Askar dan dua orang temannya itu terus berlari menapaki jalan setapak yang basah dan becek itu mengikuti jejak kaki Sindi yang tampak mengarah menuju jalan Raya. Semenjak berhasil menyeberangi jembatan kayu yang jauh di belakang sana, hingga sampai di perkebunan kopi—mereka belum juga berhenti untuk beristirahat. Padahal jarak yang telah mereka tempuh cukup jauh, hampir empat kilometer. Stamina mereka masih jauh lebih tangguh daripada Sindi.“Sindi... Sindi...” Suara teriakan itu terdengar sayup-sayup memanggil jauh dari belakang sana. Meskipun suara itu berasal dari tempat yang jauh, namun karena suasana malam yang begitu hening dan sunyi membuat Sindi yang tengah berlari itu pun langsung menghentikan langkahnya. Walaupun itu hanyalah terkesan seperti gemaan suara, namun ia tetap dapat mendengar suara panggilan itu yang menyebut-nyebut namanya sampai beberapa kali. Suara siapakah tersebut? Mengapa dia tidak mengenalinya? Apakah itu adalah sebuah pancingan? Seakan tak mau dijebak, Ia
Cahaya senter yang dipegang Rameng begitu terang, sehingga apa saja yang berada di tempat itu dapat terlihat dengan amat jelas. Pria itu berjalan perlahan-lahan, selangkah demi selangkah sembari mengamati area tersebut dengan begitu cermat. Tidak ada yang terluput darinya. Terlihat rerumputan liar yang cukup tebal memenuhi tempat itu. Buyung berdiri dalam jarak 10 meter di samping kiri, mereka semua benar-benar telah mengepung tempat tersebut. Tidak ada lagi jalan untuk pergi. Saat itu Mery masih juga mendekam dalam posisi tubuh yang hampir lenyap ke dalam lumpur. Hanya menyisakan leher hingga kepalanya. Ia bersembunyi.Rameng masih berusaha keras untuk melacak mangsanya. Jejak tersebut benar-benar menghilang ke dalam genangan air yang seluas kolam ikan yang terletak tepat di tengah-tengah padang rumput liar tersebut. Ia berdiri di sana untuk mengamatinya. Permukaan air di dalam sana tampak begitu keruh, memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang telah melewatinya. Rameng menggertakan gig
Sindi segera mengeluarkan kakinya dari dalam genangan lumpur, dan kemudian menyalakan senternya. Saat ia menyorortkan cahaya senternya itu ke belakang sana, namun ia tidak melihat apa pun. Yang ada hanyalah kegelapan malam yang diisi oleh samar-samar cahaya rembulan. Kabut malam masih bertebaran di mana-mana. Suara misterius itu juga telah menghilang entah kemana. Sindi tertegun di tempat, sembari terus memeriksa keadaan sekeliling dengan penerang yang ada di tangannya. Dia tetap tidak menemukan apa pun. Apa mungkin tadi itu hanyalah perasaannya belaka? Ataukah mungkin juga itu adalah suara hembusan angin malam yang berhembus, sehingga membuat dahan-dahan dan dedaunan yang mati terjatuh ke tanah dan menimbulkan suara? Tidak! Mengapa suara itu benar-benar terdengar begitu nyata seperti langkah kaki seseorang yang sedang berlari? Perasaan Sindi mulai tidak tenang. Khawatir. Setelah memastikan semuanya benar-benar aman, Sindi segera membasuh kakinya yang berlumuran lumpur itu dengan air
Suara tabuh mulai didendangkan. Kemenyang mulai dibakar. Aromanya yang khas tercium kemana-mana, menyebar terbawa angin malam. Nenek tua itu mengangkat kedua tangannya tinggi ke langit. Dia mulai membacakan syair-syair pembuka acara ritual di malam itu dengan begitu khusyuk.“Ooooo ninek kamai nga kramak... Dnga lah anok cucuh kayo nyerau. Kinai dahoh batino lah tekapak daleuh dule... Kayo nga kramak, ninek kamai.. Klualah kayo, bule lah tinggai, lum nyo ilaa, trimo lah nga kamai bagih inih. Suburkanlah penanau kamai, lbek-lbeklah penanau kamai...”Orang-orang terlihat begitu khusyuk melantumkan mantra-mantra sakti di dalam bahasa mereka yang aneh tersebut. Suara mereka semua terdengar begitu kompak dan juga seirama. Di sisi lain, Tanjo mengepalkan tinjunya di belakang tali pengikat. Ia berusaha keras untuk melepaskan tali ikatan tersebut dari tangannya.Satu, dua, tiga. Ia berhasil melepaskan ikatan tali yang mengikat tangannya di belakang. Tanpa menunggu lama, Tanjo segera berlari m
Hanya beberapa menit kemudian, gerombolan para pemuja setan itu pun mulai terlihat. Mereka berlari menerobos malam dengan api obor mereka yang berederet panjang ke belakang. Tak bisa dihitung entah berapa banyak jumlah mereka pada saat itu. Mungkin ratusan orang. Mereka berlari membawa anjing-anjing pelacak mereka yang ganas. Setelah cukup jauh berlari meninggalkan desa yang terkutuk itu, tiba-tiba saja Ani roboh ke tanah. Sepertinya luka yang ada di perut dan punggungnya itu sangat parah, sehingga membuatnya tidak berdaya lagi untuk melarikan diri. Dia terjatuh di tengah jalan. Namun Dewi dan Buk Aida Istri Pak Wawan tidak mengetahuinya. Mereka terus berlari di dalam gelap untuk menyelamatkan diri mereka. Pak Jumri dan semua anak buahnya itu terus mengejar mereka dari belakang. Mereka melewati kebun jagung itu tanpa mengetahui Pak Wawan sedang meringkup di balik parit dalam kondisi tubuh yang penuh luka. Anjing-anjing mereka yang ganas terus menggonggong dengan suara mereka yang beg
Pria misterius itu perlahan-lahan melangkahkan kakinya untuk mencari jejak Sindi yang tiba-tiba saja lenyap entah ke mana. Ia menyorotkan cahaya senternya itu ke segala arah untuk memeriksa tempat itu, namun ia tetap tidak menemukannya. Akan tetapi ia tidak menyerah, pria misterius itu masih bertahan di tempat itu untuk menunggu mangsanya keluar dari tempat persembunyian.Malam masih tetap sesunyi sebelumnya. Yang terdengar hanyalah suara angin malam yang bercampur dengan para jengkerik. Kabut malam semakin tebal menyelimuti malam. Sindi meringkup di balik rerumputan sambil terus mengintip pria itu yang menunggunya di tengah jalan.Pria itu cukup tinggi dan badannya tampak begitu kekar. Ia mengenakkan penutup wajah, sehingga membuat Sindi tidak bisa melihatnya dengan jelas. Siapakah pria itu? Apakah itu adalah sopir truk yang beberapa hari yang lalu mengantarkan air darah pencuci daging ke rumah Pak Jumri dan Pak Dunto? Tidak, pria itu tidak berpostur kekar seperti itu. Lalu siapakah
Buk Aida dan Dewi bersembunyi lereng bukit. Mereka mengintip Pak Jumri dan anak buahnya yang berkeliaran di bawah sana. Cahaya senter mereka tampak berulang kali menyorot ke arah mereka, namun tidak ada satu pun dari mereka yang melihat keberadaan Buk Aida dan Dewi.“Kita harus berhenti di sini, tunggu sampai mereka semua pergi—barulah kita turun ke bawah sana. Aku sudah tidak sanggup lagi berlari lebih jauh, luka di dadaku ini terus mengeluarkan darah, aku sudah tidak kuat lagi..” Dewi mendudukkan dirinya di tanah. Ia tampak begitu lelah dan telah kehilangan banyak darah. Dewi butuh istrirahat sejenak untuk mengumpulkan segenap tenanganya yang masih tersisa.Sejak dari pagi tadi, mereka belum sempat mengganjal perut walau hanya sesuap nasi. Hari itu benar-benar terasa melelahkan. Mereka terus berlari dikejar oleh para warga desa yang begitu menakutkan. Sepertinya otak mereka semua telah dicuci oleh Pak Karay dan teman-temannya, merekalah yang sebenarnya dalang dari semua ini.“Baikl
Pak Jumri dan anak buahnya tampak masih berkerumun di bawah sana. Dari tadi cahaya senter mereka terlihat sibuk menerawang ke atas bukit tempat di mana Buk Aida dan Dewi berada. Obor mereka juga tampak menyala terang menerangi malam. Dari atas sana, Buk Aida dan Dewi dapat melihat mereka semua dengan jelas.Kondisi Buk Aida dan Dewi mulai terdesak, mereka tidak tahu harus pergi kemana untuk bersembunyi menghindari gerombolan para pria jahat tersebut. Jika mereka terus bergerak maju turun ke bawah sana, maka sudah pasti mereka akan dicegat oleh gerombolan Pak Jumri dan anak buahnya. Namun jika mereka mundur ke belakang, maka anak buah Pak Jumri yang lain sudah banyak yang mulai berdatangan mendekat ke tempat mereka. Mereka berdua terkurung di tengah-tengah gerombolan itu, di sebuah lereng bukit yang menurun ke bawah sana.“Berhenti! Jangan ke sana! Nanti mereka semua akan melihat kita..” Buk Aida menarik lengan tangan Dewi dari belakang. “Ssstt... Jangan ada yang bersuara..” Buk Aida m