Aku bisa merasakan tubuhku melayang. Bukan terbang sebenarnya, melainkan ada yang mengangkatku sampai ke atas ranjang. Sudah jelas sekali pelakunya Om Andi. Aku tidak bisa melawan, tubuhku lemas. Asap tipis dari bukhor itu membuatku tak bisa bergerak sama sekali. Bahkan hanya untuk berbicara pun sulit. Tanganku mengarah pada Om Andi ketika dia mulai membuak kaus kaki tipis warna cokelat yang aku gunakan. Aku ingin bilang padanya agar tunggu sebentar. Bisa tidak ditunda dulu karena rasanya aku lemas sekali tanpa tenaga. Nyatanya, Om Andi terus melepas semua penutup tubuhku. Aku tak berdaya untuk mencegah. Jujur saja dari dalam hati aku merasa asap bukhor itu membuatku tunduk sedemikian rupa. Ketika ingin menjerit aku tak bisa mengupayakan apa pun. Jangan. Rasanya aku ingin berterik seperti itu sama Om Andi. Kali ini dia sedikit kasar dan beringas. Seperti drakula yang menghisap darah di leher korbannya. Sakit, benar-benar sakit. Tapi tanganku tak bisa mencegah karena dipegang erat
Aku udah pulang, pagi-pagi buta dari hotel tempat Om Andi menginap. Nggak menunggu waktu lama buatku untuk bersiap-siap pergi ke kantor. Sebelumnya aku berhenti di tempat dulu aku sama Bang Angga sering sarapan berdua. “Sendiri aja, Neng, pacarnya mana?” tanya tukang nasi uduk yang udah lama aku nggak ke sini. “Udah meninggal, Bu.” Sekarang aku jawabnya biasa aja. Nggak terlalu terbawa perasaan seperti dulu. Ya, karena udah ada penggantinya mungkin. “Hah, kapan?” Kan, ditanyain lagi. Sebenernya aku males, tapi nggak enak kalau nggak dijawab. “Udah sekitar satu bulan lebih yang lalu.” “Karena?” “Sakit, tipes.” Aku jawab asal aja. Males merembet ke sana ke sini. Selesai sarapan aku langsung berhentikan taksi menuju ke kantor. Akhir-akhir ini pengeluaranku bengkak banget. Transportasi salah satu alasannya. Nggak ada yang antar jemput lagi. Uang dari Om Andi aku pakai bayar. Aku belum kepikiran untuk beli mobil, males, kena macet. Motor juga aku nggak pinter bawanya. Dari dulu aku
Aku pulang, tepatnya dipulangkan karena sampai istirahat makan siang keadaanku nggak juga membaik. Inginnya aku ke hotel tempat Om Andi, tapi nanti nggak bisa istirahat atau jadi mengganggu istirahatnya. Aku putuskan pulang ke kosan.Mana perut laper dan kateringan datangnya sore. Aku memutuskan masak mi instan daripada nggak ada yang bisa mengisi perut. Sayangnya, pas mi itu mateng, aku seperti melihat ada cacing-cacing bergerak banyak banget. Huueks! Aku buang mi instan di tong sampah semuanya. Sebenarnya aku ini sakit apa, ya? Apa mungkin hamil? Ah, yang bener aja, sih. Oke, aku harus tetap tenang. Walau kata Kimmy bisa aja 1% nya itu aku, tapi aku nggak boleh mikir yang aneh-aneh. Test pack, benda yang aku cari. Benda yang dulu sering aku pakai waktu masih sama Bang Angga. Nggak peduli mau uji coba pagi, siang, malam, hasilnya akurat karena harga yang mahal. Aku coba, aku tunggu sekian menit dan hasilnya sesuai dugaanku, negatif. Syukur deh, aku lagi belum mau punya anak. Teru
Mungkin karena lapar, jadi makanan Korea di depan mataku cepat habis. Om Andi makan sedikit saja, katanya untuk menghilangkan penasaran dengan rasa masakan luar negeri. Sisanya aku yang disuruh menghabiskan. “Nanti Indah jadi gemuk, Om,” ucapku padanya. “Tidak akan mungkin makan dalam satu malam terus berat badan kamu naiknya sampai 10 kilo, bukan? Makan saja kalau kurang tambah lagi. Jangan takut, seperti biasa, Om yang bayar semuanya.” Baiklah karena kata calon mertuaku juga masuk akal, semua hidangan di piring dan mangkuk aku habiskan. Terakhir aku minum kuah sup sampai angkat mangkuknya. Aku nggak peduli ada yang bilang kampungan atau nggak. Om Andi hanya tersenyum saja melihat tingkahku. Salah dia sendiri. Aku tanya dia cinta padaku atau tidak, tak mau Om menjawabku sampai sekarang. “Minum.” Lelaki yang dulunya calon mertuaku menawarkan soju. Aku mengangguk saja, mungkin kalau segelas dua gelas aku nggak akan mabuk. Kalau mabuk juga mau ngapain? Paling dibawa Om ke kamar ho
Kami pulang berdua, belum tahu akan menginap ke mana. Tapi waktu diajak ke hotel, aku iyain aja semua kata Om Andi. Lagian di kos sendirian, sepi banget rasanya. “Kalau kamu mau pindah saja ke hotel selama Om ada di sini, bagaimana?” tawarnya padaku. Aku lihat mata supir taksi melirik dari spion. Mungkin pikirannya kami ini sugar daddy dan babby. Agak sedikit mirip memang. “Emang rencana Om, berapa lama di sini? Biaya sehari tinggal di hotel itu mahal loh, Om.” Iya, aku pikir-pikir kok Om Andi kayak golongan sultan dari Arab sana. Padahal rumah di kampungnya kayu, motor butut, mobil nggak ada. “Satu minggu saja, tidak lama lagi Om akan pulang.” Mendengar perkataannya aku langsung melepaskan tangan Om Andi. Satu minggu sudah berjalan tiga hari, berarti empat hari lagi donk. “Kenapa nggak sebulan aja, Om. Uang, Om, kan banyak?”“Kalau kamu mau, ikut Om saja ke kampung dan tinggalkan semua yang ada di kota. Semuanya termasuk orang tua kamu.” Degh! Hatiku memanas mendengarnya. Supi
Aku sudah kembali bekerja. Pertanyaan Om Andi tadi malam nggak aku jawab sama sekali. Aku inginnya ikut, tapi aku juga punya tanggung jawab di sini. “Tumben, mukanya kusut gitu. Pasti tadi malam nggak dapat jatah dari sesekakek itu, kan?” Masih seperti biasa, Kimmi mewarnai hari-hariku dengan kejulidannya. “Nggak, kok, emang lagi pengen diem aja. Ayok, rapat entar lagi mulai.” Aku membereskan semua berkas yang harus dibawa untuk presentasi. Di sini aku duduk, di tempat biasanya. Dulu, di kursi barisan depan, Bang Angga akan duduk di sana. Iya, perusahaan kami bekerja memang beda, tapi ada kerja sama hingga intensitas bertemu semakin sering dan kami berakhir satu ranjang bersama. Sekarang ada orang lain di sana. Laki-laki juga, mungkin pengganti Bang Angga. Aku perhatikan, eh, dia juga ternyata menatap ke arahku. Lalu aku menundukkan pandangan. Aku nggak mau nanti Om Andi marah besar. “Cieh, mulai lihat-lihatan. Laku amat jadi janda kembang,” bisik Kimmi di sebelahku. “Janda apan
“Jadi, bagaimana? Ikut atau tidak?” tanya Om Andi ketika aku baru sampai. Dia menyodorkan barang-barang kesukaan perempuan padaku. Kami tidak bertemu di kamar. Tepatnya di restaurant di dalam hotel. Dalam sebuah ruangan khusus pula, katanya Om Andi ingin bebas merokok. Jujur aku belum memikirkan jawabaannya. Perhatianku tertuju pada tas dan sepatu yang sesuai dengan seleraku. Dari mana beliau tahu? Bertanya saja tidak pernah. “Nora, Om tanya sama kamu.” Dia mengembuskan asap rokoknya ke udara. “Indah, belum bisa ambil keputusan, Om.” Aku meminum soft drink yang baru dipesan. Eh sebentar, ini bukan minuman ringan, ada sedikit kandungan alkohol di dalamnya. Ya, udahlah minum aja daripada sungkan nolak. “Cobalah mulai berpikir. Tiga hari lagi, waktu tidak akan terasa lama berjalan.” “Emang nggak bisa kalau Om nggak usah pergi?” “Kalau kamu mau ikut, Om, tinggalkan semua yang ada di kota dan hiduplah di kampung berdua saja dengan Om, dengan anak-anak kita maksudnya sekalian.” “Ma
Aku nggak kembali ke kosan, selama tiga hari tersisa waktu bersama Om Andi. Beneran dia serius mau pulang. Selama waktu yang tersisa, aku sama dia jalan-jalan, makan, ke tempat hiburan sepulang jam kerja. “Memang berapa gaji kamu di sana, Om bisa ganti,” katanya. “Bukan masalah gaji aja, Om, tapi ada hal lain.” “Ya, terserah kamu, kalau memang tidak mau ikut Om tidak bisa memaksa.” Om Andi memasukkan baju-bajunya ke koper. “Mungkin kita memang selamanya hanya jadi calon mertua dan menantu.” Dia menutup kopernya setelah semua baju masuk. “Kecuali Om kasih kepastian, kalau Om akan nikahin Indah sebelum ke kampung, udah itu aja. Indah butuh uang, tapi lebih butuh kepastian sebenernya.” Aku menjawab. Ini buat jaga-jaga andaikata aku ikut ke kampung, eh, tiba-tiba dia menikahi perempuan lain. Ya, walau aku yang udah ditiduri sama dia, tapi kalau ada istri sah, tetap saja aku yang salah. “Fungsi menikah menurut kamu apa?” tanyanya sambil duduk di sebelah koper. “Untuk ibadah.” Jawaba