“Nak Alex mana?” tanya Ibu yang baru keluar dari kamar mandi.Bukan anaknya yang ditanya, sekarang malah si brondong itu. Ada rasa cemburu yang mencuat, selama ini sebagai anak tunggal perhatian ibu hanya kepadaku seorang.“Dia langsung kembali. Katanya masih ada kerjaan. Ini ada untuk ibu.” Aku menyodorkan tas berisi menu yang sama, ikan bakar madu.“Ini dari Nak Alex?”Aku mengangguk. Sepertinya ibu tidak tahu anggukanku, dia justru sibuk membuka bungkusan yang menguar baru sedap yang disertai beberapa jenis sambal di wadah kecil. Ibu menutup dengan tudung saji, katanya nanti aja akan dimakan.“Nak Alex itu baik, ya. Sudah sopan, perhatian sama orang tua lagi.”“Ibu tidak tanya tentang aku?” ucapku setelah mengambil minum dan duduk di sebelahnya. Kami berdua duduk menghadap meja makan.Ibu tersenyum, mendekat, kemudian mengambil tangan ini. Sambil menepuk punggung tanganku, dia berucap.“Dari awal pintu terbuka, mata ibu awas memastikan anak ibu ini baik-baik saja. Wajah terlihat
Jawabanku sudah mantap. Tidak peduli siapa Alex, yang penting diri ini ingin bersamanya. Ibu pun tidak mengungkit kecurigaannya pada usia kekasihku itu. Padahal, Alex mengatakan kalau dia tidak ada kesempatan menemui ibu. Wanita yang melahirkanku itu sibuk memilih perawatan untuk diriku yang terlihat tidak bening saat bersamanya. “Pokoknya, Nduk, ingat kata-kata ibu. Wanita itu, penampilan sangat dipentingkan. La wong cinta itu dari mata turun ke hati.” Jawaban iya, merupakan jalan aman dan tidak mengundang rentetan kalimat lainnya. Minimal tambahkan kalimatnya tidak mengular seperti kereta api. “Tapi tetep jangan berlebihan merubah penampilan. Sewajarnya. Wanita itu yang utama, kulit, dan kebersihan. Jangan sampai bau apalagi bolotan. Di sampingmu itu Nak Alex. Jangan sampai kamu dipikir asistennya, bukan kekasihnya.” “Ibu ini, lo. Sama anak kok tega banget.” Kesal juga dikatakan seperti itu. Mulutku mengerucut dengan dahi berkerut. “Ya harus. Ini demi kebaikanmu. Supaya kamu m
Semakin melangkah bersamanya, semakin rasa penasaran mencuat. Itu membuatku mengukuhkan hari-hari ke depan membersamainya."Kita langsung pulang?""Iya," jawabku langsungMasih ingat nasehat ibu sebelum pulang. Dia mewanti-wanti untuk menjauh dari lelaki ini saat kondisi tidak bisa aku kendalikan. Kedekatan dengannya memaksaku menumpulkan logika. Sebelum aku menyerah, lebih baik menghindar."Tapi besok harus datang sesuai janji.""Pasti."Pikirku, kalau bersamanya di waktu siang, pasti akan aman. Toh ini bukan di rumahnya yang besar kapan hari itu. Ini di tempat singgah tidak jauh dari kampus. POV Alexander Semesta sekarang memihak kepadaku. Giliranku sekarang mengusahakan untuk mengakhiri kesepian ini. Menghapus hari-hari yang lalu dan menggantikan dengan kebahagiaan dengan wanita tujuanku.Terlahir pada keluarga yang tidak sempurna. Sejak kecil dalam asuhan Kakek Sebastian tanpa mengenal cinta dari orang tua. Kata Tante Lela, kisah cinta ibu dan Papa seperti cerita di roman. Papak
POV Raya Hampir aku berbalik saat pintu terbuka. Penampilannya membuatku lupa bernapas. Dia yang biasanya berpenampilan rapi, sekarang menggunakan baju santai. Kaos sepak bola berwarna orange yang dipadankan dengan celana pendek sedikit melebihi lutut. Wajahnya yang segar dengan dibingkai rambut yang sedikit basah.Dia terlihat lebih … sexy.Huft!Sesaat, aku melihat diriku sendiri. Padahal aku sudah berusaha berpenampilan seringan mungkin. Menggunakan celana panjang lebar dan baju atasan berbahan satin. Tidak senada dengan tuan rumah.Acara memasak berjalan sesuai rencana Alex. Dia yang memasak dan aku hanya sebagai suporter. Dari tempat dudukku, mata ini hanya terpaku pada dirinya. Punggung lebar yang membelakangiku, tampak bergerak seirama dengan gerakan tangan yang lincah di atas wajan. Baru kali ini, aku melihat pesona lelaki memakai celemek.“Selesai!” serunya sambil berbalik.Aroma menggelitik menguar dari hidangan yang dituang ke mangkuk besa
“Sekarang giliranku yang melayani kekasihku,” ucapnya kemudian mengambil piring kosong di tanganku.Sedari tadi aku dimanjakan olehnya. Setelah berganti baju, aku langsung keluar kamar. Meja makan tidak hanya ada makanan, sekarang sudah ada bunga mawar sebagai pemanis. Tidak hanya itu, iringan lagu lawas diperdengarnya. Seingatku itu suara Louis Amstrong, karena bapak dulu sangat menyukainya.Makanan yang ada di piringku pun dia yang mengambilkan. Berbalik saat makan bersama ibu kapan hari.Dengan senyum tidak terlepas di bibir, aku memperhatikan kesibukan dan mulutnya yang tidak berhenti bicara. Dia tidak ubahnya seperti ibu, pantas mereka terlihat seperti seserver. Perlakuannya memang terkesan remeh, tapi ini membuatku merasa disayangi.“Badan kamu masih belum proporsional. Masih memerlukan karbohidrat dan protein. Lemak sedikit juga tidak masalah. Kalau asupan makanan kurang, kamu bisa gampang sakit. Don’t worry tentang kegemukan dan kata orang. Dengarkan kata saya saja,” ucapnya s
“Raya!”Aku yang sedang berjalan terkejut. Dari belakang, tangan ini ada yang menggandeng. Ternyata Mbak Leni pelakunya. “Aduh, Mbak Leni. Aku pikir siapa.”“Memang siapa lagi yang berani gandeng kamu seperti ini, selain aku. Hah?” Sambil senyum-senyum, dia menatapku dengan pandangan menyelidik.“Edan! Memang kalau orang lagi jatuh cinta mampu merubah segalanya, ya. Penampilanmu sekarang tambah keren dengan rambut pendek seperti ini,” ucapnya sambil menunjuk jempol tangan.“Cocok tidak?” ucapku sambil menunjuk rambut. Dari kemarin ada rasa mengganjal, apakah potongan rambut pendek sesuai dengan usiaku?“Sangat cocok. Bisa jadi sebentar lagi perpustakaan kita semakin ramai.”“Kenapa?” tanyaku sambil mengernyit.“Mau ngecengi kamu!” serunya aku sambut dengan tawa tergelak.Kami berjalanan beriringan menapak trotoar berpaving. Sesekali kami menyingkir karena pegawai kebersihan yang berusaha menyelesaikan tugasnya. Seperti biasa, Mbak Leni menceritakan hari minggunya yang penuh warna. Pe
“Mbak Raya?!” “Iya! Ini aku! Silakan kalian bicara apapun tentang aku. Kalau perlu, ajak semua orang yang datang untuk mendiskusikan aku dan kekasihku yang tampan dan kaya itu.” “Ma-maaf, Mbak Raya. Kami tidak bermaksud untuk__” “Aku tidak peduli maksud kalian apa. Toh, apa yang kalian keluarkan dari mulut, tidak berpengaruh sayangnya kekasihku itu. Dia tetap mesra dan sangat mencintai aku.” “Maaf, Mbak Raya.” Senyuman miring aku sajikan. “Kalian sudah kenal dengan aku. Kenapa tidak bertanya langsung saja? Justru bicara di belakang sesuatu yang tidak benar!” seruku kemudian mengambil napas yang terputus. “Okey, saya kasih tahu siapa Alexander Dominic kekasihku itu. Dia CEO Global Dominic Technologies, Tbk. Jangan dipertanyakan kekayaannya. Tanpa aku kasih tahu, kekasihku itu sangan tampan. Kalian iri, kan?” Mereka diam, hanya mata mereka sesekali mengerjap terlihat takut-takut. Namun ada satu orang yang terlihat tidak merasa bersalah. Bahkan sorot matanya terlihat menantang.
Riset membuktikan adanya korelasi antara usia, kedewasaan, dan kebijaksanaan. Katanya, kedewasaan dan kebijaksanaan berbanding lurus dengan usia. Namun, dalam waktu yang belum lama bersama dengan Alex, hasil riset itu terbantahkan.Mungkin ini seribu banding satu. Dan satu itu adalah kekasihku, Alexander Dominic. Siapa yang tidak bangga? Tidak peduli ucapan orang, lebih baik aku menyibukkan diri dengan bersyukur.“Kita ke Ria dulu. Ada yang harus aku pastikan. Setelahnya kita jalan-jalan.”“Oke! Aku juga kangen dengan dia.”“Aku iri dengan kalian. Sahabatan dan kompak sampai sekarang.”Aku membalikkan tubuh ke arahnya. “Kamu tidak punya sahabat?”“Tidak.”“Teman?”“Tidak juga.”Aku mendesah dan bergumam. “Kamu juga tidak punya saudara.”Sekali lagi aku menatap siluet wajah yang konsentrasi pada jalanan. Waktu pulang kerja seperti sekarang ini, memaksa jalanan menanggung beban berlebih. Sepeda motor saling berlomba untuk posisi terdepan. Seakan tidak peduli dengan keselamatan, mereka n
Aku ingat perbincangan dengan Alex, suamiku beberapa waktu yang lalu. Saat itu aku di titik jenuh. Berbanding terbalik dengan Alex yang sibuknya luar biasa, aku hanya tidak dan tidak mengerjakan apapun. Aku seperti orang yang tidak berguna.Ok, saat ini Alex yang lelaki luar biasa ini masih di sampingku. Namun, bukankah banyak kemungkian dia akan berpaling, terlebih aku bukan siapa-siapa. Hanya wanita menua yang pura-pura lupa akan usia.“Kamu bahagia dengan pernikahan kita?” tanyaku sambil menyelusupkan kepala ke ketiaknya.Entah kenapa aku mempunyai kesenangan baru, mengendus bau keringat sepulang dia kerja. Awalnya Alex menolak karena merasa gerah, tapi dengan alasan aku kangen, akhirnya dia menyerah.Aku mendongak ketika jawaban tidak kunjung kudengar. Dia senyum dikulum, menundukkan kepala dan mencium kening ini.“Bahagia?…. Tidaklah.”“Ha?” Spontan aku menarik tubuh memberi jarak. Ketakutanku ternyata tidak perlu menunggu waktu lama. Sekarang malah dia mengakui.Kedua alis mataku
Pandangan kami di satu garis lurus. Sorot mata suamiku menunjukkan ketidak sukaan. Ini kali pertama aku merasakan takut kepadanya. Dia pun sudah menderap ke arah kami. Namun, tidak sopan kalau aku begitu saja tanpa pamitan pada Tuan Anderson. Mertuaku … kalau itu benar.“Maaf saya harus pamit. Alex sudah ada di sini.”Lelaki tua ini tersenyum. Sekali lagi menepuk lenganku. “Maaf, ya. Semoga suamimu tidak marah. Saya titip Alexander kepadamu.”Belum sempat menjawab, tangan ini sudah disentakkan oleh Alex. Tubuh ini sampai terhuyun dan tangan terlepas dari jabat tangan sebelumnya. Satu tangan lain menarikku untuk terdiam di balik punggungnya.“Jangan ganggu istriku!”“Dengarkan penjelasanku, Alex anakku. Aku memang berhutang waktu dua puluh enam tahun kepadamu. Namun, kita bisa__”“Stop! Saya jelaskan berulang kali, saya tidak ada urusan dengan anda.” Suara Alex terdengar keras. Bahkan menggema di ruangan ini. Aku mengedarkan pandangan, terlihat anaeh ruang baca ini lengang dari pengunj
“Huh! Kalau aku sudah aku remet-remet mulutnya itu! Kamu ini terlalu sabar jadi orang,” seru Mbak Leni seusai dia dari lantai satu.Entah dari mana dia tahu tentang pertemuanku dengan Lastri. Padahal tadi setelah peristiwa tadi, sengaja aku tidak memberitahu seniorku ini. Karena tahu benar sifatnya bagaimana terutama yang berkaitan dengan Lastri. Mbak Leni selalu menjadi garda terdepan membela diriku.“Santai saja, lah. Anggap saja radio rusak.”Aku tersenyum, kemudian kembali ke meja kerja berniat melanjutkan memasukkan data kembali.“Bener yang kau bilang, Yak. Yah dia kan orang gila. Buat apa ditanggapi, kita malah jadi gila nanti,” seloroh Mbak Leni sambil tertawa.Dalam hati, aku pun masih kesal sama si Lastri itu. Tidak capek-capeknya menerorku. Padahal salahku apa? Bertegur sapa atau menyoal tentang dia saja tidak pernah. Lebih baik aku menghindar demi kewarasan. Fokus dengan tujuanku kerja kembali ke perpustakaan. Aku hanya berinteraksi dengan Mbak Leni, Jaka, dan kalau di
“Raya …!”Senyumku merekah mendengar suara yang sudah aku rindukan. Langkah menderap memberiku semangat untuk membalikkan badan. Benar, teman kerja yang aku rindukan berlari menghampiri dengan kedua tangan merentang.Ini hari pertamaku memulai kerja kembali ke perpustakaan. Sedikit ngambek dan berujung kata setuju dari Alex suami tercinta. Aku boleh kerja kembali tapi dia menugaskan beberapa pengawal pribadi di luar gedung.“Kamu tidak usah kawatir. Mereka sudah aku perintahkan berpakaian dan bersikap seperti orang biasa.” Janji dia menanggapi aku yang jengah dengan perlakuan yang berlebihan ini.Jangan ditanya bagaimana cerewetnya Alex sebelum tadi berangkat. Tidak boleh ini, dilarang itu. Pokoknya mengalahkan wejangan Ibu saat aku dulu kost untuk pertama kali.“Mbak Leni …!”Seperti orang yang bertahun-tahun tidak bertemu kami saling menyambut. Tubuhnya yang kecil seakan tenggelam dalam pelukanku.“Mbak aku kangen.”“Aku juga sangat. Tidak ada kamu, aku kesepian,” jawabnya dengan bi
(pov Alex)“Lebih baik tidak daripada syaratnya seperti itu. Memang aku anak TK yang kemana-mana harus diikuti orang.”Raya mencebik dan binar mata pun melesap menunjukkan ketidaksetujuan. Namun bagaimana lagi, keselamatannya lebih penting daripada keinginannya itu. Musuhku ada dimana-mana. Sekarang tidak hanya mengincarku saja, tapi kemungkinan besar membidik titik yang menjadikan aku terpuruk.Dan itu Raya istriku.“Bukankah tadi bilang kalau apapun syaratnya kamu mau?”“Tapi bukan seperti itu.”Matanya mengerjap sekali lagi. Tatapannya yang memohon sempat membuatku tidak tega. Ini seperti aku dulu saat kecil. Kakek Sebastian bersikap keras dan tidak memperbolehkan aku bermain seperti anak pada umumnya. Berbagai alasan dikemukakan yang merujuk pada keselamatan.Aku mengerti yang dirasakan istriku, tapi semua ini harus dilakukan.“Memang harus ada pengawal yang jaga juga di dalam gedung perpustakaan?”“Iya, Ray.”Raya menghela napas panjang. “Ada teman-teman yang bisa menjagaku. Ada
Aku seperti anak ayam yang tinggal di lumbung padi. Tidak kurang suatu apa, apalagi kelaparan. Pengen apa aja tinggal nunjuk. Tidak perlu mengintip isi dompet kalau ingin beli sesuatu.Di rumah pun praktisnya tidak ada yang bisa aku kerjakan. Semua sudah ada yang bersiap dengan tugas masing-masing. Aku seperti orang yang tidak ada kegunaan. Hanya saat ada Alex saja aku melakukan tugas sebagai istri. Selebihnya tidak ngapa-ngapain.Menulis?Isi kepala ini seperti mampat. Tidak ada kejadian sekitar yang mematikku untuk berkarya. Pemandangan datar dan itu-itu saja. Pegawai dengan sikap bersiap menerima tugas, dan aku yang penuh dengan rasa bosan.“Belanjakan apa yang kamu ingin. Yang aku punya, juga punya kamu juga, Sayang. Memang siapa lagi?” ujar Alex, suamiku.Namun aku yang biasa memperhitungkan segalanya sebelum membelanjakan sesuatu, tidak bisa disuruh boros-boros seperti itu. Untuk apa mengeluarkan uang banyak, kalau dengan fungsi dan kualitas yang sama kita dapat harga tidak ting
“Ini aman? Tidak bahaya?”Aku menoleh ke belakang. Gerakan zig-zag mobil pengiring tidak mengurangi laju jeep hitam itu. Lampu justru disorot dan klakson disuarakan seakan menunjukkan kemarahan. Mata ini mengedarkan ke sekeliling dimana pengguna jalan lainnya menyingkir cepat. Beberapa orang terlihat mengumpat dengan kekesalan.Dahi ini semakin aku kerutkan melihat Tomo yang seperti biasa, dan Alex suamiku pun tidak terlihat panik. Dia justru merangkul dan mengacak lembut kepala ini.“Tenang saja. Serahkan kepada mereka. Kalau seperti ini, kesenengannya Tomo. Dia jago ngebut,” celetuk Alex sambil melempar senyum ke arah Tomo yang melirik ke arah kami melalui spion tengah.“Tancap, Bos,” seru Tomo sebelum mobil melaju lebih kencang meninggalkan dua mobil yang masih berjibaku di belakang.“Kencang sekali?”“Kalau tidak ditambah kecepatan, ya terkejar sama orang itu, Sayang,” bisik Alex menarik diriku lebih dekat.Mataku terpejam sambil menyelusupkan kepala ke dadanya. Walaupun mobil ini
“Masih berasa tidak enak?”Aku mengangguk. Setelah mandi, seperti anak kecil lelaki yang sudah menjadi suamiku ini membantu berpakaian. Nyeri yang masih mendera menjadikan aku kesulitan melakukan hal yang sederhana. Memang aku sering mendengar teman-teman yang menikah dulu, katanya untuk pertama kali memang terasa sakit. Namun aku tidak mengira sebegitu membuatku meringis setelahnya.“Maaf, ya. Aku terlalu bersemangat,” ucapnya sambil mengarahkan pengering rambut di kepalaku. Dari bayangan cermin terlihat dia yang senyum-senyum dengan bola mata berputar. Huft, istrinya merasa sakit dia malah terlihat bangga.Awalnya kami memang seperti dua orang bodoh. Kikuk dan menyerahkan sepernuhnya kepada naluri primitif yang menguasai. Namun seiring malam semakin larut, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda ini menunjukkan kekuasaan dan membuatku menyerah.“Sudah kering,” ucapnya sambil meletakkan pengering rambut. Berganti dengan sisir dan mulai mengikat rambutku.“Nanti malam aku akan rem-rem.”
Huuft!Tanganku menepuk jidat. Aku seperti perawan tua yang tidak tahan mendapat sentuhan. Bikin malu saja. Jangan-jangan Alex menuduhku menjebak dia. Pura-pura tidak bisa membuka korset supaya seolah-olah dia melucuti pakaianku. Memang itu akhirnya terjadi, sih, tapi bukan saat aku belum membersihkan diri seperti ini. Aku mengangkat tangan dan mengendus kedua ketiak. Jauh dari kata harum apalagi menggairahkan. Harusnya di pengalaman pertama aku bersiap diri. Apalagi luluran, mandipun beberapa hari ke belakang tidak aku lakukan. ‘Namun …. kenapa dia terlihat tidak sabaran juga?’ bisikku dalam hati sambil menelan senyuman. Masih lekat di ingatan, kejadian tak terduga tadi. Kami nyaris saja kebablasan. Seandainya ketukan pintu tidak terdengar, aku pasti menyesal. Melakukan yang pertama tidak dalam keadaan yang terbaik. Pasti malunya seumur hidup.“Aku harus memberi pengalaman yang terindah di kali pertama ini,” gumamku sembali menuang sabun cair banyak-banyak. Untung saja aku mempu