“Siapa yang baru saja ibu temui? Aku tidak bodoh, ibu pasti sudah termakan omongan orang lain. Siapa? Paman dan Bibi Shin lagi?” tanya Liu bertubi-tubi saat ibunya kembali mengutarakan rencana perjodohannya.
“Aku sebentar lagi mati, Liu. Kamu akan hidup bahagia bersama lelaki ini. Dia akan membiayai seluruh hidupmu, aku akan mati dengan tenang,” lirih ibunya pilu.
Air mata ibunya jatuh, membasahi bantal polos berwana hijau tosca. Kim Liu tak berdaya melihatnya. Rasa kesal, sedih, muak, bercampur jadi satu.
“Sejak kapan ibu menjadi gila harta seperti ini? Sungguh bukan ibu sekali. Aku mohon untuk sekali ini saja, biarkan aku membangkang,” pinta Liu, memeluk ibunya.
“Aku, hanya tidak ingin kamu sebatang kara di dunia ini, Liu,” bisik sang ibu tepat di telinganya.
“Dia akan menjagamu,” tambahnya.
“Siapa?” Kalimat terakhir ibunya membuat Liu langsung menoleh, entah kenapa ia merasa seperti ibunya sedang menyembunyikan sesuatu, yang tak ia tahu itu apa.
“Sahabat ibu? Atau anaknya yang ibu jodohkan denganku? Siapa?”
“Hubungi saja nomor yang diberikan bibimu, Ibu mohon. Dia orang yang baik, Ibu jamin itu,” ucap ibunya terakhir kali sebelum kembali memejamkan mata. Liu hanya menghela nafas mendengarnya, sampai sebuah suara berisik di luar kamar menyita perhatian Liu.
“Baik, Tuan. Berhati-hatilah di perjalanan.” Begitulah sayup-sayup suara yang berhasil Liu dengar.
Liu segera beranjak dari duduknya, berniat memeriksa ke luar ruangan. Namun tangan sang ibu lebih dulu menghentikannya, membuatnya mau tak mau terduduk lagi. Liu tiba-tiba teringat perkataan Dayeon beberapa saat lalu, ia melihat ke sekeliling kamar ibunya lagi. Ia baru sadar bahwa ruangan itu benar-benar tak terlihat seperti ruangan biasa.
Kamar itu dilengkapi dengan TV besar dan kulkas berisi penuh makanan di sudut ruang. Ada sofa besar di tengah-tengahnya, yang di pisahkan dengan tirai tepat di samping kasur pasien. Dan yang paling penting, ada meja perawat yang berjaga 24 jam penuh di depan pintu kamar.
Liu hanya bisa bertanya-tanya dalam hati. Benarkah biaya rumah sakit ibunya yang ia bayarkan betul-betul sudah mengcover semua fasilitas itu?. Lamunan Liu buyar saat genggaman tangan ibunya tiba-tiba mengencang. Ya, ibunya kejang lagi.
“SUSTER... TOLONG...!” teriak Liu panik.
Dilihatnya ke arah meja jaga perawat yang kosong, “Argh... sialan.”
Dengan tangan bergetar, ia memencet tombol emergency di atas kasur berkali-kali. Hanya butuh waktu kurang dari lima detik sampai tiga orang perawat masuk dan menyuruhnya keluar. Ia masih bisa mendengar suara monitor yang seakan memekik di telinganya.
“Vitalnya lemah sekali, segera lakukan tindakan!” perintah salah satu perawat yang masih terdengar oleh Liu tepat sebelum pintu itu tertutup.
Kini ia hanya bisa menangis, seperti kemarin-kemarin saat ibunya kambuh seperti sekarang. Kaki Liu lemas, ia terduduk di lantai koridor rumah sakit yang sepi, semakin menangis histeris saat memori tentang perjuangan ibu yang membesarkannya seorang diri kembali terlintas.
Tanpa sengaja, tangan Liu meremas kantong jaketnya. Ia pun merogoh saku itu dan mengeluarkan kertas notes kecil yang sudah tak berbentuk. Dibukanya rematan kertas itu, menunjukkan sebuah nomor telepon lengkap dengan sebuah nama yang tertulis disana, berbunyi ‘Jung Jisung’.
Tanpa basa-basi, Liu segera mengambil ponselnya dan menelepon nomor itu. Entah apa yang sedang ada di pikirannya, emosi nampak benar-benar menguasainya sekarang. Selang beberapa detik, panggilan itu pun bersambut.
Liu tak menunggu jawaban dari seberang, ia langsung menyerbunya dengan semua sumpah serapah yang ingin ia ungkapkan.
“LAKI-LAKI SIALAN! SEMUA INI KARENAMU!”
“KENAPA KAMU DIAM SAJA DENGAN SEMUA OMONG KOSONG INI?”
“KENAPA KAMU TIDAK MELAKUKAN APAPUN?”
“KENAPA?”
“KENAPA HANYA AKU YANG TIDAK PUNYA PILIHAN?”
“KENAPA... KENAPA KALIAN MENYIKSAKU...?!”
Tangis Liu semakin menjadi setelah ia memekik di kalimat terakhirnya. Liu kembali melanjutan tangis itu hingga perlahan mereda tanpa menutup telepon yang masih tersambung.
“Sudah puas mengutukku, Kim Liu?” ucap lelaki dari ujung telepon itu, terdengar tenang sekali.
Mata Liu terbelalak mendengarnya, seakan baru dihantam realita akan hal bodoh apa yang baru saja ia lakukan. Baru saja Liu hendak bersuara, seorang perawat tiba-tiba keluar dari kamar ibunya.
“Ibu anda sudah melewati masa kritis, tapi maaf, sebaiknya anda tidak mengganggu istirahatnya terlebih dahulu. Kami akan menjaganya,” kata perawat itu sebelum menghilang lagi di balik pintu.
Liu lega, kaki lemasnya seakan bisa menapak lagi. Namun begitu Liu melihat ponselnya, panggilan telepon itu ternyata sudah dimatikan.
“Sialan, berani-beraninya dia menutup teleponku lebih dulu,” sungut Liu dengan menyedot ingus di sisa tangisnya.
Saat Liu hendak pergi, sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal menghentikannya.
“Le Pre Michel lt.3, 21.00” bunyi pesan itu.
“Apa-apaan ini? Apa dia baru saja mememerintahku?” gerutu Liu kesal.
“Lihat saja nanti malam, habislah kau,” imbuhnya.
---
Liu mondar-mandir di depan cermin kamarnya, sedang menimang apakah ia benar-benar akan pergi menemui laki-laki yang ia panggil CEO sialan itu malam ini. Ia pun tak bisa menelepon teman-temannya untuk meminta pendapat, karena perjodohannya yang dirahasiakan.
“Arrrghh....” teriaknya sambil mengacak-acak rambut.
Melihat jam sudah menunjukkan pukul delapan, ia pun segera mandi dan bersiap-siap. Akhirnya Liu pun memutuskan untuk datang. Ia akan memastikan nasibnya di rencana perjodohan yang sedang membelitnya.
Pukul sembilan tepat, Liu tiba di restoran Le Pre Michel seperti yang dijanjikan. Setelah melakukan pengecekan sigkat di luar gedung, ia pun dipersilakan masuk. Liu hanya pernah melihat review restoran itu dari internet saja, karena rumornya, harga makanan di sana sangat tidak masuk akal. Diluar dugaan, restoran mewah itu ternyata sepi sekali, Liu bahkan belum berpapasan dengan satu pun pelanggan selama perjalanannya ke lantai tiga.
“Kenapa ini? Apa prosentase orang kaya di Korea sudah menipis?” kelakarnya dalam hati.
Keluar dari lift, seorang laki-laki pelayan menyambut dengan membungkuk 90 derajat di depannya. Liu yang kikuk hanya berdehem kaku dan ikut membungkuk.
“Silakan ikuti saya, Nyonya,” ucap pelayan itu, yang kemudian berjalan mendahului.
Liu hanya menurut, matanya tak berhenti melihat-lihat ke sekeliling. Ia tahu restoran itu mewah, tapi sepertinya kata mewah di internet dan di kamusnya sangatlah berbeda. Karena restoran itu terlihat seperti cuplikan kastil negeri dongeng.
“Mmm, maaf. Apakah restoran ini memang sepi?” tanya Liu pada sang pelayan.
“Tidak, Nyonya. Tuan Jung Jisung menyewanya.”
“Apa? Dia menyewa satu lantai ini hanya untuk bertemu denganku?” tanya Liu tak percaya.
Pelayan itu menghentikan langkahnya, lantas berbalik menghadap Liu.
“Tidak, Nyonya. Tuan Jung Jisung menyewa seluruh gedung,” entengnya, membuat Liu membelalakkan mata seketika.
Sang pelayan kemudian menunjuk sopan ke arah meja nomor satu, mempersilakan Liu untuk mendahuluinya. Terlihat seorang laki-laki yang duduk menunggu di sana, sangat menawan bahkan dari kejauhan.
“Silakan.” Pelayan itu mempersilakan.
“Hah? Oh iya, terimakasih.” Jawab Liu kikuk.
Otak Liu masih sibuk memikirkan maslaah sewa menyewa gedung yang memusingkannya. Ia pun berjalan pelan menuju laki-laki asing yang ternyata tengah memejamkan matanya sambil melipat tangan di depan dada.
“Ekhm.” Liu berdehem, seketika membuat sosok di depannya membuka mata. Mata mereka pun bertemu, membuat kontak mata selama beberapa detik sampai diputus oleh Liu.
“Dia tidak mempersilakanku duduk? Laki-laki macam apa ini?”
“Kamu telat sepuluh menit, Kim Liu,” ucap lelaki itu, dingin.
“Apa? Laki-laki macam apa kamu Jung Jisung?”
----
Hening, hanya ada alunan musik klasik lirih yang mengiringi. Liu duduk terdiam sambil menatap meja selama beberapa saat. Saat ia mendongakkan kepala, matanya bertemu dengan mata Jisung yang juga tengah menatapnya dengan tatapan mengintimidasi.“Kamu tinggal sendiri? Rumahmu dimana?”“Naik apa kamu ke tempat kerja? Bus kota? Taksi? Mobil pribadi?”“Apa kamu punya teman dekat? Berapa? Berikan aku informasi tentang mereka.”“Apakah kam-““Stop!” sergah Liu usai mendengarkan rentetan pertanyaan dari Jisung, ia menghela nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya.“Pertama, anda sangat tidak sopan sudah mengunakan bahasa non formal pada saya yang jelas-jelas baru pertama kali anda temui. Kedua, saya bukan google yang bisa menjawab pertanyaan beruntun itu sekaligus. Ketiga, untuk apa saya memberitahukan informasi-informasi pribadi saya? Jangan harap,” lanjut Liu yang sedang b
“Apa kamu pernah makan di Le Pre Michel?” tanya Liu pada Doyeon yang sedang duduk di cubicle kerjanya.“Kamu bercanda? Menyebut nama restoran itu saja aku tidak bisa. Dompetku tak akan mau dijak kesana, kenapa memangnya?”“Semalam aku dinner di sana.”Kalimat itu menghentikan aktivitas Doyeon yang langsung bangkit dan menuju cubicle Liu. Ia duduk di meja kerja Liu, memasang wajah sangat antusias.“Benarkah? Tidak mungkin kamu kesana atas kemauan sendiri, bukan? Dengan siapa?” cecar Doyeon penasaran.Liu masih menimang-nimang apakah ia akan bercerita pada Doyeon atau tidak. Pasalnya, ia belum mau memberitahukan tentang Jung Jisung pada sahabatnya itu. Ia juga belum siap ditanya macam-macam, karena ia bahkan masih belum tahu takdir apa yang sedang menunggu di balik perjodohan ini.“Kamu tahu harga makanan di sana? Semahal itu kah?” Liu justru mengalihkan pembicaraan.“Yan
Pukul enam sore, Liu akhirnya bisa terbebas dari berkas sidang yang benar-benar membuatnya pening. Jam pulang kantor memang pukul empat, tapi hampir tak ada pengacara yang pulang tepat waktu, termasuk Liu. Banyak sekali perkerjaan yang menumpuk, ia hanya ingin tidur dengan tenang tanpa terbebani pekerjaan yang belum kelar.Doyeon sudah pulang sejam sebelumnya, membuat Liu harus pulang sendirian. Biasanya, Liu akan naik bus kota atau taksi untuk pulang pergi. Dia memnag tidak suka menyetir mobil sendiri, lebih memilih menggunakan transportasi umum sekaligus untuk menikmati perjalannya sambil melepas lelah.Begitu ia keluar dari gedung, sebuah mobil tak biasa terhilat terparkir di pinggir jalan pu menarik perhatiannya.“Siapa dia? Berani-beraninya parkir mobil sembarangan di depan gedung pengadilan?” gumam Liu.Perempuan itu langsung mengeluarkan ponselnya untuk menelepon polisi lalu lintas yang bertugas menangani parkir sembarangan. Biasanya, m
Liu sedang menunggu Jung Jisung dan pengacaranya menyelesaikan dokumen. Ia masih duduk di sofa dengan perasaan campur aduk. Pikirannya melayang teringat pengakuan Jisung yang ternyata sudah memiliki kekasih, sesuatu yang benar-benar tidak ia duga. “Tunggu, aku kan bisa cari tahu,” gumam Liu yang langsung meraih ponselnya. Ia baru teringat ucapan Doyeon bahwa Jisung adalah BTSnya dunia industri yang rajin masuk portal berita. Dan benar saja, hanya dengan mengetikkan satu kata kunci yaitu “Jung Jisung”, ratusan headline artikel berita tentang lelaki itu langsung muncul memenuhi laman pencarian. Liu meneguk ludahnya, “Jadi benar dia se-terkenal ini?” ucapnya keheranan dengan mulut menganga. “APA?!” pekik Liu spontan saat membaca artikel teratas, ia langsung menutup mulutnya dengan tangan sambil melihat sekeliling. “Perempuan itu adalah Shin Minseo? Selebgram cantik dan sultan kaya raya yang diidolakan Dayeon?” ujar Liu yang kini setengah berbisik
Hening menyelimuti perjalanan Liu dan Jisung. Liu diam karena hatinya masih kesal dengan keadaan, sedangkan Jisung diam karena tak tahu harus berbuat apa. Mereka sama-sama melihat ke luar jendela dan memanjakan mata dengan lampu-lampu kota.“Maaf, destinasi kita kemana, Tuan?” tanya Sekretaris Choi yang kebingungan.“Diamond residence,” jawab Jisung singkat.Liu meneguk ludahnya sendiri saat tempat yang disebutkan Jung Jisung adalah apartemennya dan sang ibu. Untuk sesaat ia lupa bahwa lelaki di sampingnya itu sudah mengecek semua latar belakangnya, termasuk tempat tinggal tentunya.“Baik.”Sesampainya di tempat tujuan, Liu langsung keluar begitu mobil itu berhenti, tak berniat untuk berpamitan atau sekadar berbasa-basi. Ia langsung berjalan menjauh tanpa repot-repot menengok ke belakang.Tepat saat Sekretaris Choi menyalakan mesin mobilnya kembali, Jung Jisung tiba-tiba kembali keluar dari mobilnya, menyi
Liu membuka matanya dengan sangat berat, matanya kembali merapat saat cahaya menyilaukan menimpa retinanya. Cahaya dari matahari pagi yang menerobos masuk lewat sela-sela tirai di jendela kaca.“Dimana?” gumamnya pelan.“Di ruang perawatan rumah sakit, syukurlah sudah sadar,” sahut bayangan seorang laki-laki yang duduk di sofa di samping ranjang.Lelaki itu langsung mendekat ke arah Liu lalu mengecek infusnya.“Sekretaris Choi?” gumam Liu lagi usai pandangannya yang semula kabur menjadi semakin jelas.“Iya, saya diperintahkan untuk menemani anda sampai anda pulih,” balasnya.Alis Liu langsung mengkerut, ia kemudian berusaha untuk bangkit dan duduk, meskipun dengan bantuan Sekretaris Choi.“Perintah? Siapa yang memerintahkan?” tanya Liu yang sebetulnya sudah tahu jawaban dari pertanyaannya.“Siapa lagi? Tuan saya hanya satu, Tuan Jung Jisung,” jawab Sekretar
Liu terpaku selama beberapa saat sembari matanya sibuk menelisik dan otaknya sibuk berpikir keras.“K-kenapa lelaki itu ada di sana? Ji-Jisung?” gumamnya masih tak percaya.Ia yang sebelumnya ingin kabur untuk pergi ke ruangan ibunya pun urung, Liu akhirnya kembali ke kamarnya dan beroverthinking ria.“Kenapa? Sakit apa dia?”“Kenapa Sekretaris Choi berbohong padaku?”“Tunggu, apa jangan-jangan… ah tidak, jangan berpikiran aneh-aneh, Kim Liu!”Perempuan itu mengacak-acak rambutnya karena frustasi. Belum juga satu misteri tentang Jung Jisung terkuak, baru saja misteri baru muncul untuk membuatnya penasaran.“Lelaki macam apa kamu, Jung Jisung?” gumamnya lagi.---“Kembalilah ke Kim Liu, aku baik-baik saja,” ucap Jisung dengan tenang meskipun suaranya bahkan tergengar begetar.“Tidak, Tuan. Saya akan menunggu sampai suster itu kemba
Waktu hampir tengah hari, Liu yang ingin naik bus akhirnya memutuskan untuk naik taksi agar lebih cepat sampai ke pengadilan.Ia menyisir rambut dan merapikannya dengan jemarinya, beruntung setidaknya ia sudah keramas kemarin pagi. Baru kali ini ia pergi ke pengadilan dengan baju casual dan bahkan tanpa menggunakan make-up sedikitpun.“Argh… aku tidak punya ikat rambut pula. Kenapa aku juga tidak membawa make-up apapun,” gerutu Liu sambil menggeledah tas kecilnya.Di tasnya memang hanya terdapat dompet dan ponsel, ia pergi dalam keadaan super panik kemarin. Biasanya ia akan selalu menyiapkan setidaknya lipstick dan bedak atau cushion di tasnya.Tapi meskipun dengan wajah bare face sekalipun, Liu tetap cantik menawan. Sebelas dua belas dengan Irene Red Velvet, menurut teman-temannya. Karena Liu tak bisa melihat itu, ia sibuk insecure dengan semua hal tentang dirinya.Sesampainya di pengadilan, yang Liu lakukan hanya satu, yaitu me
Tangan Liu terasa nyeri karena Jung Jisung menariknya terlalu kencang, apalagi bekas luka infus di punggung tangannya bahkan masih basah.Saat lelaki itu agak kebingungan usai menjauh dari ruangan Kepala Hong, apalagi sebentar lagi koridor akan ramai dengan pegawai yang akan menghabiskan break time.“Saya akan mencarikan ruangan untuk anda, Tuan.” Sekretaris Choi pun menawarkan bantuannya.Namun belum sempat Sekretaris Choi pergi, Liu sudah menghentikannya.“Tidak perlu, ikut aku,” ucap Liu yang lebih terdengar seperti perintah.Pemandangan sudah berbalik, kini gantian Liu yang menarik pergelangan tangan Jung Jisung dan membawanya berbelok ke arah lift, membuat lelaki itu terkejut dengan tindakan Liu. Hanya satu tujuannya, tempat di mana tak ada mata dan telinga lain yang mengindera mereka, rooftop.Pikiran Liu masih agak kacau usai mendapat pelecehan verbal dari Kepala Hong beberapa saat yang lalu, begitu pula dengan
“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanya Danny saat mendapati Doyeon sedang menguping dengan gelisah di depan ruangan Kepala Hong.Perempuan itu terlonjak kaget dengan kehadiran sahabatnya itu. Ia hanya ingin memastikan Liu baik-baik saja di dalam sana. Ia pun berjaga di luar ruangan sambil menempelkan telinganya ke pintu meskipun tak bisa mendengar apa-apa.“Sial, kamu mengagetkanku, Danny!”“Ah maaf, kamu sangat mencurigakan sekali, tahu? Minggir, aku ada keperluan dengan Kepala Hong terkait persidangan besok lusa,” balas Danny yang langsung menghentikan langkahnya saat Doyeon merentangkan kedua tangan di depannya.“Apa? Tidak, tunggu. Jangan masuk ke dalam, Liu sedang ada di dalam sana, aku khawatir karena sepertinya dia sedang tidak membawa akal sehatnya sekarang.”“Liu? Bukankah dia cuti karena sakit? Aku sudah menduga kalau dia akan marah karena kasus yang sudah dia kerjakan dilimpahka
Waktu hampir tengah hari, Liu yang ingin naik bus akhirnya memutuskan untuk naik taksi agar lebih cepat sampai ke pengadilan.Ia menyisir rambut dan merapikannya dengan jemarinya, beruntung setidaknya ia sudah keramas kemarin pagi. Baru kali ini ia pergi ke pengadilan dengan baju casual dan bahkan tanpa menggunakan make-up sedikitpun.“Argh… aku tidak punya ikat rambut pula. Kenapa aku juga tidak membawa make-up apapun,” gerutu Liu sambil menggeledah tas kecilnya.Di tasnya memang hanya terdapat dompet dan ponsel, ia pergi dalam keadaan super panik kemarin. Biasanya ia akan selalu menyiapkan setidaknya lipstick dan bedak atau cushion di tasnya.Tapi meskipun dengan wajah bare face sekalipun, Liu tetap cantik menawan. Sebelas dua belas dengan Irene Red Velvet, menurut teman-temannya. Karena Liu tak bisa melihat itu, ia sibuk insecure dengan semua hal tentang dirinya.Sesampainya di pengadilan, yang Liu lakukan hanya satu, yaitu me
Liu terpaku selama beberapa saat sembari matanya sibuk menelisik dan otaknya sibuk berpikir keras.“K-kenapa lelaki itu ada di sana? Ji-Jisung?” gumamnya masih tak percaya.Ia yang sebelumnya ingin kabur untuk pergi ke ruangan ibunya pun urung, Liu akhirnya kembali ke kamarnya dan beroverthinking ria.“Kenapa? Sakit apa dia?”“Kenapa Sekretaris Choi berbohong padaku?”“Tunggu, apa jangan-jangan… ah tidak, jangan berpikiran aneh-aneh, Kim Liu!”Perempuan itu mengacak-acak rambutnya karena frustasi. Belum juga satu misteri tentang Jung Jisung terkuak, baru saja misteri baru muncul untuk membuatnya penasaran.“Lelaki macam apa kamu, Jung Jisung?” gumamnya lagi.---“Kembalilah ke Kim Liu, aku baik-baik saja,” ucap Jisung dengan tenang meskipun suaranya bahkan tergengar begetar.“Tidak, Tuan. Saya akan menunggu sampai suster itu kemba
Liu membuka matanya dengan sangat berat, matanya kembali merapat saat cahaya menyilaukan menimpa retinanya. Cahaya dari matahari pagi yang menerobos masuk lewat sela-sela tirai di jendela kaca.“Dimana?” gumamnya pelan.“Di ruang perawatan rumah sakit, syukurlah sudah sadar,” sahut bayangan seorang laki-laki yang duduk di sofa di samping ranjang.Lelaki itu langsung mendekat ke arah Liu lalu mengecek infusnya.“Sekretaris Choi?” gumam Liu lagi usai pandangannya yang semula kabur menjadi semakin jelas.“Iya, saya diperintahkan untuk menemani anda sampai anda pulih,” balasnya.Alis Liu langsung mengkerut, ia kemudian berusaha untuk bangkit dan duduk, meskipun dengan bantuan Sekretaris Choi.“Perintah? Siapa yang memerintahkan?” tanya Liu yang sebetulnya sudah tahu jawaban dari pertanyaannya.“Siapa lagi? Tuan saya hanya satu, Tuan Jung Jisung,” jawab Sekretar
Hening menyelimuti perjalanan Liu dan Jisung. Liu diam karena hatinya masih kesal dengan keadaan, sedangkan Jisung diam karena tak tahu harus berbuat apa. Mereka sama-sama melihat ke luar jendela dan memanjakan mata dengan lampu-lampu kota.“Maaf, destinasi kita kemana, Tuan?” tanya Sekretaris Choi yang kebingungan.“Diamond residence,” jawab Jisung singkat.Liu meneguk ludahnya sendiri saat tempat yang disebutkan Jung Jisung adalah apartemennya dan sang ibu. Untuk sesaat ia lupa bahwa lelaki di sampingnya itu sudah mengecek semua latar belakangnya, termasuk tempat tinggal tentunya.“Baik.”Sesampainya di tempat tujuan, Liu langsung keluar begitu mobil itu berhenti, tak berniat untuk berpamitan atau sekadar berbasa-basi. Ia langsung berjalan menjauh tanpa repot-repot menengok ke belakang.Tepat saat Sekretaris Choi menyalakan mesin mobilnya kembali, Jung Jisung tiba-tiba kembali keluar dari mobilnya, menyi
Liu sedang menunggu Jung Jisung dan pengacaranya menyelesaikan dokumen. Ia masih duduk di sofa dengan perasaan campur aduk. Pikirannya melayang teringat pengakuan Jisung yang ternyata sudah memiliki kekasih, sesuatu yang benar-benar tidak ia duga. “Tunggu, aku kan bisa cari tahu,” gumam Liu yang langsung meraih ponselnya. Ia baru teringat ucapan Doyeon bahwa Jisung adalah BTSnya dunia industri yang rajin masuk portal berita. Dan benar saja, hanya dengan mengetikkan satu kata kunci yaitu “Jung Jisung”, ratusan headline artikel berita tentang lelaki itu langsung muncul memenuhi laman pencarian. Liu meneguk ludahnya, “Jadi benar dia se-terkenal ini?” ucapnya keheranan dengan mulut menganga. “APA?!” pekik Liu spontan saat membaca artikel teratas, ia langsung menutup mulutnya dengan tangan sambil melihat sekeliling. “Perempuan itu adalah Shin Minseo? Selebgram cantik dan sultan kaya raya yang diidolakan Dayeon?” ujar Liu yang kini setengah berbisik
Pukul enam sore, Liu akhirnya bisa terbebas dari berkas sidang yang benar-benar membuatnya pening. Jam pulang kantor memang pukul empat, tapi hampir tak ada pengacara yang pulang tepat waktu, termasuk Liu. Banyak sekali perkerjaan yang menumpuk, ia hanya ingin tidur dengan tenang tanpa terbebani pekerjaan yang belum kelar.Doyeon sudah pulang sejam sebelumnya, membuat Liu harus pulang sendirian. Biasanya, Liu akan naik bus kota atau taksi untuk pulang pergi. Dia memnag tidak suka menyetir mobil sendiri, lebih memilih menggunakan transportasi umum sekaligus untuk menikmati perjalannya sambil melepas lelah.Begitu ia keluar dari gedung, sebuah mobil tak biasa terhilat terparkir di pinggir jalan pu menarik perhatiannya.“Siapa dia? Berani-beraninya parkir mobil sembarangan di depan gedung pengadilan?” gumam Liu.Perempuan itu langsung mengeluarkan ponselnya untuk menelepon polisi lalu lintas yang bertugas menangani parkir sembarangan. Biasanya, m
“Apa kamu pernah makan di Le Pre Michel?” tanya Liu pada Doyeon yang sedang duduk di cubicle kerjanya.“Kamu bercanda? Menyebut nama restoran itu saja aku tidak bisa. Dompetku tak akan mau dijak kesana, kenapa memangnya?”“Semalam aku dinner di sana.”Kalimat itu menghentikan aktivitas Doyeon yang langsung bangkit dan menuju cubicle Liu. Ia duduk di meja kerja Liu, memasang wajah sangat antusias.“Benarkah? Tidak mungkin kamu kesana atas kemauan sendiri, bukan? Dengan siapa?” cecar Doyeon penasaran.Liu masih menimang-nimang apakah ia akan bercerita pada Doyeon atau tidak. Pasalnya, ia belum mau memberitahukan tentang Jung Jisung pada sahabatnya itu. Ia juga belum siap ditanya macam-macam, karena ia bahkan masih belum tahu takdir apa yang sedang menunggu di balik perjodohan ini.“Kamu tahu harga makanan di sana? Semahal itu kah?” Liu justru mengalihkan pembicaraan.“Yan