Buk Aida merangkak terlalu cepat, sehingga beliau tidak sadar bahwa medan jalan yang ada di depan sana itu kini berujung dengan sebuah tebing kecil yang setinggi hampir dua meter. “Akhhh..” Suara Buk Aida reflek menjerit. Tubuhnya jatuh dari atas tebing kecil itu. Mendengar suara tersebut, para pria yang kejam itu pun langsung berlari menerobos masuk ke dalam rerumputan yang ada di depan sana.Dewi tidak mau menunggu lebih lama, ia juga ikut melompat ke bawah sana mengejar Buk Aida yang kini sedang berlari kencang menerobos padang rumput liar itu. Mereka berdua terguling-guling, jatuh dan bangun lagi untuk menghindari kejaran para pemuja setan tersebut.“ITU MEREKA.. CEPAT! TANGKAP MEREKA!” Teriak salah satu teman Darjan saat melihat punggung Dewi yang berada dalam jarak belasan meter di depannya. Ia lantas mengejar mereka ke bawah sana diikuti oleh teman-temannya yang lain.Buk Aida dan Dewi terus berlari melewati padang belukar liar itu dengan penuh perjuangan. Entah sudah berapa ka
Pria itu masih berdiri di belakang sana sembari menyorotkan cahaya senternya yang menyilaukan itu ke wajah Sindi. Sementara itu Sindi terpojok di dasar sungai dalam kondisi tubuh yang penuh luka. Apa yang harus dia lakukan? Berlari? Tidak mungkin, kaki kirinya itu telah patah. Selang beberapa detik kemudian, pria misterius yang bertubuh kekar itu mulai melangkah perlahan-lahan menghampirinya. Sindi masih berusaha untuk mendorong tubuhnya yang lemah itu ke belakang, akan tetapi punggungnya malah terpojok ke tebing sungai. Tidak ada lagi jalan untuk pergi. “Mengapa wajahmu tampak begitu menyedihkan? Apakah kau takut mati? Tenang, jangan takut. Kau akan mati dengan cara terhormat. Tanaman dan buah-buahan di desa kami akan subur kembali seperti dulu atas pengorbanan jiwa kalian semua.” Pria itu kini berdiri tepat di tepi anak sungai tersebut. Menatapnya dengan wajah yang setengah tertutup. “Mengapa harus kami? Dan mengapa tidak wanita-wanita dari desa kalian saja? Kami tidak bersalah. T
Sindi yang penasaran itu segera berjalan ke arah dua pintu tersebut untuk mencari jawaban atas pertanyaannya itu. Tidak butuh waktu lama, ia kini sedang berdiri di depan pintu toilet yang terbuka tersebut, dan kemudian melongakkan kepalanya ke dalam sana. Aneh sekali, ternyata ia tidak menemukan sesiapun di toilet tersebut. Yang ada hanyalah air keran yang menyala, dan telah melimpah keluar memenuhi kolam kecil penampung air. Barangkali orang yang terakhir kali masuk ke dalam sana lupa mematikan kerannya. Tanpa pikir panjang Sindi pun langsung masuk kesana untuk mematikan keran air tersebut.Saat itu, tiba-tiba di luar sana ia mendengar ada bunyi sesuatu yang jatuh menimpa lantai. Sindi kaget. Sepertinya itu adalah suara salah satu buku yang jatuh. Akan tetapi yang menjadi pertanyaanya ialah, siapakah yang menjatuhkan buku-buku tersebut? Bukankah hampir semua orang sudah pulang dari kampus? Sindi keheranan di dalam toilet. Ia segera keluar dari tempat itu untuk melihatnya.Ruangan pus
Terlihat seorang pria hitam dengan rambut keritingnya sedang melotot menatap wajahnya dari meja pustaka. Pria itu adalah Pak Darkis. Entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja pria itu sudah berada di sana bagai hantu. Sejak kapan pria itu berada di sana? Padahal tadi ia baru saja melihat tempat itu kosong? Sindi kaget dan juga heran.“Tidak.. Tidak ada apa-apa, pak. Saya sedang mencari buku ini, dan saya telah menemukannya.” Sindi berusaha untuk tidak terlihat aneh. Dia bersikap dengan sewajarnya.“Lantas mengapa kau membuka pintu itu? Apakah ada sesuatu yang kau lihat di dalam sana?” Pria itu bertanya seakan menaruh rasa curiga terhadap Sindi. Sindi kaget, namun beruntung ia segera buru-buru membuka mulutnya. “Tidak ada, tadi aku mendengar ada bunyi sesuatu di sana, setelah aku periksa, ternyata itu adalah tikus.” Sindi menghembuskan nafasnya setelah menjawab pertanyaan tersebut.Mendengar jawaban tersebut, pria itu pun terdiam dan kembali mengalihkan pandangannya pada sebuah buku yang
Sindi gemetaran melihat pisau tajam yang mengangkat dagunya. Bukan main-main, setelah apa yang telah dialaminya sejauh ini, tentu saja itu bukanlah sebuah gertakan semata. Pria itu adalah salah satu orang yang paling kejam di desa tersebut. Jika ia berani macam-macam, maka ada kemungkinan benda kecil itu akan memotong lehernya dalam sekejap.“Apakah kau tidak mendengar pertanyaanku? Di mana pria itu? Cepat! Katakan sebelum pisau ini memotong lehermu!” Pria itu meneriaki telinganya. Dewi ketakutan. Suara pekikan pria bertubuh tinggi itu membuat nyali Dewi ciut. Jantungnya bergoncang seakan ingin meledak.“Aku tiii..tiii dak taaaahuu..” Suara Dewi terdengar gemetaran. Wajahnya tampak begitu pucat di bawah cahaya senter Pak Jumri yang begitu terang.“Hahahaha...” Pria itu tertawa lantang setelah mendengar ucapan Dewi.“Jadi, kau ingin bermain-main denganku? Mengapa kau berani sekali berbohong padaku seperti itu? Aku tanya sekali lagi, DI MANA PRIA BRENGSEK ITU BERADA?” Kali ini suara Pak
Buk Aida dan Dewi dibawa ke tiang penggantungan, lalu diikat dengan posisi tangan di belakang. Ratusan warga berdiri mengelilingi mereka, melihat mereka dengan penuh kebencian. Suara mereka ribut riuh, berbicara dalam bahasa daerah setempat. Dewi tidak mengerti isi pembicaraan mereka. Yang jelas, mereka semua tampak sungguh begitu marah. Di depan mereka, terlihat ada dua tubuh wanita yang tergeletak dalam keadaan yang bersimbah darah. Itu adalah jasad Buk Tiah dan Nenek tua itu. Mereka berdua sudah tewas. Dalam jarak lima meter di sisi kanan mereka, terlihat pula ada seorang wanita yang terikat dalam kondisi yang tidak sadarkan diri. Itu adalah Ani. “ANII... ANII...” Dewi berteriak memanggil temannya tersebut. Ia menangis. Namun temannya itu tidak bergeming sedikitpun. Dari dalam kerumunan warga di depan sana, tiba-tiba muncullah seorang lelaki yang mengenakkan jubah hitam. Dia membawa susuatu di tangannya. Benda itu cukup besar, akan tetapi mereka tidak tahu benda apakah yang dipeg
“Perhatikan ini...” Kata salah satu anak buah Pak Jumri. Tangannya menunjuk ke permukaan tanah. Terlihat ada bekas-bekas rerumputan yang telah rebah ke tanah akibat diinjak oleh seseorang. Jejak itu mengarah ke depan sana, ke aarah sebuah parit. “Pria itu mengarah ke dalam parit! AYO TANGKAP DIA SEKARANG!” Teriak anak buah Pak Jumri sembari bergegas memeriksanya ke sana.Mendengar hal tersebut, Pak Jumri yang tengah mengendap-ngendap di balik rumpun jagung itu langsung berlari ke arah sana untuk melihatnya secara langsung. Saat itu, Pak Wawan telah mamasrahkan dirinya. Hanya tinggal menunggu waktu, maka ia akan segera tertangkap.Jejak itu masuk ke dalam parit yang ditumbuhi rumput-rumput liar. Terlihat juga sisa-sisa air hujan yang tergenang di dalam sana. Dapat dilihat dengan jelas, jejak kaki pria itu tampak berjalan menyusuri parit itu ke arah sana. Mereka semua terus mengikuti jejak tersebut secara perlahan.Jejak itu pun berakhir ke bawah sebuah batang pohon besar yang rebah men
Pria licik itu menghantam kepala Sindi dengan sebuah benda keras, sehingga membuat penglihatannya berkunang-kunang. Telinganya berdengung. Apakah ia telah mati? Sindi tersungkur di tanah. Tidak! Dia belum mati. Tangan pria itu dengan kasarnya menariknya keluar dari dasar anak sungai itu. Sindi merasakan tubuhnya yang mungil itu digotong oleh pria tersebut. Dia membawanya berjalan entah kemana. Dia menangis. Semuanya telah berakhir. Irma telah hilang tanpa jejak, begitu juga dengan Meri. Apakah dia berhasil kabur dan mendapatkan bantuan? Entahlah, Sindi seakan-akan telah kehilangan harapannya. Mereka bertiga benar-benar bernasib malang. Ia tidak menyangka tragedi yang terjadi sepuluh bulan yang lalu itu akan sejauh ini. Dia menyesal karena tidak mau mendengar teguran dari ibunya pada saat itu, yang melarangnya pulang kampung di hari itu. Akan tetapi semuanya sudah terjadi, dia tidak bisa lagi kembali ke masalalu untuk mengubahnya. Sindi menagis mengenang wajah kedua orang tuanya, dan j