“Belok ke kiri!” Teriak Pak Wawan dari belakang. Tanjo yang memimpin di depan dengan serta merta langsung berbelok. Begitu juga dengan Sindi dan beberapa orang yang ada di belakangnya. Medan yang mereka lewati kali ini sedikit lebih baik dari pada medan yang ada di belakang sana. Permukaan jalan tidak basah dan berlumpur, medannya kering namun dipenuhi bebatuan.
“Hati-hati, jangan ada yang sampai terpeleset” tanjo mengingatkan semua orang. Dengan begitu hati-hati mereka berlari dengan melompati batu demi bebatuan itu hingga sampailah mereka ke sebuah padang rumput yang cukup luas. Sindi lega, begitupun dengan semua orang.
“Di mana perahu itu?” Tanya Tanjo dengan nafas yang masih belum teratur. “Sana” Pak Wawan segera mengambil jalan. Beliau membawa mereka berjalan menuju ke suatu tempat tersembunyi yang terletak di balik sisi kiri tebing. Semakin jauh mereka berjalan ke depan sana, suara air sungai yang mengalir terdengar
Setenang air sungai yang mengalir, setenang itu pulalah dua perahu kayu itu melintas di hadapan api unggun tersebut. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Para pria itu sedang berdiri dan berbincang-bincang satu sama lain. Bias sinar api unggun di kegelapan malam tampak benderang, membuat pepohonan yang tumbuh di sekeliling menjadi terlihat cukup jelas. Dalam beberapa detik, akhirnya dua perahu kayu itu pun berhasil melewati gerombolan para pemuja setan tersebut.Ketika jarak mereka sudah mencapai puluhan meter dari tumpukan api unggun itu, barulah kemudian Pak Wawan dan semua orang bangun dari lantai perahu. Pendayung pun mulai dimainkan kembali.*******Hari telah gelap. Rembulan malam baru saja menampakkan wajahnya di ufuk timur. Cahayanya tampak begitu terang memenuhi cakrawala. Meri masih bergelut dalam pelarian yang tak kunjung berakhir. Enam orang pria itu terus mengejarnya dari belakang, mereka membawa api obor yang entah dari mana asalnya. Meri kehilanga
Dua perahu kayu itu bergerak perlahan mengikuti arus sungai yang mengalir. Satu dua suara burung-burung terdengar bersiul merdu di pepohonan, para jengkerik berdengung dari sisi kiri dan kanan sungai. Malam sungguh begitu dingin, namun langit tampak begitu terang memancar. Purnama malam tujuh belas yang sudah mulai timpang itu baru saja menampakkan dirinya di ufuk timur. Berseri-seri. Setelah melewati komplotan warga yang bersenjata di tepi sungai, kini Pak Wawan dan Tanjo sudah bisa lebih tenang dari sebelumnya. Pendayung mereka lebih banyak diam, hanya sesekali digunakan untuk mengendalikan arah perahu. Sementara itu di tepi sungai, Askar dan dua orang temannya masih berjalan tenang melewati rerumputan dan juga bebatuan. Akan tetapi semua itu tidak berlangsung lama, karena di depan sana ada sesuatu yang sedang menunggu mereka. Cahaya bulan purnama tujuh belas yang bersinar terang di malam itu ternyata bukanlah sebuah hal yang baik bagi Pak Wawan dan kawan-kawan, akan tetapi hal ter
Meskipun arus sungai itu tampak begitu tenang dan nyaris tidak mengeluarkan suaranya, namun saat ia terjun dan berenang ke dalamnya, ternyata arus sungai itu sungguh begitu deras. Sindi kesulitan untuk mengendalikan diri. Hanya dalam beberapa detik saja tubuhnya berada di dalam sana, ia sudah terseret jauh dalam jarak belasan meter meninggalkan perahu Pak Wawan yang tertangkap oleh para pria gila itu. Keadaan Sindi di dalam sungai sungguh memprihatinkan. Ransel yang dibawanya itu terasa lima kali lipat lebih berat dan menghambat pergerakannya. Tidak ada pilihan lain, ia pun memutuskan untuk melepaskan dan kemudian membuang ransel tersebut. Ia kemudian segera berenang ke tepi sungai menuju ke sebuah tumpukan tanah yang samar-samar terlihat dipenuhi oleh rerumputan liar. Ia berhasil mencapainya dengan selamat. Ia langsung mendudukkan dirinya begitu saja di tanah, sembari mengatur nafasnya yang sudah berada di luar kendali. Sindi melayangkan pandangannya jauh ke belakang sana, ke arah s
Hujan semakin deras, angin semakin kencang, dan petir pun semakin ganas memamerkan suaranya yang menyeramkan. Meri menutup kedua telinganya, dan membiarkan air hujan jatuh memabasuh seluruh tubuhnya yang malang itu. Jauh di bawah sana, cahaya lampu kendaraan itu mendadak berhenti dan tidak bergerak sedikitpun. Apa yang terjadi? Entahlah, mungkin saja kondisi jalannya menjadi semakin berlumpur sehingga membuat empat roda mobil itu tak mampu bergerak walau sedikitpun. Tak lama kemudian, cahaya lampu mobil itu pun tiba-tiba padam. Buyung dan empat orang temannya itu masih berjalan perlahan membawa lampu obor di tangan mereka. Meski kini hujan deras turun mengguyur malam, namun lima orang pria gila itu tidak peduli sedikitpun. Mereka menyapu seluruh area di tempat itu dengan beringasnya. Mereka menebas semua benda yang menghalangi langkah mereka. Dekat dan semakin dekat dengan Meri. Meri yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa itu hanya bisa pasrah kepada Tuhan. Jika saat itu ia memilih un
Dari dalam kegelapan, tiba-tiba terlihatlah ada sebuah lampu obor yang berjalan ke arahnya. Sindi sungguh begitu takut, namun ia tidak bisa lari meninggalkan tempat itu, karena ia tidak bisa melihat apa pun yang ada di sekitarnya. Dia memutuskan untuk bersembunyi di bawah tebing itu tanpa beranjak walau sedikitpun. Cahaya lampu obor itu terus bergerak perlahan-lehan menuju ke arahnya. Dekat dan semakin dekat. Sindi bersiap-siap untuk menyerang sosok misterius tersebut yang berjalan ke arahnya dengan sebongkah batu yang ada di tangannya. “Oh tidak” Sindi tersentak. Ia benar-benar kaget pada saat itu. Ternyata orang tersebut adalah Nenek tua, ibunya Tanjo yang memberinya kalung di hari kemarin. “Nak.. Bangunlah.. Kau harus menyelamatkan dua orang temanmu itu. Bawa api obor ini untuk menerangi jalanmu..” ujar Nenek tua tersebut. Sindi pun terbangun dari tidurnya. Saat itu hujan deras dan angin kencang kini telah reda. Ia segera berjalan keluar untuk melihat langit, namun wajah sang remb
Tidak perlu menyita waktu yang lama, dua roda belakang mobil itu pun akhirnya berhasil keluar dari genangan lumpur. Bus tua itu kembali berdiri dengan gagahnya dengan suara yang mengaum-ngaum di tengah jalan. Pria itu menginjak-nginjak pedal gasnya untuk memanaskan mesin solar tersebut. Pria itu segera keluar dari mobilnya untuk berterimakasih kepada para pria itu. “Apa yang kau bawa di dalam bus tua ini di tengah malam yang seperti ini?” Tanya Buyung dengan nada yang setengah curiga. Pria itu tertawa kecil namun ekspresi wajahnya tak terlihat jelas karena masker hitam yang menutupi separuh wajahnya. “Biasa, aku adalah seorang kurir yang sedang mengantarkan paket untuk merayakan pesta malam bulan purnama yang ketujuh belas” Suara pria itu terdengar sungguh begitu dingin. Buyung dan empat orang temannya itu pun heran dan saling menoleh satu sama lain. “Apakah kalian sedang membutuhkan tumpangan?” Sang sopir menawarkan diri dengan suara yang ramah. Hal tersebut lantas membuat kecurigaa
Sejauh jalan yang ia lewati, ia tidak menemukan satu pun jejak manusia di tempat itu. Sindi mulai ragu, ia khawatir arah yang ia tuju itu bukannya mengarah ke arah jalan setapak--namun justru semakin jauh dari tujuannya tersebut. Saat ia mulai bimbang, tiba-tiba ia teringat dengan ucapan Pak Wawan, bahwa jalan setapak berada sekitar tiga kilometer di depan sana. Jika benar demikian, maka jaraknya dengan jembatan kayu yang menghubungkan dua sisi hutan itu hanya tinggal sekitar satu kilometer saja. Ia kembali melanjutkan perjalanannya.Setelah cukup jauh berjalan mengikuti arus sungai yang mengalir tersebut, Sindi pun tiba di sebuah jembatan kayu yang tampak menggantung dengan tali bajanya di seberang sana. Ternyata perkataan Pak Wawan benar, kini ia sudah berada tepat di depan jembatan tersebut.Sebelum melangkahkan kakinya menuju jembatan tersebut, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Dari kejauhan, terlihat ada benda yang mengkilat di dalam gelap memantulkan cahaya senternya terseb
Satu persatu karung yang tertumpuk di lantai belakang mulai disingkirkan oleh anak buah Buyung. Hingga semua tumpukan karung itu habis, ternyata tidak ada apa pun yang ada di sana. Hal tersebut lantas membuat Rameng menjadi begitu kaget dan langsung menghentikan busnya di tempat. Ia segera berjalan ke ruangan belakang untuk melihat dengan mata dan kepalanya, benar, ternyata wanita itu telah menghilang. Rameng menjadi sangat murka. Dia baru ingat, ternyata setelah ia mengangkat tubuh wanita itu ke dalam ruangan belakang, dia lupa mengunci pintu saat ia meletakkan dongkrak ke dalam sana. Menyadari hal tersebut, Rameng segera maju ke kursi sopir dan mulai memainkan kembali stir busnya. Ia berputar ke belakang dan kemudian melesat dalam kecepatan yang cukup tinggi. Meskipun ada banyak sekali dahan-dahan pohon yang menghalangi laju busnya tersebut, namun ia tidak peduli. Bus tua itu bergoncang hebat melewati jalan setapak yang dipenuhi genangan lumpur. Suara dengungan mesinnya terdengar m