*Happy Reading*
"Saya yang akan menggantikan Bapak dan Ibu mencicil utang sama anda." Ina memberanikan diri untuk menjawab.
Sayangnya, bukan persetujuan yang Ina dapatkan. Malah seringai menyebalkan dari pria bangkotan itu, yang benar-benar meremehkan sahutan Ina.
"Dengan apa kamu akan membayar, Ina? Dengan upah harian kamu yang tak seberapa dari warteg di pasar itu, huh? Mana bisa! Buat makan sehari saja tidak cukup. Apalagi untuk bayar hutang. Gak akan mungkin!" Jawaban juragan Joko mampu menohok Ina sampai ke ulu hatinya.
"Lagipula hutang orang tua kamu sudah terlalu banyak dan terlalu lama. Saya tidak bisa menunggu lagi." Pak Joko menambahkan dengan tegas.
"Ta-tapi--"
"Hais, sudah!" Pak Joko memangkas ucapan Ina dengan cepat. Sengaja tak ingin memberikan Ina kesempatan beralaskan lagi.
"Kalau kamu memang ingin membayar hutang dengan uang, silahkan. Tapi, saya ingin sekarang juga!"
Degh! Apa?! Itu tidak mungkin!
"Atau .... " Pak Joko.menambahkan, seraya menggantung kalimatnya diiringin senyum culas mempermainkan Ina. "Kamu harus rela menikah dengan saya saat ini juga!" putus Pak Joko dengan suara dalam. Membuat semua orang terkesiap karenanya.
Ina pun tercekat di tempatnya, seketika bingung harus mengambil keputusan apa saat ini? Kedua pilihan itu seperti neraka untuk Ina, tidak ada yang bisa meringankan beban Ina.
Harus bagaimana sekarang?
Harus dengan apa Ina membayar hutang orang tuanya?
Ina tak punya uang sama sekali. Bahkan kain kafan untuk orang tuanya pun, itu dapat dari pemberian tetangga. Lalu, harus pada siapa Ina meminta tolong lagi?
Adakah yang mau menolong Ina? Tidak perlu memberi dengan percuma. Menghutangkan saja, Ina sudah sangat bersyukur. Yang penting Ina tidak harus menikah dengan pria bangkotan Ini.
Karena sumpah demi apapun, pria ini bahkan lebih tua dari ayahnya. Sungguh, tidak ada pantasnya bersanding dengan Ina.
Bukan Ina memandang fisik. Hanya saja ... demi Tuhan. Ina tidak mau menikah dengan pria ini!
Ina mencoba menatap semua orang yang hadir di sana dengan tatapan menghiba. Meminta belas kasih dari mereka, yang mungkin saja mau membantu Ina keluar dari masalahnya Ini.
Namun, sejauh mata Ina memandang. Tidak ada satu orang pun yang bersedia menolong. Semuanya menunduk prihatin, bahkan ada juga yang langsung buang muka saat mata bersirobok.
Batin Ina menjerit pilu meratapi ketidakberdayaannya ini. Tuhan ... apakah hidup Ina harus berakhir bersama pria tua bangka ini?
Apa takdirnya memang harus menjadi istri ke tujuh bangkotan bau tanah ini?
Tuhan ... berikanlah keajaibanmu. Datangkanlah siapa saja yang bisa menolong Ina. Ina benar-benar tidak mau menjadi istri muda lintah darat tukang kawin ini.
"Bagaimana? Bisa kamu melunasi hutang kamu sekarang?" Seringai menyebalkan itupun kembali dipertunjukan. Membuat Ina muak sekali.
"Pak, tolong berikan waktu lagi pada saya. Saya janji akan melunasi semuanya." Ina mulai menghiba, dengan air mata yang kembali membasahi pipinya.
Demi Tuhan, jasad orang tuanya saja masih ada di sini. Belum di antar ke rumah terakhir mereka, dan Ina pun belum memberikan penghormatan terakhirnya.
Kenapa nasib kejam sudah muncul dan mendesaknya kembali?
Apa tidak bisa Tuhan memberikan tenggang waktu sedikit lagi untuk Ina bernapas lega?
Atau ... setidaknya sampai semua urusan pemakaman selesai. Agar Ina bisa berpikir dengan hati tenang.
Kalau seperti ini? Jangankan berpikir tenang, bernapas pun rasanya sesak sekali.
Tuhan ... kenapa kau tega sekali?
"Saya tidak punya waktu lagi!" Jawaban Pak Joko pun makin membuat Ina merepih luar biasa.
Kejam!! Kenapa takdir harus sekejam ini padanya?
"Sudahlah, Ina. Kamu terlalu banyak membuang waktu saya!" sentak Pak Joko mulai tak sabaran. "Pokoknya kalau kamu ingin membayar hutang. Maka lunasi sekarang juga! Atau ... ikut saya ke penghulu. Mengerti!"
Tidak! Ina tidak mau!
Tuhan ... Tolong Ina! Harus bagaimana ini? Ina bingung sekali. Ina gak tahu harus bagaimana sekarang?
Ina pun hanya bisa menangis pilu setelahnya, karena merasa buntu dan tak punya pilihan lagi.
"Ck ... lama kamu, Ina. Udah! Ikut saya ke penghulu sekarang!"
Pak Joko pun dengan kurang ajar mencekal lengan Ina, dan menyeretnya begitu saja keluar dari tempat, yang sebenarnya tidak layak di sebut rumah.
Ina menangis, meronta, dan mencoba minta tolong pada siapa saja yang bersedia menolongnya. Namun tak ada satu pun yang berbaik hati mengulurkan tangan. Untuk menolong Ina.
Sekuat apapun Ina meronta. Sekuat apapun Ina menghiba. Mereka semua seakan tutup telinga dan mata pada penderitaan Ina saat itu.
Miris sekali!
Pak Joko sudah berhasil menyeret Ina beberapa langkah dari gubuknya, tanpa adanya aral yang menghambat. Membuat Ina Akhirnya pasrah, Karena sadar tidak bisa lari lagi. Mungkin, nasibnya memang .....
Ciiiittt ....
Tiba-tiba saja sebuah sepeda motor yang dikenal sebagai salah satu ojeg di daerah sana, berhenti beberapa meter dari mereka.
Kemudian, seorang wanita paruh baya berpakaian mahal pun turun, sambil menyalak ke arah kerumunan di depan Gubuk Ina.
"Eh, eh, ada apa ini? Kenapa anda menarik-narik Ina?" bentaknya galak, sambil menerjang maju dan mencoba melerai cekalan Pak Joko di tangan gadis yang kini sudah jadi yatim piatu.
Siapa wanita ini? Ina merasa asing padanya. Apa Ina mengenalnya?
"Jangan ikut campur! Ini bukan urusan Anda!" balas Pak Joko tidak kalah galak.
Namun wanita itu tidak gentar sama sekali. Dia malah menatap Pak Joko sengit, sambil berkacak pinggang dengan tegas.
"Kata siapa ini bukan urusan saya? Jelas ini urusan saya. Karena yang anda tarik itu calon menantu saya."
Apa?!
Semua orang yang hadir di sana pun menahan napas dengan kaget mendengar pernyataan wanita itu, pun Ina yang memang tidak tahu apa-apa.
Calon menantu? Siapa? Ina? Tapi siapa wanita ini?
"Maksud anda?" tanya Pak Joko, menyuarakan isi kepala semua yang hadir di sana.
"Ya, maksud saya jelas. Ina ini calon menantu saya. Ngapain anda tarik-tarik seperti itu. Anda pikir Ina kerbau?" sahut Wanita itu tak bersahabat sama sekali.
"Eh, anda jangan sembarangan, ya? Ina ini calon istri muda saya?" Namun ternyata, Pak Joko pun tak mau mengalah sama sekali.
"Hah? Yang benar saja? Jangan ngaur, deh. Anda tidak punya kaca ya, di Rumah? Masa tampang bau tanah seperti anda mau menikahi Ina. Ingat umur, Pak. Udah tua, sebentar lagi mati. Harusnya yang di perbanyak itu amal ibadah, Pak. bukan istri. Tidak tahu malu!" Wanita itu menyahut dengan entengnya.
Seketika tawa orang-orang yang ada di sana pun terdengar tanpa di cegah. Membuat wajah Pak Joko langsung merah padam, sambil melayangkan tatapan tajam pada semua orang yang berani menertawakannya.
Pria pasti marah sekali saat ini, karena merasa dipermalukan.
"Kurang ajar! Anda sudah bosan hidup sepertinya!" Murka Pak Joko, seraya mengangkat tangan hendak memukul wanita itu. Tapi ....
Ttiiiiiiinnnn ....
Sebuah motor lain tiba-tiba datang, sambil membunyikan kelakson panjang sekali. Lalu ....
Bugh!
Seorang pria gagah meloncat turun dari boncengan, dan langsung melayangkan tinjuan keras pada Pak Joko hingga tersungkur mengenaskan.
================================
Siapa? Siapa? Siapa?Ken pasti nih. Jagoan soalnya. Iya kan?Tapi ... buat apa Ken di sana, ya???Stay tune terus ya!
See u next partπππ
*Happy Reading*Ina hanya bisa berdiri kaku dan mengerjap pelan dengan napas tercekat melihat kejadian itu. Antara ingin tertawa dan ngeri melihat bagaimana Pak Joko tersungkur mengenaskan, tanpa ada satu pun yang menolongnya.Ina bingung harus bereaksi seperti apa saat ini.Akan tetapi, sebenarnya Ina lebih takjub pada pria gagah itu, sih. Soalnya, kedatangannya seperti oase di hidup Ina yang tadi gersang.Bukan karena ketampanannya. Melainkan karena kehadirannya yang tepat di saat Ina benar-benar butuh bantuan.Apa ini keajaiban?Apa orang ini pahlawan?Entahlah, namun satu yang harus Ina niatkan dalam hati. Setelah ini Ina harus berterima kasih pada pria itu."Sean, sudah!" seru wanita kaya itu, seraya menahan pria gagah yang sepertinya masih ingin menghajar Pak Joko.Oh ... namanya Sean."Tapi, Mah. Di
*Happy Reading*Beberapa jam sebelumnya ....Sean baru saja mendaratkan diri pada kursi kebesarannya. Saat sang sekretaris menghampiri dan memberinya kabar jika sang Ibu memintanya segera menghubungi, jika sudah selesai meeting.Darurat! Itu katanya. Terang saja, hal itu membuat Sean segera meraih gawainya yang memang diabaikan sejak beberapa jam lalu, karena harus terlibat dalam meeting besar perusahaan yang di pimpin.Masalahnya, sang ibu memberikan istilah tak biasa dalam pesannya pada sang sekretaris. Alih-alih kata 'penting' yang biasa sang Mama gunakan. Kali ini kata 'Darurat' adalah pesan mendesak itu.Karenanya, Sean pun cukup penasaran ingin segera mengetahui pesan darurat apa yang Mamanya sebutkan itu."Hallo, Sean? Akhirnya kamu nelpon Mama Juga!"Mama Sulis menjawab telpon Sean dengan sangat antusias. Membuat alis tebal Sean makin bert
*Happy Reading* Ina hanya bisa menunduk dalam, sambil memainkan ujung kaos lusuhnya saat Mamanya Sean menceritakan kejadian nahas itu. Ternyata, wanita ini yang telah menabrak orang tuanya. Hingga ayahnya meninggal di tempat, sementara ibunya meninggal saat di perjalanan ke Rumah sakit. Sungguh, mengetahui hal ini, Ina bingung harus benci atau berterima kasih pada kedatangan dua orang ini. Faktanya, mereka yang membuat Ina sekarang sendirian di dunia ini, tapi mereka jugalah yang baru saja menyelamatkan Ina dari kelicikan Pak Joko. Bahkan, mereka juga yang akhirnya mengurus pemakaman orang tuanya, dan semua hal yang dibutuhkan. Tidak tanggung-tanggung, tadi Sean yang galak itu pun malah ikut turun ke liang lahat, saat menurunkan jenasah Ibu dan ayahnya. Itulah kenapa, sekarang Ina Denial sekali mendengar permintaan Mama Sean, aka Nyonya Sulis setela
*Happy Reading* "Ya, udah. Kalau begitu ayo berangkat." Setelah mendapat persetujuan dari Ina. Sean pun segera memberi komando lagi, yang langsung di angguki Mama Sulis dengan riang. Sayangnya, tidak dengan Ina. Karena .... "Tapi saya belum beres-beres," ucap Ina, sambil menunduk malu. Bukan apa-apa, Ina cuma malu saja mengatakannya, karena jika dipikir lagi, memang dia mau beres-beres apa? Rumahnya saja tidak ada barang berharga sama sekali. Jadi, gak ada yang bisa Ina bawa untuk pindahan pastinya. "Beres-beres apa?" tanya Sean tak mengerti. Seperti dugaan Ina, pria ini pun pasti menganggap tak ada barang yang layak Ina bawa di sini. Tapi kan .... "Baju." Nah, iya. Meski Rumahnya memang tak ada barang yang bisa Ina bawa, tapi baju itu benda wajib yang tidak boleh Ina lupakan, kan? Nanti, Ina mau pakai apa di Ruma
*Happy Reading* Menyadari tidak ada langkah kaki mengikutinya. Mama Sulis pun menghentikan laju kakinya, dan menoleh perlahan demi memastikan posisi calon menantunya. Benar saja, gadis itu tertinggal jauh di belakang, namun tak bergerak sama sekali di tempatnya. Ina terlihat berdiri diam, dengan sedikit menunduk seperti orang malamun. Ada apa dengan Ina? "Ina, kenapa?" Mama Sulis pun langsung menyuarakan keheranannya pada sikap Ina di sana. Ina mengangkat wajahnya dengan terkejut, sambil mengerjap pelan menatap Mama Sulis. "Kenapa, Ina?" Mama Sulis mengulang pertanyaannya, karena gadis itu seperti masih belum sadar sepenuhnya. "Uhm ... itu, Bu. Saya ... gak mau jadi simpanan." Hah?! Tak ayal, alis Mama Sulis yang sudah di ukir sesempurna itu pun bertaut, tidak mengerti dengan ucapan Ina barusan.
*Happy Reading* Sebenarnya, ada banyak sekali pertanyaan yang ingin Ina tanyakan pada Mbok Darmi. Demi menuntaskan rasa penasarannya. Tetapi, wanita tua itu malah pergi begitu saja setelah mengatakan hal tadi, karena harus menyiapkan makan malam sebelum Pak Sean datang. Sumpah demi apapun. Ina benar-benar penasaran sekali pada keluarga ini sekarang. Karena, apa yang barusan Ina dengan benar-benar terasa janggal, dan ... memang Ina juga kan belum kenal betul tentang keluarga ini. Ina baru mengenal mereka satu hari, dan belum tahu apa-apa tentang keluarga ini. Jadi wajarkan, kalau Ina sangat penasaran sekarang. Namun, sebagai orang yang di gadang-gadang akan masuk menjadi anggota keluarga. Ina tentu harus tahu bagaimana keluarga yang akan dia masuki ini, iya kan? Setidaknya, Ina harus tahu sifat-sifat dan masa lalu Pak Sean, yang katanya akan menikahinya. Karena Ina ti
*Happy Reading* "Bibi lagi ngapain? Ina bantu, boleh?" Mbok Darmi yang sedang menyiapkan bahan masakan untuk sarapan pagi itu pun langsung menoleh ke arah Ina, dan terlihat cukup terkejut melihat kehadiran gadis itu di sana. "Loh, Non Ina kok udah bangun? Ini kan masih pagi, Non?" tanya Mbok Darmi kemudian. Ina tak langsung menjawab. Memilih makin mendekat ke arah Mbok Darmi, dan melihat bahan apa saja yang sedang di siapkan oleh orang, yang juga sebagai kepala pembantu di Rumah itu. "Di kampung Ina udah biasa bangun sebelum subuh, Bi. Soalnya harus membantu Ibu Warteg buat masak juga biar dapat uang lebih. Sejak itu malah jadi kebiasaan sampe sekarang." Ina kemudian bercerita dengan riang pada Mbok Darmi. "Oh, begitu ...." Mbok Darmi hanya bergumam menanggapi Ina. "Mbok mau masak apa, sih? Kok banyak banget bahan masakannya?" tanya Ina lagi, setela
*Happy Reading* Jadi, Ina yang ketiga? Ya ampun .... Ina pun refleks mengusap wajahnya, saat menyadari kenyataan itu. Tidak ingin percaya dengan pendengarannya saat ini. Ya, Tuhan .... kenapa Ina merasa jadi terjebak jerat pria doyan kawin, ya? Lah, kalau begitu apa bedanya Pak Sean dan Pak Joko? Meski beda di jumlah Istri, tetap saja mereka intinya doyan kawin iya, kan? Duh, kenapa Ina harus selalu berurusan dengan pria hidung belang, sih? Kek gak ada cowok single baik-baik aja di dunia ini? Kenapa pula harus sama cowok yang doyan kawin? Ugh ... rasanya Ina mulai kesal dengan keadaan. "Jadi Pak Sean sudah pernah menikah dua kali?" Meski begitu, Ina pun tak membuang kesempatan, untuk mengintrogasi Mbok Darmi yang sepertinya memang tahu semua hal tentang keluarga ini. "Tepatnya terpaksa poligami, soalnya Papinya No
*Happy Reading*Nyatanya, meski telah sampai ke Rumah sakit dengan cepat. Sebab kebetulan hari masih pagi dan juga memasuki weekend. Namun Ina masih harus berjuang sedikit lagi, karena pembukaan baru sampai tujuh."Kamu gila, ya? Istri saya sudah sangat kesakitan itu, kenapa tidak bisa langsung melahirkan sekarang?" Sean Murka, saat Ina hanya di masukan ruang persalinan namun tidak di beri tindakan apa-apa.Tidak, sebenarnya para perawat di sana langsung bergerak melakukan hal yang seharusnya dilakukan. Bahkan sedang memasang Infusan ditangan Ina. Namun di mata Sean, itu tidak berefek apa-apa."Maaf, Pak. Tapi pembukaannya belum sempurna. Hanya menunggu sebentar lagi, kok, Pak.""Sebentar gimana? Kamu mau membunuh istri saya? Gak liat kalau istri saya sudah pucat seperti itu?!" salak Sean masih tak terima dengan prosedur rumah sakit.Rumah sakit apa ini? Katanya terbaik, tapi Melahirkan saja harus menunggu pembukaan sempurn
*Happy Reading* "Mas ... Ina ... gak kuat. Ngantuk." Ina menyuarakan isi hatinya, seraya menatap Sean penuh harap. "Ya, udah. Kamu tidur aja. Biar Mas yang selesaikan," sahut Sean, mengusap lembut pipi Istrinya di sela gerakan pinggulnya yang teratur. "Tapi abis ini udahan ya, Mas? Mas juga harus tidur." Ina mengingatkan, namun ditanggapi Sean dengan seulas senyum tipis. "Gak janji, ya? Mas masih pengen soalnya." Ina pun hanya bisa mendesah panjang mendengar jawaban suaminya, karena memang bukan hal aneh lagi untuknya. Sejak awal pernikahan, Sean Abdillah mana puas hanya sampai stasiun sekali saja. Jalur express atau pun economi, pasti harus berkali-kali. "Ya udah terserah Mas aja. Puas-puasin , deh, sebelum harus puasa lama lagi." Sebagai seorang istri, Ina bisa apa selain pasrah? Meski kadang lelah, tapi Ina tidak berani menolak. Bahkan saat Sean memintanya belajar berbagai gaya pun, Ina pasrah. Dari gaya terlentang, miring,
Byp Extra part 2*Happy Reading*Sean menggeleng tak habis pikir di tempatnya. Saat menyaksikan Ina begitu antusias memakan cilok yang baru saja Mira bawakan beberapa menit lalu.Oh, tenang saja. Sean tidak jadi membeli cilok sebanyak 200 ribu, kok. Karena untungnya, pas tadi Mira beli cilok si mamang tinggal 50rb saja. Jadi, hanya segitu yang Mira bawakan. Itu pun tetap membuat Sean terperangah saat melihat jumlahnya.Namun berbeda dengan Sean yang melongo terkejut melihat jumlah cilok yang dibawa Mira bersama seorang OB yang membantunya. Ina sendiri malah bersorak riang melihatnya. Karena, kapan lagi dia bisa makan cemilan gurih itu, selain saat Sean kecolongan seperti ini?Maklum, sejak Ina hamil, Sean memang lumayan rewel terhadap asupan gizi yang istrinya konsumsi. Hingga tak jarang, Ina pun harus putar otak, agar bisa mendapat semua camilan yang sangat dia idamkan itu. Bahkan tak jarang, Ina harus bekerja sama dengan Mbok Darmi, demi bisa men
*Happy Reading*"Selamat siang, Bu." Sambut seorang wanita muda seraya berdiri dari duduknya, saat Ina baru saja memasuki lobby kantor suaminya."Siang, Mbak. Pak Sean, ada?""Ada, Bu. Silahkan. Perlu saya antar?""Ah, tidak usah. Terima kasih, ya?" ucap Ina diiringi senyum manis, sebelum sebelum meninggalkan gadis yang di kenalnya sebagai resepsionis kantor ini, untuk menuju lift yang tak jauh dari sana, untuk menemui suaminya.Sang Recepsionis itu pun membalas senyum Ina tak kalah manis, di balut rasa kagum pada sosok istri bos, yang tidak pernah berubah sejak awal diperkenalkan di kantor ini.Dari dulu, setiap kali datang ke kantor ini. Alih-alih menelpon Suaminya, Ina malah selalu menghampiri meja receptionis, dan memastikan keberadaan suaminya pada resepsionis. Tak lupa, setelahnya Ina akan berterima kasih dan memberikan senyum ramahnya pada siapapun yang menyapanya."Siang, Bu." Seorang karyawati di sana menyapa Ina
*Happy Reading*Mengutip permintaan Ina. Sean pun akhirnya mengadakan pesta sederhana di sebuah rooftop sebuah hotel, yang di sulap seperti pesta kebun.Orang-orang yang di undang pun tidak banyak. Hanya Rara dan keluarga kecilnya, Kairo dan istrinya, juga beberapa rekan bisnis yang lumayan dekat dengan Sean.Tidak lupa, semua pelayan Rumahnya pun, khususnya Mbok Darmi, Sean undang juga. Sebab meski bagi Sean, mereka semua hanya pembantu di Rumahnya, jelas itu berbeda dengan Ina. Bahkan bisa dibilang, mereka adalah teman-teman Ina. Maka dari itu, bagi Ina mereka wajib di undang."Pepet terus! Jangan sampai lepas. Hati-hati! Tikungan di depan banyak, kawan!"Sean langsung mendengkus kesal, Saat mendengar seruan lantang itu. Pelakunya tentu saja Ken, Si Dokter Obygn jahil sekaligus masih Sean jadikan musuh.Sudah dibilang, kan? Mengundang Ken itu bukan alasan ya bagus. Lihat saja kelakuannya, baru datang saja sudah bikin hebo
*Happy Reading*"Mas? Mas? Mas?"Sean melenguh pelan. saat rungunya menangkap panggilan itu, beserta guncangan pelan di lengan atasnya. Berusaha mengumpulkan kesadarannya, Sean pun membuka mata yang sebenarnya masih sangat perih.Netranya langsung menangkap keberadaan Ina yang tengah duduk di sampingnya, dengan tampilan yang sudah segar dan rapi. Aroma sabun mandi bahkan masih tercium dari tubuh istrinya itu."Hai," sapa Sean sambil tersenyum hangat, seraya mengusap pipi Ina, dan membawa kepala gadis itu mendekat ke arah bibir untuk di kecupnya pelan. Ina pun tersipu malu."Pagi, Sayang. Ada apa?" lanjut Sean, mengusap kembali pipi Ina yang tampak merona. Entah karena ciumannya atau karena panggilan sayang darinya."Pagi, Mas. Maaf ganggu tidur, Mas. Ina cuma mau ijin bantu Bi Darmi di dapur. Boleh, kan? Kata Mas kemaren. Ina harus ijin meski pergi ke dapur," terang Ina.Sean mengingat perintah itu, dan tentu saja, kembali mengu
*Happy Reading* Setelah mengetahui kenyataan itu dari Mbok Darmi, Sean pun berderap cepat ke arah kamar mandi, demi untuk menemukan keberadaan Ina yang masih membasuh wajah, hingga hijab dan gamisnya mulai ikut basah. "Ina, sudah!" Sean mencekal tangan Ina, agar gadis itu berhenti membasuh wajahnya di wastafel kamar mandi. "Tapi ini masih keluar air matanya, Pak. Ina--" Grep! Sean pun dengan cepat memeluk Ina, membenamkan wajahnya pada dada bidangnya. Lalu mendekap erat tubuh rapuh Ina. "Tidak apa-apa Ina. Kalau kamu mau menangis, menangis saja. Jangan di tahan." Sean mempererat rengkuhannya. Ina hanya terdiam, menikmati rasa hangat pelukan yang Sean tawarkan. "Tapi setelah itu, saya mohon jangan menangis lagi, dan dengarkan saya baik-baik. Saya sudah mencintai kamu Ina, meski entah sejak kapan tepatnya." Sean mencoba jujur pada Ina. Ina ingin percaya. Namun, kepercayaan itu mahal harganya. "Terima kasih, Pak. M
*Happy Reading*"Maukah kamu menua bersama saya?"Hah?!Ina sontak mengangkat wajahnya ke arah Sean, dan langsung menemukan wajah pria itu tersenyum hangat ke arahnya."Ma-maksud Bapak?""Mas, Ina. Bukan Bapak." Sean pun mencebik kesal"Eh, iya, Mas. Maksudnya apa, ya?" Ina pun seketika meralat panggilannya. Agar Sean tidak kembali marah."Maksud saya jelas. Saya ingin membuat pernikahan kita, menjadi pernikahan sesungguhnya dan untuk selamanya."Degh!Ini ... mungkinkah?"Bagimana? Kamu mau, kan, hidup menua bersama saya? Menemani saya dalam suka dan duka. Selamanya bersama sampai maut memisahkan. Kamu, bersedia, kan, Ina?" Sean mempertegas permintaanya, agar Ina paham maksud dan tujuannya.Sean sedang melamar Ina. Harusnya gadis itu memahami hal ini dan terharu pada yang Sean lakukan. Karena itu berarti, ada harapan untuk pernikahannya yang terlanjur terjadi.Namun alih-alih terse
*Happy Reading*Sean terus memperhatikan Ina dalam diam, yang saat ini tengah berada dihadapannya, sedang mengerjakan tugas sekolah dengan senyum manis yang belum juga luntur dari bibir gadis itu.Sesenang itu ya dia bisa sekolah lagi?"Ina itu sebenarnya anak yang pintar, Kak. Dia cepat paham pada pelajaran dan tidak pernah kesulitan dalam mengerjakan tugas sekolah mana pun. Apa Kakak tahu, apa cita-citanya sejak dulu?"Sean tiba-tiba teringat ucapan Rara, sebelum pamit pergi dari rumahnya."Dia ingin jadi Dokter dan mempunyai klinik sendiri. Soalnya, orang tuanya pernah ada di keadaan, terpaksa menahan lapar, demi bisa membeli obat untuknya."Sean sepertinya pernah mendengar cerita itu."Sayangnya, kondisi ekonomi Ina menghambat cita-citanya. Dan malah mengharuskannya dewasa sebelum waktunya. Bagi Ina, saat ini bisa kembali sekolah saja sudah membuatnya bahagia. Karena dia sadar, kondisinya sudah tidak seperti dulu