Mutiara candra, istri Narendra Bagaskara mungkin salah minum obat. Bagaimana bisa dia terang-terangan memintaku menjadi istri kedua dalam rumah tangganya.
Aku sempat terkejut saat sekertaris Direktur utama menghubungiku. Memberi tahu kalau istri diriktur memintaku menemuinya.
Awalnya kami hanya mengobrol ringan. Meski merasa aneh, akupun menanggapi sesantai mungkin.
Dia menanyakan bagaima hubungan persahabatanku dengan Nola. Kehidupan keluargaku dan tentang adik-adikku.Saat tiba giliran Tiara menceritakan tentang dirinya. Bagaimana kehidupan pernikahannya dengan Narendra. Jujur, saat dia bercerita bagaimana romantisnya dan lembutnya Narendra pada istrinya, hatiku seolah tak terima. Si brengsek yang sudah mengkoyak harga diriku.
Hingga saat Tiara mengatakan kalau dia tidak mungkin bisa memberikan keturunan pada Narendra. Sebenarnya aku iba dan simpati pada wanita cantik itu. Meski di satu sisi tersenyum miris pada diriku sendiri.
Tiara berkata, dia ingin memiliki keturunan dari Narendra. Tidak mengapa jika itu dari wanita lain.
Dadaku sempat berdenyut mendengar itu.Namun aku merasa terkesima dengan keterbukaan hati dan pikirannya.
Sungguh, tak semua wanita mau berbagi ranjang dengan wanita lain.Tapi rasa kagum dan terkesima itu mendadak luruh seketika. Saat Tiara justru melamarku menjadi madunya.
"Tiara!!" Aku tersentak saat mengetahui Narendra ternyata mendengar pembicaraan kami.
Sejak topik yang mana laki-laki berengsek itu mulai menguping?
Tiara juga sempat kaget, namun raut wajahnya dengan cepat kembali normal dan tersenyum pada suaminya. Sungguh pasangan yang aneh."Maksud kamu apa, honey?" Kalimat itu meluncur tegas dari wajah yang tampak dingin seakan ingin membunuh seseorang.
"Nothing. Aku hanya mencari wanita yang kurasa tepat untuk menjadi ibu dari anak-anak kamu kelak. Anak-anak kita, penerus keluarga kita." Tiara bahkan bisa mengatakan itu dengan santai. Seakan menikahkan suaminya adalah hal yang ringan.
"Saya ... Saya ...." Takut dan gugup menderaku kala netra hitam pekat Narendra menatapku tajam.
"Tak perlu dijawab sekarang, Hana. Namun, jangan terlalu lama berpikir. Saya takut tidak sempat bisa menggendong darah daging, Rendra."
"Honey, please ...," Sela Narendra dengan wajah menahan kesal dan amarah.
Aku memutuskan meninggalkan ruangan ini dengan alasan jam istirahatku telah berakhir dan harus segera melanjutkan pekerjaan.
Aku butuh sesuatu yang bisa membuat pikiranku tetap dijalan yang benar.
Aku tak boleh emosi dam marah dengan lamaran Tiara. Toh, aku bisa menolaknya kan?**
Demi apa aku justru berada di KUA pagi ini. Duduk berhadapan dengan seorang penghulu yang akan menikahkan aku dengan Narendra Bagaskara.
Dua minggu setelah kejadian lamaran Tiara padaku.
Nasib buruk menimpa keluargaku, Rumah satu-satunya peninggalan Ayah akan di sita. Semua di sebabkan karena Ayah sempat menggadaikan rumah kami untuk membangun bisnis yang ternyata gagal.Sejak Ayah tiada, aku berusaha mempertahankan rumah itu semampuku. Tapi sepertinya aku tidak sanggup lagi.
Hingga Narendra Bagaskara datang memberikan penawaran.
"Menikahlah dengan saya. Menjadi bagian dari keluarga Bagaskara. Maka aku akan menjamin kehidupan keluargamu dan bertanggung jawab atas dirimu."Aku tersenyum sinis. Tanggung jawab itu seharusnya dia lakukan beberapa tahun yang lalu. Saat itu aku tak bisa menuntutnya karena sadar siapa diriku?
Seperti berada diantara hidup dan mati. Bagaimana aku akan menjalini biduk rumah tangga di tengah rasa traumaku bersama si bejad ini. Saat ini aku bahkan membencinya.
Kecamuk batin yang meronta menyesali takdir, dan ditengah ketetapan hati untuk berjuang demi keluarga. Aku mengangguk menerima yang Narendra tawarkan.
Pernikahan tanpa resepsi apapun. Hanya akad nikah. Dihadiri keluarga inti saja.
"SAH."
"Alhamdulillah."
Tepat hari ini, kamis pukul sembilan pagi. Narendra Bagaskara resmi menjadi suamiku. Tak ada sanggul berhias melati dan kebaya. Aku hanya mengunakan pakaian formal seperti saat ke kantor. Celana panjang dipadu blazer. Rambutku kuikat rapi.
Tentu ini bukanlah pernikahan impian para wanita.
Narendra menyematkan cincin dijari manisku. Saat tangannya menyentuh pundak, tubuhku seketika menegang. Aku mencoba memberi sugesti diri sendiri, bahwa semua akan baik-baik saja.
Ciuman sekilas mendarat dikeningku. Aku menahan nafas. Sampai tubuh Narendra sedikit menjauh, aku bisa menghirup udara dengan lega.
Narendra berjalan kearah Tiara dan berlutut dihadapanya istri pertamanya itu. Mengambil tangan wanita yang kini duduk dengan tenang dikursinya. Mengecup tangan itu lama, "I love you, honey," ucap Narendra lirih, namun masih tertangkap runguku. Mungkin semua orang diruangan ini juga mendengarnya.
**
Malam harinya aku pindah kerumah yang ditempati Narendra dan istrinya. Sebenarnya aku merasa tak nyaman berada satu atap dengan mereka.
Tapi itu semua atas permintaan Tiara, Dia ingin mengenalku lebih dekat.Mobil memasuki halaman rumah berlantai dua, setelah pagar besi tinggi itu bergeser. Seperti sebuah mimpi buruk, aku disini datang sebagai orang ketiga.
Aku turun dari mobil. Supir membantuku menurunkan koperku dari bagasi.
"Hanya ini barangmu?"
Aku terkejut kala mendapati sosok tinggi tegap yang sudah berada disampingku. Sedikit bergerak mundur, aku mencoba menjaga jarak darinya.
"Owh, iya. Nanti jika dibutuhkan aku bisa mengambilnya lagi sekalian mengunjungi ibu dan adik-adikku," jawabku pelan.
Narendra tampak mengangguk.
"Ayo, masuk. Tiara tadi sempat menunggumu, tapi sehabis minum obat dia tertidur."Sopir yang ditugaskan menjemputku memang sudah tiba selepas magrib. Tapi tadi ibu banyak sekali memberiku wejangan yang kini berstatus jadi seorang istri ..., kedua.
Intinya ibuku memintaku untuk sabar dan mengerti jika nantinya Tiara mungkin saja menyita sebagian perhatian Narendra. Karena kondusiku dan Tiara berbeda.
Aku paham dan justru bersyukur, karena sampai saat ini aku belum mampu bersentuhan dengan pria berstatus suamiku itu. Penoreh masa lalu kelam yang menciptakan trauma padaku.
Menaiki anak-anak tangga, kami melangkah ke lantai atas. Dadaku berdebar serasa sedang masuk ke kandang singa.
Aku mengikuti pria didepanku dengan pikiran yang mulai berkelana.
"Ini kamar kita."Mendengar dia menyebut nama 'kita' membuat jantungku berdetak lebih cepat.Aku berharap dia tidak tidur bersamaku disini malam ini."Kak Tiara?"
"Sejak kesehatannya menurun dia lebih memilih kamar dibawah, karena sudah tidak kuat lagi untuk naik turun tangga." Akupun mengangguk mengerti.
"Ada yang perlu kubantu?"
Aku menghentikan gerakanku yang mulai akan mengeluarkan dan menyusun barang.Menggeleng cepat karena justru aku menginginkan dia segera meghilang dari pandanganku. Ini saja aku sudah berusaha menahan diri, mencoba menghilangkan rasa takutku.
"Baik. Jangan sungkan-sungkan jika butuh sesuatu," ujarnya seolah masih enggan untuk beranjak pergi.
"Ya," jawabku singkat. Mencoba tidak memperpanjang obrolan kami. Sibuk dengan baju-bajuku yang hanya beberapa potong saja yang kubawa.
Aku mendengar langkah kaki dan bunyi pintu yang tertutup. Aku mengambil nafas banyak-banyak, Ini terasa mengerikan. Kilas balik masa lalu kembali berputar dikepala.
Apa aku akan bisa melewati ini?
"Selamat pagi," Sapaku seraya tersenyum saat menghampiri meja makan. Mendapati sepasang suami istri itu sedang menikmati sarapan.Tadi asisten rumah tangga yang memanggilku kekamar, memintaku segera turun untuk sarapan atas perintah sang Tuan rumah."Pagi, Hana. Sorry, semalam aku sudah tidur saat kamu datang," ujar Tiara menatapku yang kini ikut duduk dikursi kosong menghadap meja bundar."Saya yang minta maaf jika kehadiran saya jadi merepotkan.""Kamu ngomong apa, Hana! Sekarang kamu juga istri, Narendra. Kamu juga bagian dari keluarga ini dan berhak untuk tinggal disini, tak perlu sungkan," Tiara melirik pria disebelahnya yang tampak santai mengoles roti dengan selai strobery."Thanks, Ren," ucap Tiara, Saat roti itu diletakkan diatas piringnya. Pria itu membalas dengan senyuman.Aku lebih memilih meyendok nasi goreng yang tersaji, sebagai menu sarapanku. Harus terbiasa dengan hal seperti ini. Sikap manis dan mesra mereka berdua yang mun
"Hana."Sapa Tiara saat aku baru saja pulang kerja. Kali ini aku pulang dengan taksi online. Jangan tanyakan orang yang tadi pagi berangkat bersamaku. Bahkan sejak aku turun dari mobilnya. Aku sama sekali tak berjumpa dengan dirinya seharian tadi."Terima Kasih, Hana," ucap Tiara saat aku meraih belakang kursi rodanya dan membantu mendorongnya masuk kedalam rumah. Karena angin bertiup cukup kencang. Mungkin sebentar lagi akan segera turun hujan.Tiara yang sedang berada sendirian diteras, entah sedang apa. Mungkin dia tengah menunggu suaminya.Aku melihat kondisi Tiara tak bisa dikatakan membaik saat ini. Yang aku dengar sekarang ada lagi tambahan penyaki ditubuhnya. Ginjalnya ikut bermasalah. Sungguh aku kasihan padanya."Rendra tadi bilang dia masih dicafe," ujarnya tanpa aku bertanya tentang keberadaan laki-laki itu.Oh. Tentu saja Narendra selalu memberi kabar kepada istri pertamanya dimanapun kini dia berada. Apalah aku
Pov NarendraAku merasakan rajang yang kutiduri bergerak pelan. Suara isakan yang tertangkap di runguku membuatku berpikir. Ada apa dengan wanita yang kini berstatus menjadi istri keduaku itu?Membuka mata dan menangkap punggung berbalut piyama itu melangkah dengan sedikit berjinjit. Sepertinya dia memang berhati-hati seolah tidak ingin menimbulkan suara sedikitpun.Aku hanya mengajaknya beristirahat. Bukan untuk meminta hak. Mengapa dia malah menangis begitu dan seolah mau menghindariku.Aku semakin bingung, ada apa dengan anak ini?"Mau kemana?"Dia nampak kaget. Terlihat dari tubuhnya yang berjengkit dan tiba-tiba memaku di tempat."Ke-keluar sebentar. Aku haus, mau kedapur ingin minum." suaranya sangat lirih. Nadanya terdengar takut-takut. Apa aku begitu menyeramkan baginya?"Itu ada air minum diatas nakas. Tadi aku sudah menyiapkannya."Aku memang sudah biasa menyiapkan sendiri persediaan minum di kala menjelang akan ti
Aku mendaftar konseling pada psikolog yang praktek di Rumah sakit. Setelah mendapat giliran, aku masuk dan mulai melakukan sesi cerita. Ibu Sarah selaku psikolog yang pernah membantuku beberapa tahun yang lalu. Beliau sangat pandai mensugestiku untuk memaafkan dan berdamai dengan insiden itu. Keluhanku mengenai traumaku. Jika teringat malam itu. Satu sisi aku juga merasa bersalah pada Narendra. Namun sebagian besar sisi hatiku entah mengapa menolak bersentuhan dengan dirinya. Menurut psikolog yang menanganiku, memiliki teman curhat untuk mengeluarkan semua uneg-uneg dihatiku adalah salah satu cara. Namun aku tak berani melakukan itu. Aku tak mungkin bercerita pada Nola, meski kami sangat dekat. Masalah yang menurutku sangatlah pribadi, aku cenderung menyimpannya sendiri. Apalagi masalah yang menimpaku beberapa tahun yang lalu. Bahkan keluargaku tidak ada yang tau. Hingga, caraku untuk menumpahkan semuanya adalah lewat diary-ku. Membuat s
Pov Narendra Entah apa yang terjadi dengan sahabat Nola itu. Sikapnya sungguh aneh.Jangan katanya? Aku memeluk istri sah ku dan dia bilang jangan?Aku mengajak dia menjalani hubungan dan dia juga bilang jangan? Bagaimana jika aku benar-benar meminta apa yang sudah menjadi hak ku sebagai seorang suami?Memaksanya melayaniku di atas ranjang.Bersikap masa bodoh dengan segala tetesan air mata dan raut takutnya. Setiap kali dia berada hanya berdua denganku, selalu menunjukan sikap seolah aku ini adalah hantu yang tampak menyeramkan. Sekarang dia sudah berstatus sebagai istriku. Aku menikahinya untuk memiliki keturunan. Akupun menikahinya untuk menolong persoalan keluarganya. Tapi apa yang kudapat? Hampir satu bulan hubungan ini stagnan. Bagaimana aku meminta Tiara untuk terus bersabar dengan Hana. Wanita itu selalu bersikap kerap menjauhiku. Kali ini, aku merasa sedang dimanfaatkan olehnya. Iya. dimanfaatkan! Dia hanya ingin karirnya di bagas
"Pulang kerja jalan, yuk. Suntuk nih pengen ke salon dan shopping," ajak Nola yang sore ini menghampiri keruang kerjaku. Mengenakan setelan warna tosca yang begitu cocok dengan kulit tubuhnyaAku menggeleng."Tanggal tua. Gue belum gajian Bu Manajer," tolakku masih fokus pada layar laptop."Hello, lo itu sekarang istri Direktur Utama, jangan kayak orang susah, deh," ledek putri tunggal Pak Bagaskara itu."Menikah sama Abang lo berasa mimpi. Apalagi statusnya jadi yang kedua," ungkapku jujur.Nola kemudian melangkah lebih dekat denganku. Lalu membungkukkan badanya dan memelukku dari samping. Aroma parfumnya menyapa hidungku."Lo itu special, Hana. Melengkapi rumah tangga Abang gue. Tenang saja, gue akan selalu suport lo, kok." Dari awal Nola memang langsung setuju saat Abangnya bermaksud akan menikahiku. Jika dengan orang lain, dia bilang akan berpikir ratusan kali untuk memberi izin pada Abangnya itu.Ya, Nola juga sesayang
Aku duduk diruang tunggu poli psikologi. Aku membuat jadwal konseling di jam istirahat kerjaku. Jarak antara kantor dan Rumah sakit tempat kini aku berada memang tidak terlalu jauh.Untung saja Ibu Sarah baik sekali, bersedia memberikan waktu jam makan siangnya untukku. Memasuki ruang poli saat perawat berseragam putih hijau itu memanggil, aku menduduki kursi nyaman yang diperuntukan untuk para pasien yang berkunjung kesini.Kepada Ibu Sarah aku menceritakan kejadian saat aku berada didapur beberapa malam lalu bersama Narendra. Serta kejadian semalam saat pria itu tidur seranjang denganku meski tak terjadi apapun. Tapi rasa takut itu masih saja menghantuiku. Meski kadarnya mulai berkurang sedikit.Aku meminta terapi agar mau dan mampu menatap mata Narendra. Pelaku pelecehan yang menciptakan trauma pada diriku. Ibu Sarah memuji bagaimana pengendalian diriku yang menurutnya cukup baik. Masih mau menerima pelukan Narenda walau respon fisikku belum menunjukan
Ibu Sarah, psikolog yang menanganiku. Kuakui beliau sangat membantu menghilangkan traumaku itu. Meski Bu Sarah kerap berkata, keinginan dan dorongan kuat dari diriku sendiri lah yang akan membantu progress signifikan pada penyembuhanku.Namun, aku tetap sangat berterima kasih pada beliau, atas tugas terapi yang kerap beliau beri padaku. Terbukti rasa takutku yang berlebihan saat berdekatan dengan Narendra, kurasakan perlahan mulai menghilang.Mobil yang aku tumpangi meluncur dijalan tol menuju luar kota. Suasana di mobil lebih banyak hening, karena kami hanya berbicara seperlunya. Narendra tepatnya yang lebih dulu membuka obrolan, sedangkan aku hanya menjawab saja. Melihat kearah jendela dan melihat pemandangan diluar adalah pengalihan rasa gugupku.Turun dari Mobil dan saat memasuki Cafe, aku kaget saat tiba-tiba Narendra meraih tanganku dan menggengamnya. Aku meliriknya sekilas lalu tertunduk dengan tersipu. Meski begitu aku bisa menerima dan tak memberontak a
Aku memejamkan mata karena merasa ngeri dengan sesosok tubuh yang sedang berada diatasku kini. Tanganku berusaha meraih tangan pria yang tengah mabuk ini. Namun, dia justru mencengkeram kedua pergelangan tanganku lalu membawa ke atas kepalaku. Tubuhku yang terbaring di ranjang berusaha meronta dengan sekuat tenaga.Pria yang sedang di selimuti nafsu binatangnya, tanpa ampun melucuti apa yang melekat di tubuhku dengan kasar. Suara tangis dan rintihanku tak dia hiraukan. Dia malah semakin gencar menjamah setiap inchi tubuhku dengan nafas yang terus memburu.Aku memekik kala sesuatu memaksa masuk di bawah sana. Tubuhku gemetar dengan air mata yang meluncur membasahi kedua pipi. Tidak merasa tergangu dengan suara tangisanku, dia terus saja menggerakan tubuhnya dan semakin cepat.Setelah melepaskan hasrat dengan meledakan sesuatu yang terasa hangat di tubuhku, pria itu nampak tersenyum puas. Senyum yang selama ini aku sukai darinya tapi kini terlihat begitu menjijika
Pov NarendraAku duduk berlutut di gundukan tanah basah yang diatasnya bertabur bunga menebarkan aroma wangi. Rangkaian bunga mawar dan lili putih yang kuletakkan di atas nisan bertuliskan Mutiara Candra.Sudah empat puluh hari hari wanita yang begitu berarti dalam hidupku itu pergi untuk selamanya. Secanggih apapun teknologi kedokteran tetap tidak bisa menolong istriku. Dia pergi membawa separuh nyawaku. Hampir setiap hari aku menyambangi tempat peristirahatan terakhir wanitaku.Melepas kacamata hitam yang membingkai wajahku, mataku kembali memanas melihat pusaran Tiara. Kulantunkan doa untuknya dengan dada yang terasa sesak. Dia sahabat kecilku dan juga cinta pertamaku, meski aku tau cintaku bertepuk sebelah tangan.Aku tau dia masih begitu mencintai kekasihnya. Pria yang lebih dulu berpulang akibat kecelakaan beberapa waktu silam. Membuat Tiara sempat depresi. Aku sebagai sahabat justru membawanya semakin terburuk, tengelam dalam dunia malam."H
"Dih, nggak nyangka, ya. Pelakor rupanya.""Pantesan aku sering liat dia naik ke lantai tujuh. Banyak karyawan yang menyaksikan, lho. Beberapa kali melihat dia satu mobil sama Pak Narendra."Padahal masih cantikan juga istrinya, ya? Mungkin pake pelet.""Aku malah dapat foto mereka lagi makan berdua di cafe luar kota dari grup watshap.""Serius?! Coba lihat.""Eh, ya ampun, beneran ini ...."Aku meneguk air mineral. Seolah ada yang mengganjal dikerongkonganku. Seperti bom waktu, akhirnya meledak juga setelah kepulanganku dan Narendra kemarin lusa.Kasak kusuk itu terus mengikuti kemana langkahku saat ini. Hampir semua orang menyalahkan dan memberikan nyiyiran, bahkan hujatan padaku. Lebih mirisnya lagi mereka membawa dan menyeret keluargaku untuk ikut di hakimi."Sebenarnya aku juga penasaran dengan gosip yang beredar. Jangan hanya diam saja. Berikan klarifikasi, Hana." Bang Choky yang biasanya tak perduli dengan gosip ap
Pov NarendraAku mengajak Hana keluar kota untuk keperluan bisnis Cafe yang aku geluti sejak keluar dari bangku kuliah. Jauh sebelum bergabung di Bagaskara grup.Dulu aku menjual mobil untuk memulai bisnis, meski banyak kendala yang harus aku hadapi. Tapi aku bersyukur apa yang kulakukan kini membuahkan hasil.Aku sudah memiliki banyak cabang, di berbagai kota. Setidaknya aku bisa membuktikan pada Papa dan semua orang bahwa aku tidak hanya mengandalkan Bagaskara grup. Aku bisa berkembang serta besar di bidang dan jalanku sendiri.Saat meraih tangan Hana untuk ku gandeng, aku tau istriku itu kaget dengan apa yang aku lakukan. Tapi dia sama sekali tidak menolak atau mungkin menampik tanganku.Memperkenalkan Hana sebagai istriku. Aku tak perduli dengan pandangan karyawan yang seolah menilai wanita dengan balutan kaos lengan panjang dan celana jins yang tetap menebar senyum manisnya. Meski aku tau Hana merasa kurang nyaman, tapi aku terus menggengam tang
Ibu Sarah, psikolog yang menanganiku. Kuakui beliau sangat membantu menghilangkan traumaku itu. Meski Bu Sarah kerap berkata, keinginan dan dorongan kuat dari diriku sendiri lah yang akan membantu progress signifikan pada penyembuhanku.Namun, aku tetap sangat berterima kasih pada beliau, atas tugas terapi yang kerap beliau beri padaku. Terbukti rasa takutku yang berlebihan saat berdekatan dengan Narendra, kurasakan perlahan mulai menghilang.Mobil yang aku tumpangi meluncur dijalan tol menuju luar kota. Suasana di mobil lebih banyak hening, karena kami hanya berbicara seperlunya. Narendra tepatnya yang lebih dulu membuka obrolan, sedangkan aku hanya menjawab saja. Melihat kearah jendela dan melihat pemandangan diluar adalah pengalihan rasa gugupku.Turun dari Mobil dan saat memasuki Cafe, aku kaget saat tiba-tiba Narendra meraih tanganku dan menggengamnya. Aku meliriknya sekilas lalu tertunduk dengan tersipu. Meski begitu aku bisa menerima dan tak memberontak a
Aku duduk diruang tunggu poli psikologi. Aku membuat jadwal konseling di jam istirahat kerjaku. Jarak antara kantor dan Rumah sakit tempat kini aku berada memang tidak terlalu jauh.Untung saja Ibu Sarah baik sekali, bersedia memberikan waktu jam makan siangnya untukku. Memasuki ruang poli saat perawat berseragam putih hijau itu memanggil, aku menduduki kursi nyaman yang diperuntukan untuk para pasien yang berkunjung kesini.Kepada Ibu Sarah aku menceritakan kejadian saat aku berada didapur beberapa malam lalu bersama Narendra. Serta kejadian semalam saat pria itu tidur seranjang denganku meski tak terjadi apapun. Tapi rasa takut itu masih saja menghantuiku. Meski kadarnya mulai berkurang sedikit.Aku meminta terapi agar mau dan mampu menatap mata Narendra. Pelaku pelecehan yang menciptakan trauma pada diriku. Ibu Sarah memuji bagaimana pengendalian diriku yang menurutnya cukup baik. Masih mau menerima pelukan Narenda walau respon fisikku belum menunjukan
"Pulang kerja jalan, yuk. Suntuk nih pengen ke salon dan shopping," ajak Nola yang sore ini menghampiri keruang kerjaku. Mengenakan setelan warna tosca yang begitu cocok dengan kulit tubuhnyaAku menggeleng."Tanggal tua. Gue belum gajian Bu Manajer," tolakku masih fokus pada layar laptop."Hello, lo itu sekarang istri Direktur Utama, jangan kayak orang susah, deh," ledek putri tunggal Pak Bagaskara itu."Menikah sama Abang lo berasa mimpi. Apalagi statusnya jadi yang kedua," ungkapku jujur.Nola kemudian melangkah lebih dekat denganku. Lalu membungkukkan badanya dan memelukku dari samping. Aroma parfumnya menyapa hidungku."Lo itu special, Hana. Melengkapi rumah tangga Abang gue. Tenang saja, gue akan selalu suport lo, kok." Dari awal Nola memang langsung setuju saat Abangnya bermaksud akan menikahiku. Jika dengan orang lain, dia bilang akan berpikir ratusan kali untuk memberi izin pada Abangnya itu.Ya, Nola juga sesayang
Pov Narendra Entah apa yang terjadi dengan sahabat Nola itu. Sikapnya sungguh aneh.Jangan katanya? Aku memeluk istri sah ku dan dia bilang jangan?Aku mengajak dia menjalani hubungan dan dia juga bilang jangan? Bagaimana jika aku benar-benar meminta apa yang sudah menjadi hak ku sebagai seorang suami?Memaksanya melayaniku di atas ranjang.Bersikap masa bodoh dengan segala tetesan air mata dan raut takutnya. Setiap kali dia berada hanya berdua denganku, selalu menunjukan sikap seolah aku ini adalah hantu yang tampak menyeramkan. Sekarang dia sudah berstatus sebagai istriku. Aku menikahinya untuk memiliki keturunan. Akupun menikahinya untuk menolong persoalan keluarganya. Tapi apa yang kudapat? Hampir satu bulan hubungan ini stagnan. Bagaimana aku meminta Tiara untuk terus bersabar dengan Hana. Wanita itu selalu bersikap kerap menjauhiku. Kali ini, aku merasa sedang dimanfaatkan olehnya. Iya. dimanfaatkan! Dia hanya ingin karirnya di bagas
Aku mendaftar konseling pada psikolog yang praktek di Rumah sakit. Setelah mendapat giliran, aku masuk dan mulai melakukan sesi cerita. Ibu Sarah selaku psikolog yang pernah membantuku beberapa tahun yang lalu. Beliau sangat pandai mensugestiku untuk memaafkan dan berdamai dengan insiden itu. Keluhanku mengenai traumaku. Jika teringat malam itu. Satu sisi aku juga merasa bersalah pada Narendra. Namun sebagian besar sisi hatiku entah mengapa menolak bersentuhan dengan dirinya. Menurut psikolog yang menanganiku, memiliki teman curhat untuk mengeluarkan semua uneg-uneg dihatiku adalah salah satu cara. Namun aku tak berani melakukan itu. Aku tak mungkin bercerita pada Nola, meski kami sangat dekat. Masalah yang menurutku sangatlah pribadi, aku cenderung menyimpannya sendiri. Apalagi masalah yang menimpaku beberapa tahun yang lalu. Bahkan keluargaku tidak ada yang tau. Hingga, caraku untuk menumpahkan semuanya adalah lewat diary-ku. Membuat s