Langit malam kota Seoul memantulkan ribuan cahaya neon di atas jalanan basah. Seon Woo membuka pintu bar mewah di lantai tertinggi sebuah hotel elit. Musik jazz lembut mengalun, memenuhi ruangan yang dipenuhi tamu bersuit rapi, duduk santai di sofa kulit mahal.
Ia memilih meja di pojok, memesan satu gelas whiskey terbaik tanpa banyak bicara. Tak lama kemudian, Shin Hyuk muncul, mengenakan setelan santai namun tetap berkelas. Ia menurunkan kacamata hitamnya sambil berjalan mendekat. "Oh, pangeran murung sudah datang lebih dulu ternyata," ledek pria itu sambil menjatuhkan diri ke kursi di seberangnya. Seon Woo hanya mendengus. "Lambat." "Aku harus parkir. Hidupku lebih susah daripada CEO penuh masalah sepertimu," sahut Shin Hyuk santai. Namanya Shin Hyuk, teman dekat Seon Woo sekaligus partner dalam bisnis kecil yang mereka rintis bersama di luar Cheonghwa. "Oke. Sekarang keluarkan semua amarahmu sebelum kau meledak dan membuat semua orang di sini trauma." "Aku tidak ingin bicara," ucap Seon Woo tanpa menoleh. "Hanya butuh teman minum." Shin Hyuk meliriknya dari ujung mata, lalu melambaikan tangan ke bartender. "Satu gelas kosong tambahan untuk meja penuh luka batin ini, ya." Ia menatap Seon Woo lama. "Kamu pikir aku nggak tahu? Ekspresimu itu… sudah seperti detector krisis." Seon Woo tetap diam. "Woo-ya, c'mon. Kita sudah berteman sejak kau pindah kampus. Aku bisa bedakan ekspresi 'aku capek' dan 'aku ingin meledakkan seseorang dengan tatapan'.” Shin Hyuk menyender santai. “Dan sekarang, jelas-jelas yang kedua." Seon Woo mendesah pelan, jari-jarinya menggenggam gelas seolah menahan amarah. "Han Ji An." Shin Hyuk mengangkat tinggi alisnya. "Ah. Musuh legendaris muncul lagi." Seon Woo menahan diri untuk tidak menghela napas lagi, tapi Shin Hyuk tak pernah menyerah. "Oke, dia membakar kantor? Atau menghina dasi sutramu di depan semua staf?" "Dia menggali sesuatu. Sesuatu yang berbahaya," gumam Seon Woo akhirnya. "Dia pikir ini tugas biasa. Tapi aku tahu, ini jauh dari itu." Shin Hyuk menyilangkan tangan, kini benar-benar mendengarkan. Meski, sudut bibirnya masih mengulas senyum tipis. "Dengar. Kau terlalu mengenalnya, dan aku terlalu mengenalmu. Kita tahu ini bukan cuma soal pekerjaan." Seon Woo menatap kosong ke gelasnya. Lalu, tanpa melihat, ia bergumam, "Aku tidak mau dia terluka." Shin Hyuk tersenyum tipis, lalu menuangkan whiskey ke gelas kosong yang baru saja datang. "Begini," katanya ringan. "Ada dua pilihan." Seon Woo mendengus. "Kau mulai lagi." "Tentu saja. Ini bagian favoritku." Ia mengangkat satu jari. "Satu, tarik dia keluar dari masalah. Secara paksa. Gendong dia keluar dari ruangan kalau perlu. Pakai otoritas CEO-mu. Buat drama Korea itu nyata!" Seon Woo menggeleng. "Atau," lanjut Shin Hyuk, "nikahi dia. Supaya kau bisa bilang, ‘Maaf, istriku terlalu cantik untuk stres soal laporan keuangan.’" Seon Woo melempar tatapan dingin, lalu menenggak minuman dalam sekali tegak. "Lebih baik kau diam," ketusnya. "Kenapa? Ideku kurang jenius?" cecar Shin Hyuk, suaranya melengking sampai Seon Woo mengernyit. "Kelihatannya opsi satu lebih masuk akal," gumam Seon Woo datar. "Walaupun sama-sama konyol." "Tapi opsi dua lebih seru," sahut Shin Hyuk cepat. Seon Woo memejamkan mata sejenak, mencoba menahan rasa frustasi yang bercampur geli. Shin Hyuk memang idiot kadang-kadang. Mereka terdiam sesaat, menikmati minuman dan musik jazz yang mengalun lembut di latar. Hingga Shin Hyuk kembali bicara. "Atau…," katanya sambil mencondongkan badan. Seon Woo melirik malas. "Ini serius. Coba buat dia sibuk." "Sibuk?" Shin Hyuk mengangguk yakin. "Beri dia proyek padat. Sesuatu yang aman, menantang, dan yang membuat dia nggak punya waktu untuk mencari masalah. Kalau dia terlalu sibuk, dia nggak akan sempat menyinggung bahaya." Seon Woo terdiam. Tangannya berhenti memutar gelas. "Ini masuk akal," desak Shin Hyuk lembut. Dan untuk pertama kalinya malam itu, Seon Woo tampak benar-benar mempertimbangkannya. "Kau benar," katanya akhirnya, suara pelan. Shin Hyuk tersenyum puas. "Akhirnya, seseorang mendengarkan suara kebijaksanaan." "Tapi kalau ini gagal," lanjut Seon Woo dingin, "Aku akan pastikan semua orang tahu itu idemu." Shin Hyuk mengangkat gelas. "Tulis saja: Shin Hyuk sang Visioner." Seon Woo menahan senyum tipis. Han Ji An… Aku akan membuatmu terlalu sibuk untuk mencari masalah. Atau… terlalu sibuk sampai aku sendiri takut kehilangan kendali. --- Beberapa saat kemudian, Shin Hyuk pamit ke kamar mandi, meninggalkan Seon Woo sendirian dengan pikirannya. Suasana bar yang remang-remang, dentingan gelas, dan rasa panas dari whiskey perlahan menariknya ke dalam kenangan. Dulu, sebelum masuk dunia perkuliahan, Seon Woo tidak pernah peduli pada orang lain. Hidupnya hanya soal persaingan. Menang. Menjadi yang terbaik. Sampai Han Ji An datang — gadis keras kepala yang berani menantangnya di tengah kelas, ketika semua orang lain memilih diam. "Park Seon Woo, jawabanmu salah besar," kata Ji An waktu itu, dengan mata menyala-nyala. "Kau pikir kau jenius, tapi bahkan tidak membaca lampiran ketiga!" Seon Woo masih ingat rasa panas di wajahnya. Rasa malu. Rasa yang asing... tapi membekas. Sejak saat itu, ia mulai memperhatikan Ji An lebih. Mereka bertengkar di kelas, di perpustakaan, di kafe kampus — adu argumen tanpa akhir. Tapi dari semua itu, lahir sesuatu yang lebih dari sekadar persaingan. Sebuah ketertarikan yang bahkan Seon Woo sendiri terlalu bodoh untuk menyadarinya saat itu. Tapi sebelum semuanya bisa berkembang... ia pergi. Sebuah panggilan darurat dari keluarganya mengubah segalanya. Ia menghilang tanpa perpisahan. Tanpa penjelasan. Malam itu, sambil menatap kosong ke gelasnya, Seon Woo tahu: Han Ji An mungkin sudah melupakannya. Tapi dirinya—belum pernah sekalipun berhenti mengingat. Atau berhenti peduli. --- Shin Hyuk kembali dengan ekspresi riang, seolah mereka baru saja membahas cuaca. "Jadi, kapan rencana penculikan dimulai?" canda pria itu. Seon Woo mengangkat gelas kosongnya, menatap Shin Hyuk sejenak, lalu meletakkannya kembali dengan suara ringan di atas meja. "Aku lebih memilih menghadapi sidang pemegang saham… daripada menghadapi Han Ji An dalam mode pemberontak," desisnya. Shin Hyuk terkekeh. "Yah, setidaknya sidang nggak akan melempar sepatumu." Seon Woo menutup matanya sejenak, menarik napas dalam. Satu hal yang pasti… Mulai besok, ia harus menemukan cara untuk membuat Han Ji An terlalu sibuk untuk mencari masalah. Kalau tidak… Mungkin dia sendiri yang akan benar-benar kehilangan akal. ---Jam dinding berdetak lambat. Di luar, suara mobil yang melintas di jalan utama terdengar sayup melewati jendela kecil kamar Ji An. Di dalam ruangan sempit berukuran tak lebih dari dua belas meter persegi itu, seorang perempuan duduk bersandar di kursi rotan yang mulai reot. Pakaian rumahnya lusuh, rambutnya dicepol asal, dan wajahnya tampak lelah. Namun, matanya penuh tekad saat menatap layar laptop yang mulai memanas di pangkuannya.Nama lengkapnya, Han Ji An! Tertulis rapi di sudut kiri atas dokumen yang sedang ia susun.Lamaran kerja.Tangannya berhenti sejenak di atas keyboard. Ia menarik napas panjang, lalu melirik ke arah kalender tempel di dinding. Tanggal 27. Sudah hampir sebulan sejak dia keluar dari tempat kerja sebelumnya, dan tiga minggu sejak ia memutuskan untuk berhenti menggantungkan harapan pada siapa pun, termasuk orang tuanya.Notifikasi dari ponsel mengalihkan pikirannya. Pesan dari Min Ji.‘Kau lihat pengumuman lowongan di Cheonghwa Group? Divisi keuangan akhirnya
Telepon berdering saat Seon Woo baru saja menekan tombol enter terakhir di laptopnya.Ia sempat mengabaikannya. Tapi nada dering itu tak berhenti. Dua kali. Tiga kali. Akhirnya ia menghela napas dan mengangkat tanpa melihat layar.“Apa?”“Sopan sedikit, Woo-ya. Kau bicara pada kakekmu,” jawab suara tua itu dari seberang, terdengar setengah tergesa, setengah senang.“Maaf. Aku sedang kerja.”“Bagus. Kau bisa sekalian bantu.”Seon Woo memijat pelipisnya. “Tolong jangan bilang aku harus datang ke kantor, Kek.”“Kau harus datang ke kantor. Ada dokumen penting yang tertinggal di ruanganku. Dokumen itu berada di atas meja kerjaku. Tolong antarkan ke ruang rapat lantai 15. Sekarang.”“Kek... bukankah sekretarismu bisa….,” belum sempat Seon Woo menyelesaikan ucapannya, sang kakek lebih dulu menyela.“Dia sedang menyiapkan materi tambahan. Lagipula, ini hanya lima belas menit dari tempatmu. Anggap saja olahraga ringan."Seon Woo mendongak ke langit-langit apartemennya, nyaris frustasi. “Kau se
Tubuh Ji An membeku. Detik-detik terasa lambat ketika ia mendarat tepat di depan sepasang sepatu kulit hitam yang berdiri kaku di lantai lobi.Sepatu itu milik seseorang yang tak asing.Seseorang yang tak pernah benar-benar hilang dari kepalanya, meski sudah bertahun-tahun berlalu.Park Seon Woo.Ji An tak langsung mendongak. Ia menatap ujung jas pria itu dengan napas tercekat, berusaha meyakinkan dirinya bahwa dunia tidak sekejam itu untuk mempertemukannya secepat ini. Tapi saat suara dingin dan datar itu terdengar, seluruh tubuhnya ikut bergetar.“Masih suka jatuh di tempat yang tidak tepat, Han Ji An?”Ia akhirnya mendongak. Pandangan mereka bertemu.Dan waktu tiba-tiba menariknya kembali ke hari itu, bertahun-tahun lalu. Ketika masa-masa ia berkuliah dan terlibat dengan Seon-Woo.“Siapa yang ngasih kamu ide absurd soal kebijakan fiskal itu?”Suara Seon Woo memotong diskusi kelas, membuat semua kepala menoleh. Termasuk Ji An yang berdiri dengan spidol di tangan, baru saja menyelesa
Langkahnya terdengar mantap di atas lantai marmer putih mengilap lobi Cheonghwa Group. Gedung pencakar langit itu menjulang angkuh di tengah kota, tapi pagi ini, Han Ji An merasa ia mampu menyainginya, setidaknya untuk beberapa jam ke depan.Dengan blazer abu muda, kemeja putih bersih, dan sepatu hitam yang sedikit menyakiti tumitnya, Ji An menarik napas dalam. "Mulai hari ini, aku bukan pengangguran lagi," bisiknya pelan pada diri sendiri.Masih ada sepuluh menit sebelum waktu briefing pertamanya.Belum sempat ia mengambil langkah lagi, suara familiar memanggilnya dari samping.“Ji An!”Min Ji datang sambil menggenggam dua cangkir kopi dan sandwich segitiga yang dibungkus rapi. Dengan senyum lebarnya dan poni yang sedikit berantakan karena angin, gadis itu nyaris terlihat seperti sambutan resmi perusahaan.“Akhirnya resmi jadi pegawai Cheonghwa! Gimana perasaanmu?”“Campur aduk,” Ji An tergelak, mencoba meredakan gugup di dadanya. “Excited, gugup, takut nyasar ke toilet direksi.”Min
Dari lantai tertinggi Cheonghwa Group, kota Seoul terlihat seperti papan catur raksasa. Jalan-jalan menjadi garis, gedung-gedung jadi bidak. Dan manusia? Mereka pion. Bergerak sesuai aturan, tunduk pada tangan yang mengatur permainan.Seon Woo menyukai ketinggian. Ia bisa melihat semuanya dari atas. Jauh dari kebisingan, jauh dari distraksi. Tapi hari ini, satu pion tertentu menarik perhatiannya.Han Ji An.Nama itu muncul dalam berkas yang ia buka beberapa hari lalu. Awalnya ia mengabaikannya. Nama seperti ribuan lainnya. Tapi begitu melihat wajah di berkas perekrutan, semuanya berubah.Waktu tidak banyak mengubah Ji An. Masih punya tatapan yang sama, keras kepala, menantang, dan menyebalkan. Tapi sekarang… ia terlihat lebih dewasa. Lebih tajam. Lebih... rapuh.Dan hari ini, saat matanya secara tidak sengaja bertemu milik Ji An di antara kerumunan staf, Seon Woo tahu satu hal:Dinding antara masa lalu dan masa kini telah runtuh.Ia meletakkan cangkir kopinya. Berdiri. Jarinya menyent
Dari balik layar kaca ruangannya, Seon Woo memperhatikan interaksi itu.Lee Seo Jun.Namanya tidak asing. Nama yang ada pada daftar karyawan Divisi Akutansi yang ia pantau malam itu. Lulusan Magna Cumlaude dari Universitas Keuangan, Direkrut langsung oleh Cheonghwa tiga tahun lalu. Pintar, karir yang melonjak sukses, dan yang paling penting adalah…terlalu ramah untuk ukuran orang yang bekerja di dunia yang penuh angka dingin.Seon Woo menyipitkan mata saat melihat Ji An tertawa.Tertawa.Sudah berapa lama sejak ia melihat gadis itu tertawa seperti itu?Terlalu lama.Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia tahu itu tidak penting. Itu bukan urusannya. Tapi tetap saja, ada sesuatu dalam sorot mata Seo Jun yang membuat darahnya naik beberapa derajat.Bukan karena pria itu salah.Tapi karena Ji An tersenyum seperti tak ada apa-apa.Padahal ia sedang berada dalam bahaya.Dan sialnya… satu-satunya orang yang tahu sejauh mana bahaya itu….adalah dirinya.Seon Woo menghela napas, panjang dan be
Langit malam kota Seoul memantulkan ribuan cahaya neon di atas jalanan basah. Seon Woo membuka pintu bar mewah di lantai tertinggi sebuah hotel elit. Musik jazz lembut mengalun, memenuhi ruangan yang dipenuhi tamu bersuit rapi, duduk santai di sofa kulit mahal.Ia memilih meja di pojok, memesan satu gelas whiskey terbaik tanpa banyak bicara.Tak lama kemudian, Shin Hyuk muncul, mengenakan setelan santai namun tetap berkelas. Ia menurunkan kacamata hitamnya sambil berjalan mendekat."Oh, pangeran murung sudah datang lebih dulu ternyata," ledek pria itu sambil menjatuhkan diri ke kursi di seberangnya.Seon Woo hanya mendengus. "Lambat.""Aku harus parkir. Hidupku lebih susah daripada CEO penuh masalah sepertimu," sahut Shin Hyuk santai.Namanya Shin Hyuk, teman dekat Seon Woo sekaligus partner dalam bisnis kecil yang mereka rintis bersama di luar Cheonghwa."Oke. Sekarang keluarkan semua amarahmu sebelum kau meledak dan membuat semua orang di sini trauma.""Aku tidak ingin bicara," ucap
Dari balik layar kaca ruangannya, Seon Woo memperhatikan interaksi itu.Lee Seo Jun.Namanya tidak asing. Nama yang ada pada daftar karyawan Divisi Akutansi yang ia pantau malam itu. Lulusan Magna Cumlaude dari Universitas Keuangan, Direkrut langsung oleh Cheonghwa tiga tahun lalu. Pintar, karir yang melonjak sukses, dan yang paling penting adalah…terlalu ramah untuk ukuran orang yang bekerja di dunia yang penuh angka dingin.Seon Woo menyipitkan mata saat melihat Ji An tertawa.Tertawa.Sudah berapa lama sejak ia melihat gadis itu tertawa seperti itu?Terlalu lama.Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia tahu itu tidak penting. Itu bukan urusannya. Tapi tetap saja, ada sesuatu dalam sorot mata Seo Jun yang membuat darahnya naik beberapa derajat.Bukan karena pria itu salah.Tapi karena Ji An tersenyum seperti tak ada apa-apa.Padahal ia sedang berada dalam bahaya.Dan sialnya… satu-satunya orang yang tahu sejauh mana bahaya itu….adalah dirinya.Seon Woo menghela napas, panjang dan be
Dari lantai tertinggi Cheonghwa Group, kota Seoul terlihat seperti papan catur raksasa. Jalan-jalan menjadi garis, gedung-gedung jadi bidak. Dan manusia? Mereka pion. Bergerak sesuai aturan, tunduk pada tangan yang mengatur permainan.Seon Woo menyukai ketinggian. Ia bisa melihat semuanya dari atas. Jauh dari kebisingan, jauh dari distraksi. Tapi hari ini, satu pion tertentu menarik perhatiannya.Han Ji An.Nama itu muncul dalam berkas yang ia buka beberapa hari lalu. Awalnya ia mengabaikannya. Nama seperti ribuan lainnya. Tapi begitu melihat wajah di berkas perekrutan, semuanya berubah.Waktu tidak banyak mengubah Ji An. Masih punya tatapan yang sama, keras kepala, menantang, dan menyebalkan. Tapi sekarang… ia terlihat lebih dewasa. Lebih tajam. Lebih... rapuh.Dan hari ini, saat matanya secara tidak sengaja bertemu milik Ji An di antara kerumunan staf, Seon Woo tahu satu hal:Dinding antara masa lalu dan masa kini telah runtuh.Ia meletakkan cangkir kopinya. Berdiri. Jarinya menyent
Langkahnya terdengar mantap di atas lantai marmer putih mengilap lobi Cheonghwa Group. Gedung pencakar langit itu menjulang angkuh di tengah kota, tapi pagi ini, Han Ji An merasa ia mampu menyainginya, setidaknya untuk beberapa jam ke depan.Dengan blazer abu muda, kemeja putih bersih, dan sepatu hitam yang sedikit menyakiti tumitnya, Ji An menarik napas dalam. "Mulai hari ini, aku bukan pengangguran lagi," bisiknya pelan pada diri sendiri.Masih ada sepuluh menit sebelum waktu briefing pertamanya.Belum sempat ia mengambil langkah lagi, suara familiar memanggilnya dari samping.“Ji An!”Min Ji datang sambil menggenggam dua cangkir kopi dan sandwich segitiga yang dibungkus rapi. Dengan senyum lebarnya dan poni yang sedikit berantakan karena angin, gadis itu nyaris terlihat seperti sambutan resmi perusahaan.“Akhirnya resmi jadi pegawai Cheonghwa! Gimana perasaanmu?”“Campur aduk,” Ji An tergelak, mencoba meredakan gugup di dadanya. “Excited, gugup, takut nyasar ke toilet direksi.”Min
Tubuh Ji An membeku. Detik-detik terasa lambat ketika ia mendarat tepat di depan sepasang sepatu kulit hitam yang berdiri kaku di lantai lobi.Sepatu itu milik seseorang yang tak asing.Seseorang yang tak pernah benar-benar hilang dari kepalanya, meski sudah bertahun-tahun berlalu.Park Seon Woo.Ji An tak langsung mendongak. Ia menatap ujung jas pria itu dengan napas tercekat, berusaha meyakinkan dirinya bahwa dunia tidak sekejam itu untuk mempertemukannya secepat ini. Tapi saat suara dingin dan datar itu terdengar, seluruh tubuhnya ikut bergetar.“Masih suka jatuh di tempat yang tidak tepat, Han Ji An?”Ia akhirnya mendongak. Pandangan mereka bertemu.Dan waktu tiba-tiba menariknya kembali ke hari itu, bertahun-tahun lalu. Ketika masa-masa ia berkuliah dan terlibat dengan Seon-Woo.“Siapa yang ngasih kamu ide absurd soal kebijakan fiskal itu?”Suara Seon Woo memotong diskusi kelas, membuat semua kepala menoleh. Termasuk Ji An yang berdiri dengan spidol di tangan, baru saja menyelesa
Telepon berdering saat Seon Woo baru saja menekan tombol enter terakhir di laptopnya.Ia sempat mengabaikannya. Tapi nada dering itu tak berhenti. Dua kali. Tiga kali. Akhirnya ia menghela napas dan mengangkat tanpa melihat layar.“Apa?”“Sopan sedikit, Woo-ya. Kau bicara pada kakekmu,” jawab suara tua itu dari seberang, terdengar setengah tergesa, setengah senang.“Maaf. Aku sedang kerja.”“Bagus. Kau bisa sekalian bantu.”Seon Woo memijat pelipisnya. “Tolong jangan bilang aku harus datang ke kantor, Kek.”“Kau harus datang ke kantor. Ada dokumen penting yang tertinggal di ruanganku. Dokumen itu berada di atas meja kerjaku. Tolong antarkan ke ruang rapat lantai 15. Sekarang.”“Kek... bukankah sekretarismu bisa….,” belum sempat Seon Woo menyelesaikan ucapannya, sang kakek lebih dulu menyela.“Dia sedang menyiapkan materi tambahan. Lagipula, ini hanya lima belas menit dari tempatmu. Anggap saja olahraga ringan."Seon Woo mendongak ke langit-langit apartemennya, nyaris frustasi. “Kau se
Jam dinding berdetak lambat. Di luar, suara mobil yang melintas di jalan utama terdengar sayup melewati jendela kecil kamar Ji An. Di dalam ruangan sempit berukuran tak lebih dari dua belas meter persegi itu, seorang perempuan duduk bersandar di kursi rotan yang mulai reot. Pakaian rumahnya lusuh, rambutnya dicepol asal, dan wajahnya tampak lelah. Namun, matanya penuh tekad saat menatap layar laptop yang mulai memanas di pangkuannya.Nama lengkapnya, Han Ji An! Tertulis rapi di sudut kiri atas dokumen yang sedang ia susun.Lamaran kerja.Tangannya berhenti sejenak di atas keyboard. Ia menarik napas panjang, lalu melirik ke arah kalender tempel di dinding. Tanggal 27. Sudah hampir sebulan sejak dia keluar dari tempat kerja sebelumnya, dan tiga minggu sejak ia memutuskan untuk berhenti menggantungkan harapan pada siapa pun, termasuk orang tuanya.Notifikasi dari ponsel mengalihkan pikirannya. Pesan dari Min Ji.‘Kau lihat pengumuman lowongan di Cheonghwa Group? Divisi keuangan akhirnya