*Happy Reading*
"Mas ... Ina ... gak kuat. Ngantuk." Ina menyuarakan isi hatinya, seraya menatap Sean penuh harap.
"Ya, udah. Kamu tidur aja. Biar Mas yang selesaikan," sahut Sean, mengusap lembut pipi Istrinya di sela gerakan pinggulnya yang teratur.
"Tapi abis ini udahan ya, Mas? Mas juga harus tidur." Ina mengingatkan, namun ditanggapi Sean dengan seulas senyum tipis.
"Gak janji, ya? Mas masih pengen soalnya."
Ina pun hanya bisa mendesah panjang mendengar jawaban suaminya, karena memang bukan hal aneh lagi untuknya. Sejak awal pernikahan, Sean Abdillah mana puas hanya sampai stasiun sekali saja. Jalur express atau pun economi, pasti harus berkali-kali.
"Ya udah terserah Mas aja. Puas-puasin , deh, sebelum harus puasa lama lagi."
Sebagai seorang istri, Ina bisa apa selain pasrah? Meski kadang lelah, tapi Ina tidak berani menolak. Bahkan saat Sean memintanya belajar berbagai gaya pun, Ina pasrah. Dari gaya terlentang, miring,
*Happy Reading*Nyatanya, meski telah sampai ke Rumah sakit dengan cepat. Sebab kebetulan hari masih pagi dan juga memasuki weekend. Namun Ina masih harus berjuang sedikit lagi, karena pembukaan baru sampai tujuh."Kamu gila, ya? Istri saya sudah sangat kesakitan itu, kenapa tidak bisa langsung melahirkan sekarang?" Sean Murka, saat Ina hanya di masukan ruang persalinan namun tidak di beri tindakan apa-apa.Tidak, sebenarnya para perawat di sana langsung bergerak melakukan hal yang seharusnya dilakukan. Bahkan sedang memasang Infusan ditangan Ina. Namun di mata Sean, itu tidak berefek apa-apa."Maaf, Pak. Tapi pembukaannya belum sempurna. Hanya menunggu sebentar lagi, kok, Pak.""Sebentar gimana? Kamu mau membunuh istri saya? Gak liat kalau istri saya sudah pucat seperti itu?!" salak Sean masih tak terima dengan prosedur rumah sakit.Rumah sakit apa ini? Katanya terbaik, tapi Melahirkan saja harus menunggu pembukaan sempurn
*Happy reading*Gadis itu masih terduduk lesu melihat nanar ke arah jasad orang tuanya yang sudah kaku.Tidak ada air mata, tidak pula isak tangis yang masih terdengar. Hanya mata sembab dan hidung merah yang menandakan bahwa gadis itu sempat menangis hebat beberapa menit lalu.Kini semua air mata itu seakan habis tak bersisa, hingga sudah tak ada lagi yang bisa ia keluarkan selain tatapan sendu penuh kepiluan.Dia adalah Ina. Zaina Rahayu lengkapnya. Anak semata wayang dari Bapak Husein dan Ibu Wanda, yang kini harus menjadi yatim piatu, karena kesalahan seorang wanita kotayang tak pandai dalam mengemudi di jalan berliku.Itu yang Ina dengar. Detailnya Ina tidak tahu. Karena pada saat kejadian, Ina masih ada di Warteg Bu Eni, tempatnya mencari rezeki demi membantu meringankan beban orang tuanya.Ina memang bukan berasal dari keluarga berada. Bahkan kalau boleh jujur
*Happy Reading* "Saya yang akan menggantikan Bapak dan Ibu mencicil utang sama anda." Ina memberanikan diri untuk menjawab. Sayangnya, bukan persetujuan yang Ina dapatkan. Malah seringai menyebalkan dari pria bangkotan itu, yang benar-benar meremehkan sahutan Ina. "Dengan apa kamu akan membayar, Ina? Dengan upah harian kamu yang tak seberapa dari warteg di pasar itu, huh? Mana bisa! Buat makan sehari saja tidak cukup. Apalagi untuk bayar hutang. Gak akan mungkin!" Jawaban juragan Joko mampu menohok Ina sampai ke ulu hatinya. "Lagipula hutang orang tua kamu sudah terlalu banyak dan terlalu lama. Saya tidak bisa menunggu lagi." Pak Joko menambahkan dengan tegas. "Ta-tapi--" "Hais, sudah!" Pak Joko memangkas ucapan Ina dengan cepat. Sengaja tak ingin memberikan Ina kesempatan beralaskan lagi. "Kalau kamu memang ingin membayar hutang dengan uang, silahk
*Happy Reading*Ina hanya bisa berdiri kaku dan mengerjap pelan dengan napas tercekat melihat kejadian itu. Antara ingin tertawa dan ngeri melihat bagaimana Pak Joko tersungkur mengenaskan, tanpa ada satu pun yang menolongnya.Ina bingung harus bereaksi seperti apa saat ini.Akan tetapi, sebenarnya Ina lebih takjub pada pria gagah itu, sih. Soalnya, kedatangannya seperti oase di hidup Ina yang tadi gersang.Bukan karena ketampanannya. Melainkan karena kehadirannya yang tepat di saat Ina benar-benar butuh bantuan.Apa ini keajaiban?Apa orang ini pahlawan?Entahlah, namun satu yang harus Ina niatkan dalam hati. Setelah ini Ina harus berterima kasih pada pria itu."Sean, sudah!" seru wanita kaya itu, seraya menahan pria gagah yang sepertinya masih ingin menghajar Pak Joko.Oh ... namanya Sean."Tapi, Mah. Di
*Happy Reading*Beberapa jam sebelumnya ....Sean baru saja mendaratkan diri pada kursi kebesarannya. Saat sang sekretaris menghampiri dan memberinya kabar jika sang Ibu memintanya segera menghubungi, jika sudah selesai meeting.Darurat! Itu katanya. Terang saja, hal itu membuat Sean segera meraih gawainya yang memang diabaikan sejak beberapa jam lalu, karena harus terlibat dalam meeting besar perusahaan yang di pimpin.Masalahnya, sang ibu memberikan istilah tak biasa dalam pesannya pada sang sekretaris. Alih-alih kata 'penting' yang biasa sang Mama gunakan. Kali ini kata 'Darurat' adalah pesan mendesak itu.Karenanya, Sean pun cukup penasaran ingin segera mengetahui pesan darurat apa yang Mamanya sebutkan itu."Hallo, Sean? Akhirnya kamu nelpon Mama Juga!"Mama Sulis menjawab telpon Sean dengan sangat antusias. Membuat alis tebal Sean makin bert
*Happy Reading* Ina hanya bisa menunduk dalam, sambil memainkan ujung kaos lusuhnya saat Mamanya Sean menceritakan kejadian nahas itu. Ternyata, wanita ini yang telah menabrak orang tuanya. Hingga ayahnya meninggal di tempat, sementara ibunya meninggal saat di perjalanan ke Rumah sakit. Sungguh, mengetahui hal ini, Ina bingung harus benci atau berterima kasih pada kedatangan dua orang ini. Faktanya, mereka yang membuat Ina sekarang sendirian di dunia ini, tapi mereka jugalah yang baru saja menyelamatkan Ina dari kelicikan Pak Joko. Bahkan, mereka juga yang akhirnya mengurus pemakaman orang tuanya, dan semua hal yang dibutuhkan. Tidak tanggung-tanggung, tadi Sean yang galak itu pun malah ikut turun ke liang lahat, saat menurunkan jenasah Ibu dan ayahnya. Itulah kenapa, sekarang Ina Denial sekali mendengar permintaan Mama Sean, aka Nyonya Sulis setela
*Happy Reading* "Ya, udah. Kalau begitu ayo berangkat." Setelah mendapat persetujuan dari Ina. Sean pun segera memberi komando lagi, yang langsung di angguki Mama Sulis dengan riang. Sayangnya, tidak dengan Ina. Karena .... "Tapi saya belum beres-beres," ucap Ina, sambil menunduk malu. Bukan apa-apa, Ina cuma malu saja mengatakannya, karena jika dipikir lagi, memang dia mau beres-beres apa? Rumahnya saja tidak ada barang berharga sama sekali. Jadi, gak ada yang bisa Ina bawa untuk pindahan pastinya. "Beres-beres apa?" tanya Sean tak mengerti. Seperti dugaan Ina, pria ini pun pasti menganggap tak ada barang yang layak Ina bawa di sini. Tapi kan .... "Baju." Nah, iya. Meski Rumahnya memang tak ada barang yang bisa Ina bawa, tapi baju itu benda wajib yang tidak boleh Ina lupakan, kan? Nanti, Ina mau pakai apa di Ruma
*Happy Reading* Menyadari tidak ada langkah kaki mengikutinya. Mama Sulis pun menghentikan laju kakinya, dan menoleh perlahan demi memastikan posisi calon menantunya. Benar saja, gadis itu tertinggal jauh di belakang, namun tak bergerak sama sekali di tempatnya. Ina terlihat berdiri diam, dengan sedikit menunduk seperti orang malamun. Ada apa dengan Ina? "Ina, kenapa?" Mama Sulis pun langsung menyuarakan keheranannya pada sikap Ina di sana. Ina mengangkat wajahnya dengan terkejut, sambil mengerjap pelan menatap Mama Sulis. "Kenapa, Ina?" Mama Sulis mengulang pertanyaannya, karena gadis itu seperti masih belum sadar sepenuhnya. "Uhm ... itu, Bu. Saya ... gak mau jadi simpanan." Hah?! Tak ayal, alis Mama Sulis yang sudah di ukir sesempurna itu pun bertaut, tidak mengerti dengan ucapan Ina barusan.
*Happy Reading*Nyatanya, meski telah sampai ke Rumah sakit dengan cepat. Sebab kebetulan hari masih pagi dan juga memasuki weekend. Namun Ina masih harus berjuang sedikit lagi, karena pembukaan baru sampai tujuh."Kamu gila, ya? Istri saya sudah sangat kesakitan itu, kenapa tidak bisa langsung melahirkan sekarang?" Sean Murka, saat Ina hanya di masukan ruang persalinan namun tidak di beri tindakan apa-apa.Tidak, sebenarnya para perawat di sana langsung bergerak melakukan hal yang seharusnya dilakukan. Bahkan sedang memasang Infusan ditangan Ina. Namun di mata Sean, itu tidak berefek apa-apa."Maaf, Pak. Tapi pembukaannya belum sempurna. Hanya menunggu sebentar lagi, kok, Pak.""Sebentar gimana? Kamu mau membunuh istri saya? Gak liat kalau istri saya sudah pucat seperti itu?!" salak Sean masih tak terima dengan prosedur rumah sakit.Rumah sakit apa ini? Katanya terbaik, tapi Melahirkan saja harus menunggu pembukaan sempurn
*Happy Reading* "Mas ... Ina ... gak kuat. Ngantuk." Ina menyuarakan isi hatinya, seraya menatap Sean penuh harap. "Ya, udah. Kamu tidur aja. Biar Mas yang selesaikan," sahut Sean, mengusap lembut pipi Istrinya di sela gerakan pinggulnya yang teratur. "Tapi abis ini udahan ya, Mas? Mas juga harus tidur." Ina mengingatkan, namun ditanggapi Sean dengan seulas senyum tipis. "Gak janji, ya? Mas masih pengen soalnya." Ina pun hanya bisa mendesah panjang mendengar jawaban suaminya, karena memang bukan hal aneh lagi untuknya. Sejak awal pernikahan, Sean Abdillah mana puas hanya sampai stasiun sekali saja. Jalur express atau pun economi, pasti harus berkali-kali. "Ya udah terserah Mas aja. Puas-puasin , deh, sebelum harus puasa lama lagi." Sebagai seorang istri, Ina bisa apa selain pasrah? Meski kadang lelah, tapi Ina tidak berani menolak. Bahkan saat Sean memintanya belajar berbagai gaya pun, Ina pasrah. Dari gaya terlentang, miring,
Byp Extra part 2*Happy Reading*Sean menggeleng tak habis pikir di tempatnya. Saat menyaksikan Ina begitu antusias memakan cilok yang baru saja Mira bawakan beberapa menit lalu.Oh, tenang saja. Sean tidak jadi membeli cilok sebanyak 200 ribu, kok. Karena untungnya, pas tadi Mira beli cilok si mamang tinggal 50rb saja. Jadi, hanya segitu yang Mira bawakan. Itu pun tetap membuat Sean terperangah saat melihat jumlahnya.Namun berbeda dengan Sean yang melongo terkejut melihat jumlah cilok yang dibawa Mira bersama seorang OB yang membantunya. Ina sendiri malah bersorak riang melihatnya. Karena, kapan lagi dia bisa makan cemilan gurih itu, selain saat Sean kecolongan seperti ini?Maklum, sejak Ina hamil, Sean memang lumayan rewel terhadap asupan gizi yang istrinya konsumsi. Hingga tak jarang, Ina pun harus putar otak, agar bisa mendapat semua camilan yang sangat dia idamkan itu. Bahkan tak jarang, Ina harus bekerja sama dengan Mbok Darmi, demi bisa men
*Happy Reading*"Selamat siang, Bu." Sambut seorang wanita muda seraya berdiri dari duduknya, saat Ina baru saja memasuki lobby kantor suaminya."Siang, Mbak. Pak Sean, ada?""Ada, Bu. Silahkan. Perlu saya antar?""Ah, tidak usah. Terima kasih, ya?" ucap Ina diiringi senyum manis, sebelum sebelum meninggalkan gadis yang di kenalnya sebagai resepsionis kantor ini, untuk menuju lift yang tak jauh dari sana, untuk menemui suaminya.Sang Recepsionis itu pun membalas senyum Ina tak kalah manis, di balut rasa kagum pada sosok istri bos, yang tidak pernah berubah sejak awal diperkenalkan di kantor ini.Dari dulu, setiap kali datang ke kantor ini. Alih-alih menelpon Suaminya, Ina malah selalu menghampiri meja receptionis, dan memastikan keberadaan suaminya pada resepsionis. Tak lupa, setelahnya Ina akan berterima kasih dan memberikan senyum ramahnya pada siapapun yang menyapanya."Siang, Bu." Seorang karyawati di sana menyapa Ina
*Happy Reading*Mengutip permintaan Ina. Sean pun akhirnya mengadakan pesta sederhana di sebuah rooftop sebuah hotel, yang di sulap seperti pesta kebun.Orang-orang yang di undang pun tidak banyak. Hanya Rara dan keluarga kecilnya, Kairo dan istrinya, juga beberapa rekan bisnis yang lumayan dekat dengan Sean.Tidak lupa, semua pelayan Rumahnya pun, khususnya Mbok Darmi, Sean undang juga. Sebab meski bagi Sean, mereka semua hanya pembantu di Rumahnya, jelas itu berbeda dengan Ina. Bahkan bisa dibilang, mereka adalah teman-teman Ina. Maka dari itu, bagi Ina mereka wajib di undang."Pepet terus! Jangan sampai lepas. Hati-hati! Tikungan di depan banyak, kawan!"Sean langsung mendengkus kesal, Saat mendengar seruan lantang itu. Pelakunya tentu saja Ken, Si Dokter Obygn jahil sekaligus masih Sean jadikan musuh.Sudah dibilang, kan? Mengundang Ken itu bukan alasan ya bagus. Lihat saja kelakuannya, baru datang saja sudah bikin hebo
*Happy Reading*"Mas? Mas? Mas?"Sean melenguh pelan. saat rungunya menangkap panggilan itu, beserta guncangan pelan di lengan atasnya. Berusaha mengumpulkan kesadarannya, Sean pun membuka mata yang sebenarnya masih sangat perih.Netranya langsung menangkap keberadaan Ina yang tengah duduk di sampingnya, dengan tampilan yang sudah segar dan rapi. Aroma sabun mandi bahkan masih tercium dari tubuh istrinya itu."Hai," sapa Sean sambil tersenyum hangat, seraya mengusap pipi Ina, dan membawa kepala gadis itu mendekat ke arah bibir untuk di kecupnya pelan. Ina pun tersipu malu."Pagi, Sayang. Ada apa?" lanjut Sean, mengusap kembali pipi Ina yang tampak merona. Entah karena ciumannya atau karena panggilan sayang darinya."Pagi, Mas. Maaf ganggu tidur, Mas. Ina cuma mau ijin bantu Bi Darmi di dapur. Boleh, kan? Kata Mas kemaren. Ina harus ijin meski pergi ke dapur," terang Ina.Sean mengingat perintah itu, dan tentu saja, kembali mengu
*Happy Reading* Setelah mengetahui kenyataan itu dari Mbok Darmi, Sean pun berderap cepat ke arah kamar mandi, demi untuk menemukan keberadaan Ina yang masih membasuh wajah, hingga hijab dan gamisnya mulai ikut basah. "Ina, sudah!" Sean mencekal tangan Ina, agar gadis itu berhenti membasuh wajahnya di wastafel kamar mandi. "Tapi ini masih keluar air matanya, Pak. Ina--" Grep! Sean pun dengan cepat memeluk Ina, membenamkan wajahnya pada dada bidangnya. Lalu mendekap erat tubuh rapuh Ina. "Tidak apa-apa Ina. Kalau kamu mau menangis, menangis saja. Jangan di tahan." Sean mempererat rengkuhannya. Ina hanya terdiam, menikmati rasa hangat pelukan yang Sean tawarkan. "Tapi setelah itu, saya mohon jangan menangis lagi, dan dengarkan saya baik-baik. Saya sudah mencintai kamu Ina, meski entah sejak kapan tepatnya." Sean mencoba jujur pada Ina. Ina ingin percaya. Namun, kepercayaan itu mahal harganya. "Terima kasih, Pak. M
*Happy Reading*"Maukah kamu menua bersama saya?"Hah?!Ina sontak mengangkat wajahnya ke arah Sean, dan langsung menemukan wajah pria itu tersenyum hangat ke arahnya."Ma-maksud Bapak?""Mas, Ina. Bukan Bapak." Sean pun mencebik kesal"Eh, iya, Mas. Maksudnya apa, ya?" Ina pun seketika meralat panggilannya. Agar Sean tidak kembali marah."Maksud saya jelas. Saya ingin membuat pernikahan kita, menjadi pernikahan sesungguhnya dan untuk selamanya."Degh!Ini ... mungkinkah?"Bagimana? Kamu mau, kan, hidup menua bersama saya? Menemani saya dalam suka dan duka. Selamanya bersama sampai maut memisahkan. Kamu, bersedia, kan, Ina?" Sean mempertegas permintaanya, agar Ina paham maksud dan tujuannya.Sean sedang melamar Ina. Harusnya gadis itu memahami hal ini dan terharu pada yang Sean lakukan. Karena itu berarti, ada harapan untuk pernikahannya yang terlanjur terjadi.Namun alih-alih terse
*Happy Reading*Sean terus memperhatikan Ina dalam diam, yang saat ini tengah berada dihadapannya, sedang mengerjakan tugas sekolah dengan senyum manis yang belum juga luntur dari bibir gadis itu.Sesenang itu ya dia bisa sekolah lagi?"Ina itu sebenarnya anak yang pintar, Kak. Dia cepat paham pada pelajaran dan tidak pernah kesulitan dalam mengerjakan tugas sekolah mana pun. Apa Kakak tahu, apa cita-citanya sejak dulu?"Sean tiba-tiba teringat ucapan Rara, sebelum pamit pergi dari rumahnya."Dia ingin jadi Dokter dan mempunyai klinik sendiri. Soalnya, orang tuanya pernah ada di keadaan, terpaksa menahan lapar, demi bisa membeli obat untuknya."Sean sepertinya pernah mendengar cerita itu."Sayangnya, kondisi ekonomi Ina menghambat cita-citanya. Dan malah mengharuskannya dewasa sebelum waktunya. Bagi Ina, saat ini bisa kembali sekolah saja sudah membuatnya bahagia. Karena dia sadar, kondisinya sudah tidak seperti dulu