Pasangan itu disebut pacaran, kalau ada deklarasi. Kalau belum, bagaimana bisa menyebut dia kekasihku?“Harus seperti itu, Raya? Apa yang yang kulakukan kurang menunjukkan kalau aku ini kekasihmu?”“Ck! Dasar anak kemarin sore. Negara merdeka saja ada proklamasi. Begitu saja kok tidak mengerti,” ucapku sambil mencuri pandang ke arahnya.Dia justru tertawa terbahak-bahak. Aku makin kesal. Dipikirnya ucapanku lawakan, apa?Banyolannya yang mengatakan aku ini cinta pertamanya saja, tidak aku tertawa. Bahkan itu masih menjadi beban pikiran.Coba kalau dia menyisihkan otak pintarnya untuk berpikir. Bukan dipenuhi dengan penelitian dan bisnis saja. Dia pasti tahu, kalau ada istilah ‘hari jadi.’ Setiap tanggal itu, pasangan akan merayakan. Bukan untuk pamer foto di media sosial, tetapi untuk menilik apakah hubungan baik-baik saja, sekaligus menjadi momen untuk mengucapkan syukur.Kalau tidak ada tanggal yang pas bagaimana? Misal ada yang tanya, jadian mulai kapan? Terus apa harus menjawab, m
Seperti lagu yang sering diputar ibu, penyanyi Vina Panduwinata itu mewakili apa yang aku rasakan. Hatiku berlomba menyanyikan lagu cinta. Dengan alasan yang masuk akal, aku menyelinap ke jajaran rak-rak buku.“Tidak lama kan, Yak?”“Tidak, Mbak. Cuma memastikan hitungan buku yang selisih,” ucapku tadi sambil beranjak.Aku mengambil buku Bioteknologi Pertanian. Buku tebal ini aku jadikan cover lembar kertas yang aku keluarkan dari amplop biru.Sesaat aku menghela napas, meredam jantung yang tak mau kalah dengan hati. Senyumku mengembang melihat tulisan yang terlalu indah untuk ukuran laki-laki. Tinta hitam ini seperti menari membentuk tulisan latin yang indah.Kata demi kata merajut dan perlahan melemparkan aku ke dunia lain. Tidak ada tumpukan buku atau rak-rak yang menjuang. Sepanjang mata memandang hanya ada taman bunga dengan kupu-kupu berterbangan. Bibirku tersenyum membaca keromantisan ala Alexander Dominic.~~Nayaka Raya, Saat mata ini membaca namamu, seketika itu juga otakk
Tidak peduli dengan tatapan heran Mbak Leni dan teman-teman lainnya, tangan ini dipaksa mengikutinya. Tidak mungkin aku berbuat drama dengan menolaknya. Terpaksa aku pasrah saat pintu mobil dibuka dan aku di dorong masuk. Sepintas, aku mendengar bisik-bisik mereka.“Saya duluan,” serunya sambil melambaikan tangan dan senyuman seperti biasa.Mobil hitam ini berjalan pelan, melewati jalan yang dipadati dengan karyawan yang bersamaan pulang. Namun, setelah masuk ke jalan raya, aku merasa kecepatan semakin bertambah.Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Jarum penunjuk kecepatan bergeser dari angka seratus. Ingin berbicara. Akan tetapi melihat wajahnya mengeras. Aku pasrah sampai mobil berhenti dengan sendirinya.“Apa maksudnya ini?”Dia menunjukkan ponsel dengan menghujam tatapan tajam.Mataku mengerjap. Melihat wajahnya yang begitu serius, diri ini mengerut dengan sendirinya. Bukannya takut, tetapi rasa bersalah mendominasi.“A-aku bingung.”Dia memejamkan mata sambil menghela napas.“A
Aku merasa kehilangan raga dan tidak menapak di bumi. Mata ini tetap tertuju pada bukti kisah cinta pertama. Mungkin bagi orang lain ini terlihat romantis, tapi bagiku ini patut disembunyikan."Kenapa, Ray?".Kedua tangan besarnya menangkup bahuku dan menghadapkan badan ini ke arahnya. Manik hazel menilik tajam memaksa diriku untuk menatapnya seorang."Aku mau pulang sekarang," ucapku kemudian mengurai kedua tangannya, dan bergegas berdiri.“Raya! Kita perlu bicara.”“Bicara apa? Aku sudah tahu kalau aku terlalu tua untuk kamu!”Tak kuindahkan panggilan Alex. Langkah cepatnya tergesa untuk mensejajariku yang setengah berlari. Tujuanku hanya satu, segera berkemas dan pulang. "Raya!" teriaknya sembari mencekal tanganku.Mungkin dia kebingungan melihat reaksiku ini. Yang seharusnya tersenyum senang karena ungkapan cinta pertama yang tersematkan kepadaku, adalah nyata. Namun, kasusku ini lain. Dia jatuh cinta kepadaku disaat dia masih bocah, dan kenyataan yang tidak bisa diubah ini sema
“Kalian tahu salahnya, apa?”Ibu duduk tegak setelah membenarkan ikatan rambut. Tidak ada terbersit senyuman menyambut calon menantu seperti biasanya. Aku mengangkat kepala sedikit dan kembali menunduk setelah mendapati ibu yang tidak main-main. Sorot matanya serius dengan kedua alis mata berbaut, dan sekarang tangannya berlipat di depan dada. Sama persis kalau dulu dia marah kepadaku."Kalian ini sudah bukan anak kecil. Yang tidak tahu waktu kapan pulang. Seharusnya tanpa diberi tahu sudah mengerti," tambahnya lagi semakin membuat keder.Aku dan Alex yang duduk di depannya, diam, dan menekuri lantai. Jempol kaki aku gerak-gerakkan sambil mendengar omelan yang menyambar. Kebiasaanku kalau kena marah, mengalihkan perhatian, bahkan saat kecil dulu aku mampu menulikan pendengaran tanpa menutup telinga.“Kalian itu laki-laki dan wanita yang sudah dewasa. Memang kalian sudah berkomitmen, tetapi kalau belum ada ikatan yang sah, dilarang berduaan apalagi sampai petang seperti ini. Kalian tah
“Jadi aku sudah bisa di-launching?”“Hemm?” Aku menoleh ke arahnya.“Hari ini bisa diluncurkan? Aku kan kekasih baru Nayaka Raya,” ucapnya memperjelas yang dimaksud.Aku yang sedang berkutat dengan ungkapan ibu semalam, hanya mengangguk mengiyakan.‘Apa ibu tidak menyadari kalau jarak usia kami jauh, ya?’ pikirku dalam hati. Aku menoleh ke arahnya dan memperhatikan sosoknya yang tinggi besar.Memang kalau sekilas, tidak ada perbedaan yang mencolok di antara kami, yang merujuk pada usia. Alex yang selalu berpakaian rapi dan ketika bertemu orang, pembawaannya serius, seperti menutupi usia yang sebenarnya. Terlebih orang sekitar memanggilnya dengan sebutan Pak Alex.“Jangan memandangku terus. Nanti jadi benci. Benar-benar mencintai,” celetuknya dengan tetap konsentrasi mengemudi. “Tapi tidak apalah, itu yang aku harapkan.”“Kamu ini pagi-pagi sudah gombal.”“Ada apa? Ada yang kamu pikirkan?”Kali ini dia menoleh kepadaku setelah mobil berhenti karena lampu merah. Dia menatapku penuh per
“Bukankah hari ini hari jadi kita? Dimulai titik nol, untuk angka-angka berikutnya yang tidak terhingga,” ucapnya saat video call.Aku protes dengan perlakuannya. Entah berapa uang yang dititipkan ke Pak Wira, sampai seniorku itu dengan senang hati membantu proses syukuran itu.“Tapi bukan begitu caranya. Kamu tahu tidak, semua orang memandangku dengan tatapan aneh.”“Itu hanya perasaanmu saja. Yang penting, mereka akan menjagamu untuk aku.”“Maksudnya?”“Iya, lah. Semua orang tahu kalau Nayaka Raya kekasih Alexander Dominic. Tidak akan ada laki-laki yang macam-macam mendekatimu.”Aku merasa sungguh kesal. Selalu aku kehabisan kata-kata saat berpeda pendapan dengannya.Niatku menyembunyikan hubungan ini untuk menghindari keriuhan, dia justru mengumumkan dengan pengeras suara. Desas-desus yang mengatakan aku mempunyai kekasih, sekarang semakin menyeruak.Seperti mendapat panggung, semua orang berasumsi dengan hubungan kami.“Sudah, tidak usah didengar.Anggap saja itu supporter yang men
“Nak Alex mana?” tanya Ibu yang baru keluar dari kamar mandi.Bukan anaknya yang ditanya, sekarang malah si brondong itu. Ada rasa cemburu yang mencuat, selama ini sebagai anak tunggal perhatian ibu hanya kepadaku seorang.“Dia langsung kembali. Katanya masih ada kerjaan. Ini ada untuk ibu.” Aku menyodorkan tas berisi menu yang sama, ikan bakar madu.“Ini dari Nak Alex?”Aku mengangguk. Sepertinya ibu tidak tahu anggukanku, dia justru sibuk membuka bungkusan yang menguar baru sedap yang disertai beberapa jenis sambal di wadah kecil. Ibu menutup dengan tudung saji, katanya nanti aja akan dimakan.“Nak Alex itu baik, ya. Sudah sopan, perhatian sama orang tua lagi.”“Ibu tidak tanya tentang aku?” ucapku setelah mengambil minum dan duduk di sebelahnya. Kami berdua duduk menghadap meja makan.Ibu tersenyum, mendekat, kemudian mengambil tangan ini. Sambil menepuk punggung tanganku, dia berucap.“Dari awal pintu terbuka, mata ibu awas memastikan anak ibu ini baik-baik saja. Wajah terlihat
Aku ingat perbincangan dengan Alex, suamiku beberapa waktu yang lalu. Saat itu aku di titik jenuh. Berbanding terbalik dengan Alex yang sibuknya luar biasa, aku hanya tidak dan tidak mengerjakan apapun. Aku seperti orang yang tidak berguna.Ok, saat ini Alex yang lelaki luar biasa ini masih di sampingku. Namun, bukankah banyak kemungkian dia akan berpaling, terlebih aku bukan siapa-siapa. Hanya wanita menua yang pura-pura lupa akan usia.“Kamu bahagia dengan pernikahan kita?” tanyaku sambil menyelusupkan kepala ke ketiaknya.Entah kenapa aku mempunyai kesenangan baru, mengendus bau keringat sepulang dia kerja. Awalnya Alex menolak karena merasa gerah, tapi dengan alasan aku kangen, akhirnya dia menyerah.Aku mendongak ketika jawaban tidak kunjung kudengar. Dia senyum dikulum, menundukkan kepala dan mencium kening ini.“Bahagia?…. Tidaklah.”“Ha?” Spontan aku menarik tubuh memberi jarak. Ketakutanku ternyata tidak perlu menunggu waktu lama. Sekarang malah dia mengakui.Kedua alis mataku
Pandangan kami di satu garis lurus. Sorot mata suamiku menunjukkan ketidak sukaan. Ini kali pertama aku merasakan takut kepadanya. Dia pun sudah menderap ke arah kami. Namun, tidak sopan kalau aku begitu saja tanpa pamitan pada Tuan Anderson. Mertuaku … kalau itu benar.“Maaf saya harus pamit. Alex sudah ada di sini.”Lelaki tua ini tersenyum. Sekali lagi menepuk lenganku. “Maaf, ya. Semoga suamimu tidak marah. Saya titip Alexander kepadamu.”Belum sempat menjawab, tangan ini sudah disentakkan oleh Alex. Tubuh ini sampai terhuyun dan tangan terlepas dari jabat tangan sebelumnya. Satu tangan lain menarikku untuk terdiam di balik punggungnya.“Jangan ganggu istriku!”“Dengarkan penjelasanku, Alex anakku. Aku memang berhutang waktu dua puluh enam tahun kepadamu. Namun, kita bisa__”“Stop! Saya jelaskan berulang kali, saya tidak ada urusan dengan anda.” Suara Alex terdengar keras. Bahkan menggema di ruangan ini. Aku mengedarkan pandangan, terlihat anaeh ruang baca ini lengang dari pengunj
“Huh! Kalau aku sudah aku remet-remet mulutnya itu! Kamu ini terlalu sabar jadi orang,” seru Mbak Leni seusai dia dari lantai satu.Entah dari mana dia tahu tentang pertemuanku dengan Lastri. Padahal tadi setelah peristiwa tadi, sengaja aku tidak memberitahu seniorku ini. Karena tahu benar sifatnya bagaimana terutama yang berkaitan dengan Lastri. Mbak Leni selalu menjadi garda terdepan membela diriku.“Santai saja, lah. Anggap saja radio rusak.”Aku tersenyum, kemudian kembali ke meja kerja berniat melanjutkan memasukkan data kembali.“Bener yang kau bilang, Yak. Yah dia kan orang gila. Buat apa ditanggapi, kita malah jadi gila nanti,” seloroh Mbak Leni sambil tertawa.Dalam hati, aku pun masih kesal sama si Lastri itu. Tidak capek-capeknya menerorku. Padahal salahku apa? Bertegur sapa atau menyoal tentang dia saja tidak pernah. Lebih baik aku menghindar demi kewarasan. Fokus dengan tujuanku kerja kembali ke perpustakaan. Aku hanya berinteraksi dengan Mbak Leni, Jaka, dan kalau di
“Raya …!”Senyumku merekah mendengar suara yang sudah aku rindukan. Langkah menderap memberiku semangat untuk membalikkan badan. Benar, teman kerja yang aku rindukan berlari menghampiri dengan kedua tangan merentang.Ini hari pertamaku memulai kerja kembali ke perpustakaan. Sedikit ngambek dan berujung kata setuju dari Alex suami tercinta. Aku boleh kerja kembali tapi dia menugaskan beberapa pengawal pribadi di luar gedung.“Kamu tidak usah kawatir. Mereka sudah aku perintahkan berpakaian dan bersikap seperti orang biasa.” Janji dia menanggapi aku yang jengah dengan perlakuan yang berlebihan ini.Jangan ditanya bagaimana cerewetnya Alex sebelum tadi berangkat. Tidak boleh ini, dilarang itu. Pokoknya mengalahkan wejangan Ibu saat aku dulu kost untuk pertama kali.“Mbak Leni …!”Seperti orang yang bertahun-tahun tidak bertemu kami saling menyambut. Tubuhnya yang kecil seakan tenggelam dalam pelukanku.“Mbak aku kangen.”“Aku juga sangat. Tidak ada kamu, aku kesepian,” jawabnya dengan bi
(pov Alex)“Lebih baik tidak daripada syaratnya seperti itu. Memang aku anak TK yang kemana-mana harus diikuti orang.”Raya mencebik dan binar mata pun melesap menunjukkan ketidaksetujuan. Namun bagaimana lagi, keselamatannya lebih penting daripada keinginannya itu. Musuhku ada dimana-mana. Sekarang tidak hanya mengincarku saja, tapi kemungkinan besar membidik titik yang menjadikan aku terpuruk.Dan itu Raya istriku.“Bukankah tadi bilang kalau apapun syaratnya kamu mau?”“Tapi bukan seperti itu.”Matanya mengerjap sekali lagi. Tatapannya yang memohon sempat membuatku tidak tega. Ini seperti aku dulu saat kecil. Kakek Sebastian bersikap keras dan tidak memperbolehkan aku bermain seperti anak pada umumnya. Berbagai alasan dikemukakan yang merujuk pada keselamatan.Aku mengerti yang dirasakan istriku, tapi semua ini harus dilakukan.“Memang harus ada pengawal yang jaga juga di dalam gedung perpustakaan?”“Iya, Ray.”Raya menghela napas panjang. “Ada teman-teman yang bisa menjagaku. Ada
Aku seperti anak ayam yang tinggal di lumbung padi. Tidak kurang suatu apa, apalagi kelaparan. Pengen apa aja tinggal nunjuk. Tidak perlu mengintip isi dompet kalau ingin beli sesuatu.Di rumah pun praktisnya tidak ada yang bisa aku kerjakan. Semua sudah ada yang bersiap dengan tugas masing-masing. Aku seperti orang yang tidak ada kegunaan. Hanya saat ada Alex saja aku melakukan tugas sebagai istri. Selebihnya tidak ngapa-ngapain.Menulis?Isi kepala ini seperti mampat. Tidak ada kejadian sekitar yang mematikku untuk berkarya. Pemandangan datar dan itu-itu saja. Pegawai dengan sikap bersiap menerima tugas, dan aku yang penuh dengan rasa bosan.“Belanjakan apa yang kamu ingin. Yang aku punya, juga punya kamu juga, Sayang. Memang siapa lagi?” ujar Alex, suamiku.Namun aku yang biasa memperhitungkan segalanya sebelum membelanjakan sesuatu, tidak bisa disuruh boros-boros seperti itu. Untuk apa mengeluarkan uang banyak, kalau dengan fungsi dan kualitas yang sama kita dapat harga tidak ting
“Ini aman? Tidak bahaya?”Aku menoleh ke belakang. Gerakan zig-zag mobil pengiring tidak mengurangi laju jeep hitam itu. Lampu justru disorot dan klakson disuarakan seakan menunjukkan kemarahan. Mata ini mengedarkan ke sekeliling dimana pengguna jalan lainnya menyingkir cepat. Beberapa orang terlihat mengumpat dengan kekesalan.Dahi ini semakin aku kerutkan melihat Tomo yang seperti biasa, dan Alex suamiku pun tidak terlihat panik. Dia justru merangkul dan mengacak lembut kepala ini.“Tenang saja. Serahkan kepada mereka. Kalau seperti ini, kesenengannya Tomo. Dia jago ngebut,” celetuk Alex sambil melempar senyum ke arah Tomo yang melirik ke arah kami melalui spion tengah.“Tancap, Bos,” seru Tomo sebelum mobil melaju lebih kencang meninggalkan dua mobil yang masih berjibaku di belakang.“Kencang sekali?”“Kalau tidak ditambah kecepatan, ya terkejar sama orang itu, Sayang,” bisik Alex menarik diriku lebih dekat.Mataku terpejam sambil menyelusupkan kepala ke dadanya. Walaupun mobil ini
“Masih berasa tidak enak?”Aku mengangguk. Setelah mandi, seperti anak kecil lelaki yang sudah menjadi suamiku ini membantu berpakaian. Nyeri yang masih mendera menjadikan aku kesulitan melakukan hal yang sederhana. Memang aku sering mendengar teman-teman yang menikah dulu, katanya untuk pertama kali memang terasa sakit. Namun aku tidak mengira sebegitu membuatku meringis setelahnya.“Maaf, ya. Aku terlalu bersemangat,” ucapnya sambil mengarahkan pengering rambut di kepalaku. Dari bayangan cermin terlihat dia yang senyum-senyum dengan bola mata berputar. Huft, istrinya merasa sakit dia malah terlihat bangga.Awalnya kami memang seperti dua orang bodoh. Kikuk dan menyerahkan sepernuhnya kepada naluri primitif yang menguasai. Namun seiring malam semakin larut, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda ini menunjukkan kekuasaan dan membuatku menyerah.“Sudah kering,” ucapnya sambil meletakkan pengering rambut. Berganti dengan sisir dan mulai mengikat rambutku.“Nanti malam aku akan rem-rem.”
Huuft!Tanganku menepuk jidat. Aku seperti perawan tua yang tidak tahan mendapat sentuhan. Bikin malu saja. Jangan-jangan Alex menuduhku menjebak dia. Pura-pura tidak bisa membuka korset supaya seolah-olah dia melucuti pakaianku. Memang itu akhirnya terjadi, sih, tapi bukan saat aku belum membersihkan diri seperti ini. Aku mengangkat tangan dan mengendus kedua ketiak. Jauh dari kata harum apalagi menggairahkan. Harusnya di pengalaman pertama aku bersiap diri. Apalagi luluran, mandipun beberapa hari ke belakang tidak aku lakukan. ‘Namun …. kenapa dia terlihat tidak sabaran juga?’ bisikku dalam hati sambil menelan senyuman. Masih lekat di ingatan, kejadian tak terduga tadi. Kami nyaris saja kebablasan. Seandainya ketukan pintu tidak terdengar, aku pasti menyesal. Melakukan yang pertama tidak dalam keadaan yang terbaik. Pasti malunya seumur hidup.“Aku harus memberi pengalaman yang terindah di kali pertama ini,” gumamku sembali menuang sabun cair banyak-banyak. Untung saja aku mempu