*Happy Reading*
Ina hanya bisa menunduk dalam, sambil memainkan ujung kaos lusuhnya saat Mamanya Sean menceritakan kejadian nahas itu.
Ternyata, wanita ini yang telah menabrak orang tuanya. Hingga ayahnya meninggal di tempat, sementara ibunya meninggal saat di perjalanan ke Rumah sakit.
Sungguh, mengetahui hal ini, Ina bingung harus benci atau berterima kasih pada kedatangan dua orang ini.
Faktanya, mereka yang membuat Ina sekarang sendirian di dunia ini, tapi mereka jugalah yang baru saja menyelamatkan Ina dari kelicikan Pak Joko.
Bahkan, mereka juga yang akhirnya mengurus pemakaman orang tuanya, dan semua hal yang dibutuhkan.
Tidak tanggung-tanggung, tadi Sean yang galak itu pun malah ikut turun ke liang lahat, saat menurunkan jenasah Ibu dan ayahnya.
Itulah kenapa, sekarang Ina Denial sekali mendengar permintaan Mama Sean, aka Nyonya Sulis setelah menceritakan kejadian yang sebenarnya.
"Maafin saya ya, Ina. Saya benar-benar tidak sengaja saat itu." Nyonya Sulis terus mengulang kalimat itu, sepanjang dia bercerita.
"Saat itu banyak kabut, dan jalanan juga licin. Makanya, saya gak terlalu lihat motor orang tua kamu. Soalnya, mereka juga tidak menyalakan lampu belakang."
Bukan tidak menyalakan sebenarnya, tapi lampu itu memang sudah rusak dari minggu kemarin. Mau di perbaiki, belum ada biaya. Makanya Ayah selalu berusaha mengemudikan motor paling tepi bagian jalan, agar tidak mengganggu laju kendaraan lainnya.
Jadi, sebenarnya ini tidak sepenuhnya salah Nyonya Sulis, kok. Karena Ina tahu Pasti, Ayah dan Ibunya juga punya andil dalam kecelakaan ini.
"Saya juga minta maaf, karena baru bisa menemui kamu sekarang. Demi Tuhan, saya tidak berniat mangkir dari tanggung jawab saya, Ina. Tapi, karena saya harus mengurus sesuatu dengan Sean, saya pun jadi telat datang ke sini."
Diam-diam Ina melirik pria yang di sebut Nyonya Sulis, yang kini tengah santainya bersandar di tiang pintu Rumah Ina yang reot, sambil mengotak atik gawai mahalnya.
Entah apa yang sedang pria itu lakukan sebenarnya, tapi Sean kelihatan serius sekali menatap ponsel pintarnya, hingga tak memperdulikan obrolan ibunya dan Ina sejak tadi.
Lebih tepatnya omongan Nyonya Sulis. Karena dari tadi memang hanya Nyonya Sulis yang banyak bicara. Sementara Ina, hanya menjadi pendengar saja.
"Untungnya, kedatangan kami tidak terlambat, kan? Karena akhirnya kami masih bisa menyelamatkan kamu dari si bangkotan tukang kawin itu."
Untuk hal itu, Ina sangat berterima kasih sekali. Karena kalau bukan karena mereka berdua, entah bagaimana nasibnya saat ini.
"Nah, sesuai permintaan terakhir ibumu, kamu mau kan, tinggal dengan kami mulai sekarang?" tanya Nyonya Sulis lagi, membuat Ina makin bingung.
Tinggal dengan mereka? Sebagai apa? Sebagai istri Sean atau ... sebagai pembantu?
Bagaimana pun Ina sadar siapa dirinya, dan tahu pasti jika dia memang tak sepadan dengan keluarga ini.
Jadi, Ina takut apa yang di ucapkan Nyonya Sulis tadi di keramaian, hanya bualan semata. Lagipula ... memang Sean-nya Sendiri mau sama Ina.
Kelihatannya tidak mungkin, iya kan?
"Mah, bisa di percepat, gak? Sean harus balik kantor, nih."
Saat Ina masih mencoba memikirkan tawaran Nyonya Sulis, suara Sean tiba-tiba menginterupsi. Masih dengan suara datarnya.
"Ck, Sean. Bisa tunggu sebentar, gak. Mama lagi ngomong sama Ina. Ngerti, kan?" balas Nyonya Sulis terlihat kesal.
"Tapi, Mah. Sean beneran harus pergi sekarang. Ada klien yang harus Sean temui," jawab Sean mencoba menjelaskan.
"Jadwalnya bisa ganti besok, kan?" Nyonya Sulis tak mau mengerti.
"Enggak bisa, Mah. Klien yang ini sangat sibuk. Mumpung dia ada waktu. Makanya Sean harus balik secepatnya."
"Ck, kamu ini. Selalu saja lebih mentingin kerjaan. Ya sudah, sana pulang sendiri!" Nyonya Sulis pun berdecak kesal, sebelum akhirnya mengusir Sean.
"Lho, tapi nanti Mama, gimana? Sean gak mungkin biarin Mama pulang sendiri," balas Sean, terlihat keberatan meninggalkan Mama bersama Ina.
"Ya mau gimana lagi, kamu kan gak mau nunggu, sedangkan Mama juga masih harus bujuk Ina. Jadinya ya ... harus ada salah satu yang ngalah di sini," jawab Nyonya Sulis santai.
"Ck, ngapain harus di bujuk segala, sih? Dia kan bukan Ratu atau anak kecil yang harus di bujuk. Lagian, kalau bukan sama kita, mau sama siapa lagi dia tinggal? Bukannya dia udah gak punya saudara?"
"Sean?!" Nyonya Sulis pun berseru kesal, sambil melirik anaknya dengan garang. "Mulut kamu itu, lho! Bisa gak manis sedikit kalau ngomong? Belajar dari masa lalu, Sean!" imbuh Nyonya Sulis lagi, yang sukses membuat Sean bungkam seketika.
Ina tidak tahu maksud ucapan Nyonya Sulis barusan, dan ada apa dengan masa lalu Sean yang berhubungan dengan mulut kejamnya itu.
Namun Ina akui, mulut pria itu memang lumayan pedas, hingga membuat Ina dua kali sakit hati hari ini.
Satu, saat pria itu seenaknya mengatai Ina biang masalah. Kedua ya sekarang.
Seenaknya saja dia menyamakan Ina dengan Ratu, dan anak kecil hanya karena belum memberikan jawaban.
Apa pria itu tidak tahu, kalau keputusan ini sangat berat untuk Ina? Meski Ina memang sekarang yatim piatu dan tak punya sanak saudara untuk minta bantuan, tapi sepertinya hidup bersama pria bermulut pedas itu juga bukan pilihan menggiurkan.
Karena Ina tidak ingin sakit hati terus menerus dengan ucapan pria ini. Begini-begini, Ina juga masih punya perasaan!
"Ina, kamu gak usah dengerin Sean. Anak itu memang mulutnya gak punya saringan. Gak bisa ngomong manis sedikit pun. Tapi, percaya sama saya, sebenarnya Sean baik kok. Hanya saja dia tidak suka menunjukannya. Pokoknya, kamu harus tahan banting kalau nanti nikah sama dia, ya?"
Nikah? Benarkah?
"Jadi, Ina beneran akan nikah sama bapak itu?"
Takut-takut, Ina pun melirik Sean dan menanyakan hal itu dengan ragu. Karena Ina merasa, dia masih harus di yakinkan lagi.
"Tentu saja, Ina. Sean udah setuju kok dengan hal itu. Iya kan, Sean?" Nyonya Sulis menjawab dengan antusias.
"Hhmm ...."
Sayangnya, anaknya malah menjawab datar pertanyaan itu. Membuat Ina kembali ragu akan niat baik dua orang ini.
"Uhm ... sebenarnya, gak nikah juga tidak apa-apa, Bu. Karena, bagi Ina, apa yang anda lakukan tadi siang, sudah lebih dari cukup membayar pertanggung jawaban kecelakaan itu. Apalagi, anda juga mau repot-repot menyelamatkan Ina dari Pak Joko. Ina benar-benar berterima kasih sekali. Karena itu, Ina gak mau nuntut apa-apa lagi. Karena--"
"Ck, kamu lama, deh!"
Belum selesai Ina menyuarakan Isi hatinya, Sean kembali menginterupsi, membuat Mamanya kembali mendelik garang.
"Denger ya, Ina. Saya benar-benar gak punya waktu banyak di sini. Ada yang harus saya lakukan di kantor sekarang. Jadi, demi mempersingkat waktu. Sekali lagi saya tegaskan. Saya ... bukan, maksudnya kami, ke sini untuk menjemput kamu. Kamu mau tinggal bersama kami atau tidak?"
"Sean?!" tegur Nyonya Sulis lagi. Memperingatkan anaknya agar tidak seenaknya bicara sendiri.
Namun kali ini Sean seperti tak perduli, dan malah melanjutkan ucapannya.
"Kalau kamu mau, ayo ikut kami sekarang. Tapi kalau kamu tidak mau. Saya tidak akan memaksa lagi. Hanya saja, satu hal yang harus kamu tahu. Pria tua tadi, siapa namanya?"
"Pak Joko?"
"Nah, iya itu! Prihal Pak Joko itu. Saya tidak bisa pastikan jika dia sudah menyerah terhadap kamu. Karenanya, jika dia datang lagi mengganggu kamu, saya sudah tidak bisa menolong. Karena itu--"
"Ina ikut!"
"Hah?!"
Jawaban Ina yang cepat, membuat kedua orang dihadapannya langsung terkesiap kaget.
"Ina tidak perduli akan kalian jadikan apa, nanti di rumah kalian. Tapi, jika itu bisa membuat Ina jauh dari Pak Joko. Ina rela dijadikan apapun," ungkap Ina yakin.
Sean pun lalu tersenyum penuh kemenangan, sambil menatap Ina yang terlihat gusar hanya karena mendengar Nama Pak joko di sebutkan.
"Anak pintar," ucap Sean kemudian. Sebelum tiba-tiba menepuk puncak kepala Ina pelan.
Ina pun reflek menahan napas karenanya, sebab seperti merasakan sebuah setruman dari tangan besar yang terasa hangat di kepalanya.
Apa ini?
Kenapa jantungnya jadi berdebar cepat seperti ini?
================================
Gimana menurut kalian?Ina, baperan, ya? Atau ... memang Sean ada kemungkinan berubah?Stay terus ya ...
*Happy Reading* "Ya, udah. Kalau begitu ayo berangkat." Setelah mendapat persetujuan dari Ina. Sean pun segera memberi komando lagi, yang langsung di angguki Mama Sulis dengan riang. Sayangnya, tidak dengan Ina. Karena .... "Tapi saya belum beres-beres," ucap Ina, sambil menunduk malu. Bukan apa-apa, Ina cuma malu saja mengatakannya, karena jika dipikir lagi, memang dia mau beres-beres apa? Rumahnya saja tidak ada barang berharga sama sekali. Jadi, gak ada yang bisa Ina bawa untuk pindahan pastinya. "Beres-beres apa?" tanya Sean tak mengerti. Seperti dugaan Ina, pria ini pun pasti menganggap tak ada barang yang layak Ina bawa di sini. Tapi kan .... "Baju." Nah, iya. Meski Rumahnya memang tak ada barang yang bisa Ina bawa, tapi baju itu benda wajib yang tidak boleh Ina lupakan, kan? Nanti, Ina mau pakai apa di Ruma
*Happy Reading* Menyadari tidak ada langkah kaki mengikutinya. Mama Sulis pun menghentikan laju kakinya, dan menoleh perlahan demi memastikan posisi calon menantunya. Benar saja, gadis itu tertinggal jauh di belakang, namun tak bergerak sama sekali di tempatnya. Ina terlihat berdiri diam, dengan sedikit menunduk seperti orang malamun. Ada apa dengan Ina? "Ina, kenapa?" Mama Sulis pun langsung menyuarakan keheranannya pada sikap Ina di sana. Ina mengangkat wajahnya dengan terkejut, sambil mengerjap pelan menatap Mama Sulis. "Kenapa, Ina?" Mama Sulis mengulang pertanyaannya, karena gadis itu seperti masih belum sadar sepenuhnya. "Uhm ... itu, Bu. Saya ... gak mau jadi simpanan." Hah?! Tak ayal, alis Mama Sulis yang sudah di ukir sesempurna itu pun bertaut, tidak mengerti dengan ucapan Ina barusan.
*Happy Reading* Sebenarnya, ada banyak sekali pertanyaan yang ingin Ina tanyakan pada Mbok Darmi. Demi menuntaskan rasa penasarannya. Tetapi, wanita tua itu malah pergi begitu saja setelah mengatakan hal tadi, karena harus menyiapkan makan malam sebelum Pak Sean datang. Sumpah demi apapun. Ina benar-benar penasaran sekali pada keluarga ini sekarang. Karena, apa yang barusan Ina dengan benar-benar terasa janggal, dan ... memang Ina juga kan belum kenal betul tentang keluarga ini. Ina baru mengenal mereka satu hari, dan belum tahu apa-apa tentang keluarga ini. Jadi wajarkan, kalau Ina sangat penasaran sekarang. Namun, sebagai orang yang di gadang-gadang akan masuk menjadi anggota keluarga. Ina tentu harus tahu bagaimana keluarga yang akan dia masuki ini, iya kan? Setidaknya, Ina harus tahu sifat-sifat dan masa lalu Pak Sean, yang katanya akan menikahinya. Karena Ina ti
*Happy Reading* "Bibi lagi ngapain? Ina bantu, boleh?" Mbok Darmi yang sedang menyiapkan bahan masakan untuk sarapan pagi itu pun langsung menoleh ke arah Ina, dan terlihat cukup terkejut melihat kehadiran gadis itu di sana. "Loh, Non Ina kok udah bangun? Ini kan masih pagi, Non?" tanya Mbok Darmi kemudian. Ina tak langsung menjawab. Memilih makin mendekat ke arah Mbok Darmi, dan melihat bahan apa saja yang sedang di siapkan oleh orang, yang juga sebagai kepala pembantu di Rumah itu. "Di kampung Ina udah biasa bangun sebelum subuh, Bi. Soalnya harus membantu Ibu Warteg buat masak juga biar dapat uang lebih. Sejak itu malah jadi kebiasaan sampe sekarang." Ina kemudian bercerita dengan riang pada Mbok Darmi. "Oh, begitu ...." Mbok Darmi hanya bergumam menanggapi Ina. "Mbok mau masak apa, sih? Kok banyak banget bahan masakannya?" tanya Ina lagi, setela
*Happy Reading* Jadi, Ina yang ketiga? Ya ampun .... Ina pun refleks mengusap wajahnya, saat menyadari kenyataan itu. Tidak ingin percaya dengan pendengarannya saat ini. Ya, Tuhan .... kenapa Ina merasa jadi terjebak jerat pria doyan kawin, ya? Lah, kalau begitu apa bedanya Pak Sean dan Pak Joko? Meski beda di jumlah Istri, tetap saja mereka intinya doyan kawin iya, kan? Duh, kenapa Ina harus selalu berurusan dengan pria hidung belang, sih? Kek gak ada cowok single baik-baik aja di dunia ini? Kenapa pula harus sama cowok yang doyan kawin? Ugh ... rasanya Ina mulai kesal dengan keadaan. "Jadi Pak Sean sudah pernah menikah dua kali?" Meski begitu, Ina pun tak membuang kesempatan, untuk mengintrogasi Mbok Darmi yang sepertinya memang tahu semua hal tentang keluarga ini. "Tepatnya terpaksa poligami, soalnya Papinya No
*Happy Reading* Bertemu Rara dan Kean? Tentu saja Ina mau! Kebetulan, Ina sudah sangat penasaran pada dua orang itu. Khususnya pada Rara, yang katanya mantan istri Sean. Ina ingin tahu bagaimana rupa Rara itu. Apa secantik istri pertama Sean? Atau malah lebih. Ina benar-benar ingin bertemu Rara. Selain itu, Siapa tahu Ina juga bisa dapat sedikit Info tentang masa lalu mereka? Bukan apa-apa. Jujur saja Ina sebenarnya belum yakin pada pernikahan yang Nyonya Sulis tawarkan untuknya. Ina bukan mau sombong. Atau tak tahu berterima kasih karena sudah di tolong, bahkan diberi tempat tinggal sekarang. Hanya saja, bagaimanapun Ina ini tetaplah seorang wanita biasa, yang punya mimpi seperti wanita pada umumnya. Yaitu ingin menikah sekali seumur hidup. Tidak masalah jika Ina bukan yang pertama. Karena semua orang memang puny
*Happy Reading* Tok ... tok ... tok .... Ina baru saja selesai shalat saat ketukan itu terdengar. Masih menggunakan mukenanya, Ina pun bergegas menghampiri suara tersebut, untuk melihat siapa gerangan yang mengetuk pintu kamarnya? Degh! Napas Ina pun sontak tercekat, saat akhirnya melihat Sean sudah berdiri gagah di ambang pintu kamarnya. Dengan wajah datar ciri khas pria itum Mau apa lagi pria ini? Mau nyakitin hati Ina lagi? Atau, apa? Dia mau apa nemuin Ina lagi? Segala praduga pun mulai bermunculan di kepala Ina, akibat kehadiran pria, yang tadi pagi sudah kembali melukai hatinya itu. Bukan apa-apa, sejak selesai sarapan bersama tadi pagi. Ina memang berusaha menghindari Sean, yang ternyata hari ini tidak pergi ke kantornya. Tentu saja, hari ini kan sabtu. Pria ini tentu libur bekerja di hari weekend, kan? Mak
*Happy Reading* "I-ini apa?" tanya Ina dengan ragu, saat akhirnya meraih dan membuka kotak berwarna merah, yang tadi Sean lemparkan dengan pelan ke pangkuannya. Isinya liontin indah sekali. Ina sampai menelan salivanya kasar saat melihat liontin tersebut. Sebab, selama 20 tahun dia hidup dan bernapas di dunia. Inilah kali pertama dia melihat langsung perhiasan mahal, yang lebih berkilau dari perhiasan yang biasa di pajang toko emas depan wartegnya dulu. Ini, bandulnya pasti berlian, iya kan? Duh, indah banget, sih? Ina jadi pengen segera-- "Hadiah untuk Mama." Eh? Oh, buat Nyonya Sulis ternyata. Seketika Ina pun merasa kecewa, karena sudah berharap tinggi saat melihat perhiasan di tangannya ini. Ina yang bodoh. Siapa dia, coba? Sampai Sean mau repot-repot memberikan perhiasan semahal ini untuknya. Ina pun langsung menutup kotak itu
*Happy Reading*Nyatanya, meski telah sampai ke Rumah sakit dengan cepat. Sebab kebetulan hari masih pagi dan juga memasuki weekend. Namun Ina masih harus berjuang sedikit lagi, karena pembukaan baru sampai tujuh."Kamu gila, ya? Istri saya sudah sangat kesakitan itu, kenapa tidak bisa langsung melahirkan sekarang?" Sean Murka, saat Ina hanya di masukan ruang persalinan namun tidak di beri tindakan apa-apa.Tidak, sebenarnya para perawat di sana langsung bergerak melakukan hal yang seharusnya dilakukan. Bahkan sedang memasang Infusan ditangan Ina. Namun di mata Sean, itu tidak berefek apa-apa."Maaf, Pak. Tapi pembukaannya belum sempurna. Hanya menunggu sebentar lagi, kok, Pak.""Sebentar gimana? Kamu mau membunuh istri saya? Gak liat kalau istri saya sudah pucat seperti itu?!" salak Sean masih tak terima dengan prosedur rumah sakit.Rumah sakit apa ini? Katanya terbaik, tapi Melahirkan saja harus menunggu pembukaan sempurn
*Happy Reading* "Mas ... Ina ... gak kuat. Ngantuk." Ina menyuarakan isi hatinya, seraya menatap Sean penuh harap. "Ya, udah. Kamu tidur aja. Biar Mas yang selesaikan," sahut Sean, mengusap lembut pipi Istrinya di sela gerakan pinggulnya yang teratur. "Tapi abis ini udahan ya, Mas? Mas juga harus tidur." Ina mengingatkan, namun ditanggapi Sean dengan seulas senyum tipis. "Gak janji, ya? Mas masih pengen soalnya." Ina pun hanya bisa mendesah panjang mendengar jawaban suaminya, karena memang bukan hal aneh lagi untuknya. Sejak awal pernikahan, Sean Abdillah mana puas hanya sampai stasiun sekali saja. Jalur express atau pun economi, pasti harus berkali-kali. "Ya udah terserah Mas aja. Puas-puasin , deh, sebelum harus puasa lama lagi." Sebagai seorang istri, Ina bisa apa selain pasrah? Meski kadang lelah, tapi Ina tidak berani menolak. Bahkan saat Sean memintanya belajar berbagai gaya pun, Ina pasrah. Dari gaya terlentang, miring,
Byp Extra part 2*Happy Reading*Sean menggeleng tak habis pikir di tempatnya. Saat menyaksikan Ina begitu antusias memakan cilok yang baru saja Mira bawakan beberapa menit lalu.Oh, tenang saja. Sean tidak jadi membeli cilok sebanyak 200 ribu, kok. Karena untungnya, pas tadi Mira beli cilok si mamang tinggal 50rb saja. Jadi, hanya segitu yang Mira bawakan. Itu pun tetap membuat Sean terperangah saat melihat jumlahnya.Namun berbeda dengan Sean yang melongo terkejut melihat jumlah cilok yang dibawa Mira bersama seorang OB yang membantunya. Ina sendiri malah bersorak riang melihatnya. Karena, kapan lagi dia bisa makan cemilan gurih itu, selain saat Sean kecolongan seperti ini?Maklum, sejak Ina hamil, Sean memang lumayan rewel terhadap asupan gizi yang istrinya konsumsi. Hingga tak jarang, Ina pun harus putar otak, agar bisa mendapat semua camilan yang sangat dia idamkan itu. Bahkan tak jarang, Ina harus bekerja sama dengan Mbok Darmi, demi bisa men
*Happy Reading*"Selamat siang, Bu." Sambut seorang wanita muda seraya berdiri dari duduknya, saat Ina baru saja memasuki lobby kantor suaminya."Siang, Mbak. Pak Sean, ada?""Ada, Bu. Silahkan. Perlu saya antar?""Ah, tidak usah. Terima kasih, ya?" ucap Ina diiringi senyum manis, sebelum sebelum meninggalkan gadis yang di kenalnya sebagai resepsionis kantor ini, untuk menuju lift yang tak jauh dari sana, untuk menemui suaminya.Sang Recepsionis itu pun membalas senyum Ina tak kalah manis, di balut rasa kagum pada sosok istri bos, yang tidak pernah berubah sejak awal diperkenalkan di kantor ini.Dari dulu, setiap kali datang ke kantor ini. Alih-alih menelpon Suaminya, Ina malah selalu menghampiri meja receptionis, dan memastikan keberadaan suaminya pada resepsionis. Tak lupa, setelahnya Ina akan berterima kasih dan memberikan senyum ramahnya pada siapapun yang menyapanya."Siang, Bu." Seorang karyawati di sana menyapa Ina
*Happy Reading*Mengutip permintaan Ina. Sean pun akhirnya mengadakan pesta sederhana di sebuah rooftop sebuah hotel, yang di sulap seperti pesta kebun.Orang-orang yang di undang pun tidak banyak. Hanya Rara dan keluarga kecilnya, Kairo dan istrinya, juga beberapa rekan bisnis yang lumayan dekat dengan Sean.Tidak lupa, semua pelayan Rumahnya pun, khususnya Mbok Darmi, Sean undang juga. Sebab meski bagi Sean, mereka semua hanya pembantu di Rumahnya, jelas itu berbeda dengan Ina. Bahkan bisa dibilang, mereka adalah teman-teman Ina. Maka dari itu, bagi Ina mereka wajib di undang."Pepet terus! Jangan sampai lepas. Hati-hati! Tikungan di depan banyak, kawan!"Sean langsung mendengkus kesal, Saat mendengar seruan lantang itu. Pelakunya tentu saja Ken, Si Dokter Obygn jahil sekaligus masih Sean jadikan musuh.Sudah dibilang, kan? Mengundang Ken itu bukan alasan ya bagus. Lihat saja kelakuannya, baru datang saja sudah bikin hebo
*Happy Reading*"Mas? Mas? Mas?"Sean melenguh pelan. saat rungunya menangkap panggilan itu, beserta guncangan pelan di lengan atasnya. Berusaha mengumpulkan kesadarannya, Sean pun membuka mata yang sebenarnya masih sangat perih.Netranya langsung menangkap keberadaan Ina yang tengah duduk di sampingnya, dengan tampilan yang sudah segar dan rapi. Aroma sabun mandi bahkan masih tercium dari tubuh istrinya itu."Hai," sapa Sean sambil tersenyum hangat, seraya mengusap pipi Ina, dan membawa kepala gadis itu mendekat ke arah bibir untuk di kecupnya pelan. Ina pun tersipu malu."Pagi, Sayang. Ada apa?" lanjut Sean, mengusap kembali pipi Ina yang tampak merona. Entah karena ciumannya atau karena panggilan sayang darinya."Pagi, Mas. Maaf ganggu tidur, Mas. Ina cuma mau ijin bantu Bi Darmi di dapur. Boleh, kan? Kata Mas kemaren. Ina harus ijin meski pergi ke dapur," terang Ina.Sean mengingat perintah itu, dan tentu saja, kembali mengu
*Happy Reading* Setelah mengetahui kenyataan itu dari Mbok Darmi, Sean pun berderap cepat ke arah kamar mandi, demi untuk menemukan keberadaan Ina yang masih membasuh wajah, hingga hijab dan gamisnya mulai ikut basah. "Ina, sudah!" Sean mencekal tangan Ina, agar gadis itu berhenti membasuh wajahnya di wastafel kamar mandi. "Tapi ini masih keluar air matanya, Pak. Ina--" Grep! Sean pun dengan cepat memeluk Ina, membenamkan wajahnya pada dada bidangnya. Lalu mendekap erat tubuh rapuh Ina. "Tidak apa-apa Ina. Kalau kamu mau menangis, menangis saja. Jangan di tahan." Sean mempererat rengkuhannya. Ina hanya terdiam, menikmati rasa hangat pelukan yang Sean tawarkan. "Tapi setelah itu, saya mohon jangan menangis lagi, dan dengarkan saya baik-baik. Saya sudah mencintai kamu Ina, meski entah sejak kapan tepatnya." Sean mencoba jujur pada Ina. Ina ingin percaya. Namun, kepercayaan itu mahal harganya. "Terima kasih, Pak. M
*Happy Reading*"Maukah kamu menua bersama saya?"Hah?!Ina sontak mengangkat wajahnya ke arah Sean, dan langsung menemukan wajah pria itu tersenyum hangat ke arahnya."Ma-maksud Bapak?""Mas, Ina. Bukan Bapak." Sean pun mencebik kesal"Eh, iya, Mas. Maksudnya apa, ya?" Ina pun seketika meralat panggilannya. Agar Sean tidak kembali marah."Maksud saya jelas. Saya ingin membuat pernikahan kita, menjadi pernikahan sesungguhnya dan untuk selamanya."Degh!Ini ... mungkinkah?"Bagimana? Kamu mau, kan, hidup menua bersama saya? Menemani saya dalam suka dan duka. Selamanya bersama sampai maut memisahkan. Kamu, bersedia, kan, Ina?" Sean mempertegas permintaanya, agar Ina paham maksud dan tujuannya.Sean sedang melamar Ina. Harusnya gadis itu memahami hal ini dan terharu pada yang Sean lakukan. Karena itu berarti, ada harapan untuk pernikahannya yang terlanjur terjadi.Namun alih-alih terse
*Happy Reading*Sean terus memperhatikan Ina dalam diam, yang saat ini tengah berada dihadapannya, sedang mengerjakan tugas sekolah dengan senyum manis yang belum juga luntur dari bibir gadis itu.Sesenang itu ya dia bisa sekolah lagi?"Ina itu sebenarnya anak yang pintar, Kak. Dia cepat paham pada pelajaran dan tidak pernah kesulitan dalam mengerjakan tugas sekolah mana pun. Apa Kakak tahu, apa cita-citanya sejak dulu?"Sean tiba-tiba teringat ucapan Rara, sebelum pamit pergi dari rumahnya."Dia ingin jadi Dokter dan mempunyai klinik sendiri. Soalnya, orang tuanya pernah ada di keadaan, terpaksa menahan lapar, demi bisa membeli obat untuknya."Sean sepertinya pernah mendengar cerita itu."Sayangnya, kondisi ekonomi Ina menghambat cita-citanya. Dan malah mengharuskannya dewasa sebelum waktunya. Bagi Ina, saat ini bisa kembali sekolah saja sudah membuatnya bahagia. Karena dia sadar, kondisinya sudah tidak seperti dulu