Kedua kakinya bersilang, dengan mata mengamatiku yang sedang melipat baju bekas aku pakai itu.“Haruslah. Mbak Leni masih belum masuk. Kalau aku tidak datang, bisa jadi pos di atas kosong.”“Gitu, ya?” sahutnya sambil mengangguk-angguk. Namun, dahinya berkerut seperti sedang memikirkan sesuatu.“Bajunya ini aku cuci dulu nanti aku kembalikan.”“Untuk apa. Pakai saja sebagai pengingat. Kalau kamu kangen, bisa peluk baju itu,” sahutnya sambil menaik-naikkan alis mata. “Itu sebelum kamu bisa memelukku semalaman.”“Ck! Pagi-pagi sudah gombal. Ayo berangkat sekarang. Kita kan mampir ke rumahku dulu.” Aku menyambar tas dan melewatinya. Seperti anak kecil, dia mempercepat jalan mengekoriku.Hari masih pagi. Jalanan masih dipenuhi anak-anak yang berangkat sekolah. Beberapa memenuhi angkutan umum, dan banyak juga yang diantar dengan kendaraan pribadi. Tering