Aku pulang, tepatnya dipulangkan karena sampai istirahat makan siang keadaanku nggak juga membaik. Inginnya aku ke hotel tempat Om Andi, tapi nanti nggak bisa istirahat atau jadi mengganggu istirahatnya. Aku putuskan pulang ke kosan.Mana perut laper dan kateringan datangnya sore. Aku memutuskan masak mi instan daripada nggak ada yang bisa mengisi perut. Sayangnya, pas mi itu mateng, aku seperti melihat ada cacing-cacing bergerak banyak banget. Huueks! Aku buang mi instan di tong sampah semuanya. Sebenarnya aku ini sakit apa, ya? Apa mungkin hamil? Ah, yang bener aja, sih. Oke, aku harus tetap tenang. Walau kata Kimmy bisa aja 1% nya itu aku, tapi aku nggak boleh mikir yang aneh-aneh. Test pack, benda yang aku cari. Benda yang dulu sering aku pakai waktu masih sama Bang Angga. Nggak peduli mau uji coba pagi, siang, malam, hasilnya akurat karena harga yang mahal. Aku coba, aku tunggu sekian menit dan hasilnya sesuai dugaanku, negatif. Syukur deh, aku lagi belum mau punya anak. Teru
Mungkin karena lapar, jadi makanan Korea di depan mataku cepat habis. Om Andi makan sedikit saja, katanya untuk menghilangkan penasaran dengan rasa masakan luar negeri. Sisanya aku yang disuruh menghabiskan. “Nanti Indah jadi gemuk, Om,” ucapku padanya. “Tidak akan mungkin makan dalam satu malam terus berat badan kamu naiknya sampai 10 kilo, bukan? Makan saja kalau kurang tambah lagi. Jangan takut, seperti biasa, Om yang bayar semuanya.” Baiklah karena kata calon mertuaku juga masuk akal, semua hidangan di piring dan mangkuk aku habiskan. Terakhir aku minum kuah sup sampai angkat mangkuknya. Aku nggak peduli ada yang bilang kampungan atau nggak. Om Andi hanya tersenyum saja melihat tingkahku. Salah dia sendiri. Aku tanya dia cinta padaku atau tidak, tak mau Om menjawabku sampai sekarang. “Minum.” Lelaki yang dulunya calon mertuaku menawarkan soju. Aku mengangguk saja, mungkin kalau segelas dua gelas aku nggak akan mabuk. Kalau mabuk juga mau ngapain? Paling dibawa Om ke kamar ho
Kami pulang berdua, belum tahu akan menginap ke mana. Tapi waktu diajak ke hotel, aku iyain aja semua kata Om Andi. Lagian di kos sendirian, sepi banget rasanya. “Kalau kamu mau pindah saja ke hotel selama Om ada di sini, bagaimana?” tawarnya padaku. Aku lihat mata supir taksi melirik dari spion. Mungkin pikirannya kami ini sugar daddy dan babby. Agak sedikit mirip memang. “Emang rencana Om, berapa lama di sini? Biaya sehari tinggal di hotel itu mahal loh, Om.” Iya, aku pikir-pikir kok Om Andi kayak golongan sultan dari Arab sana. Padahal rumah di kampungnya kayu, motor butut, mobil nggak ada. “Satu minggu saja, tidak lama lagi Om akan pulang.” Mendengar perkataannya aku langsung melepaskan tangan Om Andi. Satu minggu sudah berjalan tiga hari, berarti empat hari lagi donk. “Kenapa nggak sebulan aja, Om. Uang, Om, kan banyak?”“Kalau kamu mau, ikut Om saja ke kampung dan tinggalkan semua yang ada di kota. Semuanya termasuk orang tua kamu.” Degh! Hatiku memanas mendengarnya. Supi
Aku sudah kembali bekerja. Pertanyaan Om Andi tadi malam nggak aku jawab sama sekali. Aku inginnya ikut, tapi aku juga punya tanggung jawab di sini. “Tumben, mukanya kusut gitu. Pasti tadi malam nggak dapat jatah dari sesekakek itu, kan?” Masih seperti biasa, Kimmi mewarnai hari-hariku dengan kejulidannya. “Nggak, kok, emang lagi pengen diem aja. Ayok, rapat entar lagi mulai.” Aku membereskan semua berkas yang harus dibawa untuk presentasi. Di sini aku duduk, di tempat biasanya. Dulu, di kursi barisan depan, Bang Angga akan duduk di sana. Iya, perusahaan kami bekerja memang beda, tapi ada kerja sama hingga intensitas bertemu semakin sering dan kami berakhir satu ranjang bersama. Sekarang ada orang lain di sana. Laki-laki juga, mungkin pengganti Bang Angga. Aku perhatikan, eh, dia juga ternyata menatap ke arahku. Lalu aku menundukkan pandangan. Aku nggak mau nanti Om Andi marah besar. “Cieh, mulai lihat-lihatan. Laku amat jadi janda kembang,” bisik Kimmi di sebelahku. “Janda apan
“Jadi, bagaimana? Ikut atau tidak?” tanya Om Andi ketika aku baru sampai. Dia menyodorkan barang-barang kesukaan perempuan padaku. Kami tidak bertemu di kamar. Tepatnya di restaurant di dalam hotel. Dalam sebuah ruangan khusus pula, katanya Om Andi ingin bebas merokok. Jujur aku belum memikirkan jawabaannya. Perhatianku tertuju pada tas dan sepatu yang sesuai dengan seleraku. Dari mana beliau tahu? Bertanya saja tidak pernah. “Nora, Om tanya sama kamu.” Dia mengembuskan asap rokoknya ke udara. “Indah, belum bisa ambil keputusan, Om.” Aku meminum soft drink yang baru dipesan. Eh sebentar, ini bukan minuman ringan, ada sedikit kandungan alkohol di dalamnya. Ya, udahlah minum aja daripada sungkan nolak. “Cobalah mulai berpikir. Tiga hari lagi, waktu tidak akan terasa lama berjalan.” “Emang nggak bisa kalau Om nggak usah pergi?” “Kalau kamu mau ikut, Om, tinggalkan semua yang ada di kota dan hiduplah di kampung berdua saja dengan Om, dengan anak-anak kita maksudnya sekalian.” “Ma
Aku nggak kembali ke kosan, selama tiga hari tersisa waktu bersama Om Andi. Beneran dia serius mau pulang. Selama waktu yang tersisa, aku sama dia jalan-jalan, makan, ke tempat hiburan sepulang jam kerja. “Memang berapa gaji kamu di sana, Om bisa ganti,” katanya. “Bukan masalah gaji aja, Om, tapi ada hal lain.” “Ya, terserah kamu, kalau memang tidak mau ikut Om tidak bisa memaksa.” Om Andi memasukkan baju-bajunya ke koper. “Mungkin kita memang selamanya hanya jadi calon mertua dan menantu.” Dia menutup kopernya setelah semua baju masuk. “Kecuali Om kasih kepastian, kalau Om akan nikahin Indah sebelum ke kampung, udah itu aja. Indah butuh uang, tapi lebih butuh kepastian sebenernya.” Aku menjawab. Ini buat jaga-jaga andaikata aku ikut ke kampung, eh, tiba-tiba dia menikahi perempuan lain. Ya, walau aku yang udah ditiduri sama dia, tapi kalau ada istri sah, tetap saja aku yang salah. “Fungsi menikah menurut kamu apa?” tanyanya sambil duduk di sebelah koper. “Untuk ibadah.” Jawaba
Detik demi detik waktu berlalu membawaku dari pagi sampai akhirnya menuju jam makan siang. Aku sibuk sekali, maksudku, aku menyibukkan diri. Baru satu hari aku ditinggal Om Andi, tapi aku mulai kepikiran. Aku cek handphone, balasan pesan dariku nggak ada. Susahnya menjalin hubungan sama orang tua, nggak ada WA nggak ada messengger, apalagi facebook dan twitter. Ditelpon juga nggak nyambung. “Indah, makan yuk, katanya ditraktir, tuh, sama Pak Hengki. Dari tadi dia lihatin kamu terus, loh.” Kimmi mulai mencolekku yang terus memikirkan Om Andi. Ck, ganggu aja. “Dia, kan, udah punya istri, sih, ngapain cari aku, emang aku pelakor?” Aku menutup sheet kerja di excel dan mulai mengemas handphone serta dompet. Soal makan siang aku masih bisa beli sendiri, kok. “Ya, sama sesekakek itu emangnya apa?” Kimmi mengikutiku. Aku memutuskan nggak mau bergabung dengan rombongan Pak Hengki, biarin deh mau dibilang sombong. “Om Andi kan duda, hati istri mana yang aku sakiti. Aduh capek aku klarifik
Panggilan kami terputus begitu saja. Paling juga karena sinyal yang jelek. Om Andi sudah selamat sampai di rumah sejak kemarin dan dia beritahu aku baru hari ini. Luar biasa. Ya, beginilah menjalin hubungan dengan orang tua, banyak makan hatinya. Di dalam kamar kosan aku terus merenung tentang peringatan dari Tante Nora, udah dua kali. Yang pertama saat di rumah suaminya, lalu terjadilah malam nista yang sudah sering kami ulangi. Kalau sampai dua kali artinya Om Andi beneran bukan orang baik? Terus aku ini emangnya baik? Halah, jelas sekali aku murahan kata beliau. Malam ini aku tak bisa tidur, selain memikirkan dia yang kata Kimmi sudah memelet aku. Diri ini juga mengerjakan presentase buat besok di kantor Pak Hengki. Untung aku perginya sama satu tim, kalau sendirian malas banget. Malam semakin larut ketika aku merapikan pekerjaan. Saat aku menoleh ke kiri, rasa-rasanya aku melihat Silvi. Nggak, please, dia udah mati, tolong jangan menghantuiku lagi. Tapi akhirnya hilang juga. A
Akhirnya aku bisa bebas dari penggunaan obat anti depresan. Dua tahun ketergantungan malah membuatku semakin mendalami perasaan bersalah. Tapi, sengaja aku tinggalkan satu butir untuk jaga-jaga. Andaikata dia datang lagi dalam ingatanku yang terlalu jauh. Seiring berjalannya waktu penampakan Om Andi mulai jarang muncul. Mungkin karena keinginanku yang begitu kokoh untuk melupakannya. Adrian pula kini sudah besar, sudah mulai masuk sekolah dasar. Sesekali dia bertemu dengan omnya kalau Anton ada perjalanan ke kotaku. “Nggak ada rencana menikah gitu, Kak?” Widuri duduk di rumah makan milikku. Aku tersenyum melihatnya. “Untuk apa juga? Adrian sudah bahagia dengan menganggap kakek dan neneknya sebagai kedua orang tuanya.” Aku menyediakan teh hangat untuk Widuri yang menunggu kedatangan Anton. Anak Om Andi itu membawa Adrian juga dua anaknya pergi membeli camilan. “Sampai kapan, Kak? Gimanapun Kakak itu mamanya Adrian, loh. Nggak boleh kenyataan ditutupi terlalu lama.” “Mungkin dia ag
Aku di sini. Masih di rumah orang tuaku. Aku tidak pergi ke mana-mana, karena tak punya rumah lain untuk kembali. Tepatnya setelah ke luar dari rumah sakit jiwa. Iya, dua tahun lamanya aku mendekam di sana. Bagaimana tidak? Ternyata perbuatan dosa yang aku lakukan selama bertahun-tahun membuahkan hasil yang sangat menyakitkan. Dua tahun di rumah sakit jiwa, aku sering melihat penampakan Bang Angga terkadang juga Om Andi. Iya, aku ingat semua kejadian. Hanya saja aku tidak bisa mengendalikan diri ketika harus menjerit, menangis atau tertawa. Aku tahu Om Andi sudah mati. Aku lihat mayatnya di dalam kantong jenazah. Tapi hati kecilku menolak, karena anak di dalam kandunganku butuh ayahnya.“Adrian, sini, Nak, Kakak bawa mobil-mobilan.” Adrian, nama anakku buah hasil hubungan terlarang bersamanya. Umurnya sudah empat tahun. Dia tumbuh menjadi anak lelaki yang ganteng, mirip seperti ayahnya yang tidak pernah menikahiku. Warga di sini tahunya kalau Adrian anak bungsu mamaku. Ya, sebuah
Kami bertiga menatap Kak Indah dengan rasa iba. Padahal baru beberapa hari dia ditinggal oleh Ayah. Sudah persis, tepatnya aku tebak Kak Indah memang jadi gila.“Om, nanti kita punya anak, Om, harus baik-baik sama anak sendiri.” Begitu kata Kak Indah.“Macem manelah. Akibat bermain hati ditambah berzinah. Rosak sudah akal dan pikiran,” ucap Bang Dani. Dia pun pamit pulang.“Akan kau bawa juga Kak Indah pulang, dengan keadaan dia macam orang tak ade akal?” tanya Bang Rizal yang membawa berkas surat tanah ayahku. “Iyalah, Bang, gimanapun saya udah janji sama kedua orang tuanya. Oh, iya, Bang, hutang rumah sakit tidak usah dibayar lagi. Juga uang hasil jual tanah Ayah nanti ambillah secukupnya untuk memperbaiki kehidupan Abang. Anggap saja balas budi dari saya karena Abang telah membebaskan kami dari cengkeraman ilmu hitam.” Hal itu tadi lupa aku katakan padanya. “Terima kasih, Anton, dah dianggap lunas hutang rumah sakit saya sudah senang. Masalah uang tanah nanti saya serahkan semue
Aku tidak tahu apa jadinya kalau Bang Rizal dan Bang Dani tidak datang menolongku. Tubuhku sudah terlilit akar pohon getah. Sejak mereka datang langsung saja tanpa basa basi membabat akar tanaman yang melilitku. Selanjutnya mereka menyiramkan pohon rambutan dengan air doa yang diberikan oleh seorang guru. Aroma busuk dan anyir darah seketika menguar. Tawa seorang wanita tua jadi semakin memekakkan telinga. Bang Dani langsung bergerak cepat memotong dahan pohon rambutan dengan parang panjang yang dia bawa. Bang Rizal datang menolong mematahkan apa yang bisa dipatahkan. Aku sendiri masih terduduk lemas akibat hantaman di kepala tadi. Ada kepala yang terbang ke arah mereka berdua. Dengan tertatih aku bergerak. Aku ambil batang kayu rambutan yang telah patah bercabang dan terpaksa menusuk kepala itu dengan kayu. Ya, mengerikan sekali, kepala tersangkut di kayu dan tak bisa lagi terbang. Aku membantu Bang Rizal dan Dani menumbangkan pohon rambutan itu. Batangnya yang sudah berusia sang
Bang Rizal membawaku berlari, sesekali dia menengok ke belakang. Tak lama sesduah itu Dani menyusul. Di tangannya aku lihat ada pisau panjang dan tajam. Persis seperti yang sering dibawa Om Andi kalau sedang ke kebun, katanya. “Ayo, lekas kite cari di mane pohon rambutan tu.” Dani berlari lebih kencang dari pada kami. Aku menoleh lagi dan melihat ke arah rumah Om Andi. Dia terkurung di sana. Di lantai dua ragam makhluk jadi-jadian dan menyeramkan seolah-olah berkumpul dan ingin lepas dari sana. Kami bertiga akhirnya masuk ke dalam hutan yang kata Dani adalah milik atuknya dulu.“Ini jejak ape?” Bang Rizal melihat ke arah jalan masuk di dalam hutan karet. Untung mereka berdua membawa senter. Aku perhatikan ada jejak darah agak kering dan ada yang segar di tanah. Juga seperti ada benda yang diseret. Dari daun-daunan kering yang menyingkir membentuk jalan setapak.“Ape Anton agaknye yang di dalam sane?” Bang Rizal menatap wajah Bang Dani.Setelah itu keduanya langsung berjalan mengik
Aku hanya bisa berharap satu hal, yaitu Anton baik-baik saja. Bukan tidak mungkin Om Andi membunuhnya. Aku … anggap saja sangat memahami calon mertuaku walau baru beberapa bulan kenal. Lalu masalah anak dalam kandunganku? Aku akan jujur pada Mama dan Papa, lalu menerima apa pun hukuman dari mereka. Huuuft, angin dingin di malam hari begitu kencang berhembus. Pemilik kedai menawarkan padaku untuk masuk, tapi aku sangat takut ke dalam rumah orang asing lagi. Cukuplah pengalaman dengan Om Andi aku jadikan pelajaran. “Nah, minum teh hangat ni kalau memang tak nak masuk ke rumah.” Ibu pemilik kedai memberikan segelas teh besar padaku. Aku yang memang lapar dan haus lekas saja meminumnya. Rasanya tenggorokanku lega. “Ibu, ada jual makanan nggak. Kalau ada saya mau pesan?” tanyaku padanya.“Mi rebus, mi goreng, nak yang mane?” “Mi rebus,” jawabku. Aslinya aku kurang suka makan-makanan serba instan, tapi apa daya aku tidak punya pilihan lain. Mi rebus datang dengan telur rebus matang dan
Sambil menunggu kedatangan Bang Rizal serta Dani aku menanyakan beberapa hal pada Kak Indah. Salah satunya nasib anak dalam kandungannya yang tak lain tak bukan tetap adik kandungku. Di usia hampir kepala tiga dapat adik bayi itu adalah hal yang lucu bagiku. Apalagi jalannya sedemikian rupa. “Ya, dilahirin, dibesarin, biar nggak seperti kedua orang tuanya,” jawab Kak Indah sambil mengelus perutnya. “Oh. Terus, ada rencana menikah lagi?” tanyaku penasaran. Model perempuan seperti Kak Indah, agak susah ditebak jalan hidupnya. Bukan lurus-lurus seperti Widuri yang kegiatannya pulang, kerja, pulang, kerja saja. “Nggak, deh, udahan aja. Kalau hanya demi nafsu nggak mau. Pokoknya udah end semua urusan tentang laki-laki. Ketemu sama ayah kamu adalah pelajaran sangat berharga bagi Kakak.”Ya, itu kata dia. Padahal aku yakin juga Bang Angga dan Ayah ketemu Kak Indah juga mendapat pelajaran yang sangat berharga. Lama sekali dua abang ini kembali. Akhirnya aku memutuskan jalan duluan ke rum
Aku duduk di kursi yang ada di dekat kamar ayah. Sembari menunggu dua sejoli ini keluar. Tak lama selang beberapa menit saja Indah terisak dengan air mata yang berlinang, disusul Ayah.Kak Indah melaluiku begitu saja. Dia seperti kecewa denganku. Ya, aku juga bingung harus bersikap apa. Yang satu ayahku, yang satu lagi tidak ada kaitan apa-apa denganku. “Anton, dari mana?” tanya ayahku dengan hanya menggunakan handuk saja. Beliau sudah tidak ada malu lagi berbuat dosa di depan anaknya.“Dari rumah sakit. Menemani Bang Rizal sama Dani. Istrinya tiba-tiba muntah darah,” jawabku.“Oh. Bilang dengan mereka, jangan terlalu usil sama urusan orang lain. Jangan usik ketenangan orang di sini.” Ayah pergi ke dapur dan menenggak segelas air putih. “Apa Ayah penyebab istri keduanya sakit?” Aku jadi berpikir bahwa tuduhan Dani adalah benar. “Kalau iya kenapa, kalau tidak kenapa? Jangan mereka pikir mereka kuat. Ayah jauh lebih kuat,” ujar Ayah dengan bangganya. “Ayah!” Aku sudah tidak tahan la
Dua orang istri dari Bang Rizal dan Bang Dani telah dibawa ke ruang UGD. Kami bertiga menunggu di luar. Aku menepati janji mengurus administrasi saudara jauhku, sebab aku tahu uangnya di kantong mungkin tidak banyak. “Dah, tak ape. Untuk Rizal biar saye saje yang bayarkan.” Bang Dani mencegahku menangani pembiayaan. “Nggak apa-apa, saya sudah janji.” Aku harus menjaga ucapanku. “Saye takutnye uang itu ade sangkut pautnya dengan Pak Cik Andi. Bang Rizal nanti bisa jadi korban. Saye butuh Bang Rizal untuk melanjutkan pembangunan pesantren.” Ucapan Bang Dani melukai harga diriku. Tanpa sadar aku membanting pena di depan perawat yang sedang menanti tanda tangan kami. Aku menatap matanya, pun dengan dia. Kami sama-sama berkeras. Uang ini adalah murni uang hasil kerjaku. “Sudah, sudah. Begini, Bang Dani, saye dah sepakat untuk pinjam uang Anton, tak payahlah Abang bayarkan.” Bang Rizal melerai kami. Sesaat setelahnya kami sama-sama menarik napas.Kami menunggu hingga kedua istri dikel