Hening, hanya ada alunan musik klasik lirih yang mengiringi. Liu duduk terdiam sambil menatap meja selama beberapa saat. Saat ia mendongakkan kepala, matanya bertemu dengan mata Jisung yang juga tengah menatapnya dengan tatapan mengintimidasi.
“Kamu tinggal sendiri? Rumahmu dimana?”
“Naik apa kamu ke tempat kerja? Bus kota? Taksi? Mobil pribadi?”
“Apa kamu punya teman dekat? Berapa? Berikan aku informasi tentang mereka.”
“Apakah kam-“
“Stop!” sergah Liu usai mendengarkan rentetan pertanyaan dari Jisung, ia menghela nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya.
“Pertama, anda sangat tidak sopan sudah mengunakan bahasa non formal pada saya yang jelas-jelas baru pertama kali anda temui. Kedua, saya bukan g****e yang bisa menjawab pertanyaan beruntun itu sekaligus. Ketiga, untuk apa saya memberitahukan informasi-informasi pribadi saya? Jangan harap,” lanjut Liu yang sedang berusaha menahan kesal.
Jisung hanya menatap gadis di depannya dengan dingin, senyum miring terukir di wajahnya usai mendengar tiga protes dari Liu. Kesan pertamanya setelah bertemu dengan Liu adalah, gadis kasar, ceroboh, bodoh, dan... sedikit lucu. Tapi hanya sedikit saja, pikirnya.
“Ternyata semua laporan dari sekretaris Choi benar,” lirih Jisung.
“Apa? Jadi kamu sudah mengintaiku? Oke, sekarang aku tidak akan menggunakan bahasa formal denganmu, karena kamu juga begitu. Jadi, jawab pertanyaanku,” seru Liu yang mendengar gumam Jisung.
“Pertama, aku tiga tahun lebih tua darimu. Lagi pula, kamu yang lebih dulu berbicara menggunakan bahasa non formal tadi di telepon,” skak mat Jisung untuk Liu.
“Wah, kamu bahkan sudah memeriksa latar belakangku sampai tahu kalau aku lebih muda tiga tahun?” protes Liu, berusaha mengalihkan pembicaraan dari kebodohannya tadi siang.
“Kedua, aku kira seorang pengacara sudah terbiasa dengan bom pertanyaan seperti itu. Bukankah kalian sering melakukannya di persidangan? Tapi kamu boleh menjawabnya dengan pelan jika tak mampu,” lanjut Jisung yang terdengar sangat memprovokasi di telinga Liu.
“Sial, sekarang dia bahkan membawa-bawa kompetensiku sebagai pengacara? Konyol.”
“Ketiga, aku memang harus bertanya semua tentang kamu. Aku harus mengetahui latar belakang calon istriku, bukan?"
“Ca-calon istri?”
Mata Liu terbelalak menatap Jisung, tak percaya dengan apa yag baru saja ia dengar.
“Kamu tidak menentang perjodohan ini? Kenapa?” tanya Liu penasaran.
“Aku lapar, sebaiknya kita makan dulu,” potong Jisung, yang langsung sukses mendapatkan tatapan kesal dari Liu untuk yang kesepuluh kali malam itu.
Jisung mengangkat tangan kanannya ke udara, membuat Liu bertanya-tanya. Namun hanya dalam hitungan detik, dua pelayan restoran datang membawa menu yang nampaknya memang sudah dipesan terlebih dahulu sebelumnya.
“Makanan macam apa ini?” batin Liu.
Menu itu adalah Fleur Burger yang menggunakan pattie daging wagyu dengan topping truffle dan foie grass. Siapapun yang melihatnya pasti sudah menduga bahwa itu adalah makanan mahal.
Liu penasaran setengah mati dengan harganya. Liu pun menebak-nebak ria dalam hati, kira-kira makanan di depannya itu seharga dengan berapa bulan gajinya sebagai pengacara.
“Memang hanya orang kaya yang makan burger dengan pisau dan garpu. Apa mereka tidak tahu betapa nikmatnya melahap satu gigit besar burger dengan dua tangan?” batin Liu lagi yang agak kesusahan mengiris makanannya.
“Aku bukannya tidak menentang perjodohan ini, tapi aku memang tidak punya alasan untuk menolaknya,” jawab Jisung usai memasukkan satu suap ke mulutnya.
“Kalau begitu, jadikan saja aku alasannya. Bilang saja aku terlalu bodoh dan miskin untuk menjadi istrimu,” tawar Liu.
“Tapi kan itu kenyataan, dan aku tidak masalah dengannya,” komentar Jisung dengan polosnya.
“Apa? Apa dia baru saja membenarkan kebodohan dan kemiskinanku? CEO sialan.”
Liu benar-benar kehilangan kata-kata, ia menyelesaikan makanannya tanpa bersuara sedikitpun. Sedangkan Jisung, ia diam bukan karena bersikap dingin. Dia hanya tidak terbiasa, karena memang tidak pernah punya teman makan untuk diajak berbicara.
Usai menyelesaikan menu mahal itu, pelayan datang lagi dengan satu botol wine berlabel Domaine de la Romanee Conti tahun 1990. Sang pelayan menuangkannya dengan hati-hati untuk Jisung dan Liu.
Lagi-lagi Liu terkejut dibuatnya. Pasalnya, ia tahu berapa harga wine di depannya itu. Bukan, bukan karena ia pernah mengicipinya, tapi karena ia pernah menangani klien yang merupakan tersangka kasus pencurian wine mahal di bar. Dan harga wine dengan nama sulit itu adalah 25 juta won, setara dengan sepuluh bulan gajinya sebelum dipotong tagihan kartu kredit.
“Aku tidak berniat menolak perjodohan ini. Oke, apa ada pertanyaan lagi sebelum aku yang balik bertanya?” Jisung mengawali.
Liu terdiam mendengarnya. Daripada kesal, saat ini kesedihanlah menguasai hatinya.
“Apa pendapatku benar-benar tidak penting sampai kalian mengabaikanku? Ternyata, sejak awal aku memang tidak punya pilihan. Iya, kan?” komentar Liu.
“Selama dua puluh delapan tahun aku hidup, aku belum pernah mengingkari satu pun janji yang keluar dari mulutku. Dan malam ini aku berjanji, aku tidak akan ikut campur dengan hidupmu jika kita menikah. Kamu boleh melakukan apapun yang kamu mau,” ucap Jisung tenang, ia meneguk habis wine di gelasnya.
“Aku terima syarat apapun darimu selama itu tak saling merugikan. Lagi pula, kamu juga tidak merugi disini, kan? Aku yakin kamu juga tidak mau mengecewakan ibumu. Menikah sekarang atau nanti, tak ada bedanya. Aku juga tidak berminat mengusik pekerjaanmu,” lanjutnya.
Liu kembali membisu. Semua yang diucap Jisung memang benar, tapi justru itu yang membuatnya lebih kesal. Setelah beberapa saat berdebat dengan otak dan hatinya, ia pun mengiyakan tawaran Jung Jisung.
“Oke, dengan satu-mmm dengan beberapa syarat,” tawar Liu.
“Katakan saja.”
“Pertama, aku tidak mau identitasku disebar. Kamu mungkin orang terkenal, tapi tidak denganku, aku tidak ingin dikenali publik.”
“Baik, syarat diterima.”
“Kedua, jangan sentuh kehidupan pribadiku. Baik pekerjaan, pertemanan, dan semua kehidupan sosialku dengan orang lain.”
“Baik, syarat diterima.”
“Ketiga, jangan melakukan kontak fisik apapun tanpa persetujuanku.”
“Baik, syarat diterima.”
“Terakhir, jangan mencintaiku.”
Jisung terdiam sebentar, sedikit tak menyangka dengan syarat terakhir dari Liu.
“Baik, mmm... syarat diterima.”
Liu bernafas lega, setidaknya ia bisa sedikit mengendalikan lelaki itu, pikirnya. Ternyata pandangan tentang perjodohannya bisa berubah hanya dalam waktu beberapa jam saja, benar-benar tidak berpendirian.
“Sekarang giliranmu, apa saja syaratmu?” tanya Liu, ia bahkan mengeluarkan ponsel untuk bersiap mencatat ucapan Jisung.
“Oh, syaratku hanya satu. Kamu harus tinggal bersamaku,” enteng Jisung.
Entah untuk yang keberapa kalinya malam itu, mata Liu dibuat terbelalak lagi oleh seorang Jung Jisung.
“O-oke, baiklah. Tapi selalu ingat syarat dariku, oke? Kita tidak berbagi ranjang, kan?” panik Liu.
“Tidak, tentu saja.”
“Baik, sekarang apa yang ingin kamu tahu tentang latar belakangku?”
Jisung kemudian bertanya satu persatu hal tentang latar belakang calon istrinya. Liu menjawab dengan patuh, meskipun kadang ada beberapa pertanyan yang tak masuk akal seperti jam berapa biasanya ia tidur dan parfum apa yang biasanya ia gunakan.
“Apa yang kamu lakukan? Cepat catat semua jawabanku,” saran Liu.
“Aku menyelesaikan sekolah menengah di usia sepuluh tahun, dan mendapat gelar doktor di usia dua puluh satu tahun. Semua ini benar-benar bukan apa-apa, aku sudah menghafalnya,” pamer Jisung.
“Lihat ini, dia baru saja menyombongkan kepintarannya, bukan? Sungguh si sombong yang menyebalkan. Kenapa julukannya CEO 1 Miliar Won? CEO Angkuh nan Sombong terdengar lebih cocok untuknya.”
“Oke, terserah, aku tidak peduli. Tapi kenapa kamu harus mewawancaraiku seperti ini? Lakukan saja seperti caramu kemarin-kemarin. Menggali latar belakangku lewat anak buahmu, bukankah itu lebih mudah?”
“Sudah, aku hanya ingin membandingkan jawabanmu dengan laporan dari sekretarisku saja. Dengan begitu, aku bisa menilai hasil kerjanya, bukan?”
Jawaban Jisung membuat suasana hening sesaat, lelaki itu kembali meneguk wine terakhirnya.
“Dasar CEO brengsek,” serang Liu kemudian, membuat Jisung tersedak wine mahalnya.
----
“Apa kamu pernah makan di Le Pre Michel?” tanya Liu pada Doyeon yang sedang duduk di cubicle kerjanya.“Kamu bercanda? Menyebut nama restoran itu saja aku tidak bisa. Dompetku tak akan mau dijak kesana, kenapa memangnya?”“Semalam aku dinner di sana.”Kalimat itu menghentikan aktivitas Doyeon yang langsung bangkit dan menuju cubicle Liu. Ia duduk di meja kerja Liu, memasang wajah sangat antusias.“Benarkah? Tidak mungkin kamu kesana atas kemauan sendiri, bukan? Dengan siapa?” cecar Doyeon penasaran.Liu masih menimang-nimang apakah ia akan bercerita pada Doyeon atau tidak. Pasalnya, ia belum mau memberitahukan tentang Jung Jisung pada sahabatnya itu. Ia juga belum siap ditanya macam-macam, karena ia bahkan masih belum tahu takdir apa yang sedang menunggu di balik perjodohan ini.“Kamu tahu harga makanan di sana? Semahal itu kah?” Liu justru mengalihkan pembicaraan.“Yan
Pukul enam sore, Liu akhirnya bisa terbebas dari berkas sidang yang benar-benar membuatnya pening. Jam pulang kantor memang pukul empat, tapi hampir tak ada pengacara yang pulang tepat waktu, termasuk Liu. Banyak sekali perkerjaan yang menumpuk, ia hanya ingin tidur dengan tenang tanpa terbebani pekerjaan yang belum kelar.Doyeon sudah pulang sejam sebelumnya, membuat Liu harus pulang sendirian. Biasanya, Liu akan naik bus kota atau taksi untuk pulang pergi. Dia memnag tidak suka menyetir mobil sendiri, lebih memilih menggunakan transportasi umum sekaligus untuk menikmati perjalannya sambil melepas lelah.Begitu ia keluar dari gedung, sebuah mobil tak biasa terhilat terparkir di pinggir jalan pu menarik perhatiannya.“Siapa dia? Berani-beraninya parkir mobil sembarangan di depan gedung pengadilan?” gumam Liu.Perempuan itu langsung mengeluarkan ponselnya untuk menelepon polisi lalu lintas yang bertugas menangani parkir sembarangan. Biasanya, m
Liu sedang menunggu Jung Jisung dan pengacaranya menyelesaikan dokumen. Ia masih duduk di sofa dengan perasaan campur aduk. Pikirannya melayang teringat pengakuan Jisung yang ternyata sudah memiliki kekasih, sesuatu yang benar-benar tidak ia duga. “Tunggu, aku kan bisa cari tahu,” gumam Liu yang langsung meraih ponselnya. Ia baru teringat ucapan Doyeon bahwa Jisung adalah BTSnya dunia industri yang rajin masuk portal berita. Dan benar saja, hanya dengan mengetikkan satu kata kunci yaitu “Jung Jisung”, ratusan headline artikel berita tentang lelaki itu langsung muncul memenuhi laman pencarian. Liu meneguk ludahnya, “Jadi benar dia se-terkenal ini?” ucapnya keheranan dengan mulut menganga. “APA?!” pekik Liu spontan saat membaca artikel teratas, ia langsung menutup mulutnya dengan tangan sambil melihat sekeliling. “Perempuan itu adalah Shin Minseo? Selebgram cantik dan sultan kaya raya yang diidolakan Dayeon?” ujar Liu yang kini setengah berbisik
Hening menyelimuti perjalanan Liu dan Jisung. Liu diam karena hatinya masih kesal dengan keadaan, sedangkan Jisung diam karena tak tahu harus berbuat apa. Mereka sama-sama melihat ke luar jendela dan memanjakan mata dengan lampu-lampu kota.“Maaf, destinasi kita kemana, Tuan?” tanya Sekretaris Choi yang kebingungan.“Diamond residence,” jawab Jisung singkat.Liu meneguk ludahnya sendiri saat tempat yang disebutkan Jung Jisung adalah apartemennya dan sang ibu. Untuk sesaat ia lupa bahwa lelaki di sampingnya itu sudah mengecek semua latar belakangnya, termasuk tempat tinggal tentunya.“Baik.”Sesampainya di tempat tujuan, Liu langsung keluar begitu mobil itu berhenti, tak berniat untuk berpamitan atau sekadar berbasa-basi. Ia langsung berjalan menjauh tanpa repot-repot menengok ke belakang.Tepat saat Sekretaris Choi menyalakan mesin mobilnya kembali, Jung Jisung tiba-tiba kembali keluar dari mobilnya, menyi
Liu membuka matanya dengan sangat berat, matanya kembali merapat saat cahaya menyilaukan menimpa retinanya. Cahaya dari matahari pagi yang menerobos masuk lewat sela-sela tirai di jendela kaca.“Dimana?” gumamnya pelan.“Di ruang perawatan rumah sakit, syukurlah sudah sadar,” sahut bayangan seorang laki-laki yang duduk di sofa di samping ranjang.Lelaki itu langsung mendekat ke arah Liu lalu mengecek infusnya.“Sekretaris Choi?” gumam Liu lagi usai pandangannya yang semula kabur menjadi semakin jelas.“Iya, saya diperintahkan untuk menemani anda sampai anda pulih,” balasnya.Alis Liu langsung mengkerut, ia kemudian berusaha untuk bangkit dan duduk, meskipun dengan bantuan Sekretaris Choi.“Perintah? Siapa yang memerintahkan?” tanya Liu yang sebetulnya sudah tahu jawaban dari pertanyaannya.“Siapa lagi? Tuan saya hanya satu, Tuan Jung Jisung,” jawab Sekretar
Liu terpaku selama beberapa saat sembari matanya sibuk menelisik dan otaknya sibuk berpikir keras.“K-kenapa lelaki itu ada di sana? Ji-Jisung?” gumamnya masih tak percaya.Ia yang sebelumnya ingin kabur untuk pergi ke ruangan ibunya pun urung, Liu akhirnya kembali ke kamarnya dan beroverthinking ria.“Kenapa? Sakit apa dia?”“Kenapa Sekretaris Choi berbohong padaku?”“Tunggu, apa jangan-jangan… ah tidak, jangan berpikiran aneh-aneh, Kim Liu!”Perempuan itu mengacak-acak rambutnya karena frustasi. Belum juga satu misteri tentang Jung Jisung terkuak, baru saja misteri baru muncul untuk membuatnya penasaran.“Lelaki macam apa kamu, Jung Jisung?” gumamnya lagi.---“Kembalilah ke Kim Liu, aku baik-baik saja,” ucap Jisung dengan tenang meskipun suaranya bahkan tergengar begetar.“Tidak, Tuan. Saya akan menunggu sampai suster itu kemba
Waktu hampir tengah hari, Liu yang ingin naik bus akhirnya memutuskan untuk naik taksi agar lebih cepat sampai ke pengadilan.Ia menyisir rambut dan merapikannya dengan jemarinya, beruntung setidaknya ia sudah keramas kemarin pagi. Baru kali ini ia pergi ke pengadilan dengan baju casual dan bahkan tanpa menggunakan make-up sedikitpun.“Argh… aku tidak punya ikat rambut pula. Kenapa aku juga tidak membawa make-up apapun,” gerutu Liu sambil menggeledah tas kecilnya.Di tasnya memang hanya terdapat dompet dan ponsel, ia pergi dalam keadaan super panik kemarin. Biasanya ia akan selalu menyiapkan setidaknya lipstick dan bedak atau cushion di tasnya.Tapi meskipun dengan wajah bare face sekalipun, Liu tetap cantik menawan. Sebelas dua belas dengan Irene Red Velvet, menurut teman-temannya. Karena Liu tak bisa melihat itu, ia sibuk insecure dengan semua hal tentang dirinya.Sesampainya di pengadilan, yang Liu lakukan hanya satu, yaitu me
“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanya Danny saat mendapati Doyeon sedang menguping dengan gelisah di depan ruangan Kepala Hong.Perempuan itu terlonjak kaget dengan kehadiran sahabatnya itu. Ia hanya ingin memastikan Liu baik-baik saja di dalam sana. Ia pun berjaga di luar ruangan sambil menempelkan telinganya ke pintu meskipun tak bisa mendengar apa-apa.“Sial, kamu mengagetkanku, Danny!”“Ah maaf, kamu sangat mencurigakan sekali, tahu? Minggir, aku ada keperluan dengan Kepala Hong terkait persidangan besok lusa,” balas Danny yang langsung menghentikan langkahnya saat Doyeon merentangkan kedua tangan di depannya.“Apa? Tidak, tunggu. Jangan masuk ke dalam, Liu sedang ada di dalam sana, aku khawatir karena sepertinya dia sedang tidak membawa akal sehatnya sekarang.”“Liu? Bukankah dia cuti karena sakit? Aku sudah menduga kalau dia akan marah karena kasus yang sudah dia kerjakan dilimpahka
Tangan Liu terasa nyeri karena Jung Jisung menariknya terlalu kencang, apalagi bekas luka infus di punggung tangannya bahkan masih basah.Saat lelaki itu agak kebingungan usai menjauh dari ruangan Kepala Hong, apalagi sebentar lagi koridor akan ramai dengan pegawai yang akan menghabiskan break time.“Saya akan mencarikan ruangan untuk anda, Tuan.” Sekretaris Choi pun menawarkan bantuannya.Namun belum sempat Sekretaris Choi pergi, Liu sudah menghentikannya.“Tidak perlu, ikut aku,” ucap Liu yang lebih terdengar seperti perintah.Pemandangan sudah berbalik, kini gantian Liu yang menarik pergelangan tangan Jung Jisung dan membawanya berbelok ke arah lift, membuat lelaki itu terkejut dengan tindakan Liu. Hanya satu tujuannya, tempat di mana tak ada mata dan telinga lain yang mengindera mereka, rooftop.Pikiran Liu masih agak kacau usai mendapat pelecehan verbal dari Kepala Hong beberapa saat yang lalu, begitu pula dengan
“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanya Danny saat mendapati Doyeon sedang menguping dengan gelisah di depan ruangan Kepala Hong.Perempuan itu terlonjak kaget dengan kehadiran sahabatnya itu. Ia hanya ingin memastikan Liu baik-baik saja di dalam sana. Ia pun berjaga di luar ruangan sambil menempelkan telinganya ke pintu meskipun tak bisa mendengar apa-apa.“Sial, kamu mengagetkanku, Danny!”“Ah maaf, kamu sangat mencurigakan sekali, tahu? Minggir, aku ada keperluan dengan Kepala Hong terkait persidangan besok lusa,” balas Danny yang langsung menghentikan langkahnya saat Doyeon merentangkan kedua tangan di depannya.“Apa? Tidak, tunggu. Jangan masuk ke dalam, Liu sedang ada di dalam sana, aku khawatir karena sepertinya dia sedang tidak membawa akal sehatnya sekarang.”“Liu? Bukankah dia cuti karena sakit? Aku sudah menduga kalau dia akan marah karena kasus yang sudah dia kerjakan dilimpahka
Waktu hampir tengah hari, Liu yang ingin naik bus akhirnya memutuskan untuk naik taksi agar lebih cepat sampai ke pengadilan.Ia menyisir rambut dan merapikannya dengan jemarinya, beruntung setidaknya ia sudah keramas kemarin pagi. Baru kali ini ia pergi ke pengadilan dengan baju casual dan bahkan tanpa menggunakan make-up sedikitpun.“Argh… aku tidak punya ikat rambut pula. Kenapa aku juga tidak membawa make-up apapun,” gerutu Liu sambil menggeledah tas kecilnya.Di tasnya memang hanya terdapat dompet dan ponsel, ia pergi dalam keadaan super panik kemarin. Biasanya ia akan selalu menyiapkan setidaknya lipstick dan bedak atau cushion di tasnya.Tapi meskipun dengan wajah bare face sekalipun, Liu tetap cantik menawan. Sebelas dua belas dengan Irene Red Velvet, menurut teman-temannya. Karena Liu tak bisa melihat itu, ia sibuk insecure dengan semua hal tentang dirinya.Sesampainya di pengadilan, yang Liu lakukan hanya satu, yaitu me
Liu terpaku selama beberapa saat sembari matanya sibuk menelisik dan otaknya sibuk berpikir keras.“K-kenapa lelaki itu ada di sana? Ji-Jisung?” gumamnya masih tak percaya.Ia yang sebelumnya ingin kabur untuk pergi ke ruangan ibunya pun urung, Liu akhirnya kembali ke kamarnya dan beroverthinking ria.“Kenapa? Sakit apa dia?”“Kenapa Sekretaris Choi berbohong padaku?”“Tunggu, apa jangan-jangan… ah tidak, jangan berpikiran aneh-aneh, Kim Liu!”Perempuan itu mengacak-acak rambutnya karena frustasi. Belum juga satu misteri tentang Jung Jisung terkuak, baru saja misteri baru muncul untuk membuatnya penasaran.“Lelaki macam apa kamu, Jung Jisung?” gumamnya lagi.---“Kembalilah ke Kim Liu, aku baik-baik saja,” ucap Jisung dengan tenang meskipun suaranya bahkan tergengar begetar.“Tidak, Tuan. Saya akan menunggu sampai suster itu kemba
Liu membuka matanya dengan sangat berat, matanya kembali merapat saat cahaya menyilaukan menimpa retinanya. Cahaya dari matahari pagi yang menerobos masuk lewat sela-sela tirai di jendela kaca.“Dimana?” gumamnya pelan.“Di ruang perawatan rumah sakit, syukurlah sudah sadar,” sahut bayangan seorang laki-laki yang duduk di sofa di samping ranjang.Lelaki itu langsung mendekat ke arah Liu lalu mengecek infusnya.“Sekretaris Choi?” gumam Liu lagi usai pandangannya yang semula kabur menjadi semakin jelas.“Iya, saya diperintahkan untuk menemani anda sampai anda pulih,” balasnya.Alis Liu langsung mengkerut, ia kemudian berusaha untuk bangkit dan duduk, meskipun dengan bantuan Sekretaris Choi.“Perintah? Siapa yang memerintahkan?” tanya Liu yang sebetulnya sudah tahu jawaban dari pertanyaannya.“Siapa lagi? Tuan saya hanya satu, Tuan Jung Jisung,” jawab Sekretar
Hening menyelimuti perjalanan Liu dan Jisung. Liu diam karena hatinya masih kesal dengan keadaan, sedangkan Jisung diam karena tak tahu harus berbuat apa. Mereka sama-sama melihat ke luar jendela dan memanjakan mata dengan lampu-lampu kota.“Maaf, destinasi kita kemana, Tuan?” tanya Sekretaris Choi yang kebingungan.“Diamond residence,” jawab Jisung singkat.Liu meneguk ludahnya sendiri saat tempat yang disebutkan Jung Jisung adalah apartemennya dan sang ibu. Untuk sesaat ia lupa bahwa lelaki di sampingnya itu sudah mengecek semua latar belakangnya, termasuk tempat tinggal tentunya.“Baik.”Sesampainya di tempat tujuan, Liu langsung keluar begitu mobil itu berhenti, tak berniat untuk berpamitan atau sekadar berbasa-basi. Ia langsung berjalan menjauh tanpa repot-repot menengok ke belakang.Tepat saat Sekretaris Choi menyalakan mesin mobilnya kembali, Jung Jisung tiba-tiba kembali keluar dari mobilnya, menyi
Liu sedang menunggu Jung Jisung dan pengacaranya menyelesaikan dokumen. Ia masih duduk di sofa dengan perasaan campur aduk. Pikirannya melayang teringat pengakuan Jisung yang ternyata sudah memiliki kekasih, sesuatu yang benar-benar tidak ia duga. “Tunggu, aku kan bisa cari tahu,” gumam Liu yang langsung meraih ponselnya. Ia baru teringat ucapan Doyeon bahwa Jisung adalah BTSnya dunia industri yang rajin masuk portal berita. Dan benar saja, hanya dengan mengetikkan satu kata kunci yaitu “Jung Jisung”, ratusan headline artikel berita tentang lelaki itu langsung muncul memenuhi laman pencarian. Liu meneguk ludahnya, “Jadi benar dia se-terkenal ini?” ucapnya keheranan dengan mulut menganga. “APA?!” pekik Liu spontan saat membaca artikel teratas, ia langsung menutup mulutnya dengan tangan sambil melihat sekeliling. “Perempuan itu adalah Shin Minseo? Selebgram cantik dan sultan kaya raya yang diidolakan Dayeon?” ujar Liu yang kini setengah berbisik
Pukul enam sore, Liu akhirnya bisa terbebas dari berkas sidang yang benar-benar membuatnya pening. Jam pulang kantor memang pukul empat, tapi hampir tak ada pengacara yang pulang tepat waktu, termasuk Liu. Banyak sekali perkerjaan yang menumpuk, ia hanya ingin tidur dengan tenang tanpa terbebani pekerjaan yang belum kelar.Doyeon sudah pulang sejam sebelumnya, membuat Liu harus pulang sendirian. Biasanya, Liu akan naik bus kota atau taksi untuk pulang pergi. Dia memnag tidak suka menyetir mobil sendiri, lebih memilih menggunakan transportasi umum sekaligus untuk menikmati perjalannya sambil melepas lelah.Begitu ia keluar dari gedung, sebuah mobil tak biasa terhilat terparkir di pinggir jalan pu menarik perhatiannya.“Siapa dia? Berani-beraninya parkir mobil sembarangan di depan gedung pengadilan?” gumam Liu.Perempuan itu langsung mengeluarkan ponselnya untuk menelepon polisi lalu lintas yang bertugas menangani parkir sembarangan. Biasanya, m
“Apa kamu pernah makan di Le Pre Michel?” tanya Liu pada Doyeon yang sedang duduk di cubicle kerjanya.“Kamu bercanda? Menyebut nama restoran itu saja aku tidak bisa. Dompetku tak akan mau dijak kesana, kenapa memangnya?”“Semalam aku dinner di sana.”Kalimat itu menghentikan aktivitas Doyeon yang langsung bangkit dan menuju cubicle Liu. Ia duduk di meja kerja Liu, memasang wajah sangat antusias.“Benarkah? Tidak mungkin kamu kesana atas kemauan sendiri, bukan? Dengan siapa?” cecar Doyeon penasaran.Liu masih menimang-nimang apakah ia akan bercerita pada Doyeon atau tidak. Pasalnya, ia belum mau memberitahukan tentang Jung Jisung pada sahabatnya itu. Ia juga belum siap ditanya macam-macam, karena ia bahkan masih belum tahu takdir apa yang sedang menunggu di balik perjodohan ini.“Kamu tahu harga makanan di sana? Semahal itu kah?” Liu justru mengalihkan pembicaraan.“Yan