Sindi yang penasaran itu segera berjalan ke arah dua pintu tersebut untuk mencari jawaban atas pertanyaannya itu. Tidak butuh waktu lama, ia kini sedang berdiri di depan pintu toilet yang terbuka tersebut, dan kemudian melongakkan kepalanya ke dalam sana. Aneh sekali, ternyata ia tidak menemukan sesiapun di toilet tersebut. Yang ada hanyalah air keran yang menyala, dan telah melimpah keluar memenuhi kolam kecil penampung air. Barangkali orang yang terakhir kali masuk ke dalam sana lupa mematikan kerannya. Tanpa pikir panjang Sindi pun langsung masuk kesana untuk mematikan keran air tersebut.Saat itu, tiba-tiba di luar sana ia mendengar ada bunyi sesuatu yang jatuh menimpa lantai. Sindi kaget. Sepertinya itu adalah suara salah satu buku yang jatuh. Akan tetapi yang menjadi pertanyaanya ialah, siapakah yang menjatuhkan buku-buku tersebut? Bukankah hampir semua orang sudah pulang dari kampus? Sindi keheranan di dalam toilet. Ia segera keluar dari tempat itu untuk melihatnya.Ruangan pus
Terlihat seorang pria hitam dengan rambut keritingnya sedang melotot menatap wajahnya dari meja pustaka. Pria itu adalah Pak Darkis. Entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja pria itu sudah berada di sana bagai hantu. Sejak kapan pria itu berada di sana? Padahal tadi ia baru saja melihat tempat itu kosong? Sindi kaget dan juga heran.“Tidak.. Tidak ada apa-apa, pak. Saya sedang mencari buku ini, dan saya telah menemukannya.” Sindi berusaha untuk tidak terlihat aneh. Dia bersikap dengan sewajarnya.“Lantas mengapa kau membuka pintu itu? Apakah ada sesuatu yang kau lihat di dalam sana?” Pria itu bertanya seakan menaruh rasa curiga terhadap Sindi. Sindi kaget, namun beruntung ia segera buru-buru membuka mulutnya. “Tidak ada, tadi aku mendengar ada bunyi sesuatu di sana, setelah aku periksa, ternyata itu adalah tikus.” Sindi menghembuskan nafasnya setelah menjawab pertanyaan tersebut.Mendengar jawaban tersebut, pria itu pun terdiam dan kembali mengalihkan pandangannya pada sebuah buku yang
Sindi gemetaran melihat pisau tajam yang mengangkat dagunya. Bukan main-main, setelah apa yang telah dialaminya sejauh ini, tentu saja itu bukanlah sebuah gertakan semata. Pria itu adalah salah satu orang yang paling kejam di desa tersebut. Jika ia berani macam-macam, maka ada kemungkinan benda kecil itu akan memotong lehernya dalam sekejap.“Apakah kau tidak mendengar pertanyaanku? Di mana pria itu? Cepat! Katakan sebelum pisau ini memotong lehermu!” Pria itu meneriaki telinganya. Dewi ketakutan. Suara pekikan pria bertubuh tinggi itu membuat nyali Dewi ciut. Jantungnya bergoncang seakan ingin meledak.“Aku tiii..tiii dak taaaahuu..” Suara Dewi terdengar gemetaran. Wajahnya tampak begitu pucat di bawah cahaya senter Pak Jumri yang begitu terang.“Hahahaha...” Pria itu tertawa lantang setelah mendengar ucapan Dewi.“Jadi, kau ingin bermain-main denganku? Mengapa kau berani sekali berbohong padaku seperti itu? Aku tanya sekali lagi, DI MANA PRIA BRENGSEK ITU BERADA?” Kali ini suara Pak
Buk Aida dan Dewi dibawa ke tiang penggantungan, lalu diikat dengan posisi tangan di belakang. Ratusan warga berdiri mengelilingi mereka, melihat mereka dengan penuh kebencian. Suara mereka ribut riuh, berbicara dalam bahasa daerah setempat. Dewi tidak mengerti isi pembicaraan mereka. Yang jelas, mereka semua tampak sungguh begitu marah. Di depan mereka, terlihat ada dua tubuh wanita yang tergeletak dalam keadaan yang bersimbah darah. Itu adalah jasad Buk Tiah dan Nenek tua itu. Mereka berdua sudah tewas. Dalam jarak lima meter di sisi kanan mereka, terlihat pula ada seorang wanita yang terikat dalam kondisi yang tidak sadarkan diri. Itu adalah Ani. “ANII... ANII...” Dewi berteriak memanggil temannya tersebut. Ia menangis. Namun temannya itu tidak bergeming sedikitpun. Dari dalam kerumunan warga di depan sana, tiba-tiba muncullah seorang lelaki yang mengenakkan jubah hitam. Dia membawa susuatu di tangannya. Benda itu cukup besar, akan tetapi mereka tidak tahu benda apakah yang dipeg
“Perhatikan ini...” Kata salah satu anak buah Pak Jumri. Tangannya menunjuk ke permukaan tanah. Terlihat ada bekas-bekas rerumputan yang telah rebah ke tanah akibat diinjak oleh seseorang. Jejak itu mengarah ke depan sana, ke aarah sebuah parit. “Pria itu mengarah ke dalam parit! AYO TANGKAP DIA SEKARANG!” Teriak anak buah Pak Jumri sembari bergegas memeriksanya ke sana.Mendengar hal tersebut, Pak Jumri yang tengah mengendap-ngendap di balik rumpun jagung itu langsung berlari ke arah sana untuk melihatnya secara langsung. Saat itu, Pak Wawan telah mamasrahkan dirinya. Hanya tinggal menunggu waktu, maka ia akan segera tertangkap.Jejak itu masuk ke dalam parit yang ditumbuhi rumput-rumput liar. Terlihat juga sisa-sisa air hujan yang tergenang di dalam sana. Dapat dilihat dengan jelas, jejak kaki pria itu tampak berjalan menyusuri parit itu ke arah sana. Mereka semua terus mengikuti jejak tersebut secara perlahan.Jejak itu pun berakhir ke bawah sebuah batang pohon besar yang rebah men
Pria licik itu menghantam kepala Sindi dengan sebuah benda keras, sehingga membuat penglihatannya berkunang-kunang. Telinganya berdengung. Apakah ia telah mati? Sindi tersungkur di tanah. Tidak! Dia belum mati. Tangan pria itu dengan kasarnya menariknya keluar dari dasar anak sungai itu. Sindi merasakan tubuhnya yang mungil itu digotong oleh pria tersebut. Dia membawanya berjalan entah kemana. Dia menangis. Semuanya telah berakhir. Irma telah hilang tanpa jejak, begitu juga dengan Meri. Apakah dia berhasil kabur dan mendapatkan bantuan? Entahlah, Sindi seakan-akan telah kehilangan harapannya. Mereka bertiga benar-benar bernasib malang. Ia tidak menyangka tragedi yang terjadi sepuluh bulan yang lalu itu akan sejauh ini. Dia menyesal karena tidak mau mendengar teguran dari ibunya pada saat itu, yang melarangnya pulang kampung di hari itu. Akan tetapi semuanya sudah terjadi, dia tidak bisa lagi kembali ke masalalu untuk mengubahnya. Sindi menagis mengenang wajah kedua orang tuanya, dan j
Pada saat kain hitam itu terlepas dari tubuh pria itu, terlihatlah pemandangan yang sangat mengerikan. Buk Aida menjerit tidak percaya dengan apa yang dilihatnya tersebut. Jiwanya tergoncang hebat. “Tidaakkk.. Tidak...!” Ia menjerit histeris memberontak hebat untuk melepaskan tali yang mengikat tubuhnya. Bagaimana tidak? Tubuh pria yang telah hancur itu ternyata adalah suaminya, Pak Wawan. Wanita benar-benar shock dan nyaris tak sadarkan diri.“AKU BERSUMPAH KALIAN SEMUA AKAN SEGERA MATI! KALIAN AKAN MATI! KALIAN AKAN MATIIII...!” Suara teriakannya itu berakhir ketika tangan pria itu mendarat di wajahnya. “Daar..” Buk Aida langsung terdiam. Ia tidak sanggup lagi untuk menjerit.“AYO TERIAK! AYOOOO!” Pak Karay Meneriaki telinga Buk Aida. Ia menggoncang-goncangkan tubuh wanita itu dengan begitu kasar. Ia menamparnya sampai beberapa kali hingga wanita itu benar-benar tidak berdaya lagi untuk melakukan apapun. Buk Aida terdiam dengan air matanya yang mengalir. Meratapi suaminya yang tewa
Di belokan jalan, dari balik rerumputan yang tumbuh di tepi jurang, tiba-tiba muncullah tangan seorang pria. Tubuhnya bersimbah darah. Ia berusaha mati-matian mendaki jurang itu meski dengan kondisi tubuh yang begitu mengenaskan. Ia berpegangan pada salah satu batang rumput yang menjulur, lalu menarik dirinya ke atas dengan sekuat tenaga hingga dia pun berhasil keluar dari tempat itu. Pria itu adalah Askar. Tabrakan keras itu membuat tubuhnya terpental jauh ke bibir jurang. Akan tetapi sungguh dia bernasib baik, karena ada dahan-dahan pohon yang menahan tubuhnya di bibir jurang, sehingga ia pun selamat dari kematian. Setelah berhasil keluar dari jurang tersebut, Askar kemudian merangkak perlahan melewati rerumputan yang tumbuh di tempat itu menuju ke permukaan jalan. Kepalanya masih terasa berat. Mungkin itu adalah pengaruh dari benturan keras ke dahan-dahan pohon yang menyambut tubunya di bawah sana. Itulah yang membuat kepalanya terluka. Ia berusaha menerawang sekeliling dengan sen