Satu persatu karung yang tertumpuk di lantai belakang mulai disingkirkan oleh anak buah Buyung. Hingga semua tumpukan karung itu habis, ternyata tidak ada apa pun yang ada di sana. Hal tersebut lantas membuat Rameng menjadi begitu kaget dan langsung menghentikan busnya di tempat. Ia segera berjalan ke ruangan belakang untuk melihat dengan mata dan kepalanya, benar, ternyata wanita itu telah menghilang. Rameng menjadi sangat murka. Dia baru ingat, ternyata setelah ia mengangkat tubuh wanita itu ke dalam ruangan belakang, dia lupa mengunci pintu saat ia meletakkan dongkrak ke dalam sana. Menyadari hal tersebut, Rameng segera maju ke kursi sopir dan mulai memainkan kembali stir busnya. Ia berputar ke belakang dan kemudian melesat dalam kecepatan yang cukup tinggi. Meskipun ada banyak sekali dahan-dahan pohon yang menghalangi laju busnya tersebut, namun ia tidak peduli. Bus tua itu bergoncang hebat melewati jalan setapak yang dipenuhi genangan lumpur. Suara dengungan mesinnya terdengar m
“Buuummm...” Bunyi suara knalpot Bus tua Rameng yang mendadak berhenti. Rameng segera membuka loker mobilnya, dan kemudian memberikan senter satu per satu kepada teman-temannya tersebut. “Ayo, kita cari wanita itu di tepi hutan ini!” Rameng mengarahkan telunjuknya keluar. “Apakah kakak benar-benar yakin bahwa wanita itu berada di sekitaran tempat ini?” tanya Buyung dengan wajah yang seakan masih kurang begitu yakin. “Apakah kau melihat ada sebuah dahan kayu yang cukup besar melintang dalam jarak sepuluh meter di depan mobil kita di sana? Wanita itu pasti melompat keluar saat bus tua ini bergoncang hebat ketika melindas kayu tersebut. Dia pasti berada di sekitar sini. Ayo, cepat keluar!” Seru Rameng seraya bergerak keluar dari pintu bus. Buyung dan anak buahnya itu pun segera menyusul dari belakang. Mereka semua mulai menyebar.Buyung berjalan cukup jauh ke depan sana, ia menyorotkan cahaya senternya itu ke segala arah untuk mencari jejak Meri. Ia menemukan sesuatu. “Lihat! Ini adalah
Pak Karay maju ke depan dan kemudian berhenti tepat di depan Pak Wawan. Tanpa berbicara sepatah kata-pun, dia langsung menusuk perut Pak Wawan dengan sebilah pisau yang tajam. “Ssskkk...” Hanya dalam beberapa detik saja, pria itu telah melakukan tiga kali penusukan. Satu di bagian perut, dan dua di bagian paha kiri dan kanan Pak Wawan. Hal tersebut lantas membuat istri Pak Wawan menjerit histeris. Dia tidak sanggup melihat sosok suami yang ia cintai disiksa dengan cara yang kejam seperti itu. Wanita itu bahkan sampai meludahi wajah Pak Karay. Menanggapi hal tersebut, sebuah tamparan keras pun melayang ke wajahnya. Wanita itu pun langsung terdiam dan tak kuasa lagi untuk berkutik. Pak Wawan meringis kesakitan. Darah segar tampak mulai bersimbah membasahi baju dan celananya. Meski demikian, nyali pria itu belum juga berakhir. Ia bahkan masih bisa tertawa lepas seperti orang gila yang terus menerus mengejek Pak Karay. “Lihatlah, sebentar lagi kau akan menemui ajalmu. Mereka akan mengga
Angin malam behembus meniupi dedaunan rumpun bambu yang rindang. Satu persatu dari mereka berjatuhan ke tanah. Kabut malam terlihat semakin menebal menyelimuti hutan. Hawa dingin menyeruak. Ia baru saja berjalan meninggalkan tempat itu menerobos rumput-rumput liar yang tumbuh di atas tebing jalan. Jaraknya dengan belokan jalan saat itu tidak begitu jauh, hanya terpaut sekitar dua puluh meter. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya dia pun berhasil sampai di sana. Dia mulai melongakkan kepalanya ke bawah sana, untuk memeriksa situasi.Dugaannya benar. Ternyata di bawah sana ada seonggok api kecil yang sedang menyala. Namun dia bingung karena tidak melihat satu orang pun di tempat itu. Api kecil itu menyala cukup terang meskipun beberapa kali nyaris padam tertiup oleh angin. Siapakah yang menyalakan api tersebut? Sindi bertanya-tanya di dalam hati.Tidak sampai di situ, untuk membuatnya yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja, dia pun kembali melemparkan pandangannya ke segala ara
Askar dan dua orang temannya itu terus berlari menapaki jalan setapak yang basah dan becek itu mengikuti jejak kaki Sindi yang tampak mengarah menuju jalan Raya. Semenjak berhasil menyeberangi jembatan kayu yang jauh di belakang sana, hingga sampai di perkebunan kopi—mereka belum juga berhenti untuk beristirahat. Padahal jarak yang telah mereka tempuh cukup jauh, hampir empat kilometer. Stamina mereka masih jauh lebih tangguh daripada Sindi.“Sindi... Sindi...” Suara teriakan itu terdengar sayup-sayup memanggil jauh dari belakang sana. Meskipun suara itu berasal dari tempat yang jauh, namun karena suasana malam yang begitu hening dan sunyi membuat Sindi yang tengah berlari itu pun langsung menghentikan langkahnya. Walaupun itu hanyalah terkesan seperti gemaan suara, namun ia tetap dapat mendengar suara panggilan itu yang menyebut-nyebut namanya sampai beberapa kali. Suara siapakah tersebut? Mengapa dia tidak mengenalinya? Apakah itu adalah sebuah pancingan? Seakan tak mau dijebak, Ia
Cahaya senter yang dipegang Rameng begitu terang, sehingga apa saja yang berada di tempat itu dapat terlihat dengan amat jelas. Pria itu berjalan perlahan-lahan, selangkah demi selangkah sembari mengamati area tersebut dengan begitu cermat. Tidak ada yang terluput darinya. Terlihat rerumputan liar yang cukup tebal memenuhi tempat itu. Buyung berdiri dalam jarak 10 meter di samping kiri, mereka semua benar-benar telah mengepung tempat tersebut. Tidak ada lagi jalan untuk pergi. Saat itu Mery masih juga mendekam dalam posisi tubuh yang hampir lenyap ke dalam lumpur. Hanya menyisakan leher hingga kepalanya. Ia bersembunyi.Rameng masih berusaha keras untuk melacak mangsanya. Jejak tersebut benar-benar menghilang ke dalam genangan air yang seluas kolam ikan yang terletak tepat di tengah-tengah padang rumput liar tersebut. Ia berdiri di sana untuk mengamatinya. Permukaan air di dalam sana tampak begitu keruh, memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang telah melewatinya. Rameng menggertakan gig
Sindi segera mengeluarkan kakinya dari dalam genangan lumpur, dan kemudian menyalakan senternya. Saat ia menyorortkan cahaya senternya itu ke belakang sana, namun ia tidak melihat apa pun. Yang ada hanyalah kegelapan malam yang diisi oleh samar-samar cahaya rembulan. Kabut malam masih bertebaran di mana-mana. Suara misterius itu juga telah menghilang entah kemana. Sindi tertegun di tempat, sembari terus memeriksa keadaan sekeliling dengan penerang yang ada di tangannya. Dia tetap tidak menemukan apa pun. Apa mungkin tadi itu hanyalah perasaannya belaka? Ataukah mungkin juga itu adalah suara hembusan angin malam yang berhembus, sehingga membuat dahan-dahan dan dedaunan yang mati terjatuh ke tanah dan menimbulkan suara? Tidak! Mengapa suara itu benar-benar terdengar begitu nyata seperti langkah kaki seseorang yang sedang berlari? Perasaan Sindi mulai tidak tenang. Khawatir. Setelah memastikan semuanya benar-benar aman, Sindi segera membasuh kakinya yang berlumuran lumpur itu dengan air
Suara tabuh mulai didendangkan. Kemenyang mulai dibakar. Aromanya yang khas tercium kemana-mana, menyebar terbawa angin malam. Nenek tua itu mengangkat kedua tangannya tinggi ke langit. Dia mulai membacakan syair-syair pembuka acara ritual di malam itu dengan begitu khusyuk.“Ooooo ninek kamai nga kramak... Dnga lah anok cucuh kayo nyerau. Kinai dahoh batino lah tekapak daleuh dule... Kayo nga kramak, ninek kamai.. Klualah kayo, bule lah tinggai, lum nyo ilaa, trimo lah nga kamai bagih inih. Suburkanlah penanau kamai, lbek-lbeklah penanau kamai...”Orang-orang terlihat begitu khusyuk melantumkan mantra-mantra sakti di dalam bahasa mereka yang aneh tersebut. Suara mereka semua terdengar begitu kompak dan juga seirama. Di sisi lain, Tanjo mengepalkan tinjunya di belakang tali pengikat. Ia berusaha keras untuk melepaskan tali ikatan tersebut dari tangannya.Satu, dua, tiga. Ia berhasil melepaskan ikatan tali yang mengikat tangannya di belakang. Tanpa menunggu lama, Tanjo segera berlari m