*Happy reading*
Gadis itu masih terduduk lesu melihat nanar ke arah jasad orang tuanya yang sudah kaku.
Tidak ada air mata, tidak pula isak tangis yang masih terdengar. Hanya mata sembab dan hidung merah yang menandakan bahwa gadis itu sempat menangis hebat beberapa menit lalu.
Kini semua air mata itu seakan habis tak bersisa, hingga sudah tak ada lagi yang bisa ia keluarkan selain tatapan sendu penuh kepiluan.
Dia adalah Ina. Zaina Rahayu lengkapnya. Anak semata wayang dari Bapak Husein dan Ibu Wanda, yang kini harus menjadi yatim piatu, karena kesalahan seorang wanita kota yang tak pandai dalam mengemudi di jalan berliku.
Itu yang Ina dengar. Detailnya Ina tidak tahu. Karena pada saat kejadian, Ina masih ada di Warteg Bu Eni, tempatnya mencari rezeki demi membantu meringankan beban orang tuanya.
Ina memang bukan berasal dari keluarga berada. Bahkan kalau boleh jujur, Keluarga Ina adalah Keluarga miskin yang untuk makan saja susah.
Orang tua Ina adalah buruh harian di pabrik, sementara Ina sendiri hanya bisa bekerja di sebuah warteg yang ada di pasar, dengan upah yang tidak seberapa.
Tidak apa-apa. Itu lebih baik daripada menganggur, iya, kan? Karena untuk mencari pekerjaan lebih baik pun, Ina tak punya syarat yang memadai.
Dia hanya lulusan SMP. Itupun hanya sampai kelas dua saja. Tidak bisa sampai lulus karena perkara Biaya.
Alasan Klise memang. Tapi Ina juga tak bisa egois, memaksa orang tuanya yang memang selalu payah dalam hal itu.
Perkara uang memang selalu jadi momok untuk keluarganya. Hingga yang bisa Ina lakukan adalah, pasrah pada takdir dan mengikuti alur yang sudah ada.
Tidak ada yang bisa dibanggakan dari seorang Zaina Rahayu. Selain wajahnya yang ayu, yang juga kadang menjadi incaran para hidung belang untuk dijadikan selingkuhan, atau istri kesekian.
Beruntung ayah dan ibunya masih punya hati, hingga tak pernah termakan rayuan menggiurkan para hidung belang itu.
"Na? Orangnya mau tanggung jawab, kan?" bisik salah satu tetangganya, sambil menepuk bahu Ina yang kini terlihat seperti orang linglung di tempatnya.
Tanggung jawab? Tanggung jawab seperti apa yang di maksud? Uang, kah? Atau apa?
"Iya, Na. Jangan diem aja. Pokoknya kamu harus minta tanggung jawab sama orang itu. Minta uang konpensasi yang besar. Kalau gak, laporin aja ke polisi. Biar tahu rasa!" sahut tetangga lainnya dengan menggebu-gebu.
Benar dugaan Ina. Ternyata tanggung jawab yang mereka sebutkan adalah sejumlah uang. Tapi, memang uang bisa mengembalikan nyawa orang tuanya?
"Nah itu, saya setuju. Apalagi katanya, yang nabrak wong sugih. Jadi kamu bisa ngajuin konpensasi besar, Na. Kapan lagi kan, Na? Siapa tahu kamu bisa mendadak sugih dari uang konpensasi itu," sahut yang lainnya mulai terpancing.
Miris, ya? Alih-alih rasa prihatin yang mereka rasakan melihat kondisi Ina yang kini sudah yatim piatu sekarang. Mereka malah memikirkan hal lain yang ... benar-benar membuat Ina terluka.
Menukar kematian orang tuanya dengan sejumlah uang. Sungguh! Ina merasa sangat berdosa hanya dengan memikirkannya saja.
"Pokoknya ya, Na. Kamu jangan diem aja. Jangan manut aja kalau di kasih sedikit. Rugi di kamu. Minta yang banyak. Kalau mereka gak mau, masukan saja dia ke penjara." Tetangga Ina pun makin mengompori.
"Memang suara orang kecil seperti kita akan di dengar, Bu," lirih Ina kemudian. Membuat tetangganya itu mengerjap pelan.
"Maksud kamu?" tanyanya tak mengerti.
"Ibu bilang, yang nabrak wong sugih, kan? Uangnya banyak, kan? Kalau begitu, mereka juga bisa melakukan apa saja dong buat lepas dari jerat hukum. Secara, jaman sekarang uang lebih sering di utamakan daripada kejujuran. Makanya Ina tanya sama Ibu, memang kalau Ina melapor, kira-kira ada yang mau denger, gak?"
Lalu si Ibu yang kompor itu, pun para tetangganya yang lainnya, yang tadi menggebu-gebu akhirnya bungkam tak bisa menjawab.
Karena mereka pun sadar, ucapan Ina memang 100% benar. Apalagi, mereka juga tahu kondisi si Miskin Ina. Dia tidak punya apapun yang bisa di gunakan untuk mencari keadilan.
Ah, mungkin tepatnya membeli keadilan. Karena jaman sekarang, semua hal punya harga sendiri. Dan seorang Ina tak punya uang seperser pun untuk membelinya.
Karenanya, selain diam dan pasrah, bisa apalagi Ina saat ini.
"Makanya kamu nikah sama saya saja, Na. Saya janji akan bantu kamu buat cari keadilan." Sebuah suara pria tua tiba-tiba menginterupsi, membuat para tetangga yang tadi sudah diam, kini memutar mata dan mencibir sang tua bangka itu.
"Jangan mau sama dia, Na. Udah bau tanah. Mending sama saya saja, Na. Masih muda. Masih bisa bikin kamu hamil berkali-kali." Seorang pria lebih muda menyahuti.
Ina hanya bisa memejamkan mata erat mendengar pertikaian para hidung belang itu.
Demi tuhan, jasad orang tuanya saja belum di kebumikan, bukannya datang untuk memberi bela sungkawa atau rasa duka cita. Mereka malah memperebutkan Ina untuk jadi istri mudanya.
Di mana hati nurani mereka?
"Enak aja, Ina tuh cocoknya sama saya. Karena meski saya tua, saya sudah terbukti bisa mensejahterakan istri-istri saya. Tanya saja pada salah satu istri saya."
"Ya, tapi kan--"
"Ina itu akan menjadi istri saya?!" suara menggelegar lain terdengar, membuat semua orang langsung menoleh ke sumber suara. Pun Ina yang yang sangat mengenal suara itu.
"Kamu ingat kan, Ina. Orang tua kamu masih punya hutang banyak pada saya. Dan karena mereka kini sudah meninggal, saya ingin kamu membayar hutang mereka dengan diri kamu sendiri."
Seringai setan itu membuat Ina langsung menelan salivanya kelat. Karena Ina merasa tidak mungkin melawan lagi.
Suara riuh bisik para tetangga pun mulai terdengar. Antara mengasihani dan mencibir jadi satu menggambarkan kondisi Ina saat ini.
Semua orang tahu, tidak ada jalan lagi untuk Ina kabur dari jerat lintah darat, paling sadis di kampung ini.
Namanya Joko. Dia adalah lintah darat paling sadis, yang memberi bunga 100% untuk semua hutang yang dia berikan.
Makanya, jarang ada yang berani menghutang pada pria itu. Termasuk ayah Ina. Tapi, karena saat itu kondisi mendesaknya, ayah Ina pun terpaksa berhutang, demi menyelamatkan nyawa putrinya yang terkena penyakit usus buntu.
Itulah awal mula derita keluarga Ina.
Kalau dulu ada orang tua Ina yang membelanya mati-matian agar Ina tak jatuh ke tangan pria itu, yang meminta Ina jadi istri muda sebagai pelunasan hutang.
Namun Kini, siapa yang akan membela Ina?
Tuhan, tolong bantu Ina ... Ina tidak mau jadi istri ke tujuh lintah darat itu.
================================
Apa ini thor?Yang lain belum kelar, udah ada yang baru aja. Pusing tahu bacanya.Hehehehe, maafkan Amih yang kesayangan. Amih emang gatelan. Kalau ada ide nyangkut langsung eksekusi aja.
Tapi, clue dari Novel ini adalah ....
Sequel dari Novel Istri kedua.Cerita tentang siapa kali ini?
Pokoknya stay tune aja, ya😍See u next part 💋
*Happy Reading* "Saya yang akan menggantikan Bapak dan Ibu mencicil utang sama anda." Ina memberanikan diri untuk menjawab. Sayangnya, bukan persetujuan yang Ina dapatkan. Malah seringai menyebalkan dari pria bangkotan itu, yang benar-benar meremehkan sahutan Ina. "Dengan apa kamu akan membayar, Ina? Dengan upah harian kamu yang tak seberapa dari warteg di pasar itu, huh? Mana bisa! Buat makan sehari saja tidak cukup. Apalagi untuk bayar hutang. Gak akan mungkin!" Jawaban juragan Joko mampu menohok Ina sampai ke ulu hatinya. "Lagipula hutang orang tua kamu sudah terlalu banyak dan terlalu lama. Saya tidak bisa menunggu lagi." Pak Joko menambahkan dengan tegas. "Ta-tapi--" "Hais, sudah!" Pak Joko memangkas ucapan Ina dengan cepat. Sengaja tak ingin memberikan Ina kesempatan beralaskan lagi. "Kalau kamu memang ingin membayar hutang dengan uang, silahk
*Happy Reading*Ina hanya bisa berdiri kaku dan mengerjap pelan dengan napas tercekat melihat kejadian itu. Antara ingin tertawa dan ngeri melihat bagaimana Pak Joko tersungkur mengenaskan, tanpa ada satu pun yang menolongnya.Ina bingung harus bereaksi seperti apa saat ini.Akan tetapi, sebenarnya Ina lebih takjub pada pria gagah itu, sih. Soalnya, kedatangannya seperti oase di hidup Ina yang tadi gersang.Bukan karena ketampanannya. Melainkan karena kehadirannya yang tepat di saat Ina benar-benar butuh bantuan.Apa ini keajaiban?Apa orang ini pahlawan?Entahlah, namun satu yang harus Ina niatkan dalam hati. Setelah ini Ina harus berterima kasih pada pria itu."Sean, sudah!" seru wanita kaya itu, seraya menahan pria gagah yang sepertinya masih ingin menghajar Pak Joko.Oh ... namanya Sean."Tapi, Mah. Di
*Happy Reading*Beberapa jam sebelumnya ....Sean baru saja mendaratkan diri pada kursi kebesarannya. Saat sang sekretaris menghampiri dan memberinya kabar jika sang Ibu memintanya segera menghubungi, jika sudah selesai meeting.Darurat! Itu katanya. Terang saja, hal itu membuat Sean segera meraih gawainya yang memang diabaikan sejak beberapa jam lalu, karena harus terlibat dalam meeting besar perusahaan yang di pimpin.Masalahnya, sang ibu memberikan istilah tak biasa dalam pesannya pada sang sekretaris. Alih-alih kata 'penting' yang biasa sang Mama gunakan. Kali ini kata 'Darurat' adalah pesan mendesak itu.Karenanya, Sean pun cukup penasaran ingin segera mengetahui pesan darurat apa yang Mamanya sebutkan itu."Hallo, Sean? Akhirnya kamu nelpon Mama Juga!"Mama Sulis menjawab telpon Sean dengan sangat antusias. Membuat alis tebal Sean makin bert
*Happy Reading* Ina hanya bisa menunduk dalam, sambil memainkan ujung kaos lusuhnya saat Mamanya Sean menceritakan kejadian nahas itu. Ternyata, wanita ini yang telah menabrak orang tuanya. Hingga ayahnya meninggal di tempat, sementara ibunya meninggal saat di perjalanan ke Rumah sakit. Sungguh, mengetahui hal ini, Ina bingung harus benci atau berterima kasih pada kedatangan dua orang ini. Faktanya, mereka yang membuat Ina sekarang sendirian di dunia ini, tapi mereka jugalah yang baru saja menyelamatkan Ina dari kelicikan Pak Joko. Bahkan, mereka juga yang akhirnya mengurus pemakaman orang tuanya, dan semua hal yang dibutuhkan. Tidak tanggung-tanggung, tadi Sean yang galak itu pun malah ikut turun ke liang lahat, saat menurunkan jenasah Ibu dan ayahnya. Itulah kenapa, sekarang Ina Denial sekali mendengar permintaan Mama Sean, aka Nyonya Sulis setela
*Happy Reading* "Ya, udah. Kalau begitu ayo berangkat." Setelah mendapat persetujuan dari Ina. Sean pun segera memberi komando lagi, yang langsung di angguki Mama Sulis dengan riang. Sayangnya, tidak dengan Ina. Karena .... "Tapi saya belum beres-beres," ucap Ina, sambil menunduk malu. Bukan apa-apa, Ina cuma malu saja mengatakannya, karena jika dipikir lagi, memang dia mau beres-beres apa? Rumahnya saja tidak ada barang berharga sama sekali. Jadi, gak ada yang bisa Ina bawa untuk pindahan pastinya. "Beres-beres apa?" tanya Sean tak mengerti. Seperti dugaan Ina, pria ini pun pasti menganggap tak ada barang yang layak Ina bawa di sini. Tapi kan .... "Baju." Nah, iya. Meski Rumahnya memang tak ada barang yang bisa Ina bawa, tapi baju itu benda wajib yang tidak boleh Ina lupakan, kan? Nanti, Ina mau pakai apa di Ruma
*Happy Reading* Menyadari tidak ada langkah kaki mengikutinya. Mama Sulis pun menghentikan laju kakinya, dan menoleh perlahan demi memastikan posisi calon menantunya. Benar saja, gadis itu tertinggal jauh di belakang, namun tak bergerak sama sekali di tempatnya. Ina terlihat berdiri diam, dengan sedikit menunduk seperti orang malamun. Ada apa dengan Ina? "Ina, kenapa?" Mama Sulis pun langsung menyuarakan keheranannya pada sikap Ina di sana. Ina mengangkat wajahnya dengan terkejut, sambil mengerjap pelan menatap Mama Sulis. "Kenapa, Ina?" Mama Sulis mengulang pertanyaannya, karena gadis itu seperti masih belum sadar sepenuhnya. "Uhm ... itu, Bu. Saya ... gak mau jadi simpanan." Hah?! Tak ayal, alis Mama Sulis yang sudah di ukir sesempurna itu pun bertaut, tidak mengerti dengan ucapan Ina barusan.
*Happy Reading* Sebenarnya, ada banyak sekali pertanyaan yang ingin Ina tanyakan pada Mbok Darmi. Demi menuntaskan rasa penasarannya. Tetapi, wanita tua itu malah pergi begitu saja setelah mengatakan hal tadi, karena harus menyiapkan makan malam sebelum Pak Sean datang. Sumpah demi apapun. Ina benar-benar penasaran sekali pada keluarga ini sekarang. Karena, apa yang barusan Ina dengan benar-benar terasa janggal, dan ... memang Ina juga kan belum kenal betul tentang keluarga ini. Ina baru mengenal mereka satu hari, dan belum tahu apa-apa tentang keluarga ini. Jadi wajarkan, kalau Ina sangat penasaran sekarang. Namun, sebagai orang yang di gadang-gadang akan masuk menjadi anggota keluarga. Ina tentu harus tahu bagaimana keluarga yang akan dia masuki ini, iya kan? Setidaknya, Ina harus tahu sifat-sifat dan masa lalu Pak Sean, yang katanya akan menikahinya. Karena Ina ti
*Happy Reading* "Bibi lagi ngapain? Ina bantu, boleh?" Mbok Darmi yang sedang menyiapkan bahan masakan untuk sarapan pagi itu pun langsung menoleh ke arah Ina, dan terlihat cukup terkejut melihat kehadiran gadis itu di sana. "Loh, Non Ina kok udah bangun? Ini kan masih pagi, Non?" tanya Mbok Darmi kemudian. Ina tak langsung menjawab. Memilih makin mendekat ke arah Mbok Darmi, dan melihat bahan apa saja yang sedang di siapkan oleh orang, yang juga sebagai kepala pembantu di Rumah itu. "Di kampung Ina udah biasa bangun sebelum subuh, Bi. Soalnya harus membantu Ibu Warteg buat masak juga biar dapat uang lebih. Sejak itu malah jadi kebiasaan sampe sekarang." Ina kemudian bercerita dengan riang pada Mbok Darmi. "Oh, begitu ...." Mbok Darmi hanya bergumam menanggapi Ina. "Mbok mau masak apa, sih? Kok banyak banget bahan masakannya?" tanya Ina lagi, setela
*Happy Reading*Nyatanya, meski telah sampai ke Rumah sakit dengan cepat. Sebab kebetulan hari masih pagi dan juga memasuki weekend. Namun Ina masih harus berjuang sedikit lagi, karena pembukaan baru sampai tujuh."Kamu gila, ya? Istri saya sudah sangat kesakitan itu, kenapa tidak bisa langsung melahirkan sekarang?" Sean Murka, saat Ina hanya di masukan ruang persalinan namun tidak di beri tindakan apa-apa.Tidak, sebenarnya para perawat di sana langsung bergerak melakukan hal yang seharusnya dilakukan. Bahkan sedang memasang Infusan ditangan Ina. Namun di mata Sean, itu tidak berefek apa-apa."Maaf, Pak. Tapi pembukaannya belum sempurna. Hanya menunggu sebentar lagi, kok, Pak.""Sebentar gimana? Kamu mau membunuh istri saya? Gak liat kalau istri saya sudah pucat seperti itu?!" salak Sean masih tak terima dengan prosedur rumah sakit.Rumah sakit apa ini? Katanya terbaik, tapi Melahirkan saja harus menunggu pembukaan sempurn
*Happy Reading* "Mas ... Ina ... gak kuat. Ngantuk." Ina menyuarakan isi hatinya, seraya menatap Sean penuh harap. "Ya, udah. Kamu tidur aja. Biar Mas yang selesaikan," sahut Sean, mengusap lembut pipi Istrinya di sela gerakan pinggulnya yang teratur. "Tapi abis ini udahan ya, Mas? Mas juga harus tidur." Ina mengingatkan, namun ditanggapi Sean dengan seulas senyum tipis. "Gak janji, ya? Mas masih pengen soalnya." Ina pun hanya bisa mendesah panjang mendengar jawaban suaminya, karena memang bukan hal aneh lagi untuknya. Sejak awal pernikahan, Sean Abdillah mana puas hanya sampai stasiun sekali saja. Jalur express atau pun economi, pasti harus berkali-kali. "Ya udah terserah Mas aja. Puas-puasin , deh, sebelum harus puasa lama lagi." Sebagai seorang istri, Ina bisa apa selain pasrah? Meski kadang lelah, tapi Ina tidak berani menolak. Bahkan saat Sean memintanya belajar berbagai gaya pun, Ina pasrah. Dari gaya terlentang, miring,
Byp Extra part 2*Happy Reading*Sean menggeleng tak habis pikir di tempatnya. Saat menyaksikan Ina begitu antusias memakan cilok yang baru saja Mira bawakan beberapa menit lalu.Oh, tenang saja. Sean tidak jadi membeli cilok sebanyak 200 ribu, kok. Karena untungnya, pas tadi Mira beli cilok si mamang tinggal 50rb saja. Jadi, hanya segitu yang Mira bawakan. Itu pun tetap membuat Sean terperangah saat melihat jumlahnya.Namun berbeda dengan Sean yang melongo terkejut melihat jumlah cilok yang dibawa Mira bersama seorang OB yang membantunya. Ina sendiri malah bersorak riang melihatnya. Karena, kapan lagi dia bisa makan cemilan gurih itu, selain saat Sean kecolongan seperti ini?Maklum, sejak Ina hamil, Sean memang lumayan rewel terhadap asupan gizi yang istrinya konsumsi. Hingga tak jarang, Ina pun harus putar otak, agar bisa mendapat semua camilan yang sangat dia idamkan itu. Bahkan tak jarang, Ina harus bekerja sama dengan Mbok Darmi, demi bisa men
*Happy Reading*"Selamat siang, Bu." Sambut seorang wanita muda seraya berdiri dari duduknya, saat Ina baru saja memasuki lobby kantor suaminya."Siang, Mbak. Pak Sean, ada?""Ada, Bu. Silahkan. Perlu saya antar?""Ah, tidak usah. Terima kasih, ya?" ucap Ina diiringi senyum manis, sebelum sebelum meninggalkan gadis yang di kenalnya sebagai resepsionis kantor ini, untuk menuju lift yang tak jauh dari sana, untuk menemui suaminya.Sang Recepsionis itu pun membalas senyum Ina tak kalah manis, di balut rasa kagum pada sosok istri bos, yang tidak pernah berubah sejak awal diperkenalkan di kantor ini.Dari dulu, setiap kali datang ke kantor ini. Alih-alih menelpon Suaminya, Ina malah selalu menghampiri meja receptionis, dan memastikan keberadaan suaminya pada resepsionis. Tak lupa, setelahnya Ina akan berterima kasih dan memberikan senyum ramahnya pada siapapun yang menyapanya."Siang, Bu." Seorang karyawati di sana menyapa Ina
*Happy Reading*Mengutip permintaan Ina. Sean pun akhirnya mengadakan pesta sederhana di sebuah rooftop sebuah hotel, yang di sulap seperti pesta kebun.Orang-orang yang di undang pun tidak banyak. Hanya Rara dan keluarga kecilnya, Kairo dan istrinya, juga beberapa rekan bisnis yang lumayan dekat dengan Sean.Tidak lupa, semua pelayan Rumahnya pun, khususnya Mbok Darmi, Sean undang juga. Sebab meski bagi Sean, mereka semua hanya pembantu di Rumahnya, jelas itu berbeda dengan Ina. Bahkan bisa dibilang, mereka adalah teman-teman Ina. Maka dari itu, bagi Ina mereka wajib di undang."Pepet terus! Jangan sampai lepas. Hati-hati! Tikungan di depan banyak, kawan!"Sean langsung mendengkus kesal, Saat mendengar seruan lantang itu. Pelakunya tentu saja Ken, Si Dokter Obygn jahil sekaligus masih Sean jadikan musuh.Sudah dibilang, kan? Mengundang Ken itu bukan alasan ya bagus. Lihat saja kelakuannya, baru datang saja sudah bikin hebo
*Happy Reading*"Mas? Mas? Mas?"Sean melenguh pelan. saat rungunya menangkap panggilan itu, beserta guncangan pelan di lengan atasnya. Berusaha mengumpulkan kesadarannya, Sean pun membuka mata yang sebenarnya masih sangat perih.Netranya langsung menangkap keberadaan Ina yang tengah duduk di sampingnya, dengan tampilan yang sudah segar dan rapi. Aroma sabun mandi bahkan masih tercium dari tubuh istrinya itu."Hai," sapa Sean sambil tersenyum hangat, seraya mengusap pipi Ina, dan membawa kepala gadis itu mendekat ke arah bibir untuk di kecupnya pelan. Ina pun tersipu malu."Pagi, Sayang. Ada apa?" lanjut Sean, mengusap kembali pipi Ina yang tampak merona. Entah karena ciumannya atau karena panggilan sayang darinya."Pagi, Mas. Maaf ganggu tidur, Mas. Ina cuma mau ijin bantu Bi Darmi di dapur. Boleh, kan? Kata Mas kemaren. Ina harus ijin meski pergi ke dapur," terang Ina.Sean mengingat perintah itu, dan tentu saja, kembali mengu
*Happy Reading* Setelah mengetahui kenyataan itu dari Mbok Darmi, Sean pun berderap cepat ke arah kamar mandi, demi untuk menemukan keberadaan Ina yang masih membasuh wajah, hingga hijab dan gamisnya mulai ikut basah. "Ina, sudah!" Sean mencekal tangan Ina, agar gadis itu berhenti membasuh wajahnya di wastafel kamar mandi. "Tapi ini masih keluar air matanya, Pak. Ina--" Grep! Sean pun dengan cepat memeluk Ina, membenamkan wajahnya pada dada bidangnya. Lalu mendekap erat tubuh rapuh Ina. "Tidak apa-apa Ina. Kalau kamu mau menangis, menangis saja. Jangan di tahan." Sean mempererat rengkuhannya. Ina hanya terdiam, menikmati rasa hangat pelukan yang Sean tawarkan. "Tapi setelah itu, saya mohon jangan menangis lagi, dan dengarkan saya baik-baik. Saya sudah mencintai kamu Ina, meski entah sejak kapan tepatnya." Sean mencoba jujur pada Ina. Ina ingin percaya. Namun, kepercayaan itu mahal harganya. "Terima kasih, Pak. M
*Happy Reading*"Maukah kamu menua bersama saya?"Hah?!Ina sontak mengangkat wajahnya ke arah Sean, dan langsung menemukan wajah pria itu tersenyum hangat ke arahnya."Ma-maksud Bapak?""Mas, Ina. Bukan Bapak." Sean pun mencebik kesal"Eh, iya, Mas. Maksudnya apa, ya?" Ina pun seketika meralat panggilannya. Agar Sean tidak kembali marah."Maksud saya jelas. Saya ingin membuat pernikahan kita, menjadi pernikahan sesungguhnya dan untuk selamanya."Degh!Ini ... mungkinkah?"Bagimana? Kamu mau, kan, hidup menua bersama saya? Menemani saya dalam suka dan duka. Selamanya bersama sampai maut memisahkan. Kamu, bersedia, kan, Ina?" Sean mempertegas permintaanya, agar Ina paham maksud dan tujuannya.Sean sedang melamar Ina. Harusnya gadis itu memahami hal ini dan terharu pada yang Sean lakukan. Karena itu berarti, ada harapan untuk pernikahannya yang terlanjur terjadi.Namun alih-alih terse
*Happy Reading*Sean terus memperhatikan Ina dalam diam, yang saat ini tengah berada dihadapannya, sedang mengerjakan tugas sekolah dengan senyum manis yang belum juga luntur dari bibir gadis itu.Sesenang itu ya dia bisa sekolah lagi?"Ina itu sebenarnya anak yang pintar, Kak. Dia cepat paham pada pelajaran dan tidak pernah kesulitan dalam mengerjakan tugas sekolah mana pun. Apa Kakak tahu, apa cita-citanya sejak dulu?"Sean tiba-tiba teringat ucapan Rara, sebelum pamit pergi dari rumahnya."Dia ingin jadi Dokter dan mempunyai klinik sendiri. Soalnya, orang tuanya pernah ada di keadaan, terpaksa menahan lapar, demi bisa membeli obat untuknya."Sean sepertinya pernah mendengar cerita itu."Sayangnya, kondisi ekonomi Ina menghambat cita-citanya. Dan malah mengharuskannya dewasa sebelum waktunya. Bagi Ina, saat ini bisa kembali sekolah saja sudah membuatnya bahagia. Karena dia sadar, kondisinya sudah tidak seperti dulu