Aku menelpon ambulance untuk membawa ibuku menuju rumah sakit. Sejak tiga bulan beliau diperbolehkan pulang ke rumah. Ibu kembali kelelahan dan penyakit jantungnya kambuh lagi.
Terkadang ibu mengindahkan permintaanku untuk istirahat total saja. Menutup usaha menjahitnya.
Masih dengan deraian air mata, aku terus memeluk ibu yang tengah berjuang dengan nafas yang sesak dan tubuh membiru dibeberapa bagian.Aku berlari kemeja administrasi dan menyelesaikan beberapa dokumen terkait tindakan yang akan dilakukan dokter untuk menangani ibu.
Selalu seperti itu, sejak lima tahun. Aku sudah melatih diri untuk selalu bersiap dengan kondisi ibu yang jatuh bangun.Membuka ruang rawat inap ibu, seakan tak memiliki beban dipundak. Dihadapan ibu aku harus terlihat kuat. Lagipula ibu bukanlah beban dalam hidupku.
Meski terasa berat dan melelahkan. Suatu kenikmatan yang harus disyukuri masih memiliki orang tua."Bu ..., Istirahat ya, jangan pikirkan apapun. Hana harus kembali ke kantor sebentar. Nanti istirahat makan siang, Hana kesini buat suapin ibu sekalian makan siang."
Kubenahi letak selimut ibu. Lalu keluar ruang rawat inap setelah memastikan ibu sudah istirahat.
Ah, aku belum sempat sarapan karena tragedi ibu sesak nafas. Tadi pikiranku mendadak diserang cemas. Meski bukan pertama kali ibu mengalami kejadian ini.
Tak masalah kini aku mampir sebentar untuk membeli kue, sebagai pengganti sarapanku yang terlambat.
"Pak Naren?"
Benar aku tak salah liat. Ya, Itu Narendra kakaknya Nola. Dia terlihat kacau. Ada apa?Mataku mengikuti arah ranjang dorong menuju ruang internist. Tak melihat dengan jelas siapa yang berada diranjang, yang jelas Pak Naren terlihat khawatir dan ikut berlari bersama tim medis yang mendorong ranjang itu.
Melirik jam tangan. Aku harus bergegas kembali kekantor. Sebelum diomeli timku.
**
Siang hari aku mengambil box cetering jatahku dari kantor dan membawanya ke rumah sakit tempat ibu dirawat. Jarak kantorku dan tempat ibu dirawat kebetulan dekat, tak lebih dari lima belas menit mengendarai motor maticku.
"Hana, lo ngapain disini?"
Aku menoleh dan mendapati Nola dengan pakaian formalnya berjalan kearahku. Saat ini kami tengah berada dilorong koridor rumah sakit.
"Ibuku dirawat disini,"
"Ya ampun, kenapa? Kambuh lagi," tebaknya dengan mimik prihatin.
"Begitulah," aku mencoba menarik sudut bibir. Menguatkan diri sendiri, "Trus kalau lo sendiri ngapain disini?"
Oya, ingatanku kembali pada peristiwa tadi pagi. Saat aku melihat Narendra Bagaskara disini.
"Kak Tiara. Aku datang untuk menjenguknya."
"Sakit apa?" tanyaku kaget.
"Fungsi hatinya abnormal, gitu deh. Aku juga kurang paham soal penyakitnya."
Aku menarik nafas dalam. Ternyata selebgram cantik itu juga memiliki penyakit pada tubuhnya.
Setelah menyuapi ibu makan. Nola mengajakku keruang rawat inap iparnya.
Tadi dia memilih mengikutiku terlebih dulu untuk melihat kondisi ibuku."Kak Tiara," Sapa Nola sendu mendekat kearah brankar. Sedangkan aku hanya menganggukan kepala sebagai bentuk kesopanan.
Sebenarnya aku sungkan harus berada disini.Aku melirik tubuh tertutup selimut sebatas dada. Kemana wajah cantiknya istri Narendra itu?
Tangan, kaki dan wajahnya tampak membengkak."Honey. Bagaimana kalau kita pindah rumah sakit saja. Singapure."
"Aku mau disini saja, Ren. Sama saja," lirih Tiara menjawab ajakan suaminya. Dari suaranya wanita itu terdengar seperti sudah lelah atau mungkin putus asa.
"Ibunya Hana juga dirawat disini. Aku baru saja menjenguknya," ujar Nola tanpa ada yang bertanya. Gadis itu memang cerewet.
"Sakit apa, Hana?"
Si cantik dengan rambut yang mulai tampak menipis itu memandangku."Jantung. Sudah sering keluar masuk Rumah Sakit."
"Dirawat diruang mana?"
"Kelas satu. Ruang Anggrek."
"Sayang, bisa aku pindahkan kesana?" pintanya menatap pada sang suami dengan raut memohon.
Hah. Apa aku tak salah mendengar?
Tidak hanya aku. Nola juga tampak kaget mendengar permintaan aneh iparnya. Apalagi Narendra yang menatap sang istri dengan wajah terlihat shock.Dia jelas sudah berada diruangan kelas VVIP. Lalu kenapa tiba-tiba ingin pindah keruangan kelas satu?
Konyol sekali. Orang kaya memang beda.**
Jam tujuh malam setelah aku menyelesaikan proposal konsep untuk program baru. Kemarin sempat ditolak, tapi aku belum mau menyerah. Mencoba meperbaiki agar bisa lebih meyakinkan.
Aku membereskan meja kerjaku. Lantas menuju Rumah Sakit. Ibu sudah beberapa hari dirawat disana. Beliaupun kini tidak sendiri diruangan itu.
Aku tersenyum pada Tiara saat memasuki ruangan.
Akhirnya setelah drama yang terjadi kemarin, wanita itu dipindahkan diruangan yang sama dengan ibuku.Alasanya biar dia punya teman dan tak mau sendiri. Padahal ada Narendra, sang suami. Selalu setia menemani. Entahlah.
"Malam Kak Tiara."
"Malam Hana. Kok baru datang, sibuk banget, ya.
Tadi ibu makan sendiri, lho," ucap Tiara melirik ranjang ibu. Disana ibu tampak tertidur pulas."Untung tadi ada Nola dan Rendra disini. Kami makan bersama barusan," lanjutnya.
Aku tersenyum malu karena kurang memperhatikan ibu. fokusku teralihkan oleh pekerjaan yang menumpuk.
"Jangan terlalu memforsir untuk bekerja. Kalau butuh tenaga untuk team. Buat saja laporan ke HRD supaya mereka bisa mencarikan kandidat untuk team bagianmu."
Oh. Suaminya adalah Direktur utama. Tentu dia tau banyak soal pekerjaanku.
"Sejauh ini masih bisa diatasi. Nanti jika diperlukan," kilahku sopan.
Dia tersenyum dan mengangguk
"Eh, Itu apa?"
Tunjuknya saat aku mengeluarkan buku bersampul bunga-bunga dari tas. Buku yang selalu aku bawa kemana-mana."Oh, ini buku diary,"
Tiara tampak terperangah tak percaya.
"Wah, sejak kapan suka nulis diary? Zaman sekarang masih ada yang melalukan hal itu. Kamu unik, Hana."Entah itu pujian atau sebenarnya dia menganggap aku kuno. Aku tak perduli.
"Sejak SMA. Lebih tepatnya sejak Ayah pergi. Kadang ada hal yang sulit kita bagi. Menulis diary bagiku adalah salah satu komonikasi intrapersonal. Aku membagi kisah pada buku ini, untuk aku ingat lagi suatu hari nanti."
"How romantic you are," puji Tiara padaku.
Apa yang romantis dari menulis diary? Biasa saja menurutku.
"Honey," Aku mendengar suara Narendra memasuki ruangan.
Aku bergegas berlagak sok sibuk.
Melihat interaksi antara mereka membuat hatiku seperti tercubit.Memakai headseat untuk menampakkan kesan serius. Sambil membuka berkas untuk menyelesaikan pekerjaan kantor, seolah tak bisa diganggu. Aku butuh konsentrasi tinggi. Namun sebenarnya aku tak memutar apapun diponselku.
"Rendra," kulirik Tiara yang menyambut manis suaminya. Entah mengapa aku mendadak tidak suka apa yang terjadi didepanku saat ini.
Sakit dan perih. Entah karena trauma masa lalu itu, atau karena aku sebenarnya cemburu?
"Honey, bagaimana kalau kita nonton malam ini. Lihat aku suka pasangan suami istri dalam filem ini. Mereka seperti kita, menghabiskan masa kecil hingga tua bersama. Seperti rasaku terhadap kamu, karena buatku kamu segalanya."
Uhuk.
Aku tersedak. Mendengar ucapan Narendra si brengsek tukang mabuk itu.
"Raihana, kamu okay?"
"Apa, kak?" Tanyaku pura-pura baru tersadar.
"Kamu tersedak, kamu tidak apa-apakan, Hana?"
Sesaat aku melihat sorot tajam netra Narendar padaku. Membuatku mendadak diterpa rasa gugup dan takut.
Aku menggeleng dan tersenyum.
"Tidak apa?" Aku meneguk air mineral botol yang ada dinakas ranjang ibu.Melihat Narendra dengan jarak dekat seperti ini, ditambah sorot matanya padaku serta ucapannya terhadap istrinya tadi, entah mengapa membuatku gerah.
"Kak, Tiara," sapaku sungkan.
Wanita cantik itu tersenyum padaku.
"Aku mau kekantin bawah sebentar. Mau membeli kopi. Boleh titip ibu sebentar, maaf merepotkan."
"Santai saja, Hana. Ada Narendra juga kok disini," balas Tiara ringan.
Ibu, maafkan Hana. Tapi Hana harus menjaga jarak dengan Abangnya Nola ini. Jika tidak, Hana bisa mengingat kembali kejadian buruk itu. Hana harus menjauh pria ini sekarang.
POV Narendra"Rendra." suara lembut Tiara memasuki runguku.Aku membuka mata perlahan, melirik angka yang ditunjukan oleh jarum jam dinding. Pukul dua dini hari, dan Tiara membangunkanku dari tidurku."Aku mimpi buruk."Lagi. Akhir-akhir ini Tiara sering mengalami mimpi buruk. Membuat tidurnya terganggu dan merasa tidak tenang.Tiara merangsek kedalam pelukanku. Meletakkan wajahnya didadaku. Seperti biasa aku mengusap kepala hingga punggungnya. Memberikan rasa nyaman."Making love? Mungkin dengan sedikit bergerak, kamu akan bisa tidur lebih nyenyak," tawarku kepada Tiara dengan sedikit mengodanya.Istriku menggeleng pelan."Nggak mau. Percuma, Aku nggak akan bisa hamil juga meski sesering apapun kita melakukanya." lirihnya sendu."Aku nggak memaksa kamu harus bisa hamil, honey. I just need you to happy.""Rendara.""Hmm.""Apa kamu nggak mau menikah lagi?""Hah?!""Mungkin aku nggak bisa
Mutiara candra, istri Narendra Bagaskara mungkin salah minum obat. Bagaimana bisa dia terang-terangan memintaku menjadi istri kedua dalam rumah tangganya.Aku sempat terkejut saat sekertaris Direktur utama menghubungiku. Memberi tahu kalau istri diriktur memintaku menemuinya.Awalnya kami hanya mengobrol ringan. Meski merasa aneh, akupun menanggapi sesantai mungkin.Dia menanyakan bagaima hubungan persahabatanku dengan Nola. Kehidupan keluargaku dan tentang adik-adikku.Saat tiba giliran Tiara menceritakan tentang dirinya. Bagaimana kehidupan pernikahannya dengan Narendra. Jujur, saat dia bercerita bagaimana romantisnya dan lembutnya Narendra pada istrinya, hatiku seolah tak terima. Si brengsek yang sudah mengkoyak harga diriku.Hingga saat Tiara mengatakan kalau dia tidak mungkin bisa memberikan keturunan pada Narendra. Sebenarnya aku iba dan simpati pada wanita cantik itu. Meski di satu sisi tersenyum miris pada diriku sendiri.Tiara berkata
"Selamat pagi," Sapaku seraya tersenyum saat menghampiri meja makan. Mendapati sepasang suami istri itu sedang menikmati sarapan.Tadi asisten rumah tangga yang memanggilku kekamar, memintaku segera turun untuk sarapan atas perintah sang Tuan rumah."Pagi, Hana. Sorry, semalam aku sudah tidur saat kamu datang," ujar Tiara menatapku yang kini ikut duduk dikursi kosong menghadap meja bundar."Saya yang minta maaf jika kehadiran saya jadi merepotkan.""Kamu ngomong apa, Hana! Sekarang kamu juga istri, Narendra. Kamu juga bagian dari keluarga ini dan berhak untuk tinggal disini, tak perlu sungkan," Tiara melirik pria disebelahnya yang tampak santai mengoles roti dengan selai strobery."Thanks, Ren," ucap Tiara, Saat roti itu diletakkan diatas piringnya. Pria itu membalas dengan senyuman.Aku lebih memilih meyendok nasi goreng yang tersaji, sebagai menu sarapanku. Harus terbiasa dengan hal seperti ini. Sikap manis dan mesra mereka berdua yang mun
"Hana."Sapa Tiara saat aku baru saja pulang kerja. Kali ini aku pulang dengan taksi online. Jangan tanyakan orang yang tadi pagi berangkat bersamaku. Bahkan sejak aku turun dari mobilnya. Aku sama sekali tak berjumpa dengan dirinya seharian tadi."Terima Kasih, Hana," ucap Tiara saat aku meraih belakang kursi rodanya dan membantu mendorongnya masuk kedalam rumah. Karena angin bertiup cukup kencang. Mungkin sebentar lagi akan segera turun hujan.Tiara yang sedang berada sendirian diteras, entah sedang apa. Mungkin dia tengah menunggu suaminya.Aku melihat kondisi Tiara tak bisa dikatakan membaik saat ini. Yang aku dengar sekarang ada lagi tambahan penyaki ditubuhnya. Ginjalnya ikut bermasalah. Sungguh aku kasihan padanya."Rendra tadi bilang dia masih dicafe," ujarnya tanpa aku bertanya tentang keberadaan laki-laki itu.Oh. Tentu saja Narendra selalu memberi kabar kepada istri pertamanya dimanapun kini dia berada. Apalah aku
Pov NarendraAku merasakan rajang yang kutiduri bergerak pelan. Suara isakan yang tertangkap di runguku membuatku berpikir. Ada apa dengan wanita yang kini berstatus menjadi istri keduaku itu?Membuka mata dan menangkap punggung berbalut piyama itu melangkah dengan sedikit berjinjit. Sepertinya dia memang berhati-hati seolah tidak ingin menimbulkan suara sedikitpun.Aku hanya mengajaknya beristirahat. Bukan untuk meminta hak. Mengapa dia malah menangis begitu dan seolah mau menghindariku.Aku semakin bingung, ada apa dengan anak ini?"Mau kemana?"Dia nampak kaget. Terlihat dari tubuhnya yang berjengkit dan tiba-tiba memaku di tempat."Ke-keluar sebentar. Aku haus, mau kedapur ingin minum." suaranya sangat lirih. Nadanya terdengar takut-takut. Apa aku begitu menyeramkan baginya?"Itu ada air minum diatas nakas. Tadi aku sudah menyiapkannya."Aku memang sudah biasa menyiapkan sendiri persediaan minum di kala menjelang akan ti
Aku mendaftar konseling pada psikolog yang praktek di Rumah sakit. Setelah mendapat giliran, aku masuk dan mulai melakukan sesi cerita. Ibu Sarah selaku psikolog yang pernah membantuku beberapa tahun yang lalu. Beliau sangat pandai mensugestiku untuk memaafkan dan berdamai dengan insiden itu. Keluhanku mengenai traumaku. Jika teringat malam itu. Satu sisi aku juga merasa bersalah pada Narendra. Namun sebagian besar sisi hatiku entah mengapa menolak bersentuhan dengan dirinya. Menurut psikolog yang menanganiku, memiliki teman curhat untuk mengeluarkan semua uneg-uneg dihatiku adalah salah satu cara. Namun aku tak berani melakukan itu. Aku tak mungkin bercerita pada Nola, meski kami sangat dekat. Masalah yang menurutku sangatlah pribadi, aku cenderung menyimpannya sendiri. Apalagi masalah yang menimpaku beberapa tahun yang lalu. Bahkan keluargaku tidak ada yang tau. Hingga, caraku untuk menumpahkan semuanya adalah lewat diary-ku. Membuat s
Pov Narendra Entah apa yang terjadi dengan sahabat Nola itu. Sikapnya sungguh aneh.Jangan katanya? Aku memeluk istri sah ku dan dia bilang jangan?Aku mengajak dia menjalani hubungan dan dia juga bilang jangan? Bagaimana jika aku benar-benar meminta apa yang sudah menjadi hak ku sebagai seorang suami?Memaksanya melayaniku di atas ranjang.Bersikap masa bodoh dengan segala tetesan air mata dan raut takutnya. Setiap kali dia berada hanya berdua denganku, selalu menunjukan sikap seolah aku ini adalah hantu yang tampak menyeramkan. Sekarang dia sudah berstatus sebagai istriku. Aku menikahinya untuk memiliki keturunan. Akupun menikahinya untuk menolong persoalan keluarganya. Tapi apa yang kudapat? Hampir satu bulan hubungan ini stagnan. Bagaimana aku meminta Tiara untuk terus bersabar dengan Hana. Wanita itu selalu bersikap kerap menjauhiku. Kali ini, aku merasa sedang dimanfaatkan olehnya. Iya. dimanfaatkan! Dia hanya ingin karirnya di bagas
"Pulang kerja jalan, yuk. Suntuk nih pengen ke salon dan shopping," ajak Nola yang sore ini menghampiri keruang kerjaku. Mengenakan setelan warna tosca yang begitu cocok dengan kulit tubuhnyaAku menggeleng."Tanggal tua. Gue belum gajian Bu Manajer," tolakku masih fokus pada layar laptop."Hello, lo itu sekarang istri Direktur Utama, jangan kayak orang susah, deh," ledek putri tunggal Pak Bagaskara itu."Menikah sama Abang lo berasa mimpi. Apalagi statusnya jadi yang kedua," ungkapku jujur.Nola kemudian melangkah lebih dekat denganku. Lalu membungkukkan badanya dan memelukku dari samping. Aroma parfumnya menyapa hidungku."Lo itu special, Hana. Melengkapi rumah tangga Abang gue. Tenang saja, gue akan selalu suport lo, kok." Dari awal Nola memang langsung setuju saat Abangnya bermaksud akan menikahiku. Jika dengan orang lain, dia bilang akan berpikir ratusan kali untuk memberi izin pada Abangnya itu.Ya, Nola juga sesayang
Aku memejamkan mata karena merasa ngeri dengan sesosok tubuh yang sedang berada diatasku kini. Tanganku berusaha meraih tangan pria yang tengah mabuk ini. Namun, dia justru mencengkeram kedua pergelangan tanganku lalu membawa ke atas kepalaku. Tubuhku yang terbaring di ranjang berusaha meronta dengan sekuat tenaga.Pria yang sedang di selimuti nafsu binatangnya, tanpa ampun melucuti apa yang melekat di tubuhku dengan kasar. Suara tangis dan rintihanku tak dia hiraukan. Dia malah semakin gencar menjamah setiap inchi tubuhku dengan nafas yang terus memburu.Aku memekik kala sesuatu memaksa masuk di bawah sana. Tubuhku gemetar dengan air mata yang meluncur membasahi kedua pipi. Tidak merasa tergangu dengan suara tangisanku, dia terus saja menggerakan tubuhnya dan semakin cepat.Setelah melepaskan hasrat dengan meledakan sesuatu yang terasa hangat di tubuhku, pria itu nampak tersenyum puas. Senyum yang selama ini aku sukai darinya tapi kini terlihat begitu menjijika
Pov NarendraAku duduk berlutut di gundukan tanah basah yang diatasnya bertabur bunga menebarkan aroma wangi. Rangkaian bunga mawar dan lili putih yang kuletakkan di atas nisan bertuliskan Mutiara Candra.Sudah empat puluh hari hari wanita yang begitu berarti dalam hidupku itu pergi untuk selamanya. Secanggih apapun teknologi kedokteran tetap tidak bisa menolong istriku. Dia pergi membawa separuh nyawaku. Hampir setiap hari aku menyambangi tempat peristirahatan terakhir wanitaku.Melepas kacamata hitam yang membingkai wajahku, mataku kembali memanas melihat pusaran Tiara. Kulantunkan doa untuknya dengan dada yang terasa sesak. Dia sahabat kecilku dan juga cinta pertamaku, meski aku tau cintaku bertepuk sebelah tangan.Aku tau dia masih begitu mencintai kekasihnya. Pria yang lebih dulu berpulang akibat kecelakaan beberapa waktu silam. Membuat Tiara sempat depresi. Aku sebagai sahabat justru membawanya semakin terburuk, tengelam dalam dunia malam."H
"Dih, nggak nyangka, ya. Pelakor rupanya.""Pantesan aku sering liat dia naik ke lantai tujuh. Banyak karyawan yang menyaksikan, lho. Beberapa kali melihat dia satu mobil sama Pak Narendra."Padahal masih cantikan juga istrinya, ya? Mungkin pake pelet.""Aku malah dapat foto mereka lagi makan berdua di cafe luar kota dari grup watshap.""Serius?! Coba lihat.""Eh, ya ampun, beneran ini ...."Aku meneguk air mineral. Seolah ada yang mengganjal dikerongkonganku. Seperti bom waktu, akhirnya meledak juga setelah kepulanganku dan Narendra kemarin lusa.Kasak kusuk itu terus mengikuti kemana langkahku saat ini. Hampir semua orang menyalahkan dan memberikan nyiyiran, bahkan hujatan padaku. Lebih mirisnya lagi mereka membawa dan menyeret keluargaku untuk ikut di hakimi."Sebenarnya aku juga penasaran dengan gosip yang beredar. Jangan hanya diam saja. Berikan klarifikasi, Hana." Bang Choky yang biasanya tak perduli dengan gosip ap
Pov NarendraAku mengajak Hana keluar kota untuk keperluan bisnis Cafe yang aku geluti sejak keluar dari bangku kuliah. Jauh sebelum bergabung di Bagaskara grup.Dulu aku menjual mobil untuk memulai bisnis, meski banyak kendala yang harus aku hadapi. Tapi aku bersyukur apa yang kulakukan kini membuahkan hasil.Aku sudah memiliki banyak cabang, di berbagai kota. Setidaknya aku bisa membuktikan pada Papa dan semua orang bahwa aku tidak hanya mengandalkan Bagaskara grup. Aku bisa berkembang serta besar di bidang dan jalanku sendiri.Saat meraih tangan Hana untuk ku gandeng, aku tau istriku itu kaget dengan apa yang aku lakukan. Tapi dia sama sekali tidak menolak atau mungkin menampik tanganku.Memperkenalkan Hana sebagai istriku. Aku tak perduli dengan pandangan karyawan yang seolah menilai wanita dengan balutan kaos lengan panjang dan celana jins yang tetap menebar senyum manisnya. Meski aku tau Hana merasa kurang nyaman, tapi aku terus menggengam tang
Ibu Sarah, psikolog yang menanganiku. Kuakui beliau sangat membantu menghilangkan traumaku itu. Meski Bu Sarah kerap berkata, keinginan dan dorongan kuat dari diriku sendiri lah yang akan membantu progress signifikan pada penyembuhanku.Namun, aku tetap sangat berterima kasih pada beliau, atas tugas terapi yang kerap beliau beri padaku. Terbukti rasa takutku yang berlebihan saat berdekatan dengan Narendra, kurasakan perlahan mulai menghilang.Mobil yang aku tumpangi meluncur dijalan tol menuju luar kota. Suasana di mobil lebih banyak hening, karena kami hanya berbicara seperlunya. Narendra tepatnya yang lebih dulu membuka obrolan, sedangkan aku hanya menjawab saja. Melihat kearah jendela dan melihat pemandangan diluar adalah pengalihan rasa gugupku.Turun dari Mobil dan saat memasuki Cafe, aku kaget saat tiba-tiba Narendra meraih tanganku dan menggengamnya. Aku meliriknya sekilas lalu tertunduk dengan tersipu. Meski begitu aku bisa menerima dan tak memberontak a
Aku duduk diruang tunggu poli psikologi. Aku membuat jadwal konseling di jam istirahat kerjaku. Jarak antara kantor dan Rumah sakit tempat kini aku berada memang tidak terlalu jauh.Untung saja Ibu Sarah baik sekali, bersedia memberikan waktu jam makan siangnya untukku. Memasuki ruang poli saat perawat berseragam putih hijau itu memanggil, aku menduduki kursi nyaman yang diperuntukan untuk para pasien yang berkunjung kesini.Kepada Ibu Sarah aku menceritakan kejadian saat aku berada didapur beberapa malam lalu bersama Narendra. Serta kejadian semalam saat pria itu tidur seranjang denganku meski tak terjadi apapun. Tapi rasa takut itu masih saja menghantuiku. Meski kadarnya mulai berkurang sedikit.Aku meminta terapi agar mau dan mampu menatap mata Narendra. Pelaku pelecehan yang menciptakan trauma pada diriku. Ibu Sarah memuji bagaimana pengendalian diriku yang menurutnya cukup baik. Masih mau menerima pelukan Narenda walau respon fisikku belum menunjukan
"Pulang kerja jalan, yuk. Suntuk nih pengen ke salon dan shopping," ajak Nola yang sore ini menghampiri keruang kerjaku. Mengenakan setelan warna tosca yang begitu cocok dengan kulit tubuhnyaAku menggeleng."Tanggal tua. Gue belum gajian Bu Manajer," tolakku masih fokus pada layar laptop."Hello, lo itu sekarang istri Direktur Utama, jangan kayak orang susah, deh," ledek putri tunggal Pak Bagaskara itu."Menikah sama Abang lo berasa mimpi. Apalagi statusnya jadi yang kedua," ungkapku jujur.Nola kemudian melangkah lebih dekat denganku. Lalu membungkukkan badanya dan memelukku dari samping. Aroma parfumnya menyapa hidungku."Lo itu special, Hana. Melengkapi rumah tangga Abang gue. Tenang saja, gue akan selalu suport lo, kok." Dari awal Nola memang langsung setuju saat Abangnya bermaksud akan menikahiku. Jika dengan orang lain, dia bilang akan berpikir ratusan kali untuk memberi izin pada Abangnya itu.Ya, Nola juga sesayang
Pov Narendra Entah apa yang terjadi dengan sahabat Nola itu. Sikapnya sungguh aneh.Jangan katanya? Aku memeluk istri sah ku dan dia bilang jangan?Aku mengajak dia menjalani hubungan dan dia juga bilang jangan? Bagaimana jika aku benar-benar meminta apa yang sudah menjadi hak ku sebagai seorang suami?Memaksanya melayaniku di atas ranjang.Bersikap masa bodoh dengan segala tetesan air mata dan raut takutnya. Setiap kali dia berada hanya berdua denganku, selalu menunjukan sikap seolah aku ini adalah hantu yang tampak menyeramkan. Sekarang dia sudah berstatus sebagai istriku. Aku menikahinya untuk memiliki keturunan. Akupun menikahinya untuk menolong persoalan keluarganya. Tapi apa yang kudapat? Hampir satu bulan hubungan ini stagnan. Bagaimana aku meminta Tiara untuk terus bersabar dengan Hana. Wanita itu selalu bersikap kerap menjauhiku. Kali ini, aku merasa sedang dimanfaatkan olehnya. Iya. dimanfaatkan! Dia hanya ingin karirnya di bagas
Aku mendaftar konseling pada psikolog yang praktek di Rumah sakit. Setelah mendapat giliran, aku masuk dan mulai melakukan sesi cerita. Ibu Sarah selaku psikolog yang pernah membantuku beberapa tahun yang lalu. Beliau sangat pandai mensugestiku untuk memaafkan dan berdamai dengan insiden itu. Keluhanku mengenai traumaku. Jika teringat malam itu. Satu sisi aku juga merasa bersalah pada Narendra. Namun sebagian besar sisi hatiku entah mengapa menolak bersentuhan dengan dirinya. Menurut psikolog yang menanganiku, memiliki teman curhat untuk mengeluarkan semua uneg-uneg dihatiku adalah salah satu cara. Namun aku tak berani melakukan itu. Aku tak mungkin bercerita pada Nola, meski kami sangat dekat. Masalah yang menurutku sangatlah pribadi, aku cenderung menyimpannya sendiri. Apalagi masalah yang menimpaku beberapa tahun yang lalu. Bahkan keluargaku tidak ada yang tau. Hingga, caraku untuk menumpahkan semuanya adalah lewat diary-ku. Membuat s