Telpon di meja kerjaku berdering.
"Reihanaaaaa!!" Suara Nola memasuki runguku.
"Bisa pecah gendang telinga gue, Nolaa! Gue Bisa jadi pasien dokter THT," protesku memutar bola mata jengah. Kebiasaannya yang suka heboh.
"Gue lagi masak banyak nih. Coba resep baru di youtube. channel chef tampan yang ototnya bikin dada berdebar," cerocosnya nggak jelas.
"Lu, keruangan gue, ya! Kita makan bareng," lanjutnya bersemangat.
"Aman nggah tuh masakan, Lu."
"Dari bahan pilihan yang ditanam dan dirawat seperti anak sendiri. Tanpa MSG dan bahan pengawet. Trus dari porsi juga berlebih, jadi lu bisa nambah. Tapi yang nggak aman mungkin dari ... ya rasanya," ucapnya panjang lebar kemudian disusul tawanya yang membahana.
"Dasar, gila! Ya udah, nanti lima belas menit lagi gue kesana."
"Lama lima belas menit, iih. Gue tungguin lima menit, ya."
"Gue beresin kerjaan bentar. Lagian ruangan lu dilantai tujuh ibu Manager ... dan sekarang gue yang cuma staff ini berada di lantai dua. Paham maksud gue."
"Iya ... Iya, tapi cepetan, ye," tutupnya.
Aku menaruh kembali gagang telpon pada tempatnya. Merapikan berkas dan menutup laptop. Bergegas menuju ruangan sahabat yang menjadi atasanku. Lantai tujuh adalah lantai teratas dari gedung tempatku bekerja.
Dilantai ini hanya ditempati para petinggi perusahaan yang bergerak dibidang penyiaran ini. Direktur utama dan Direktur lainnya. Ruang rapat khusus pemilik saham. Ruang Manager yang saat ini sedang aku tuju.
Singkatnya, hanya keluarga Bagaskara group dan pejabat penting lah yang menempati lantai ini.
Aku mengetuk pintu sebagai tanda adanya kehadiranku dan membuka daun pintu perlahan, sebelum suara cempreng khas Nola sahabatku, mempersilahkan masuk.
Memasuki ruangan yang dingin karena Nola selalu memastikan alat pendingin diruangannya harus berfungsi dengan baik dan bekerja prima.
Dingin. Ya terasa dingin, tapi bukan karena Air Conditioner yang menyergap tubuhku.
Dingin ini sungguh beda, karena aku mendapati kehadiran orang lain dalam ruangan ini.Narendra Bagaskara dan istrinya yang ku ketahui sebagai selebgram yang mempunyai banyak pengikut.
"Se ... Selamat siang," sapaku canggung.
Memang kurang ajar si Nola. Jika aku tau ada kakaknya yang brengsek dan ipar cantiknya ikut makan siang, maka aku memilih makan di kantin atau menyelesaikan tugasku yang masih terbengkalai.
"Duh, biasa aja sih Hana. Sikap lo formal banget. Sini lo duduk deket gue," suara riang Nola entah mengapa seperti suara yang terdengar horor dirunguku.
Aku berjalan pelan dan sopan menuju sofa single yang berjejer dengan Nola. Sedangkan pasangan suami istri yang salah satunya sangat kubenci itu, duduk berdampingan dengan mesra di sofa berhadapan denganku dan Nola.
Sialnya, posisinya justru aku berhadapan dengan direktur dan Nola dengan iparnya.
"Gue masaknya sumpah banyak banget. Jadi Bang Naren dan Kak Tiara gue suruh gabung sekalian," Jelasnya memecahkan kecanggungan sejak aku datang.
Oke. Tampaknya mereka semua santai. Hanya aku yang terlihat canggung.
Sungguh, aku salah ruangan. Aku hanyalah staff biasa. Seharusnya aku menolak ajakan Nola tadi.Kami menikmati makan dalam hening. Sesekali Nola memancing obrolan makan siang kami.
Namun aku memilih hanya mengangguk-anggukan kepala. Mirip boneka dasbord.Seolah setuju-setuju saja dengan topik obrolan yang sebenarnya tak begitu aku simak.
"Lucu sebenernya Kak kalau punya anak cewek tuh. Bisa di dandanin yang lucu-lucu gitu. Pernak perniknya juga lebih banyak. Gemes deh," ujar Nola sambil memasukan udang cripsy kedalam mulutnya.
Tentu saja yang diajak bicara adalah iparnya yang berpenampilan anggun itu. Entah, mungkin dia lagi hamil. Sehingga Nola begitu antusias bicara soal anak.
"Bener. Pasti seru. Tapi cowok apa cewek yang penting sehat ya, sayang." Jari lentiknya menyentuh Pipi sang suami. Membuatku cepat menunduk, pura-pura menuang saos.
"Trus kalau kasih nama yang kreatif. Pokoknya nanti kalau Kak Tiara punya anak, jangan kayak aku yang cuma dikasih nama Nola Bagaskara. Cari nama yang artinya keren," usul Nola lalu menoleh padaku.
"Kalau arti nama lo apa, Na."
"Heh ...?" Aku mendongak bingung.
"Owh, nggak tau juga, sih. Raihanna mungkin karena terinspirasi dari penyayi umbrella itu," cetusku asal.Satu ruangan serempak tertawa kecil. Aku hanya tersenyum canggung sedikit malu, karena memang tidak mengerti arti namaku ini.
Lagipula kenapa Nola harus membahas hal tak penting.
**
"Mbak Hana, Aku sudah cek. Rekaman dari voice over udah siap," ucap jeje PA yang baru lima bulan bekerja masuk timku.
Aku mengacungkan jempol sebagai jawaban.
Program reality show dengan konten yang mendidik dan juga menginspirasi.Mungkin saat ini share rantingnya belum bagus. Sesuatu yang sensasi memang lebih banyak di gandrungi. Tapi penonton cerdas juga masih ada.
"Oya, Mbak ada rapat hari ini."
Tadi sekertaris Pak Ramdhan yang kasih tau. Mbak Hana nggak ada diruangan.Kulirik jam dipergelangan tangan.
"Iya. Thanks, Je."
Aku keluar ruangan menyusuri koridor. Aku memasuki lift kosong dan hedak menekan tombol lima pada sisi pintu lift. Sebelum satu tangan mencegah pintu itu yang akan tertutup.
Deg.
Narendra Bagaskara.
Tatapan matanya seolah menghunus tubuhku. Apalagi yang mau ia lakukan saat ini?
Sejak sekitar dua tahun dia resmi menjadi direktur utama Bagaskara group. Sejak itu pula aku selalu berusaha untuk tidak berurusan langsung dengan dia.Pria beristri yang kubenci sejak mengenal Nola. Pria yang masa mudanya dihabiskan untuk mabuk dan memasuki dunia gemerlap. Hura-hura dengan harta orang tua.
Pria yang hidup seolah dunia adalah miliknya, bisa di atur semaunya sendiri. Pria yang sialnya saat ini harus satu lift bersamaku. Tanpa ada manusia lain di kotak besi ini.
"Lantai berapa?" tanyanya memecah hening saat ku sadari pintu sudah tertutup.
"Owh ..., lima," jawabku tanpa melihat wajahnya.
Sontak aku memajukan jariku untuk menekan angka lima. Namun, jarinya serempak menekan nomor yang sama dengan jariku.
Aku tersentak. Tubuhku menegang. Bereaksi seakan aku harus melindungi tubuhku dari sentuhan apapun yang mungkin saja terjadi diantara aku dan direktur utama ini.
Tubuhku, selalu bereaksi berlebih terhadap kehadiran dan tatapannya. Seakan, tubuhku tak menginginkan apapun dari dirinya.
Menolak, restiten, phobia atau entahlah apa namanya."Sorry," ucapnya santai.
Aku terdiam. Untungnya lantai dua menuju lantai tiga hanya membutuhkan beberapa detik saja. Jadi aku hanya perlu menahan canggung dan rasa tak nyaman berada di direktur utama untuk sesaat saja.
Deting lift menunjukan kalau kami sudah mencapai ke lantai lima. Aku melangkah meninggalkan 'Bos Besarku' tanpa satu sapaanpun. Masa bodohlah.
Untuk sekarang aku alpa dulu dari kode etik bawahan pada atasan."Hai, Hana," sapa Choky produser olahraga. Sikapnya yang easy going memang disukai banyak orang.
"Gimana rencana mengajukan program baru. Udah siap proposalnya."
Aku mengangguk. Menunjukkan berkas yang kubawa.
"Semangat. Semoga di approve," ujarnya menepuk pelan pundakku.
Aku menelpon ambulance untuk membawa ibuku menuju rumah sakit. Sejak tiga bulan beliau diperbolehkan pulang ke rumah. Ibu kembali kelelahan dan penyakit jantungnya kambuh lagi.Terkadang ibu mengindahkan permintaanku untuk istirahat total saja. Menutup usaha menjahitnya.Masih dengan deraian air mata, aku terus memeluk ibu yang tengah berjuang dengan nafas yang sesak dan tubuh membiru dibeberapa bagian.Aku berlari kemeja administrasi dan menyelesaikan beberapa dokumen terkait tindakan yang akan dilakukan dokter untuk menangani ibu.Selalu seperti itu, sejak lima tahun. Aku sudah melatih diri untuk selalu bersiap dengan kondisi ibu yang jatuh bangun.Membuka ruang rawat inap ibu, seakan tak memiliki beban dipundak. Dihadapan ibu aku harus terlihat kuat. Lagipula ibu bukanlah beban dalam hidupku.Meski terasa berat dan melelahkan. Suatu kenikmatan yang harus disyukuri masih memiliki orang tua."Bu ..., Istirahat ya, jangan pikirkan apa
POV Narendra"Rendra." suara lembut Tiara memasuki runguku.Aku membuka mata perlahan, melirik angka yang ditunjukan oleh jarum jam dinding. Pukul dua dini hari, dan Tiara membangunkanku dari tidurku."Aku mimpi buruk."Lagi. Akhir-akhir ini Tiara sering mengalami mimpi buruk. Membuat tidurnya terganggu dan merasa tidak tenang.Tiara merangsek kedalam pelukanku. Meletakkan wajahnya didadaku. Seperti biasa aku mengusap kepala hingga punggungnya. Memberikan rasa nyaman."Making love? Mungkin dengan sedikit bergerak, kamu akan bisa tidur lebih nyenyak," tawarku kepada Tiara dengan sedikit mengodanya.Istriku menggeleng pelan."Nggak mau. Percuma, Aku nggak akan bisa hamil juga meski sesering apapun kita melakukanya." lirihnya sendu."Aku nggak memaksa kamu harus bisa hamil, honey. I just need you to happy.""Rendara.""Hmm.""Apa kamu nggak mau menikah lagi?""Hah?!""Mungkin aku nggak bisa
Mutiara candra, istri Narendra Bagaskara mungkin salah minum obat. Bagaimana bisa dia terang-terangan memintaku menjadi istri kedua dalam rumah tangganya.Aku sempat terkejut saat sekertaris Direktur utama menghubungiku. Memberi tahu kalau istri diriktur memintaku menemuinya.Awalnya kami hanya mengobrol ringan. Meski merasa aneh, akupun menanggapi sesantai mungkin.Dia menanyakan bagaima hubungan persahabatanku dengan Nola. Kehidupan keluargaku dan tentang adik-adikku.Saat tiba giliran Tiara menceritakan tentang dirinya. Bagaimana kehidupan pernikahannya dengan Narendra. Jujur, saat dia bercerita bagaimana romantisnya dan lembutnya Narendra pada istrinya, hatiku seolah tak terima. Si brengsek yang sudah mengkoyak harga diriku.Hingga saat Tiara mengatakan kalau dia tidak mungkin bisa memberikan keturunan pada Narendra. Sebenarnya aku iba dan simpati pada wanita cantik itu. Meski di satu sisi tersenyum miris pada diriku sendiri.Tiara berkata
"Selamat pagi," Sapaku seraya tersenyum saat menghampiri meja makan. Mendapati sepasang suami istri itu sedang menikmati sarapan.Tadi asisten rumah tangga yang memanggilku kekamar, memintaku segera turun untuk sarapan atas perintah sang Tuan rumah."Pagi, Hana. Sorry, semalam aku sudah tidur saat kamu datang," ujar Tiara menatapku yang kini ikut duduk dikursi kosong menghadap meja bundar."Saya yang minta maaf jika kehadiran saya jadi merepotkan.""Kamu ngomong apa, Hana! Sekarang kamu juga istri, Narendra. Kamu juga bagian dari keluarga ini dan berhak untuk tinggal disini, tak perlu sungkan," Tiara melirik pria disebelahnya yang tampak santai mengoles roti dengan selai strobery."Thanks, Ren," ucap Tiara, Saat roti itu diletakkan diatas piringnya. Pria itu membalas dengan senyuman.Aku lebih memilih meyendok nasi goreng yang tersaji, sebagai menu sarapanku. Harus terbiasa dengan hal seperti ini. Sikap manis dan mesra mereka berdua yang mun
"Hana."Sapa Tiara saat aku baru saja pulang kerja. Kali ini aku pulang dengan taksi online. Jangan tanyakan orang yang tadi pagi berangkat bersamaku. Bahkan sejak aku turun dari mobilnya. Aku sama sekali tak berjumpa dengan dirinya seharian tadi."Terima Kasih, Hana," ucap Tiara saat aku meraih belakang kursi rodanya dan membantu mendorongnya masuk kedalam rumah. Karena angin bertiup cukup kencang. Mungkin sebentar lagi akan segera turun hujan.Tiara yang sedang berada sendirian diteras, entah sedang apa. Mungkin dia tengah menunggu suaminya.Aku melihat kondisi Tiara tak bisa dikatakan membaik saat ini. Yang aku dengar sekarang ada lagi tambahan penyaki ditubuhnya. Ginjalnya ikut bermasalah. Sungguh aku kasihan padanya."Rendra tadi bilang dia masih dicafe," ujarnya tanpa aku bertanya tentang keberadaan laki-laki itu.Oh. Tentu saja Narendra selalu memberi kabar kepada istri pertamanya dimanapun kini dia berada. Apalah aku
Pov NarendraAku merasakan rajang yang kutiduri bergerak pelan. Suara isakan yang tertangkap di runguku membuatku berpikir. Ada apa dengan wanita yang kini berstatus menjadi istri keduaku itu?Membuka mata dan menangkap punggung berbalut piyama itu melangkah dengan sedikit berjinjit. Sepertinya dia memang berhati-hati seolah tidak ingin menimbulkan suara sedikitpun.Aku hanya mengajaknya beristirahat. Bukan untuk meminta hak. Mengapa dia malah menangis begitu dan seolah mau menghindariku.Aku semakin bingung, ada apa dengan anak ini?"Mau kemana?"Dia nampak kaget. Terlihat dari tubuhnya yang berjengkit dan tiba-tiba memaku di tempat."Ke-keluar sebentar. Aku haus, mau kedapur ingin minum." suaranya sangat lirih. Nadanya terdengar takut-takut. Apa aku begitu menyeramkan baginya?"Itu ada air minum diatas nakas. Tadi aku sudah menyiapkannya."Aku memang sudah biasa menyiapkan sendiri persediaan minum di kala menjelang akan ti
Aku mendaftar konseling pada psikolog yang praktek di Rumah sakit. Setelah mendapat giliran, aku masuk dan mulai melakukan sesi cerita. Ibu Sarah selaku psikolog yang pernah membantuku beberapa tahun yang lalu. Beliau sangat pandai mensugestiku untuk memaafkan dan berdamai dengan insiden itu. Keluhanku mengenai traumaku. Jika teringat malam itu. Satu sisi aku juga merasa bersalah pada Narendra. Namun sebagian besar sisi hatiku entah mengapa menolak bersentuhan dengan dirinya. Menurut psikolog yang menanganiku, memiliki teman curhat untuk mengeluarkan semua uneg-uneg dihatiku adalah salah satu cara. Namun aku tak berani melakukan itu. Aku tak mungkin bercerita pada Nola, meski kami sangat dekat. Masalah yang menurutku sangatlah pribadi, aku cenderung menyimpannya sendiri. Apalagi masalah yang menimpaku beberapa tahun yang lalu. Bahkan keluargaku tidak ada yang tau. Hingga, caraku untuk menumpahkan semuanya adalah lewat diary-ku. Membuat s
Pov Narendra Entah apa yang terjadi dengan sahabat Nola itu. Sikapnya sungguh aneh.Jangan katanya? Aku memeluk istri sah ku dan dia bilang jangan?Aku mengajak dia menjalani hubungan dan dia juga bilang jangan? Bagaimana jika aku benar-benar meminta apa yang sudah menjadi hak ku sebagai seorang suami?Memaksanya melayaniku di atas ranjang.Bersikap masa bodoh dengan segala tetesan air mata dan raut takutnya. Setiap kali dia berada hanya berdua denganku, selalu menunjukan sikap seolah aku ini adalah hantu yang tampak menyeramkan. Sekarang dia sudah berstatus sebagai istriku. Aku menikahinya untuk memiliki keturunan. Akupun menikahinya untuk menolong persoalan keluarganya. Tapi apa yang kudapat? Hampir satu bulan hubungan ini stagnan. Bagaimana aku meminta Tiara untuk terus bersabar dengan Hana. Wanita itu selalu bersikap kerap menjauhiku. Kali ini, aku merasa sedang dimanfaatkan olehnya. Iya. dimanfaatkan! Dia hanya ingin karirnya di bagas
Aku memejamkan mata karena merasa ngeri dengan sesosok tubuh yang sedang berada diatasku kini. Tanganku berusaha meraih tangan pria yang tengah mabuk ini. Namun, dia justru mencengkeram kedua pergelangan tanganku lalu membawa ke atas kepalaku. Tubuhku yang terbaring di ranjang berusaha meronta dengan sekuat tenaga.Pria yang sedang di selimuti nafsu binatangnya, tanpa ampun melucuti apa yang melekat di tubuhku dengan kasar. Suara tangis dan rintihanku tak dia hiraukan. Dia malah semakin gencar menjamah setiap inchi tubuhku dengan nafas yang terus memburu.Aku memekik kala sesuatu memaksa masuk di bawah sana. Tubuhku gemetar dengan air mata yang meluncur membasahi kedua pipi. Tidak merasa tergangu dengan suara tangisanku, dia terus saja menggerakan tubuhnya dan semakin cepat.Setelah melepaskan hasrat dengan meledakan sesuatu yang terasa hangat di tubuhku, pria itu nampak tersenyum puas. Senyum yang selama ini aku sukai darinya tapi kini terlihat begitu menjijika
Pov NarendraAku duduk berlutut di gundukan tanah basah yang diatasnya bertabur bunga menebarkan aroma wangi. Rangkaian bunga mawar dan lili putih yang kuletakkan di atas nisan bertuliskan Mutiara Candra.Sudah empat puluh hari hari wanita yang begitu berarti dalam hidupku itu pergi untuk selamanya. Secanggih apapun teknologi kedokteran tetap tidak bisa menolong istriku. Dia pergi membawa separuh nyawaku. Hampir setiap hari aku menyambangi tempat peristirahatan terakhir wanitaku.Melepas kacamata hitam yang membingkai wajahku, mataku kembali memanas melihat pusaran Tiara. Kulantunkan doa untuknya dengan dada yang terasa sesak. Dia sahabat kecilku dan juga cinta pertamaku, meski aku tau cintaku bertepuk sebelah tangan.Aku tau dia masih begitu mencintai kekasihnya. Pria yang lebih dulu berpulang akibat kecelakaan beberapa waktu silam. Membuat Tiara sempat depresi. Aku sebagai sahabat justru membawanya semakin terburuk, tengelam dalam dunia malam."H
"Dih, nggak nyangka, ya. Pelakor rupanya.""Pantesan aku sering liat dia naik ke lantai tujuh. Banyak karyawan yang menyaksikan, lho. Beberapa kali melihat dia satu mobil sama Pak Narendra."Padahal masih cantikan juga istrinya, ya? Mungkin pake pelet.""Aku malah dapat foto mereka lagi makan berdua di cafe luar kota dari grup watshap.""Serius?! Coba lihat.""Eh, ya ampun, beneran ini ...."Aku meneguk air mineral. Seolah ada yang mengganjal dikerongkonganku. Seperti bom waktu, akhirnya meledak juga setelah kepulanganku dan Narendra kemarin lusa.Kasak kusuk itu terus mengikuti kemana langkahku saat ini. Hampir semua orang menyalahkan dan memberikan nyiyiran, bahkan hujatan padaku. Lebih mirisnya lagi mereka membawa dan menyeret keluargaku untuk ikut di hakimi."Sebenarnya aku juga penasaran dengan gosip yang beredar. Jangan hanya diam saja. Berikan klarifikasi, Hana." Bang Choky yang biasanya tak perduli dengan gosip ap
Pov NarendraAku mengajak Hana keluar kota untuk keperluan bisnis Cafe yang aku geluti sejak keluar dari bangku kuliah. Jauh sebelum bergabung di Bagaskara grup.Dulu aku menjual mobil untuk memulai bisnis, meski banyak kendala yang harus aku hadapi. Tapi aku bersyukur apa yang kulakukan kini membuahkan hasil.Aku sudah memiliki banyak cabang, di berbagai kota. Setidaknya aku bisa membuktikan pada Papa dan semua orang bahwa aku tidak hanya mengandalkan Bagaskara grup. Aku bisa berkembang serta besar di bidang dan jalanku sendiri.Saat meraih tangan Hana untuk ku gandeng, aku tau istriku itu kaget dengan apa yang aku lakukan. Tapi dia sama sekali tidak menolak atau mungkin menampik tanganku.Memperkenalkan Hana sebagai istriku. Aku tak perduli dengan pandangan karyawan yang seolah menilai wanita dengan balutan kaos lengan panjang dan celana jins yang tetap menebar senyum manisnya. Meski aku tau Hana merasa kurang nyaman, tapi aku terus menggengam tang
Ibu Sarah, psikolog yang menanganiku. Kuakui beliau sangat membantu menghilangkan traumaku itu. Meski Bu Sarah kerap berkata, keinginan dan dorongan kuat dari diriku sendiri lah yang akan membantu progress signifikan pada penyembuhanku.Namun, aku tetap sangat berterima kasih pada beliau, atas tugas terapi yang kerap beliau beri padaku. Terbukti rasa takutku yang berlebihan saat berdekatan dengan Narendra, kurasakan perlahan mulai menghilang.Mobil yang aku tumpangi meluncur dijalan tol menuju luar kota. Suasana di mobil lebih banyak hening, karena kami hanya berbicara seperlunya. Narendra tepatnya yang lebih dulu membuka obrolan, sedangkan aku hanya menjawab saja. Melihat kearah jendela dan melihat pemandangan diluar adalah pengalihan rasa gugupku.Turun dari Mobil dan saat memasuki Cafe, aku kaget saat tiba-tiba Narendra meraih tanganku dan menggengamnya. Aku meliriknya sekilas lalu tertunduk dengan tersipu. Meski begitu aku bisa menerima dan tak memberontak a
Aku duduk diruang tunggu poli psikologi. Aku membuat jadwal konseling di jam istirahat kerjaku. Jarak antara kantor dan Rumah sakit tempat kini aku berada memang tidak terlalu jauh.Untung saja Ibu Sarah baik sekali, bersedia memberikan waktu jam makan siangnya untukku. Memasuki ruang poli saat perawat berseragam putih hijau itu memanggil, aku menduduki kursi nyaman yang diperuntukan untuk para pasien yang berkunjung kesini.Kepada Ibu Sarah aku menceritakan kejadian saat aku berada didapur beberapa malam lalu bersama Narendra. Serta kejadian semalam saat pria itu tidur seranjang denganku meski tak terjadi apapun. Tapi rasa takut itu masih saja menghantuiku. Meski kadarnya mulai berkurang sedikit.Aku meminta terapi agar mau dan mampu menatap mata Narendra. Pelaku pelecehan yang menciptakan trauma pada diriku. Ibu Sarah memuji bagaimana pengendalian diriku yang menurutnya cukup baik. Masih mau menerima pelukan Narenda walau respon fisikku belum menunjukan
"Pulang kerja jalan, yuk. Suntuk nih pengen ke salon dan shopping," ajak Nola yang sore ini menghampiri keruang kerjaku. Mengenakan setelan warna tosca yang begitu cocok dengan kulit tubuhnyaAku menggeleng."Tanggal tua. Gue belum gajian Bu Manajer," tolakku masih fokus pada layar laptop."Hello, lo itu sekarang istri Direktur Utama, jangan kayak orang susah, deh," ledek putri tunggal Pak Bagaskara itu."Menikah sama Abang lo berasa mimpi. Apalagi statusnya jadi yang kedua," ungkapku jujur.Nola kemudian melangkah lebih dekat denganku. Lalu membungkukkan badanya dan memelukku dari samping. Aroma parfumnya menyapa hidungku."Lo itu special, Hana. Melengkapi rumah tangga Abang gue. Tenang saja, gue akan selalu suport lo, kok." Dari awal Nola memang langsung setuju saat Abangnya bermaksud akan menikahiku. Jika dengan orang lain, dia bilang akan berpikir ratusan kali untuk memberi izin pada Abangnya itu.Ya, Nola juga sesayang
Pov Narendra Entah apa yang terjadi dengan sahabat Nola itu. Sikapnya sungguh aneh.Jangan katanya? Aku memeluk istri sah ku dan dia bilang jangan?Aku mengajak dia menjalani hubungan dan dia juga bilang jangan? Bagaimana jika aku benar-benar meminta apa yang sudah menjadi hak ku sebagai seorang suami?Memaksanya melayaniku di atas ranjang.Bersikap masa bodoh dengan segala tetesan air mata dan raut takutnya. Setiap kali dia berada hanya berdua denganku, selalu menunjukan sikap seolah aku ini adalah hantu yang tampak menyeramkan. Sekarang dia sudah berstatus sebagai istriku. Aku menikahinya untuk memiliki keturunan. Akupun menikahinya untuk menolong persoalan keluarganya. Tapi apa yang kudapat? Hampir satu bulan hubungan ini stagnan. Bagaimana aku meminta Tiara untuk terus bersabar dengan Hana. Wanita itu selalu bersikap kerap menjauhiku. Kali ini, aku merasa sedang dimanfaatkan olehnya. Iya. dimanfaatkan! Dia hanya ingin karirnya di bagas
Aku mendaftar konseling pada psikolog yang praktek di Rumah sakit. Setelah mendapat giliran, aku masuk dan mulai melakukan sesi cerita. Ibu Sarah selaku psikolog yang pernah membantuku beberapa tahun yang lalu. Beliau sangat pandai mensugestiku untuk memaafkan dan berdamai dengan insiden itu. Keluhanku mengenai traumaku. Jika teringat malam itu. Satu sisi aku juga merasa bersalah pada Narendra. Namun sebagian besar sisi hatiku entah mengapa menolak bersentuhan dengan dirinya. Menurut psikolog yang menanganiku, memiliki teman curhat untuk mengeluarkan semua uneg-uneg dihatiku adalah salah satu cara. Namun aku tak berani melakukan itu. Aku tak mungkin bercerita pada Nola, meski kami sangat dekat. Masalah yang menurutku sangatlah pribadi, aku cenderung menyimpannya sendiri. Apalagi masalah yang menimpaku beberapa tahun yang lalu. Bahkan keluargaku tidak ada yang tau. Hingga, caraku untuk menumpahkan semuanya adalah lewat diary-ku. Membuat s