Ceritanya akan segera tamat di bulan ini
Dari dalam kegelapan, tiba-tiba terlihatlah ada sebuah lampu obor yang berjalan ke arahnya. Sindi sungguh begitu takut, namun ia tidak bisa lari meninggalkan tempat itu, karena ia tidak bisa melihat apa pun yang ada di sekitarnya. Dia memutuskan untuk bersembunyi di bawah tebing itu tanpa beranjak walau sedikitpun. Cahaya lampu obor itu terus bergerak perlahan-lehan menuju ke arahnya. Dekat dan semakin dekat. Sindi bersiap-siap untuk menyerang sosok misterius tersebut yang berjalan ke arahnya dengan sebongkah batu yang ada di tangannya. “Oh tidak” Sindi tersentak. Ia benar-benar kaget pada saat itu. Ternyata orang tersebut adalah Nenek tua, ibunya Tanjo yang memberinya kalung di hari kemarin. “Nak.. Bangunlah.. Kau harus menyelamatkan dua orang temanmu itu. Bawa api obor ini untuk menerangi jalanmu..” ujar Nenek tua tersebut. Sindi pun terbangun dari tidurnya. Saat itu hujan deras dan angin kencang kini telah reda. Ia segera berjalan keluar untuk melihat langit, namun wajah sang remb
Tidak perlu menyita waktu yang lama, dua roda belakang mobil itu pun akhirnya berhasil keluar dari genangan lumpur. Bus tua itu kembali berdiri dengan gagahnya dengan suara yang mengaum-ngaum di tengah jalan. Pria itu menginjak-nginjak pedal gasnya untuk memanaskan mesin solar tersebut. Pria itu segera keluar dari mobilnya untuk berterimakasih kepada para pria itu. “Apa yang kau bawa di dalam bus tua ini di tengah malam yang seperti ini?” Tanya Buyung dengan nada yang setengah curiga. Pria itu tertawa kecil namun ekspresi wajahnya tak terlihat jelas karena masker hitam yang menutupi separuh wajahnya. “Biasa, aku adalah seorang kurir yang sedang mengantarkan paket untuk merayakan pesta malam bulan purnama yang ketujuh belas” Suara pria itu terdengar sungguh begitu dingin. Buyung dan empat orang temannya itu pun heran dan saling menoleh satu sama lain. “Apakah kalian sedang membutuhkan tumpangan?” Sang sopir menawarkan diri dengan suara yang ramah. Hal tersebut lantas membuat kecurigaa
Sejauh jalan yang ia lewati, ia tidak menemukan satu pun jejak manusia di tempat itu. Sindi mulai ragu, ia khawatir arah yang ia tuju itu bukannya mengarah ke arah jalan setapak--namun justru semakin jauh dari tujuannya tersebut. Saat ia mulai bimbang, tiba-tiba ia teringat dengan ucapan Pak Wawan, bahwa jalan setapak berada sekitar tiga kilometer di depan sana. Jika benar demikian, maka jaraknya dengan jembatan kayu yang menghubungkan dua sisi hutan itu hanya tinggal sekitar satu kilometer saja. Ia kembali melanjutkan perjalanannya.Setelah cukup jauh berjalan mengikuti arus sungai yang mengalir tersebut, Sindi pun tiba di sebuah jembatan kayu yang tampak menggantung dengan tali bajanya di seberang sana. Ternyata perkataan Pak Wawan benar, kini ia sudah berada tepat di depan jembatan tersebut.Sebelum melangkahkan kakinya menuju jembatan tersebut, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Dari kejauhan, terlihat ada benda yang mengkilat di dalam gelap memantulkan cahaya senternya terseb
Satu persatu karung yang tertumpuk di lantai belakang mulai disingkirkan oleh anak buah Buyung. Hingga semua tumpukan karung itu habis, ternyata tidak ada apa pun yang ada di sana. Hal tersebut lantas membuat Rameng menjadi begitu kaget dan langsung menghentikan busnya di tempat. Ia segera berjalan ke ruangan belakang untuk melihat dengan mata dan kepalanya, benar, ternyata wanita itu telah menghilang. Rameng menjadi sangat murka. Dia baru ingat, ternyata setelah ia mengangkat tubuh wanita itu ke dalam ruangan belakang, dia lupa mengunci pintu saat ia meletakkan dongkrak ke dalam sana. Menyadari hal tersebut, Rameng segera maju ke kursi sopir dan mulai memainkan kembali stir busnya. Ia berputar ke belakang dan kemudian melesat dalam kecepatan yang cukup tinggi. Meskipun ada banyak sekali dahan-dahan pohon yang menghalangi laju busnya tersebut, namun ia tidak peduli. Bus tua itu bergoncang hebat melewati jalan setapak yang dipenuhi genangan lumpur. Suara dengungan mesinnya terdengar m
“Buuummm...” Bunyi suara knalpot Bus tua Rameng yang mendadak berhenti. Rameng segera membuka loker mobilnya, dan kemudian memberikan senter satu per satu kepada teman-temannya tersebut. “Ayo, kita cari wanita itu di tepi hutan ini!” Rameng mengarahkan telunjuknya keluar. “Apakah kakak benar-benar yakin bahwa wanita itu berada di sekitaran tempat ini?” tanya Buyung dengan wajah yang seakan masih kurang begitu yakin. “Apakah kau melihat ada sebuah dahan kayu yang cukup besar melintang dalam jarak sepuluh meter di depan mobil kita di sana? Wanita itu pasti melompat keluar saat bus tua ini bergoncang hebat ketika melindas kayu tersebut. Dia pasti berada di sekitar sini. Ayo, cepat keluar!” Seru Rameng seraya bergerak keluar dari pintu bus. Buyung dan anak buahnya itu pun segera menyusul dari belakang. Mereka semua mulai menyebar.Buyung berjalan cukup jauh ke depan sana, ia menyorotkan cahaya senternya itu ke segala arah untuk mencari jejak Meri. Ia menemukan sesuatu. “Lihat! Ini adalah
Pak Karay maju ke depan dan kemudian berhenti tepat di depan Pak Wawan. Tanpa berbicara sepatah kata-pun, dia langsung menusuk perut Pak Wawan dengan sebilah pisau yang tajam. “Ssskkk...” Hanya dalam beberapa detik saja, pria itu telah melakukan tiga kali penusukan. Satu di bagian perut, dan dua di bagian paha kiri dan kanan Pak Wawan. Hal tersebut lantas membuat istri Pak Wawan menjerit histeris. Dia tidak sanggup melihat sosok suami yang ia cintai disiksa dengan cara yang kejam seperti itu. Wanita itu bahkan sampai meludahi wajah Pak Karay. Menanggapi hal tersebut, sebuah tamparan keras pun melayang ke wajahnya. Wanita itu pun langsung terdiam dan tak kuasa lagi untuk berkutik. Pak Wawan meringis kesakitan. Darah segar tampak mulai bersimbah membasahi baju dan celananya. Meski demikian, nyali pria itu belum juga berakhir. Ia bahkan masih bisa tertawa lepas seperti orang gila yang terus menerus mengejek Pak Karay. “Lihatlah, sebentar lagi kau akan menemui ajalmu. Mereka akan mengga
Angin malam behembus meniupi dedaunan rumpun bambu yang rindang. Satu persatu dari mereka berjatuhan ke tanah. Kabut malam terlihat semakin menebal menyelimuti hutan. Hawa dingin menyeruak. Ia baru saja berjalan meninggalkan tempat itu menerobos rumput-rumput liar yang tumbuh di atas tebing jalan. Jaraknya dengan belokan jalan saat itu tidak begitu jauh, hanya terpaut sekitar dua puluh meter. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya dia pun berhasil sampai di sana. Dia mulai melongakkan kepalanya ke bawah sana, untuk memeriksa situasi.Dugaannya benar. Ternyata di bawah sana ada seonggok api kecil yang sedang menyala. Namun dia bingung karena tidak melihat satu orang pun di tempat itu. Api kecil itu menyala cukup terang meskipun beberapa kali nyaris padam tertiup oleh angin. Siapakah yang menyalakan api tersebut? Sindi bertanya-tanya di dalam hati.Tidak sampai di situ, untuk membuatnya yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja, dia pun kembali melemparkan pandangannya ke segala ara
Askar dan dua orang temannya itu terus berlari menapaki jalan setapak yang basah dan becek itu mengikuti jejak kaki Sindi yang tampak mengarah menuju jalan Raya. Semenjak berhasil menyeberangi jembatan kayu yang jauh di belakang sana, hingga sampai di perkebunan kopi—mereka belum juga berhenti untuk beristirahat. Padahal jarak yang telah mereka tempuh cukup jauh, hampir empat kilometer. Stamina mereka masih jauh lebih tangguh daripada Sindi.“Sindi... Sindi...” Suara teriakan itu terdengar sayup-sayup memanggil jauh dari belakang sana. Meskipun suara itu berasal dari tempat yang jauh, namun karena suasana malam yang begitu hening dan sunyi membuat Sindi yang tengah berlari itu pun langsung menghentikan langkahnya. Walaupun itu hanyalah terkesan seperti gemaan suara, namun ia tetap dapat mendengar suara panggilan itu yang menyebut-nyebut namanya sampai beberapa kali. Suara siapakah tersebut? Mengapa dia tidak mengenalinya? Apakah itu adalah sebuah pancingan? Seakan tak mau dijebak, Ia