“Tolonglah, Indah, kalau ke kantor aku males banget ada bunganya. Kalau sama kamu, kan, nggak,” rengeknya lagi. “Kali ini nggak bisa, Vi, uangku juga habis buat ongkos bolak-balik sama makan di desa.” Aku berbohong, biar sajalah. Aku lanjut menarik baju, eh, ini punya Tante Nora, kenapa bisa aku bawa ya? Aku keluarkan semuanya dan detik itu juga aku serta Silvi terbelalak. Ada tumpukan uang merah yang berjatuhan. Aku hitung ada satu, dua, tiga, empat, lima. Gila aja lima puluh juta. Ini uang siapa? “Tuh, ada uangnya, Indah. Aku pinjam dikit aja, loh, pleease, Indah, gajian aku balikin, suer,” desak Silvi lagi. Terus perutnya berbunyi keroncongan. Inilah aku yang gampang kasihan dengan orang. Ya sudah dari tumpukan uang lima puluh juta itu aku tarik saja satu juta dan berikan padanya. Silvi sangat senang bahkan mencium tanganku. “Eh, Indah. Kalau kamu kesepian sama susah habis ditinggal Bang Angga, nanti aku kenalin deh sama cowok lain. Aku ngerti, kok, kalian udah ngapain aja.” S
Mayat Selvi sudah dievakuasi oleh pihak kepolisian untuk selanjutnya divisum dan dicari penyebab kematiannya. Tentu saja aku diminta keterangan karena jelas sekali aku orang terakhir yang dia ajak bicara sebelum meregang nyawa. Aku menjawab ala kadarnya saja. Selvi bilang tumbal, aku katakan sama persis tanpa ditambah dan dikurangi lagi. “Mbak Indah mungkin tahu kalau Mbak Selvi ada ikut ritual atau sekte tertentu?” tanya polisi padaku. “Soal itu saya nggak tahu, Pak.” Itu saja jawabanku, tidak mengada-ngada. Ih, ngeri juga kalau Selvi jadi ikut ritual sesat. Sudah tahu hidup banyak dosa malah nambah-nambahin dosa lagi. Kamar Selvi akhirnya diberi garis kuning kepolisian. Aku masuk ke kamar dan melihat tumpukan uang pemberian Om Andi yang masih sisa 49 juta. Tidak tahu akan aku apakan. Ya sudah biarkan saja tersimpan di sana. Uang pribadiku bahkan uang sisa tabunganku dengan Bang Angga masih ada sampai sekarang. Untuk beberapa hari ke depan, minggu, bulan, bahkan mungkin tahun, ra
“Abang nggak ngerti cara berpikir Indah ini bagaimana? Nikah sirri nggak mau, tapi zinah mau. Kamu pernah berpikir nggak, berapa banyak dosa yang kita buat, Indah? Nggak mau berhenti? Apa kamu nggak ingat mati?” “Halah, Bang, serius amat mikirnya. Santai kenapa, sih. Indah di sini nggak ke mana-mana. Selalu siap kapan pun Abang mau. Dosa, kan, bisa tobat nanti, pas udah tua. Atau deket-deket kita nikah.” Seperti biasa rayuanku selalu berhasil meluluhkan hatinya. Kami melewati hari-hari sebagai pacar dari hari menjadi minggu, bulan, dan tahun. Seperti pengakuanku pada Om Andi, kalau tidak seminggu tiga kali, ya dua kali. Yang jelas kami tidak pernah absen soal kebersamaan. Justru semakin sering bersama semakin besar rasa cintaku padanya. Begitu juga Bang Angga. Dia pernah bilang sangat takut meninggalkanku. Entah takut apa aku tidak tahu. “Sudah terlalu lama, Indah, sudah masuk lima tahun kita pacaran. Kita menikah, ya, keuangan Abang sudah stabil,” ucapnya ketika ulang tahunku. “O
Tiga minggu sudah aku di sini, sejak kembali dari rumah Om Andi. Dia tidak pernah lagi menghubungiku termasuk juga mengirimkan pesan. Aku tidak punya tempat berbagi cerita sejak ditinggal Bang Angga. Hidupku benar-benar kesepian. Berkali-kali aku memandang ponsel, berharap beliau menghubungiku. Aku tahu ini gila, tapi apa daya, rasa yang datang tanpa bisa dicegah sama sekali. Mungkin ini tabu, tapi bukankah aku dan Bang Angga tidak sempat menikah. Bahkan aku dan Om Andi pernah … ya begitulah. Artinya memang benar yang dikatakan calon mertuaku. Aku seperti pelacur, hanya saja aku mengambil pelanggan tetap dan tak mau berpindah-pindah. “Lucu juga, ya, jalan hidup kita kalau dipikir-pikir.” Aku istirahat siang di kantin bersama Kimmi. Kami makan nasi ramas dengan lauk sampai tiga macam tapi sedikit nasi. “Ya, gitu, deh, namanya hidup ini pilihan, tergantung kita mau ambil yang mana, semua ada pertanggung jawaban.” Kimmi—temanku, kadang-kadang dia bijak, kadang juga kesurupan. Beda ka
“Nora.” Suara yang sudah lama nggak aku denger. Ya, nggak lama juga, sih, menyebut namaku dengan penuh ketegasan. Aku menoleh dan melihatnya ada di luar kos-kosanku. Lekas aku menyambutnya. Iya, dia bukan orang lain. Dia adalah calon mertua yang aku sayangi dan kami sudah melampaui batas serta tidur bersama layaknya suami istri. Gila. Udahlah, nggak usah dibilang berkali-kali. “Om,” jawabku sambil tersenyum lebar. Ingin aku memeluknya, tapi di sini terlalu banyak orang. “Apa kabar kamu?” tanyanya sambil mengembuskan asap rokok. Aslinya aku tidak suka lelaki merokok, tapi apa mau dikata. Sudah telanjur terbuai. Ya sudah terima saja semuanya.“Indah baik, Om. Om sendiri gimana? Kok, bisa sampai di sini?” Aku memainkan tangan saking gugupnya. “Memangnya kenapa? Tidak boleh? Atau ada yang marah kalau Om mengunjungi kamu?”“Nggak, kok, Om. Nggak sama sekali. Cuman, kan, katanya kemarin lebih suka mendekam di kampung. Terus tiba-tiba aja ke sini. Ya, Indah kaget.”“Tapi senang, Om ke
Terlalu jauh kalau harus ke hotel, apalagi mencari rumah sewa. Apa gunanya kos-kosan itu aku bayar mahal setiap bulannya. Selain privasi terjaga, juga nggak ada yang peduli siapa yang dibawa ke dalam kamar. Asal nggak mengusik penghuni sebelah aja deh. “Ke kos-kosan, Indah, aja, Om.” Gantian aku yang memegang tangannya. “Yakin, Nora? Apa tidak terlalu berbahaya. Setahu Om kosan itu ramai, seperti kata Angga dulu.” “Kosan Indah beda, Om. Buktinya Indah sama Bang Angga sudah lima tahun di sana. Nggak pernah ada yang peduli.” “Oh, begitu.” Om Andi mengikuti ke mana aku pergi. Dia melihat ke kiri dan kanan. Memang benar kota di sini sangat ramai daripada Desa Sagu yang sepi. Tapi tak sesepi hatiku yang baru sebentar tak berjumpa dengan Om Andi. Sampai juga kami berdua di depan kamar. Perhatian Om Andi tertuju pada kamar sebelah yang masih ada sisa-sisa garis kuning kepolisian. “Itu, tetangga tewas mengenaskan, Om. Padahal malamnya baru pinjem uang makan sama Indah. Dikasih, eh, bes
Pagi harinya, aku bangun agak lambat. Sebabnya apa lagi kalau bukan gara-gara Om Andi. Ya, aku mengeluarkan semua tenaga hanya untuk meladeni hasrat gilanya. Aku nggak menyangka sama sekali kalau ternyata di umur kepala enam dia sangat gagah. Yang nota benenya kebanyakan lelaki sudah mulai stroke atau mati. Yang satu ini beneran berbeda sampai membuatku kesakitan ketika berjalan. Sialnya cerita cinta kami tadi malam menimbulkan bekas. Tepatnya di bagian leher yang warnanya sampai kemerahan. Sialanya lagi bajuku tinggal blouse berleher pendek. Oh, tidak bisa dibiarkan. Bisa-bisa aku diledekin sama Kimmi. Cepat aku ambil syal dan menutupi tanda merah di leher. Selesai, tinggal berangkat kerja walau nggak sempat sarapan. *** “Cieeeh, yang senyum-senyum sendiri dari tadi. Ada apaan, sih? Dapat gebetan baru, ya?” Kimmi memergokiku yang tengah melamunkan Om Andi. “Mau tahu aja, sih, urusin laporan, tuh, udah selesai belom.” Kemudian aku memberikan berkas kerjaku padanya. “Eits, apaan
“Indah, Om Andi merokok nggak?” Kimmi sepertinya masih penasaran banget sama sosok teman tidurku yang baru. “Dikit,” aku jawab saja apa adanya. “Kok mau? Dulu sama Bang Angga harus nggak boleh merokok sama sekali?” Alisnya naik sebelah. Kekepoan Kimmi udah sampai tahap akut luar biasa. “Ya, namanya juga cinta. Ada sensasi dikit ternyata kalau bibir lakik pernah merokok. Rasanya, gimana gitu, ya.” Aku bergidik ngeri. Bisa-bisanya aku berbicara mesum seperti ini. “Kalian itu lagi dimabuk cinta, nanti kalau cintanya udah hilang juga baru tahu kalau kalian itu salah. Dua bucin yang seharusnya jad ayah dan anak. Tapi takdir membuat kalian jadi teman satu selimut. Tanpa pernikahan, tanpa ada kepastian, tanpa ada komitmen. Awas bunting loh, Indah.”“Tenang aja, aku udah pakai pengaman, kok.” “Ya, bisa aja, kan tembus, jadi deh tu bayi. Kayak nggak tahu aja udah sering ada kebobolan.” “Aku beli pengaman yang mahal, top cer dengan tinggal kegagalan satu persen aja.” “Dan satu persennya
Akhirnya aku bisa bebas dari penggunaan obat anti depresan. Dua tahun ketergantungan malah membuatku semakin mendalami perasaan bersalah. Tapi, sengaja aku tinggalkan satu butir untuk jaga-jaga. Andaikata dia datang lagi dalam ingatanku yang terlalu jauh. Seiring berjalannya waktu penampakan Om Andi mulai jarang muncul. Mungkin karena keinginanku yang begitu kokoh untuk melupakannya. Adrian pula kini sudah besar, sudah mulai masuk sekolah dasar. Sesekali dia bertemu dengan omnya kalau Anton ada perjalanan ke kotaku. “Nggak ada rencana menikah gitu, Kak?” Widuri duduk di rumah makan milikku. Aku tersenyum melihatnya. “Untuk apa juga? Adrian sudah bahagia dengan menganggap kakek dan neneknya sebagai kedua orang tuanya.” Aku menyediakan teh hangat untuk Widuri yang menunggu kedatangan Anton. Anak Om Andi itu membawa Adrian juga dua anaknya pergi membeli camilan. “Sampai kapan, Kak? Gimanapun Kakak itu mamanya Adrian, loh. Nggak boleh kenyataan ditutupi terlalu lama.” “Mungkin dia ag
Aku di sini. Masih di rumah orang tuaku. Aku tidak pergi ke mana-mana, karena tak punya rumah lain untuk kembali. Tepatnya setelah ke luar dari rumah sakit jiwa. Iya, dua tahun lamanya aku mendekam di sana. Bagaimana tidak? Ternyata perbuatan dosa yang aku lakukan selama bertahun-tahun membuahkan hasil yang sangat menyakitkan. Dua tahun di rumah sakit jiwa, aku sering melihat penampakan Bang Angga terkadang juga Om Andi. Iya, aku ingat semua kejadian. Hanya saja aku tidak bisa mengendalikan diri ketika harus menjerit, menangis atau tertawa. Aku tahu Om Andi sudah mati. Aku lihat mayatnya di dalam kantong jenazah. Tapi hati kecilku menolak, karena anak di dalam kandunganku butuh ayahnya.“Adrian, sini, Nak, Kakak bawa mobil-mobilan.” Adrian, nama anakku buah hasil hubungan terlarang bersamanya. Umurnya sudah empat tahun. Dia tumbuh menjadi anak lelaki yang ganteng, mirip seperti ayahnya yang tidak pernah menikahiku. Warga di sini tahunya kalau Adrian anak bungsu mamaku. Ya, sebuah
Kami bertiga menatap Kak Indah dengan rasa iba. Padahal baru beberapa hari dia ditinggal oleh Ayah. Sudah persis, tepatnya aku tebak Kak Indah memang jadi gila.“Om, nanti kita punya anak, Om, harus baik-baik sama anak sendiri.” Begitu kata Kak Indah.“Macem manelah. Akibat bermain hati ditambah berzinah. Rosak sudah akal dan pikiran,” ucap Bang Dani. Dia pun pamit pulang.“Akan kau bawa juga Kak Indah pulang, dengan keadaan dia macam orang tak ade akal?” tanya Bang Rizal yang membawa berkas surat tanah ayahku. “Iyalah, Bang, gimanapun saya udah janji sama kedua orang tuanya. Oh, iya, Bang, hutang rumah sakit tidak usah dibayar lagi. Juga uang hasil jual tanah Ayah nanti ambillah secukupnya untuk memperbaiki kehidupan Abang. Anggap saja balas budi dari saya karena Abang telah membebaskan kami dari cengkeraman ilmu hitam.” Hal itu tadi lupa aku katakan padanya. “Terima kasih, Anton, dah dianggap lunas hutang rumah sakit saya sudah senang. Masalah uang tanah nanti saya serahkan semue
Aku tidak tahu apa jadinya kalau Bang Rizal dan Bang Dani tidak datang menolongku. Tubuhku sudah terlilit akar pohon getah. Sejak mereka datang langsung saja tanpa basa basi membabat akar tanaman yang melilitku. Selanjutnya mereka menyiramkan pohon rambutan dengan air doa yang diberikan oleh seorang guru. Aroma busuk dan anyir darah seketika menguar. Tawa seorang wanita tua jadi semakin memekakkan telinga. Bang Dani langsung bergerak cepat memotong dahan pohon rambutan dengan parang panjang yang dia bawa. Bang Rizal datang menolong mematahkan apa yang bisa dipatahkan. Aku sendiri masih terduduk lemas akibat hantaman di kepala tadi. Ada kepala yang terbang ke arah mereka berdua. Dengan tertatih aku bergerak. Aku ambil batang kayu rambutan yang telah patah bercabang dan terpaksa menusuk kepala itu dengan kayu. Ya, mengerikan sekali, kepala tersangkut di kayu dan tak bisa lagi terbang. Aku membantu Bang Rizal dan Dani menumbangkan pohon rambutan itu. Batangnya yang sudah berusia sang
Bang Rizal membawaku berlari, sesekali dia menengok ke belakang. Tak lama sesduah itu Dani menyusul. Di tangannya aku lihat ada pisau panjang dan tajam. Persis seperti yang sering dibawa Om Andi kalau sedang ke kebun, katanya. “Ayo, lekas kite cari di mane pohon rambutan tu.” Dani berlari lebih kencang dari pada kami. Aku menoleh lagi dan melihat ke arah rumah Om Andi. Dia terkurung di sana. Di lantai dua ragam makhluk jadi-jadian dan menyeramkan seolah-olah berkumpul dan ingin lepas dari sana. Kami bertiga akhirnya masuk ke dalam hutan yang kata Dani adalah milik atuknya dulu.“Ini jejak ape?” Bang Rizal melihat ke arah jalan masuk di dalam hutan karet. Untung mereka berdua membawa senter. Aku perhatikan ada jejak darah agak kering dan ada yang segar di tanah. Juga seperti ada benda yang diseret. Dari daun-daunan kering yang menyingkir membentuk jalan setapak.“Ape Anton agaknye yang di dalam sane?” Bang Rizal menatap wajah Bang Dani.Setelah itu keduanya langsung berjalan mengik
Aku hanya bisa berharap satu hal, yaitu Anton baik-baik saja. Bukan tidak mungkin Om Andi membunuhnya. Aku … anggap saja sangat memahami calon mertuaku walau baru beberapa bulan kenal. Lalu masalah anak dalam kandunganku? Aku akan jujur pada Mama dan Papa, lalu menerima apa pun hukuman dari mereka. Huuuft, angin dingin di malam hari begitu kencang berhembus. Pemilik kedai menawarkan padaku untuk masuk, tapi aku sangat takut ke dalam rumah orang asing lagi. Cukuplah pengalaman dengan Om Andi aku jadikan pelajaran. “Nah, minum teh hangat ni kalau memang tak nak masuk ke rumah.” Ibu pemilik kedai memberikan segelas teh besar padaku. Aku yang memang lapar dan haus lekas saja meminumnya. Rasanya tenggorokanku lega. “Ibu, ada jual makanan nggak. Kalau ada saya mau pesan?” tanyaku padanya.“Mi rebus, mi goreng, nak yang mane?” “Mi rebus,” jawabku. Aslinya aku kurang suka makan-makanan serba instan, tapi apa daya aku tidak punya pilihan lain. Mi rebus datang dengan telur rebus matang dan
Sambil menunggu kedatangan Bang Rizal serta Dani aku menanyakan beberapa hal pada Kak Indah. Salah satunya nasib anak dalam kandungannya yang tak lain tak bukan tetap adik kandungku. Di usia hampir kepala tiga dapat adik bayi itu adalah hal yang lucu bagiku. Apalagi jalannya sedemikian rupa. “Ya, dilahirin, dibesarin, biar nggak seperti kedua orang tuanya,” jawab Kak Indah sambil mengelus perutnya. “Oh. Terus, ada rencana menikah lagi?” tanyaku penasaran. Model perempuan seperti Kak Indah, agak susah ditebak jalan hidupnya. Bukan lurus-lurus seperti Widuri yang kegiatannya pulang, kerja, pulang, kerja saja. “Nggak, deh, udahan aja. Kalau hanya demi nafsu nggak mau. Pokoknya udah end semua urusan tentang laki-laki. Ketemu sama ayah kamu adalah pelajaran sangat berharga bagi Kakak.”Ya, itu kata dia. Padahal aku yakin juga Bang Angga dan Ayah ketemu Kak Indah juga mendapat pelajaran yang sangat berharga. Lama sekali dua abang ini kembali. Akhirnya aku memutuskan jalan duluan ke rum
Aku duduk di kursi yang ada di dekat kamar ayah. Sembari menunggu dua sejoli ini keluar. Tak lama selang beberapa menit saja Indah terisak dengan air mata yang berlinang, disusul Ayah.Kak Indah melaluiku begitu saja. Dia seperti kecewa denganku. Ya, aku juga bingung harus bersikap apa. Yang satu ayahku, yang satu lagi tidak ada kaitan apa-apa denganku. “Anton, dari mana?” tanya ayahku dengan hanya menggunakan handuk saja. Beliau sudah tidak ada malu lagi berbuat dosa di depan anaknya.“Dari rumah sakit. Menemani Bang Rizal sama Dani. Istrinya tiba-tiba muntah darah,” jawabku.“Oh. Bilang dengan mereka, jangan terlalu usil sama urusan orang lain. Jangan usik ketenangan orang di sini.” Ayah pergi ke dapur dan menenggak segelas air putih. “Apa Ayah penyebab istri keduanya sakit?” Aku jadi berpikir bahwa tuduhan Dani adalah benar. “Kalau iya kenapa, kalau tidak kenapa? Jangan mereka pikir mereka kuat. Ayah jauh lebih kuat,” ujar Ayah dengan bangganya. “Ayah!” Aku sudah tidak tahan la
Dua orang istri dari Bang Rizal dan Bang Dani telah dibawa ke ruang UGD. Kami bertiga menunggu di luar. Aku menepati janji mengurus administrasi saudara jauhku, sebab aku tahu uangnya di kantong mungkin tidak banyak. “Dah, tak ape. Untuk Rizal biar saye saje yang bayarkan.” Bang Dani mencegahku menangani pembiayaan. “Nggak apa-apa, saya sudah janji.” Aku harus menjaga ucapanku. “Saye takutnye uang itu ade sangkut pautnya dengan Pak Cik Andi. Bang Rizal nanti bisa jadi korban. Saye butuh Bang Rizal untuk melanjutkan pembangunan pesantren.” Ucapan Bang Dani melukai harga diriku. Tanpa sadar aku membanting pena di depan perawat yang sedang menanti tanda tangan kami. Aku menatap matanya, pun dengan dia. Kami sama-sama berkeras. Uang ini adalah murni uang hasil kerjaku. “Sudah, sudah. Begini, Bang Dani, saye dah sepakat untuk pinjam uang Anton, tak payahlah Abang bayarkan.” Bang Rizal melerai kami. Sesaat setelahnya kami sama-sama menarik napas.Kami menunggu hingga kedua istri dikel