Meskipun arus sungai itu tampak begitu tenang dan nyaris tidak mengeluarkan suaranya, namun saat ia terjun dan berenang ke dalamnya, ternyata arus sungai itu sungguh begitu deras. Sindi kesulitan untuk mengendalikan diri. Hanya dalam beberapa detik saja tubuhnya berada di dalam sana, ia sudah terseret jauh dalam jarak belasan meter meninggalkan perahu Pak Wawan yang tertangkap oleh para pria gila itu. Keadaan Sindi di dalam sungai sungguh memprihatinkan. Ransel yang dibawanya itu terasa lima kali lipat lebih berat dan menghambat pergerakannya. Tidak ada pilihan lain, ia pun memutuskan untuk melepaskan dan kemudian membuang ransel tersebut. Ia kemudian segera berenang ke tepi sungai menuju ke sebuah tumpukan tanah yang samar-samar terlihat dipenuhi oleh rerumputan liar. Ia berhasil mencapainya dengan selamat. Ia langsung mendudukkan dirinya begitu saja di tanah, sembari mengatur nafasnya yang sudah berada di luar kendali. Sindi melayangkan pandangannya jauh ke belakang sana, ke arah s
Hujan semakin deras, angin semakin kencang, dan petir pun semakin ganas memamerkan suaranya yang menyeramkan. Meri menutup kedua telinganya, dan membiarkan air hujan jatuh memabasuh seluruh tubuhnya yang malang itu. Jauh di bawah sana, cahaya lampu kendaraan itu mendadak berhenti dan tidak bergerak sedikitpun. Apa yang terjadi? Entahlah, mungkin saja kondisi jalannya menjadi semakin berlumpur sehingga membuat empat roda mobil itu tak mampu bergerak walau sedikitpun. Tak lama kemudian, cahaya lampu mobil itu pun tiba-tiba padam. Buyung dan empat orang temannya itu masih berjalan perlahan membawa lampu obor di tangan mereka. Meski kini hujan deras turun mengguyur malam, namun lima orang pria gila itu tidak peduli sedikitpun. Mereka menyapu seluruh area di tempat itu dengan beringasnya. Mereka menebas semua benda yang menghalangi langkah mereka. Dekat dan semakin dekat dengan Meri. Meri yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa itu hanya bisa pasrah kepada Tuhan. Jika saat itu ia memilih un
Dari dalam kegelapan, tiba-tiba terlihatlah ada sebuah lampu obor yang berjalan ke arahnya. Sindi sungguh begitu takut, namun ia tidak bisa lari meninggalkan tempat itu, karena ia tidak bisa melihat apa pun yang ada di sekitarnya. Dia memutuskan untuk bersembunyi di bawah tebing itu tanpa beranjak walau sedikitpun. Cahaya lampu obor itu terus bergerak perlahan-lehan menuju ke arahnya. Dekat dan semakin dekat. Sindi bersiap-siap untuk menyerang sosok misterius tersebut yang berjalan ke arahnya dengan sebongkah batu yang ada di tangannya. “Oh tidak” Sindi tersentak. Ia benar-benar kaget pada saat itu. Ternyata orang tersebut adalah Nenek tua, ibunya Tanjo yang memberinya kalung di hari kemarin. “Nak.. Bangunlah.. Kau harus menyelamatkan dua orang temanmu itu. Bawa api obor ini untuk menerangi jalanmu..” ujar Nenek tua tersebut. Sindi pun terbangun dari tidurnya. Saat itu hujan deras dan angin kencang kini telah reda. Ia segera berjalan keluar untuk melihat langit, namun wajah sang remb
Tidak perlu menyita waktu yang lama, dua roda belakang mobil itu pun akhirnya berhasil keluar dari genangan lumpur. Bus tua itu kembali berdiri dengan gagahnya dengan suara yang mengaum-ngaum di tengah jalan. Pria itu menginjak-nginjak pedal gasnya untuk memanaskan mesin solar tersebut. Pria itu segera keluar dari mobilnya untuk berterimakasih kepada para pria itu. “Apa yang kau bawa di dalam bus tua ini di tengah malam yang seperti ini?” Tanya Buyung dengan nada yang setengah curiga. Pria itu tertawa kecil namun ekspresi wajahnya tak terlihat jelas karena masker hitam yang menutupi separuh wajahnya. “Biasa, aku adalah seorang kurir yang sedang mengantarkan paket untuk merayakan pesta malam bulan purnama yang ketujuh belas” Suara pria itu terdengar sungguh begitu dingin. Buyung dan empat orang temannya itu pun heran dan saling menoleh satu sama lain. “Apakah kalian sedang membutuhkan tumpangan?” Sang sopir menawarkan diri dengan suara yang ramah. Hal tersebut lantas membuat kecurigaa
Sejauh jalan yang ia lewati, ia tidak menemukan satu pun jejak manusia di tempat itu. Sindi mulai ragu, ia khawatir arah yang ia tuju itu bukannya mengarah ke arah jalan setapak--namun justru semakin jauh dari tujuannya tersebut. Saat ia mulai bimbang, tiba-tiba ia teringat dengan ucapan Pak Wawan, bahwa jalan setapak berada sekitar tiga kilometer di depan sana. Jika benar demikian, maka jaraknya dengan jembatan kayu yang menghubungkan dua sisi hutan itu hanya tinggal sekitar satu kilometer saja. Ia kembali melanjutkan perjalanannya.Setelah cukup jauh berjalan mengikuti arus sungai yang mengalir tersebut, Sindi pun tiba di sebuah jembatan kayu yang tampak menggantung dengan tali bajanya di seberang sana. Ternyata perkataan Pak Wawan benar, kini ia sudah berada tepat di depan jembatan tersebut.Sebelum melangkahkan kakinya menuju jembatan tersebut, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Dari kejauhan, terlihat ada benda yang mengkilat di dalam gelap memantulkan cahaya senternya terseb
Satu persatu karung yang tertumpuk di lantai belakang mulai disingkirkan oleh anak buah Buyung. Hingga semua tumpukan karung itu habis, ternyata tidak ada apa pun yang ada di sana. Hal tersebut lantas membuat Rameng menjadi begitu kaget dan langsung menghentikan busnya di tempat. Ia segera berjalan ke ruangan belakang untuk melihat dengan mata dan kepalanya, benar, ternyata wanita itu telah menghilang. Rameng menjadi sangat murka. Dia baru ingat, ternyata setelah ia mengangkat tubuh wanita itu ke dalam ruangan belakang, dia lupa mengunci pintu saat ia meletakkan dongkrak ke dalam sana. Menyadari hal tersebut, Rameng segera maju ke kursi sopir dan mulai memainkan kembali stir busnya. Ia berputar ke belakang dan kemudian melesat dalam kecepatan yang cukup tinggi. Meskipun ada banyak sekali dahan-dahan pohon yang menghalangi laju busnya tersebut, namun ia tidak peduli. Bus tua itu bergoncang hebat melewati jalan setapak yang dipenuhi genangan lumpur. Suara dengungan mesinnya terdengar m
“Buuummm...” Bunyi suara knalpot Bus tua Rameng yang mendadak berhenti. Rameng segera membuka loker mobilnya, dan kemudian memberikan senter satu per satu kepada teman-temannya tersebut. “Ayo, kita cari wanita itu di tepi hutan ini!” Rameng mengarahkan telunjuknya keluar. “Apakah kakak benar-benar yakin bahwa wanita itu berada di sekitaran tempat ini?” tanya Buyung dengan wajah yang seakan masih kurang begitu yakin. “Apakah kau melihat ada sebuah dahan kayu yang cukup besar melintang dalam jarak sepuluh meter di depan mobil kita di sana? Wanita itu pasti melompat keluar saat bus tua ini bergoncang hebat ketika melindas kayu tersebut. Dia pasti berada di sekitar sini. Ayo, cepat keluar!” Seru Rameng seraya bergerak keluar dari pintu bus. Buyung dan anak buahnya itu pun segera menyusul dari belakang. Mereka semua mulai menyebar.Buyung berjalan cukup jauh ke depan sana, ia menyorotkan cahaya senternya itu ke segala arah untuk mencari jejak Meri. Ia menemukan sesuatu. “Lihat! Ini adalah
Pak Karay maju ke depan dan kemudian berhenti tepat di depan Pak Wawan. Tanpa berbicara sepatah kata-pun, dia langsung menusuk perut Pak Wawan dengan sebilah pisau yang tajam. “Ssskkk...” Hanya dalam beberapa detik saja, pria itu telah melakukan tiga kali penusukan. Satu di bagian perut, dan dua di bagian paha kiri dan kanan Pak Wawan. Hal tersebut lantas membuat istri Pak Wawan menjerit histeris. Dia tidak sanggup melihat sosok suami yang ia cintai disiksa dengan cara yang kejam seperti itu. Wanita itu bahkan sampai meludahi wajah Pak Karay. Menanggapi hal tersebut, sebuah tamparan keras pun melayang ke wajahnya. Wanita itu pun langsung terdiam dan tak kuasa lagi untuk berkutik. Pak Wawan meringis kesakitan. Darah segar tampak mulai bersimbah membasahi baju dan celananya. Meski demikian, nyali pria itu belum juga berakhir. Ia bahkan masih bisa tertawa lepas seperti orang gila yang terus menerus mengejek Pak Karay. “Lihatlah, sebentar lagi kau akan menemui ajalmu. Mereka akan mengga
Setelah sekian jauh berlari mendaki bukit, tiba-tiba datanglah helikopter yang kemudian menembaki mereka dari atas. Pak Karay yang sudah begitu lelah, akhirnya memutuskan untuk berhenti dan memberikan perlawanan. Ia memerintahkan semua anak buahnya untuk menembaki helikopter tersebut. Namun belum berhasil mengenai helikopter tersebut, mereka semua sudah terlebih dahulu dihujani tembakan dari atas sana. Sehingga membuat Pak Karay dan beberapa anak buahnya itu pun bertekuk lutut. Sebagian mereka ada yang tewas, dan sebagiannya lagi menyerahkan diri, termasuk dengan Pak Karay yang juga menyerahkan diri. Di sisi lain, Rameng dan Darkis masih terus berlari tanpa henti bersama dengan sebagian anak buah Pak Karay yang masih tersisa. Mereka juga terus memberikan perlawanan jika ada Polisi yang berusaha mendekat untuk menyerang mereka. Saat itu, jumlah mereka diperkirakan hanya tersisa belasan orang. Waktu terus berlalu. Hari sudah mulai memasuki sore. Sudah lebih dari empat jam sejak operasi
“Sekarang adalah giliranmu lagi, wahai gadis kecil yang malang, hahahaha!” Rameng menyeringai jahat sembari meraih kedua tangan Sindi dengan kasar. Sindi yang keras kepala itu pun langsung memberontak untuk memberikan perlawanan. Meski kesempatan hidupnya itu sudah berada di ujung kuku, namun semangat juangnya sungguh luar biasa. Akan tetapi tak lama kemudian, Sindi pun terpaksa menyerah ketika Rameng menghantam kepalanya dengan sebalok kayu. Penglihatannya seketika langsung redup, ia tak sadarkan diri. Rameng dan Darkis berhasil menggantung tubuh kedua wanita itu ke tiang penggantungan dengan mudah. Eksekusi mati pun akan segera dimulai.“Sekarang adalah giliranmu, manis” Pak Karay memainkan bibir Dewi dengan telunjuknya. Kau tak perlu takut, sebelum tubuhmu menjadi mayat, aku ingin bersenang-senang dulu denganmu sebentar. Hahaha...” Pak Karay tertawa kegirangan. Tak bisa dipungkiri, Dewi memang punya tubuh yang begitu indah.Buah dadanya yang maha besar itu terlihat kokoh dan padat,
“Dewi.. Hikkss.. Hikkss... Apa yang akan mereka lakukan? Apakah kita akan segera mati?” Tanya Ani dengan terisak-isak. Sepertinya dia sudah mengetahuinya. Dewi tidak menjawab pertanyaan tersebut, dia hanya meneteskan air matanya dengan penuh kesedihan.“Apa yang kalian tangisi wahai anjing-anjing yang malang? Sudahlah, inilah akhir dari riwayat hidup kalian. Anggap saja kalian terlahir ke dunia ini hanya sekedar untuk menjadi binatang pengorbanan kami! Hahahaha.. Hukk hukk” Pak Karay bahkan sampai terbatuk saat menghembuskan asap cerutunya.“Bajingan kau, Karay!” Mati kau bajingan tengik!” Pak Hendri mengutuk pria itu.“Waw waw, luar biasa sekali. Lihatlah si bajingan yang malang ini, biji matanya bahkan sudah terlepas, tapi dia masih punya nyali dan kekuatan untuk mengancamku. Aku akui, kau memang luar biasa, Hendri! Hahaha..” Pak Karay bertepuk tangan sambil tertawa.“Muradi! Bolehkah aku meminjam pisau kecilmu yang tajam itu? Karena pisauku sudah hilang dan mungkin terjatuh di suat
“Rupa-rupanya kau ingin mempermainkanku, hah? RASAKAN INI!” Pak Karay menghantam kepala Hendri dengan tinjunya. Pria itu langsung terkulai dengan tubuh yang terselentang. Seakan masih belum puas, Pak Karay bahkan kambali menaiki tubuh pria malang itu dan menghajarnya berulang-ulang kali.“Ukkkhhh... Ukkhh” Hendri meringis kesakitan. Nafasnya ngos-ngosan.“Aku tidak akan pernah membiarkanmu menyentuh mereka walau sehelai rambut pun!” cecar pria itu sembari bangun dari tubuh Hendri. Pria itu kini bahkan sudah tak mampu untuk bernafas dengan baik, apalagi untuk memprovokasi Pak Karay? Dia benar-benar sudah tidak berdaya.Tulang hidung Hendri benar-benar sudah hancur. Mulutnya telah sobek, dan hanya menyisakan beberapa biji gigi saja. Mata kirinya yang tadi bengkak kini bahkan telah pecah, sehingga membuat biji matanya itu menggantung keluar. Pria malang itu benar-benar babak belur dan nyaris mati.“Jangan sangka aku menghentikan pukulanku hanya karena aku merasa kasihan denganmu, akan te
“Apa katamu? Kamu pikir kami akan percaya kepadamu yang kini bahkan tidak bisa mengenal wajah putramu sendiri” Pak Karay menendang kepala Tanjo ke hadapan wanita tersebut. Terlihatlah wajah Tanjo yang begitu pucat dengan darah yang memenuhi pangkal lehernya.Nenek tua itu tiba-tiba saja memejamkan kedua matanya. Sementara itu, Sindi, Meri, dan Dewi yang terikat di tiang penggantungan hanya bisa melihatnya dengan tatapan bodoh tanpa mengetahui sedikitpun maksud dari itu semua. Nenek tua itu kembali meracau, kali ini dengan suara yang melengking.Oh Tidak! Apakah selama ini suara nyanyian misterius yang hampir selalu dia dengan di setiap malam selama berada di rumah Buk Tiah itu adalah suara Nenek tua itu? Bagaiamana mungkin wanita yang setua itu masih memiliki suara yang sangat indah dan merdu? Meri dan Sindi saling tatap menatap satu sama lain. Takjub setelah mengetahui sosok sebenarnya di balik suara nyanyian misterius yang seringkali menghibur mereka di beberapa malam yang lalu.“Oh
“Hey! Hey! Siapa yang suruh kau tidur begitu? Ayo bangun!” Pak Dunto menyiram seember air ke wajah Sindi yang pada saat itu nyaris saja tak sadarkan diri. Lebih baik pingsan dan tidak merasakan apapun, karena dalam keadaan sadar semuanya terasa jauh lebih menyakitkan. Ia sudah tidak sanggup lagi menunggu, dan ingin semuanya segera berakhir.Pria itu mencekik lehernya, dan kemudian mendudukkannya di roda bus. Setelah itu, dia juga melakukan hal yang sama kepada Meri. Dua orang sahabat itu tersandar di dinding bus dalam keadaan yang begitu lemah. Sudah dua hari mereka bahkan belum mengganjal perut mereka.Dari kejauhan, tiba-tiba muncullah Ole bersama dengan dua orang temannya. Dia sedang menyeret tubuh seseorang. OH TIDAK! Sindi dan Meri menjerit. Semoga saja orang yang mereka bawa itu bukanlah Irma.Pak Karay dan kawan-kawannya memandang ke arah yang sama, melihat Buyung dan dua orang temannya yang terus mendekat sembari menyeret tubuh seorang.“Siapa ini? Apakah kau sudah berhasil m
“Hey, lihat! Sang penyelamat kita sudah kembali datang..” Pria paruh baya yang menenteng senjata itu menghampiri Rameng. Dua orang pria yang bertubuh kekar itu saling berpelukan dan bertukar senyum satu sama lain.“Hahaha, aku sudah menduganya, bahwa polisi korup itu tidak akan bisa menangkapmu.” Pria itu masih berdecak kagum akan kehadiran Rameng. Bagaimana tidak? Ia berhasil lolos dari kepungan para polisi. Bagaimana cara dia melakukannya? Entahlah, itulah yang ingin ditanyai oleh Pak Karay padanya.“Ayo ceritakan, bagaimana kau bisa lolos dari kepungan para polisi yang korup itu? Apakah mereka menembakmu?” Pak Karay melipat kedua tangannya di dada.“Hahaha, tentu saja. Tapi Ninek (dewa) menolongku. Dia datang tepat waku saat salah satu dari mereka hampir saja menemukanku. Aku bersembunyi di dalam rumput berduri, sehingga mereka tidak dapat melihatku. Aku dapat melihat dan mendengar dengan telingaku, mereka menembak beberapa orang dari keluargaku tanpa belas kasih sedikitpun.” Ramen
Tak lama kemudian, dari atas bukit, tiba-tiba muncullah sebuah bus tua yang melaju dalam kecepatan normal. Melihat kemunculan bus tua itu, Pak Murad yang duduk santai di kursi kayu bahkan langsung terbangun pada saat itu Juga. Pria itu segera membenahi kacamata emasnya untuk memperbaiki penglihatannya. Terbitlah segaris senyum kecil di wajahnya.Bus tua itu berhenti tepat di tengah-tengah halaman desa. Suara knalpotnya yang bising perlahan-lahan memelan sebelum akhirnya benar-benar lenyap ketika sang sopir memutar kuncinya. Tak lama kemudian, turunlah beberapa orang pria dari dalam sana.Tangannya yang sibuk memotong tali-tali itu pun langsung terhenti, bahkan pisau itu pun juga terjatuh ke lantai. Dewi shock melihat beberapa orang pria yang baru saja keluar dari dalam bus tua itu. Yang paling membuatnya kaget adalah sosok pria yang yang mengenakkan perban di tangan kanannya. Rameng, pria itulah yang telah menipu mereka berdua saat itu.Waktu itu Rameng datang ke kantor mereka, dia me
“Jangan takut! Pria itu sebenarnya sudah tidak punya amunisi lagi untuk menembak kalian. Aku yakin, dia hanya menggertak kita!” Pak Dunto bangun dari tanah. Ia mulai berjalan mendekati pria tersebut. Ia bahkan tidak gentar walau sedikitpun.Belasan orang anak buahnya yang bertiarap di tanah saat itu benar-benar kaget dan juga cemas. Pria itu bahkan berjalan santai tanpa menunjukkan rasa takutnya walau sedikitpun. Bagaimana jika dugaan Pak Dunto salah? Dan ternyata si penyusup itu masih punya puluhan butir peluru? Maka semuanya akan tamat. Pak Dunto akan tewas.“HAHAHA, AYO TEMBAK! MENGAPA KAU DIAM SAJA SEPERTI ITU? AYO TEMBAK!” Pak Dunto menantang si penyusup tersebut. Ia bahkan membusungkan dadanya ke depan menyuruh si penyusup itu menembaknya.Melihat gertakan tersebut, wajah si penyusup pun mulai berubah. Ia tahu betul bahwa saat ini pengaruhnya sudah mulai hancur. Akan tetapi, bagaimana mungkin si pria itu bisa tahu bahwa amunisi senjatanya telah habis? Ia harus segera keluar dari