Bang, mentor kita yang satu lagi mana?" Nino bertanya, salah satu teman di kelompok Nandita.
"Oh, dia bentar lagi datang, kok. Memang kenapa? Kalian sudah nggak sabar ketemu dia, ya?"
"Bukan, Bang. Tapi bukannya ini sudah harus nya pembagian materi?" Nino bertanya.
"Tenang saja, materi bisa menyusul, ospek jangan terlalu di bawa tegang, santai saja. Bentar lagi mentor kalian yang satu lagi bakal datang dan bawa kertas materinya, dia memang kadang hobi nya itu menghilang, jadi harap menunggu sedikit lagi," jawab Rangga mencoba menenangkan para juniornya sambil terus memikirkan di mana keberadaan sahabat nya itu sekarang.
Setelah pertanyaan itu, Nandita mulai mendengar bisik bisik terdengar dari beberapa teman di sebelahnya.
"Katanya kelompok kita paling beruntung, mentor nya ganteng ganteng," bisik Azizah yang memiliki gaya rambut keriting pendek.
"Bener banget, bahkan gue dengar-dengar juga, katanya mentor yang belum muncul itu terkenal tampan dan populer karena kepintaran nya. Bah kan dia juga suka dapat banyak pujian dari beberapa dosen, pokoknya dia bukan senior biasa," bisik Puja yang memiliki gaya rambut asimetris.
"Ya, dia memang bukan senior biasa." Azizah menyetujui dengan membuat sebutan untuk mentor nya.
"Kalian sudah mengenalnya?" Nandita jadi penasaran sebenarnya siapa mentornya yang satu lagi.
"Kamu tidak kenal dia?" bisik Rina yang memilikil gaya rambut ikal namun di kuncir kuda.
Nandita menggeleng.
"Astaga, kamu pasti sangat menyesal baru mengenal nya karena yang kudengar mentor kita yang belum datang ini selalu mendapat juara dalam perlombaan fisika dan Matematika selama 3 tahun berturut-turut saat SMA," kata Rina yang sangat tahu dan memuji nya terus terusan.
"Selain tampan, dia juara kelas sejak SMP, tapi memang sayang sikap nya sangat dingin terhadap wanita," kata Azizah.
"Tapi itu justru membuatku tertantang, karena setelah ku pikir pikir dia adalah pria terbaik," sambung Rina yang tertantang unjuk menjadi kan cowok itu sebagai pujaan hatinya.
"Aku bahkan tidak kenal dia sedalam itu tapi kenapa kalian begitu detail mengetahuinya?" Nandita bertanya.
"Karena itu hal biasa, sudah banyak yang membicarakannya," ujar rina terdengar begitu bangga karena bisa mengetahui semua nya.
Mendengar gosip itu, Nandita sendiri sebenarnya memilih acuh tak acuh, namun tanpa disangka juga sangat penasaran. Ganteng? Populer? Pintar? Memang siapa dia sih bisa sesempurna itu? Sambil memikirkan sesuatu
🔥🔥🔥
Saat menunduk, Nandita melihat rok nya terkena debu, lalu memilih berjongkok untuk membersihkan, sebenarnya hal kecil itu sangat lumayan juga untuk peregangan sambil menunggu mentornya yang satu lagi datang. Karena rasanya Nandita juga jadi ikut penasaran ingin melihat sesempurna apa sebenarnya orang itu sampai banyak yang mengincarnya.
Nandita melihat ada seseorang yang berlari mendekat, melihat sepatubpantofel dengan model cowok berhenti tepat di hadapannya membuat Nandita tak juga segera berdiri, apalagi memang sejak tadi merasa tak asing dengan sepatu di depannya.
"Astaga, dari mana aja sih lo telat banget gini?" gerutu Rangga mencebik kesal.
"Sorry, tadi anak-anak di ruangan ramai banget," jawab cowok yang baru datang itu dengan setumpuk kertas ditangannya.
Selesai membersihkan roknya yang berdebu, Nandita memilih mengangkat wajahnya dan langsung terkaget karena melihat sebuah penampakan tak asing tepat di depan matanya.
"Ada apa? Kenapak mukamu kaget gitu?" Rangga bertanya karena melihat juniornya seperti melihat hantu."Kamu..?" tunjuk Nandita dengan jari telunjuknya ke wajah Erwin.Erwin menurunkan jari telunjuk Nandita, terpaku sambil terus memperhatikan dengan seksama siapa orang yang mengenalinya itu. "Kamu kenal saya?" tanyanya memilih sedikit membungkuk sambil mengulurkan tangan untuk membantu Nandita berdiri.Nandita menepis tangan Erwin, lalu memilih berdiri sendiri. "Nggak usah sok pura-pura nggak kenal segala deh, orang kita tadi ketemu di gerbang!" ketus Nandita kesal.Semua matam tersorot ke arah Nandita dan juga Erwin, dengan mulut mereka yang sangat bising karena sibuk bergosip."Gerbang? Kapan, ya?" Erwin menatap selidik Nandita dari ujung kepala sampai kaki."Dih, sok pake pura-pura nggak ingat segala lagi, ngapain ada disini? Mau minta maaf karena sebelumnya udah pergi gitu aja? Mau sok merasa bersalah juga? Apa masih perlu?" omel Nandita benar-benar sangat kesal dengan pria di depannya karena sempat menghilang saat akan dihukum.
Azizah menyenggol lengan Nandita. " Kamu ngapain sih marah-marah sama mentor sendiri?" bisiknya karena semua anggota kelompok sedang membicarakan sikap Nandita yang sangat tidak sopan pada senior.Nandita mendelik. "Hah? Mentor?" sambil menyelidiki penampilan Erwin, dan ternyata baru disadar nya ada ID card dengan tali warna hitam seperti yang dikenakan Rangga juga.Azizah memberi kode Nandita untuk diam saja, apalagi melihat wajah Erwin seperti macan akan lepas yang siapnmenerkam."Oh, jadi kamu maba yang telat itu?" Erwin mengambil ID card yang dipakai Nandita, sengaja agar ke depannya mudah jika ingin member pelajaran, siapa suruh juga sudah telat dan sekarang malah tidak sopan pada senior."Eh, eh, jangan diambil dong!" Nandita berusaha mengambil kembali ID card miliknya yang direbut Erwin,namun tidak berhasil dana malah diberi kata-kata menyebalkan. "Kamu akan terus berurusan dengan saya!" bisik tepat di telinga Nandita.Nandita menatap Erwin dari ujung kaki sampai kepala, entah kenapa menyesal mengetahui fakta orang galak memiliki wajah tampan seperti aktok korea.Setelah berhasil mendapatka ID card Nandita, pandangan Erwin terfokus pada barisan belakang karena sejak tadi terus saja kasak kusuk tak bisa diam.
"Dari tadi diperhatikan dari jauh cuman kelompok ini doang yang sibuk sendiri, disuruh nunggu bukan berarti kalian bisa berisik! Kalian pikir ini taman kanak-kanak!" sentak Erwin tanpa di sangka-sangka. "Jangan dipikir senior diam itu tanda kalian selamat! Ngerti?"Semua kelompok DARTING yang terkena bentak langsung kicep, sangat syok melihat Erwin yang tiba-tibanha marah. Bahkan saat Nandita melirik ke arah Puja, Rina,Caf dan Azizah yang terakhir kali bergosip, wajah mereka terus menunduk dengan tampang masa karena merasa bersalah."Ngerti, nggak!" Erwin bertanya ulangkenA dengan wajah sangarnya yang sama sekali tidak terlihat dibuat-buat."Ngerti, Bang," jawab semuanya serempak dengan lantang."Mereka itu sok asyik banget, dikirai gue temannya kali, yang belakang juga pada gosip terus nggak ada sedikitpun yang menghargai kehadiran gue," sindir Rangga yang tiba-tiba jadi berubah sangar seperti Erwin sekarang,cLik ternyata dugaan Nandita sejak awal memang benar. Bahwa macan sangarl sesungguhnya memiliki ekspresi tenang.Semuanya diam, tak ada yang menyahut lagi karena merasa sangat ketakutan."Kenapa pada diam sekarang? Nggak mau gosip lebih rame lagi kayak sebelumnya?" sindir Erwin dengan sorot mata elang yang sangat menakutkan.Tak ada sahutan.
"Dipikir dari tadi nggak diperhatikan, ya? Enak banget kayaknya gosip-gosip ria ngomongin cowok! Kalian sebenarnya niat kuliah atau cuman cari pacar sih, HAH!? sindir Rangga dengan sorot tajamk sambil memindai satu persatu setiap anggota.
"Kalau kerjaan cuman gosip-gosip doang, Nggak usah masuk universitas ini, bikin malu!" bentak Erwin lagi sampai mungkin tak disadarinya sudah banyak sekali menyemburkan air hujan tepat di wajah Nandita.Nandita yang baru saja ingin mengusap wajahnya dengan tangan sontak mengurungkan niatnya karena melihat tatapan sangar Erwin yang begitu dekat dan mengarah padanya, ia memilih menurunkan tangan walau sangat tak nyaman."Kamu yange namanya Nandita?" tanya Erwin memperhatikan ID card yang tadi direbutnya dari leherI Nandita.Mendengar namanya di panggil, Nandita sontak mengangguk."Ikut saya sekarang!" titahnya tegas dengan suara tertahan.Nanditah membelalakkan matanya. "Ke mana, Kak? Bukannya acara belum selesai?"Erwin tak merespon, namun segera bergegas pergi entah ke mana."Ikuti saja, nanti juga tahu sendiri," bisik Rangga agar Nandita segera mengikuti Erwin."Jadi diikuti saja, Kak?" tanya Nandita ragu."Iya, ayo cepat sana...!" titah Rangga agar Nandita segera bergegas."Apa lo nggak keterlaluan banget tadi, Win?" Rangga memilih menemani Erwin ke lab Histologi setelah sahabatnya itu selesai memarahi maba yang dianggapnya tidak sopan pada senior.
Erwin menengok. "Gue keterlaluan kayak gimana maksudnya?" selidiknya tak mengerti apa maksud Rangga sebenarnya."Muka dia sampai merah gitu masih aja terus di semprot, gue aja yang lihat beneran nggak tega tahu," lirih Rangga merasa bersalah setelah melihat bagaimana Nanditah menahan tangisnya karena di marahi Erwin.
"Terus maksudnya gue toleransi setelah dengar keluhan anak-anak tentang cewek yang nggak punya sopan santun itu? Begitu mau lo?" nada bicara Erwin berubah ketus.
"Tapi kan si Sony juga salah, Win. Dia yang bantu lepas tuh maba, jadi jangan main lampiaskan amarah lo sepenuhnya gitu, gue lebih senang lo yang tetap kalem seperti biasa."
"Memang menurut lo gue nggak marah sama si Sony dan melampiaskan semuanya ke si cewek itu? Nggak percaya gue bisa bersikap adil?" ketus Erwin jadi terpancing emosi.
"Bukan," ralat Rangga karena sepertinya Erwin salah paham. "Gue tahu maksud lo baik buat mendidik. Tapi kan marah harusnya sewajarnya aja, jangan ke pancing sama laporan anak-anak juga, mereka mah dasarnya kompor meleduk semua."
"Gue tanya di lapangan tadi lo marah juga, nggak?" Erwin balik bertanya, karena siapapun dengan jelas melihat bahwa Rangga juga ikut marah saat berada di lapangan.
Rangga terdiam, mengaku bahwa sempat tersulut emosi juga.
"Lo mengakui juga, kan? Artinya, gue dan lo melakukan hal yang sama dengan tujuan yang sama. Kita melakukan itu untuk kebaikan mereka juga, kan? Dan bagi gue pendidikan mental itu sangat perlu agar saat mereka masuk dunia kerja nanti nggak bisa seenaknya terhadap orang lain, terutama senior-senior mereka nantinya."
"Gue paham, tapi lain kali kalau semisal dia buat ulah lagi, mending langsung bawa ke Bang Farhan aja, jangan dihadapi sendiri,erwin " saran Rangga.
"Kenapa?" selidik Erwin tak mengerti Rangga malah menyarankan itu.
"Soalnya dia pasti ketakutan buat menghadapi lo lagi,kalau anaknya sampai ngomel ke orangtuanya bagaimana? Kita juga yang bakal di semprot Bang Farhan habis-habisan."
"Terus menurut lo gue takut?"
"Kalau lo nggak perduli sama diri lo sendiri itu terserah, tapi lo harus kasihan sama gue kalau sampai ikut-ikutan kena semprot Bang Farhan."
"Kalau takut kenapa saat rapat kemarin malah mengajukan gue jadi mentor?"
"Biar lo ada pencerahan, jangan depan buku terus, harusz ketemu orang biar jadi manusiaa normal."
"Gue normal kok selama ini, sejak kapan gue sakit jiwa?"
"Maksud gue hidup layaknya manusia lain. Seperti ketemu orang, ngobrol dan kalau sempat jatuh cinta," Rangga membukakan pintuI Lab untuk Erwin yang bilang ingin mengambil tas.
Aku pikir pertemuan tak berarti hanya dengan kisah singkat yang mudah kulewatkan. Dia bagiku hanya senior yang angkuh dan tampan yang memiliki tatapan tajam seperti elang. Tak ada satu orang yang tahan berada disisinya. Tapi tenyata aku, terjebak dengan prasangkaku sendiri. Hatiku pilu,perasaanku rancu,aku tidak tahu kenapa malah menyukai membuatku merasakan sembilu. Sepertinya tidak satupun orang bisa memahami kegelisahanku. Aku tahu menyukainya adalah resiko untuk terluka. Tapi hatiku menolak menghentikannya. Karena ternyata dia bukan senior biasa, dia punya sesuatu yang membuatku tak bisa meninggalnya. Alasan itulah yang membuatku tetap singgah dihatinya walau rasa ini bercampur aduk tak karuhan.
Seorang gadis terlihat duduk dihalte dekat universitas, tak tahu apa yang sedang dilakukannya. Hanya melamun seperti menunggu uang turun dari langit. Helaan nafas berat terus terdengar, seperti ini adalah hari sialnya. "Adik mau kemana, gak naik bus nya?"tanya pria paruh baya yang duduk disebelah gadis itu. Kira kira umur lima puluhan tahun. Gadis itu menggeleng. "Saya perhatikan dari jauh adek gak juga naik metromini dari tadi, memang mau kemana? Cari kerja?" tebak pria paruh baya karena memakai seragam putih hitam yang dikenakan gadis itu. Gadis itu menggeleng, merasa tak nyaman ditanyai orang asing. "Lalu sedang apa pagi-pagi disini sendirian? Menunggu jemputan?" tanya pria paruh baya itu. "Kuliah". Jawab gadis itu akhirnya. "Kuliah dimana?" tanya pria itu lagi. "Dibelakang". Gadis itu bermaksud menyebut gedung universitas yang memang berarad dibelakang halte tersebut. Pria paruh baya itu
"Ikut gue kesana dulu," titah Sony mengajak Nina dan Yuriko untuk mengobrol dengan jarak yang lumayan jauh dari posisi Nandita.Akhirnya mau tidak mau Yuriko memerintah Nandita untuk tetap diposisinya tanpa boleh bergerak sedikit pun, sedangkan Nina sudah menyusul Sony lebih dulu."Ada apaan emang nya sih pada heboh banget?""Dia itu tadi main ngeloyor aja, padahal tahu telat, udah gitu nyolot lagi sama si Wawan". Adu Nina"Ngeloyor gimana?" Sony balik bertanya."Jadi tadi dia tuh jalan beriringan sama bang erwin, tadinya dikira anak anak yang jaga digerbang teman atau seangkatan sama bang Erwin. Tapi eh, ternyata tahu nya anak baru"."Terus", Sony tak mengerti arah permasalahannya kemana."Dia gak sopan, pas ditegur juga main ngeloyor aja ngikutin bang Erwin, untung aja berhasil dicegah oleh si wawan"."Terus salah nya maba yang sekarang kalian hukum apa? Bukannya kalian juga yang nggak teliti periksa identitas?"Hening
"Semuanya, cepat masuk barisan." titah salah satu cowok senior yang membuat nanditi mempercepat membereskan barang barangnya yang jatuh berserakan tadi.Sebelum masuk aula beberapa senior memberi arahan tentang peraturan yang harus ditaati dan juga apa yang harus dilakukan setelah keluar dari aula."Nama kamu Nandita Agnesia?" senior cowok yang memiliki gaya rambut undercut yang berjaga didepan aula bertanya, lelaki itu terus melihat kearah ID card milik nandita."Iya kak" jawab nandita sambil melempar senyum,namun sebenarnya sangat malas untuk meladeni."Fakultas kedokteran?" cowok itu kembali bertanya."Iya, boleh saya masuk kak?" tanya nandita karena merasa terus ditahan, padahal antrian dibelakang sudah sangat panjang."Ya sudah cepat masuk" titah senior cowok itu menyuruh masuk, namun setelah itu malah nandita mendengar bisik bisik beberapa senior yang sebelumnya terus menatap kearahnya."Cantik banget gue start pertama." bisik s
Bang, mentor kita yang satu lagi mana?" Nino bertanya, salah satu teman di kelompok Nandita. "Oh, dia bentar lagi datang, kok. Memang kenapa? Kalian sudah nggak sabar ketemu dia, ya?" "Bukan, Bang. Tapi bukannya ini sudah harus nya pembagian materi?" Nino bertanya. "Tenang saja, materi bisa menyusul, ospek jangan terlalu di bawa tegang, santai saja. Bentar lagi mentor kalian yang satu lagi bakal datang dan bawa kertas materinya, dia memang kadang hobi nya itu menghilang, jadi harap menunggu sedikit lagi," jawab Rangga mencoba menenangkan para juniornya sambil terus memikirkan di mana keberadaan sahabat nya itu sekarang. Setelah pertanyaan itu, Nandita mulai mendengar bisik bisik terdengar dari beberapa teman di sebelahnya. "Katanya kelompok kita paling beruntung, mentor nya ganteng ganteng," bisik Azizah yang memiliki gaya rambut keriting pendek. "Bener banget, bahkan gue dengar-dengar juga, katanya mentor yang belum muncul itu terkena
"Semuanya, cepat masuk barisan." titah salah satu cowok senior yang membuat nanditi mempercepat membereskan barang barangnya yang jatuh berserakan tadi.Sebelum masuk aula beberapa senior memberi arahan tentang peraturan yang harus ditaati dan juga apa yang harus dilakukan setelah keluar dari aula."Nama kamu Nandita Agnesia?" senior cowok yang memiliki gaya rambut undercut yang berjaga didepan aula bertanya, lelaki itu terus melihat kearah ID card milik nandita."Iya kak" jawab nandita sambil melempar senyum,namun sebenarnya sangat malas untuk meladeni."Fakultas kedokteran?" cowok itu kembali bertanya."Iya, boleh saya masuk kak?" tanya nandita karena merasa terus ditahan, padahal antrian dibelakang sudah sangat panjang."Ya sudah cepat masuk" titah senior cowok itu menyuruh masuk, namun setelah itu malah nandita mendengar bisik bisik beberapa senior yang sebelumnya terus menatap kearahnya."Cantik banget gue start pertama." bisik s
"Ikut gue kesana dulu," titah Sony mengajak Nina dan Yuriko untuk mengobrol dengan jarak yang lumayan jauh dari posisi Nandita.Akhirnya mau tidak mau Yuriko memerintah Nandita untuk tetap diposisinya tanpa boleh bergerak sedikit pun, sedangkan Nina sudah menyusul Sony lebih dulu."Ada apaan emang nya sih pada heboh banget?""Dia itu tadi main ngeloyor aja, padahal tahu telat, udah gitu nyolot lagi sama si Wawan". Adu Nina"Ngeloyor gimana?" Sony balik bertanya."Jadi tadi dia tuh jalan beriringan sama bang erwin, tadinya dikira anak anak yang jaga digerbang teman atau seangkatan sama bang Erwin. Tapi eh, ternyata tahu nya anak baru"."Terus", Sony tak mengerti arah permasalahannya kemana."Dia gak sopan, pas ditegur juga main ngeloyor aja ngikutin bang Erwin, untung aja berhasil dicegah oleh si wawan"."Terus salah nya maba yang sekarang kalian hukum apa? Bukannya kalian juga yang nggak teliti periksa identitas?"Hening
Seorang gadis terlihat duduk dihalte dekat universitas, tak tahu apa yang sedang dilakukannya. Hanya melamun seperti menunggu uang turun dari langit. Helaan nafas berat terus terdengar, seperti ini adalah hari sialnya. "Adik mau kemana, gak naik bus nya?"tanya pria paruh baya yang duduk disebelah gadis itu. Kira kira umur lima puluhan tahun. Gadis itu menggeleng. "Saya perhatikan dari jauh adek gak juga naik metromini dari tadi, memang mau kemana? Cari kerja?" tebak pria paruh baya karena memakai seragam putih hitam yang dikenakan gadis itu. Gadis itu menggeleng, merasa tak nyaman ditanyai orang asing. "Lalu sedang apa pagi-pagi disini sendirian? Menunggu jemputan?" tanya pria paruh baya itu. "Kuliah". Jawab gadis itu akhirnya. "Kuliah dimana?" tanya pria itu lagi. "Dibelakang". Gadis itu bermaksud menyebut gedung universitas yang memang berarad dibelakang halte tersebut. Pria paruh baya itu
Aku pikir pertemuan tak berarti hanya dengan kisah singkat yang mudah kulewatkan. Dia bagiku hanya senior yang angkuh dan tampan yang memiliki tatapan tajam seperti elang. Tak ada satu orang yang tahan berada disisinya. Tapi tenyata aku, terjebak dengan prasangkaku sendiri. Hatiku pilu,perasaanku rancu,aku tidak tahu kenapa malah menyukai membuatku merasakan sembilu. Sepertinya tidak satupun orang bisa memahami kegelisahanku. Aku tahu menyukainya adalah resiko untuk terluka. Tapi hatiku menolak menghentikannya. Karena ternyata dia bukan senior biasa, dia punya sesuatu yang membuatku tak bisa meninggalnya. Alasan itulah yang membuatku tetap singgah dihatinya walau rasa ini bercampur aduk tak karuhan.