*Happy Reading*
Jadi, Ina yang ketiga? Ya ampun ....
Ina pun refleks mengusap wajahnya, saat menyadari kenyataan itu. Tidak ingin percaya dengan pendengarannya saat ini.
Ya, Tuhan .... kenapa Ina merasa jadi terjebak jerat pria doyan kawin, ya?
Lah, kalau begitu apa bedanya Pak Sean dan Pak Joko? Meski beda di jumlah Istri, tetap saja mereka intinya doyan kawin iya, kan?
Duh, kenapa Ina harus selalu berurusan dengan pria hidung belang, sih?
Kek gak ada cowok single baik-baik aja di dunia ini? Kenapa pula harus sama cowok yang doyan kawin?
Ugh ... rasanya Ina mulai kesal dengan keadaan.
"Jadi Pak Sean sudah pernah menikah dua kali?" Meski begitu, Ina pun tak membuang kesempatan, untuk mengintrogasi Mbok Darmi yang sepertinya memang tahu semua hal tentang keluarga ini.
"Tepatnya terpaksa poligami, soalnya Papinya Non Rara meminta hal itu sebelum meninggal."
Hah?! Permintaan terakhir macam apa itu? Aneh banget!
"Kenapa begitu, Bi? Memangnya--"
"Kamu sedang apa?"
Degh!
Belum sempat Ina melanjutkan introgasinya, sebuah suara berat menginterupsi Ina. Membuat gadis itu sontak menoleh, dan ...
Loh? Itu kan, Pak Sean?
Kenapa ada di sini? Eh, maksudnya bukannya semalam Mbok Darmi bilang dia keluar kota, kenapa sekarang?
"Sekarang malah bengong. Hey?! Kamu dengar saya?" Tak segera mendapat jawaban, Sean pun kembali bertanya, sambil menjentikkan jari beberapa kali kehadapan Ina.
Gadis itu pun lalu mengerjap kaget dan langsung gelagapan saat menyadari kini posisi mereka sangat dekat.
"Masih pagi sudah melamun aja." Sean pun mendengkus pelan melihat reaksi Ina.
"Sa-saya bukan me-melamun, Pak. Ta-tapi cuma kaget aja lihat Bapak," jawab Ina terbata, namun dengan jujur menyuarakan isi hatinya.
"Kenapa kaget melihat saya? Ini kan Rumah saya. Jadi, wajar dong kalau saya ada di sini?"
Ya, memang. Itu benar adanya. Cuma ....
"Ta-tapi b-bukannya Bapak se-sedang keluar ko-kota, ya?" jelas Ina lagi, masih dengan suara terbata.
Entah kenapa? Jantung Ina jadi deg-degan dekat dengan pria ini.
"Saya memang keluar kota kemarin."
Nah, kan? Apa Ina bilang!
"Tapi tidak menginap."
Eh?
"Saya langsung pulang setelah urusan di sana selesai. Karena masih banyak yang harus saya kerjakan di sini."
Oh ... begitu. Ina pun hanya berani bergumam dalam hati. Setelah itu, memilih menundukkan wajah menghindari tatapan Sean yang sangat tajam sekali.
Perasaan Ina gak punya salah apa-apa. Kenapa Ina ditatap seperti itu, sih? Kan, jantung Ina makin dag dig dug jadinya.
"Termasuk pernikahan kita."
Secepat kilat wajah Ina terangkat, karena terkejut dengan ucapan Sean barusan.
Apa katanya tadi? Pernikahan kita? Ina gak salah dengar, kan?
Ina sebenarnya ingin sekali mengkonfirmasi hal itu sekali lagi, agar jelas maksudnya, dan memastikan jika pendengarannya masih normal.
Namun sayangnya, seakan semua tanya Itu tersangkut di tenggorokan, dan susah sekali dikeluarkan. Membuat Ina malah hanya membuka dan menutup mulutnya dengan bingung.
"Kenapa? Kamu tidak mau menikah dengan saya?"
Eh?
"Jangan coba-coba mengomporinya ya, Sean. Kamu sudah setuju untuk hal itu," sambar Mama Sulis tiba-tiba, yang kembali datang ke dapur memastikan pekerjaan Mbok Darmi.
"Sean bukan mau mengompori, Mah. Sean cuma ingin memastikan kalau gadis ini benar-benar setuju dengan pernikahan ini. Karena ... Sean tidak mau ada Rara kedua dalam hidup Sean," terang Sean sambil melirik Ina dengan ragu.
Eh? Kok, jadi Rara? Memang ada apa dengan mereka dulu?
"Tidak akan ada Rara kedua di sini, jika kamu bisa merubah sikap, Sean," ungkap Nyonya Sulis tegas. Membuat Sean langsung menutup mulut dan tak membantah lagi.
Ada apa sih?
Kok, mereka makin aneh, ya?
"Sudah, sana kamu mandi. Abis itu anterin Mama ke Rumah Rara. Soalnya dia lagi ngidam masakan Bi Darmi. Jadi, Mama bakalan ketemu Kean lagi." Nyonya Sulis kemudian mengalihkan obrolan, dan bercerita dengan riang tentang rencananya hari ini.
Terlihat sekali jika Nyonya Sulis sangat bahagia dengan rencananya itu. Matanya sampai berbinar terang, dengan senyum tak lepas dari bibirnya.
Sepenting itu ya, yang namanya Rara dan Kean itu?
Tiba-tiba Ina pun merasa tak nyaman, karena merasa hanya akan jadi benalu dalam keluarga ini.
Apa? Ina memang benalu, kok. Kan, Ina memang hanya menumpang hidup di sini.
"Mama mau ketemu Kean?"
Lihatlah, bahkan raut dingin pria galak itu pun langsung berganti senang, hanya dengan menyebut nama itu. Membuat hati Ina makin merasa pilu sendiri.
Padahal, wajar kan mereka seperti itu. Namanya juga pada anak dan cucu sendiri, iya kan?
Hanya saja ... kenapa Ina merasa cemburu, ya?
"Iya, dong. Ugh ... Mama udah kangen banget sama anak itu. Udah sebesar apa dia sekarang, ya?" Nyonya Sulis berceloteh dengan riang.
"Sean juga kangen, Mah."
Entah hanya perasaan Ina saja, atau memang benar. Saat mengucapkan kalimat itu, Ina melihat mata pria itu menerawang, dengan senyum miris di wajahnya.
Tak ayal, hal itu pun membuat Ina makin penasaran tentang kisah mereka. Karena ... Seperti ada luka tak kasat mata dalam tatapan Sean kala itu.
Tetapi ... terluka karena apa?
Atau ... jangan-jangan sebenarnya Sean masih cinta pada Rara, tapi Rara sudah tidak mau sama Sean, begitu? Tapi ... kenapa tidak mau?
Bukannya Sean ini tampan, bersahaja dan mapan. Meski sikapnya memang galak, sih. Tapi bagi Ina yang polos Sean tetap akan jadi suami Idaman. Lalu kenapa mereka berpisah?
Apalagi, istri pertamanya juga sudah meninggal. Harusnya Sean dan Rara bisa hidup bahagia dengan keluarga kecil mereka, kan?
Ada ayah, ibu dan anak. Lengkap! Kurang apa lagi, coba?
Lalu kenapa mereka berpisah?
"Ina kamu dengar saya?"
Ina pun langsung gelagapan, karena terciduk melamun sambil memperhatikan ibu dan anak itu ngobrol tentang Rara dan Kean.
"Eh, apa, Bu? Tadi ibu ngomong apa?" Ina tidak menyimak sama sekali obrolan mereka. Hingga tak sadar jika nyonya Sulis bertanya padanya.
"Nah, kan? Sean bilang juga apa? Gadis ini memang hobby melamun, Mah? Mama yakin mau dia jadi menantu Mama?" tanya Sean dengan ketus.
"Sean!" tegur Mama Sulis, sambil menatap putranya dengan galak. "Gak boleh begitu sama Ina."
"Udah abaikan saja Sean. Dia memang begitu. Jangan masukin hati, ya?" Nyonya Sulis kemudian mengalihkan atensinya lagi pada Ina.
Bagaimana mau masukin hati. Ngerti aja tidak, dengan obrolan mereka barusan.
"Iya, gak papa, Bu. Ina memang salah, karena tadi tidak menyimak." Ina mengakui kesalahannya dengan berani. "Tapi ... kalau boleh tahu, tadi Ibu tanya apa, ya? Ina gak denger," lirih ina dengan malu.
Namun Nyonya Sulis hanya tersenyum, dan menepuk bahu Ina pelan.
"Gak papa, Kok. Tadi saya cuma bertanya, kamu mau kan ikut saya ketemu Rara dan Kean."
Eh? Apa?
================================
Ketemuin jangan? Hayo ... maunya gimana?Kalau ketemu kira-kira Ina sama Rara mau ngapain, ya? Rujakan atau ghibahin Sean?Yuk tebak-tebakan.
Jangan lupa like, komen dan share. Okeh!
*Happy Reading* Bertemu Rara dan Kean? Tentu saja Ina mau! Kebetulan, Ina sudah sangat penasaran pada dua orang itu. Khususnya pada Rara, yang katanya mantan istri Sean. Ina ingin tahu bagaimana rupa Rara itu. Apa secantik istri pertama Sean? Atau malah lebih. Ina benar-benar ingin bertemu Rara. Selain itu, Siapa tahu Ina juga bisa dapat sedikit Info tentang masa lalu mereka? Bukan apa-apa. Jujur saja Ina sebenarnya belum yakin pada pernikahan yang Nyonya Sulis tawarkan untuknya. Ina bukan mau sombong. Atau tak tahu berterima kasih karena sudah di tolong, bahkan diberi tempat tinggal sekarang. Hanya saja, bagaimanapun Ina ini tetaplah seorang wanita biasa, yang punya mimpi seperti wanita pada umumnya. Yaitu ingin menikah sekali seumur hidup. Tidak masalah jika Ina bukan yang pertama. Karena semua orang memang puny
*Happy Reading* Tok ... tok ... tok .... Ina baru saja selesai shalat saat ketukan itu terdengar. Masih menggunakan mukenanya, Ina pun bergegas menghampiri suara tersebut, untuk melihat siapa gerangan yang mengetuk pintu kamarnya? Degh! Napas Ina pun sontak tercekat, saat akhirnya melihat Sean sudah berdiri gagah di ambang pintu kamarnya. Dengan wajah datar ciri khas pria itum Mau apa lagi pria ini? Mau nyakitin hati Ina lagi? Atau, apa? Dia mau apa nemuin Ina lagi? Segala praduga pun mulai bermunculan di kepala Ina, akibat kehadiran pria, yang tadi pagi sudah kembali melukai hatinya itu. Bukan apa-apa, sejak selesai sarapan bersama tadi pagi. Ina memang berusaha menghindari Sean, yang ternyata hari ini tidak pergi ke kantornya. Tentu saja, hari ini kan sabtu. Pria ini tentu libur bekerja di hari weekend, kan? Mak
*Happy Reading* "I-ini apa?" tanya Ina dengan ragu, saat akhirnya meraih dan membuka kotak berwarna merah, yang tadi Sean lemparkan dengan pelan ke pangkuannya. Isinya liontin indah sekali. Ina sampai menelan salivanya kasar saat melihat liontin tersebut. Sebab, selama 20 tahun dia hidup dan bernapas di dunia. Inilah kali pertama dia melihat langsung perhiasan mahal, yang lebih berkilau dari perhiasan yang biasa di pajang toko emas depan wartegnya dulu. Ini, bandulnya pasti berlian, iya kan? Duh, indah banget, sih? Ina jadi pengen segera-- "Hadiah untuk Mama." Eh? Oh, buat Nyonya Sulis ternyata. Seketika Ina pun merasa kecewa, karena sudah berharap tinggi saat melihat perhiasan di tangannya ini. Ina yang bodoh. Siapa dia, coba? Sampai Sean mau repot-repot memberikan perhiasan semahal ini untuknya. Ina pun langsung menutup kotak itu
*Happy Reading* Akibat kejadian kemarin, tepatnya kedekatan yang tercipta di Mall. Semalam Ina sukses tak bisa memejamkan matanya, karena terus terbayang sikap Sean yang menurutnya manis. Ya, ampun. Kemaren yang jalan sama Ina beneran Sean, kan? Bukan kembarannya. Apalagi makhluk jadi-jadian yang menyerupai pria itu. Soalnya ... beda banget sumpah, sama Sean yang Ina kenal. Pria galak yang punya mulut pedas, ternyata bisa semanis kemarin. Duh ... Ina jadi baper. Tolong jangan salahkan Ina untuk hal ini. Karena usia yang masih terbilang muda, dan tidak adanya pengalaman soal percintaan sebelumnya. Membuat Ina jadi baperan begini pada Sean. Jangankan diperlakukan manis oleh pria seperti Sean, yang tampangnya memang tak diragukan lagi. Dikasih tetelan lebih oleh tukang bakso saja. Ina kadang baper. Soalnya, tukang baksonya juga masih muda dan lumayan tampan.
*Happy Reading* Sebenarnya, sejak mendapati sikap Sean yang ternyata masih cuek dan acuh seperti sebelumnya. Ina malas sekali bertemu pria itu lagi. Katakanlah Ina ngambek! Tentu saja! Bagaimana Ina tidak ngambek? Kalau gara-gara sikap Sean kemarin, dia sudah baper sampai tidak bisa tidur semalaman. Eh, Sean-nya malah B aja. Kan, kesel, ya? Mentang sudah dua kali nikah! Seenaknya aja manis-manisin anak gadis orang. Kan Ina jadi baper. Karena itulah, demi mengembalikan perasaannya yang terlanjur baper. Ina pun awalnya berniat menghindari Sean, bahkan tak ingin bertemu untuk beberapa hari. Sayangnya, itu hanya jadi niat awal saja. Karena selain mereka satu atap, ada saja kejadian yang mengharuskan mereka bertemu pria itu. Misal pagi ini, saat masakan sudah matang, dan Ina sudah akan beranjak kembali ke kamar. Mbok Darmi tiba-tiba diare dan ... ya ...
*Happy Reading* Ina mengerjap bingung, masih mencoba mencerna maksud Sean sebenarnya. Sementara Sean sendiri, malah kini terdiam kembali sambil menatap Ina lekat. Zaina Rahayu. Gadis polos yang baik hati, meski tidak begitu cantik tapi sepertinya gadis ini pintar membuat orang nyaman di sekitarnya. Termasuk Sean. Namun, justru hal itulah, yang membuat Sean merasa jika dia tidak cocok menjadi pasangan Ina. Karena Sean tidak ingin ada Rara kedua dalam hidupnya. Itulah sebabnya, sepertinya Sean harus memastikan lagi keputusan Ina terhadap pernikahan ini. "Kamu harus tahu, Ina." Sean kembali membuka suara. "Saya ... benar-benar bukan pria baik." Pria itu ingin mencoba jujur, namun rasanya berat sekali. "Karena sudah dua kali gagal dalam pernikahan?" ulang Ina memastikan alasan Sean. "Mungkin ... itu salah satunya. Tapi, saya juga setuj
*Happy Reading* "Terus janji Mama sama orang tua Ina gimana, Sean?" Ternyata, nyonya Sulis masih belum bisa menerima keputusan Sean dan Ina, untuk membatalkan pernikahan mereka. "Mama kan hanya janji akan menjaga Ina, kan? Kita akan melakukannya, Mah. Kita akan menanggung hidup Ina. Membiayainya, menyekolahkannya, dan ... pokoknya apapun yang Ina butuhkan, kita akan memberikannya. Kita akan menyokong hidupnya, sampai Ina tidak lagi membutuhkan kita." Sean memberikan janjinya. "Tapi Sean--" "Atau, kalau perlu Mama bisa angkat Ina jadi anak Mama. Aku gak keberatan kok, punya adik seperti Ina." "No, Sean! Mama berjanji akan menikahkan kalian! Bukan sekedar menjaganya. Lagian, Yang Mama butuhkan itu menantu, yang bisa memberikan Mama cucu. Bukan anak lagi!" tolak Mama Sulis tegas. "Tapi kita juga gak bisa memaksa Ina, kalau dia tidak mau, Mah," jawab Se
*Happy Reading* Nyonya Sulis kritis! Saat jatuh di kamar mandi. Kepalanya memang terantuk pinggiran bathub di bagian belakang. Nyonya Sulis harus menjalani operasi karena adanya pendarahan hebat di bagian kepala. Meski begitu, kondisinya masih dinyatakan kritis setelah menjalani operasi. Ina tidak bisa menjelaskan dengan detail kondisi nyonya Sulis. Karena banyak sekali penjelasan dokter yang dia tidak mengerti. Yang Ina mengerti adalah, bahwa Nyonya Sulis kritis dan Sean terpukul sekali melihat kondisi ibunya. Kasihan sekali. Pria itu benar-benar tampak kacau sejak mengantar Ibunya ke Rumah sakit, dan makin kacau saat mendengar vonis sang Dokter. Pun Ina dengan rasa bersalahnya. Bagaimanapun, Ina merasa punya andil pada kondisi Nyonya Sulis. Karena keputusannya kemarin, yang membuat kesehatan Nyonya Sulis drop dan .... "Bagaimana
*Happy Reading*Nyatanya, meski telah sampai ke Rumah sakit dengan cepat. Sebab kebetulan hari masih pagi dan juga memasuki weekend. Namun Ina masih harus berjuang sedikit lagi, karena pembukaan baru sampai tujuh."Kamu gila, ya? Istri saya sudah sangat kesakitan itu, kenapa tidak bisa langsung melahirkan sekarang?" Sean Murka, saat Ina hanya di masukan ruang persalinan namun tidak di beri tindakan apa-apa.Tidak, sebenarnya para perawat di sana langsung bergerak melakukan hal yang seharusnya dilakukan. Bahkan sedang memasang Infusan ditangan Ina. Namun di mata Sean, itu tidak berefek apa-apa."Maaf, Pak. Tapi pembukaannya belum sempurna. Hanya menunggu sebentar lagi, kok, Pak.""Sebentar gimana? Kamu mau membunuh istri saya? Gak liat kalau istri saya sudah pucat seperti itu?!" salak Sean masih tak terima dengan prosedur rumah sakit.Rumah sakit apa ini? Katanya terbaik, tapi Melahirkan saja harus menunggu pembukaan sempurn
*Happy Reading* "Mas ... Ina ... gak kuat. Ngantuk." Ina menyuarakan isi hatinya, seraya menatap Sean penuh harap. "Ya, udah. Kamu tidur aja. Biar Mas yang selesaikan," sahut Sean, mengusap lembut pipi Istrinya di sela gerakan pinggulnya yang teratur. "Tapi abis ini udahan ya, Mas? Mas juga harus tidur." Ina mengingatkan, namun ditanggapi Sean dengan seulas senyum tipis. "Gak janji, ya? Mas masih pengen soalnya." Ina pun hanya bisa mendesah panjang mendengar jawaban suaminya, karena memang bukan hal aneh lagi untuknya. Sejak awal pernikahan, Sean Abdillah mana puas hanya sampai stasiun sekali saja. Jalur express atau pun economi, pasti harus berkali-kali. "Ya udah terserah Mas aja. Puas-puasin , deh, sebelum harus puasa lama lagi." Sebagai seorang istri, Ina bisa apa selain pasrah? Meski kadang lelah, tapi Ina tidak berani menolak. Bahkan saat Sean memintanya belajar berbagai gaya pun, Ina pasrah. Dari gaya terlentang, miring,
Byp Extra part 2*Happy Reading*Sean menggeleng tak habis pikir di tempatnya. Saat menyaksikan Ina begitu antusias memakan cilok yang baru saja Mira bawakan beberapa menit lalu.Oh, tenang saja. Sean tidak jadi membeli cilok sebanyak 200 ribu, kok. Karena untungnya, pas tadi Mira beli cilok si mamang tinggal 50rb saja. Jadi, hanya segitu yang Mira bawakan. Itu pun tetap membuat Sean terperangah saat melihat jumlahnya.Namun berbeda dengan Sean yang melongo terkejut melihat jumlah cilok yang dibawa Mira bersama seorang OB yang membantunya. Ina sendiri malah bersorak riang melihatnya. Karena, kapan lagi dia bisa makan cemilan gurih itu, selain saat Sean kecolongan seperti ini?Maklum, sejak Ina hamil, Sean memang lumayan rewel terhadap asupan gizi yang istrinya konsumsi. Hingga tak jarang, Ina pun harus putar otak, agar bisa mendapat semua camilan yang sangat dia idamkan itu. Bahkan tak jarang, Ina harus bekerja sama dengan Mbok Darmi, demi bisa men
*Happy Reading*"Selamat siang, Bu." Sambut seorang wanita muda seraya berdiri dari duduknya, saat Ina baru saja memasuki lobby kantor suaminya."Siang, Mbak. Pak Sean, ada?""Ada, Bu. Silahkan. Perlu saya antar?""Ah, tidak usah. Terima kasih, ya?" ucap Ina diiringi senyum manis, sebelum sebelum meninggalkan gadis yang di kenalnya sebagai resepsionis kantor ini, untuk menuju lift yang tak jauh dari sana, untuk menemui suaminya.Sang Recepsionis itu pun membalas senyum Ina tak kalah manis, di balut rasa kagum pada sosok istri bos, yang tidak pernah berubah sejak awal diperkenalkan di kantor ini.Dari dulu, setiap kali datang ke kantor ini. Alih-alih menelpon Suaminya, Ina malah selalu menghampiri meja receptionis, dan memastikan keberadaan suaminya pada resepsionis. Tak lupa, setelahnya Ina akan berterima kasih dan memberikan senyum ramahnya pada siapapun yang menyapanya."Siang, Bu." Seorang karyawati di sana menyapa Ina
*Happy Reading*Mengutip permintaan Ina. Sean pun akhirnya mengadakan pesta sederhana di sebuah rooftop sebuah hotel, yang di sulap seperti pesta kebun.Orang-orang yang di undang pun tidak banyak. Hanya Rara dan keluarga kecilnya, Kairo dan istrinya, juga beberapa rekan bisnis yang lumayan dekat dengan Sean.Tidak lupa, semua pelayan Rumahnya pun, khususnya Mbok Darmi, Sean undang juga. Sebab meski bagi Sean, mereka semua hanya pembantu di Rumahnya, jelas itu berbeda dengan Ina. Bahkan bisa dibilang, mereka adalah teman-teman Ina. Maka dari itu, bagi Ina mereka wajib di undang."Pepet terus! Jangan sampai lepas. Hati-hati! Tikungan di depan banyak, kawan!"Sean langsung mendengkus kesal, Saat mendengar seruan lantang itu. Pelakunya tentu saja Ken, Si Dokter Obygn jahil sekaligus masih Sean jadikan musuh.Sudah dibilang, kan? Mengundang Ken itu bukan alasan ya bagus. Lihat saja kelakuannya, baru datang saja sudah bikin hebo
*Happy Reading*"Mas? Mas? Mas?"Sean melenguh pelan. saat rungunya menangkap panggilan itu, beserta guncangan pelan di lengan atasnya. Berusaha mengumpulkan kesadarannya, Sean pun membuka mata yang sebenarnya masih sangat perih.Netranya langsung menangkap keberadaan Ina yang tengah duduk di sampingnya, dengan tampilan yang sudah segar dan rapi. Aroma sabun mandi bahkan masih tercium dari tubuh istrinya itu."Hai," sapa Sean sambil tersenyum hangat, seraya mengusap pipi Ina, dan membawa kepala gadis itu mendekat ke arah bibir untuk di kecupnya pelan. Ina pun tersipu malu."Pagi, Sayang. Ada apa?" lanjut Sean, mengusap kembali pipi Ina yang tampak merona. Entah karena ciumannya atau karena panggilan sayang darinya."Pagi, Mas. Maaf ganggu tidur, Mas. Ina cuma mau ijin bantu Bi Darmi di dapur. Boleh, kan? Kata Mas kemaren. Ina harus ijin meski pergi ke dapur," terang Ina.Sean mengingat perintah itu, dan tentu saja, kembali mengu
*Happy Reading* Setelah mengetahui kenyataan itu dari Mbok Darmi, Sean pun berderap cepat ke arah kamar mandi, demi untuk menemukan keberadaan Ina yang masih membasuh wajah, hingga hijab dan gamisnya mulai ikut basah. "Ina, sudah!" Sean mencekal tangan Ina, agar gadis itu berhenti membasuh wajahnya di wastafel kamar mandi. "Tapi ini masih keluar air matanya, Pak. Ina--" Grep! Sean pun dengan cepat memeluk Ina, membenamkan wajahnya pada dada bidangnya. Lalu mendekap erat tubuh rapuh Ina. "Tidak apa-apa Ina. Kalau kamu mau menangis, menangis saja. Jangan di tahan." Sean mempererat rengkuhannya. Ina hanya terdiam, menikmati rasa hangat pelukan yang Sean tawarkan. "Tapi setelah itu, saya mohon jangan menangis lagi, dan dengarkan saya baik-baik. Saya sudah mencintai kamu Ina, meski entah sejak kapan tepatnya." Sean mencoba jujur pada Ina. Ina ingin percaya. Namun, kepercayaan itu mahal harganya. "Terima kasih, Pak. M
*Happy Reading*"Maukah kamu menua bersama saya?"Hah?!Ina sontak mengangkat wajahnya ke arah Sean, dan langsung menemukan wajah pria itu tersenyum hangat ke arahnya."Ma-maksud Bapak?""Mas, Ina. Bukan Bapak." Sean pun mencebik kesal"Eh, iya, Mas. Maksudnya apa, ya?" Ina pun seketika meralat panggilannya. Agar Sean tidak kembali marah."Maksud saya jelas. Saya ingin membuat pernikahan kita, menjadi pernikahan sesungguhnya dan untuk selamanya."Degh!Ini ... mungkinkah?"Bagimana? Kamu mau, kan, hidup menua bersama saya? Menemani saya dalam suka dan duka. Selamanya bersama sampai maut memisahkan. Kamu, bersedia, kan, Ina?" Sean mempertegas permintaanya, agar Ina paham maksud dan tujuannya.Sean sedang melamar Ina. Harusnya gadis itu memahami hal ini dan terharu pada yang Sean lakukan. Karena itu berarti, ada harapan untuk pernikahannya yang terlanjur terjadi.Namun alih-alih terse
*Happy Reading*Sean terus memperhatikan Ina dalam diam, yang saat ini tengah berada dihadapannya, sedang mengerjakan tugas sekolah dengan senyum manis yang belum juga luntur dari bibir gadis itu.Sesenang itu ya dia bisa sekolah lagi?"Ina itu sebenarnya anak yang pintar, Kak. Dia cepat paham pada pelajaran dan tidak pernah kesulitan dalam mengerjakan tugas sekolah mana pun. Apa Kakak tahu, apa cita-citanya sejak dulu?"Sean tiba-tiba teringat ucapan Rara, sebelum pamit pergi dari rumahnya."Dia ingin jadi Dokter dan mempunyai klinik sendiri. Soalnya, orang tuanya pernah ada di keadaan, terpaksa menahan lapar, demi bisa membeli obat untuknya."Sean sepertinya pernah mendengar cerita itu."Sayangnya, kondisi ekonomi Ina menghambat cita-citanya. Dan malah mengharuskannya dewasa sebelum waktunya. Bagi Ina, saat ini bisa kembali sekolah saja sudah membuatnya bahagia. Karena dia sadar, kondisinya sudah tidak seperti dulu