"Pulang kerja jalan, yuk. Suntuk nih pengen ke salon dan shopping," ajak Nola yang sore ini menghampiri keruang kerjaku. Mengenakan setelan warna tosca yang begitu cocok dengan kulit tubuhnya
Aku menggeleng.
"Tanggal tua. Gue belum gajian Bu Manajer," tolakku masih fokus pada layar laptop."Hello, lo itu sekarang istri Direktur Utama, jangan kayak orang susah, deh," ledek putri tunggal Pak Bagaskara itu.
"Menikah sama Abang lo berasa mimpi. Apalagi statusnya jadi yang kedua," ungkapku jujur.
Nola kemudian melangkah lebih dekat denganku. Lalu membungkukkan badanya dan memelukku dari samping. Aroma parfumnya menyapa hidungku.
"Lo itu special, Hana. Melengkapi rumah tangga Abang gue. Tenang saja, gue akan selalu suport lo, kok." Dari awal Nola memang langsung setuju saat Abangnya bermaksud akan menikahiku. Jika dengan orang lain, dia bilang akan berpikir ratusan kali untuk memberi izin pada Abangnya itu.
Ya, Nola juga sesayang
Aku duduk diruang tunggu poli psikologi. Aku membuat jadwal konseling di jam istirahat kerjaku. Jarak antara kantor dan Rumah sakit tempat kini aku berada memang tidak terlalu jauh.Untung saja Ibu Sarah baik sekali, bersedia memberikan waktu jam makan siangnya untukku. Memasuki ruang poli saat perawat berseragam putih hijau itu memanggil, aku menduduki kursi nyaman yang diperuntukan untuk para pasien yang berkunjung kesini.Kepada Ibu Sarah aku menceritakan kejadian saat aku berada didapur beberapa malam lalu bersama Narendra. Serta kejadian semalam saat pria itu tidur seranjang denganku meski tak terjadi apapun. Tapi rasa takut itu masih saja menghantuiku. Meski kadarnya mulai berkurang sedikit.Aku meminta terapi agar mau dan mampu menatap mata Narendra. Pelaku pelecehan yang menciptakan trauma pada diriku. Ibu Sarah memuji bagaimana pengendalian diriku yang menurutnya cukup baik. Masih mau menerima pelukan Narenda walau respon fisikku belum menunjukan
Ibu Sarah, psikolog yang menanganiku. Kuakui beliau sangat membantu menghilangkan traumaku itu. Meski Bu Sarah kerap berkata, keinginan dan dorongan kuat dari diriku sendiri lah yang akan membantu progress signifikan pada penyembuhanku.Namun, aku tetap sangat berterima kasih pada beliau, atas tugas terapi yang kerap beliau beri padaku. Terbukti rasa takutku yang berlebihan saat berdekatan dengan Narendra, kurasakan perlahan mulai menghilang.Mobil yang aku tumpangi meluncur dijalan tol menuju luar kota. Suasana di mobil lebih banyak hening, karena kami hanya berbicara seperlunya. Narendra tepatnya yang lebih dulu membuka obrolan, sedangkan aku hanya menjawab saja. Melihat kearah jendela dan melihat pemandangan diluar adalah pengalihan rasa gugupku.Turun dari Mobil dan saat memasuki Cafe, aku kaget saat tiba-tiba Narendra meraih tanganku dan menggengamnya. Aku meliriknya sekilas lalu tertunduk dengan tersipu. Meski begitu aku bisa menerima dan tak memberontak a
Pov NarendraAku mengajak Hana keluar kota untuk keperluan bisnis Cafe yang aku geluti sejak keluar dari bangku kuliah. Jauh sebelum bergabung di Bagaskara grup.Dulu aku menjual mobil untuk memulai bisnis, meski banyak kendala yang harus aku hadapi. Tapi aku bersyukur apa yang kulakukan kini membuahkan hasil.Aku sudah memiliki banyak cabang, di berbagai kota. Setidaknya aku bisa membuktikan pada Papa dan semua orang bahwa aku tidak hanya mengandalkan Bagaskara grup. Aku bisa berkembang serta besar di bidang dan jalanku sendiri.Saat meraih tangan Hana untuk ku gandeng, aku tau istriku itu kaget dengan apa yang aku lakukan. Tapi dia sama sekali tidak menolak atau mungkin menampik tanganku.Memperkenalkan Hana sebagai istriku. Aku tak perduli dengan pandangan karyawan yang seolah menilai wanita dengan balutan kaos lengan panjang dan celana jins yang tetap menebar senyum manisnya. Meski aku tau Hana merasa kurang nyaman, tapi aku terus menggengam tang
"Dih, nggak nyangka, ya. Pelakor rupanya.""Pantesan aku sering liat dia naik ke lantai tujuh. Banyak karyawan yang menyaksikan, lho. Beberapa kali melihat dia satu mobil sama Pak Narendra."Padahal masih cantikan juga istrinya, ya? Mungkin pake pelet.""Aku malah dapat foto mereka lagi makan berdua di cafe luar kota dari grup watshap.""Serius?! Coba lihat.""Eh, ya ampun, beneran ini ...."Aku meneguk air mineral. Seolah ada yang mengganjal dikerongkonganku. Seperti bom waktu, akhirnya meledak juga setelah kepulanganku dan Narendra kemarin lusa.Kasak kusuk itu terus mengikuti kemana langkahku saat ini. Hampir semua orang menyalahkan dan memberikan nyiyiran, bahkan hujatan padaku. Lebih mirisnya lagi mereka membawa dan menyeret keluargaku untuk ikut di hakimi."Sebenarnya aku juga penasaran dengan gosip yang beredar. Jangan hanya diam saja. Berikan klarifikasi, Hana." Bang Choky yang biasanya tak perduli dengan gosip ap
Pov NarendraAku duduk berlutut di gundukan tanah basah yang diatasnya bertabur bunga menebarkan aroma wangi. Rangkaian bunga mawar dan lili putih yang kuletakkan di atas nisan bertuliskan Mutiara Candra.Sudah empat puluh hari hari wanita yang begitu berarti dalam hidupku itu pergi untuk selamanya. Secanggih apapun teknologi kedokteran tetap tidak bisa menolong istriku. Dia pergi membawa separuh nyawaku. Hampir setiap hari aku menyambangi tempat peristirahatan terakhir wanitaku.Melepas kacamata hitam yang membingkai wajahku, mataku kembali memanas melihat pusaran Tiara. Kulantunkan doa untuknya dengan dada yang terasa sesak. Dia sahabat kecilku dan juga cinta pertamaku, meski aku tau cintaku bertepuk sebelah tangan.Aku tau dia masih begitu mencintai kekasihnya. Pria yang lebih dulu berpulang akibat kecelakaan beberapa waktu silam. Membuat Tiara sempat depresi. Aku sebagai sahabat justru membawanya semakin terburuk, tengelam dalam dunia malam."H
Aku memejamkan mata karena merasa ngeri dengan sesosok tubuh yang sedang berada diatasku kini. Tanganku berusaha meraih tangan pria yang tengah mabuk ini. Namun, dia justru mencengkeram kedua pergelangan tanganku lalu membawa ke atas kepalaku. Tubuhku yang terbaring di ranjang berusaha meronta dengan sekuat tenaga.Pria yang sedang di selimuti nafsu binatangnya, tanpa ampun melucuti apa yang melekat di tubuhku dengan kasar. Suara tangis dan rintihanku tak dia hiraukan. Dia malah semakin gencar menjamah setiap inchi tubuhku dengan nafas yang terus memburu.Aku memekik kala sesuatu memaksa masuk di bawah sana. Tubuhku gemetar dengan air mata yang meluncur membasahi kedua pipi. Tidak merasa tergangu dengan suara tangisanku, dia terus saja menggerakan tubuhnya dan semakin cepat.Setelah melepaskan hasrat dengan meledakan sesuatu yang terasa hangat di tubuhku, pria itu nampak tersenyum puas. Senyum yang selama ini aku sukai darinya tapi kini terlihat begitu menjijika
Telpon di meja kerjaku berdering."Reihanaaaaa!!" Suara Nola memasuki runguku."Bisa pecah gendang telinga gue, Nolaa! Gue Bisa jadi pasien dokter THT," protesku memutar bola mata jengah. Kebiasaannya yang suka heboh."Gue lagi masak banyak nih. Coba resep baru di youtube. channel chef tampan yang ototnya bikin dada berdebar," cerocosnya nggak jelas."Lu, keruangan gue, ya! Kita makan bareng," lanjutnya bersemangat."Aman nggah tuh masakan, Lu.""Dari bahan pilihan yang ditanam dan dirawat seperti anak sendiri. Tanpa MSG dan bahan pengawet. Trus dari porsi juga berlebih, jadi lu bisa nambah. Tapi yang nggak aman mungkin dari ... ya rasanya," ucapnya panjang lebar kemudian disusul tawanya yang membahana."Dasar, gila! Ya udah, nanti lima belas menit lagi gue kesana.""Lama lima belas menit, iih. Gue tungguin lima menit, ya.""Gue beresin kerjaan bentar. Lagian ruangan lu dilantai tujuh ibu Manager ... dan sekarang g
Aku menelpon ambulance untuk membawa ibuku menuju rumah sakit. Sejak tiga bulan beliau diperbolehkan pulang ke rumah. Ibu kembali kelelahan dan penyakit jantungnya kambuh lagi.Terkadang ibu mengindahkan permintaanku untuk istirahat total saja. Menutup usaha menjahitnya.Masih dengan deraian air mata, aku terus memeluk ibu yang tengah berjuang dengan nafas yang sesak dan tubuh membiru dibeberapa bagian.Aku berlari kemeja administrasi dan menyelesaikan beberapa dokumen terkait tindakan yang akan dilakukan dokter untuk menangani ibu.Selalu seperti itu, sejak lima tahun. Aku sudah melatih diri untuk selalu bersiap dengan kondisi ibu yang jatuh bangun.Membuka ruang rawat inap ibu, seakan tak memiliki beban dipundak. Dihadapan ibu aku harus terlihat kuat. Lagipula ibu bukanlah beban dalam hidupku.Meski terasa berat dan melelahkan. Suatu kenikmatan yang harus disyukuri masih memiliki orang tua."Bu ..., Istirahat ya, jangan pikirkan apa
Aku memejamkan mata karena merasa ngeri dengan sesosok tubuh yang sedang berada diatasku kini. Tanganku berusaha meraih tangan pria yang tengah mabuk ini. Namun, dia justru mencengkeram kedua pergelangan tanganku lalu membawa ke atas kepalaku. Tubuhku yang terbaring di ranjang berusaha meronta dengan sekuat tenaga.Pria yang sedang di selimuti nafsu binatangnya, tanpa ampun melucuti apa yang melekat di tubuhku dengan kasar. Suara tangis dan rintihanku tak dia hiraukan. Dia malah semakin gencar menjamah setiap inchi tubuhku dengan nafas yang terus memburu.Aku memekik kala sesuatu memaksa masuk di bawah sana. Tubuhku gemetar dengan air mata yang meluncur membasahi kedua pipi. Tidak merasa tergangu dengan suara tangisanku, dia terus saja menggerakan tubuhnya dan semakin cepat.Setelah melepaskan hasrat dengan meledakan sesuatu yang terasa hangat di tubuhku, pria itu nampak tersenyum puas. Senyum yang selama ini aku sukai darinya tapi kini terlihat begitu menjijika
Pov NarendraAku duduk berlutut di gundukan tanah basah yang diatasnya bertabur bunga menebarkan aroma wangi. Rangkaian bunga mawar dan lili putih yang kuletakkan di atas nisan bertuliskan Mutiara Candra.Sudah empat puluh hari hari wanita yang begitu berarti dalam hidupku itu pergi untuk selamanya. Secanggih apapun teknologi kedokteran tetap tidak bisa menolong istriku. Dia pergi membawa separuh nyawaku. Hampir setiap hari aku menyambangi tempat peristirahatan terakhir wanitaku.Melepas kacamata hitam yang membingkai wajahku, mataku kembali memanas melihat pusaran Tiara. Kulantunkan doa untuknya dengan dada yang terasa sesak. Dia sahabat kecilku dan juga cinta pertamaku, meski aku tau cintaku bertepuk sebelah tangan.Aku tau dia masih begitu mencintai kekasihnya. Pria yang lebih dulu berpulang akibat kecelakaan beberapa waktu silam. Membuat Tiara sempat depresi. Aku sebagai sahabat justru membawanya semakin terburuk, tengelam dalam dunia malam."H
"Dih, nggak nyangka, ya. Pelakor rupanya.""Pantesan aku sering liat dia naik ke lantai tujuh. Banyak karyawan yang menyaksikan, lho. Beberapa kali melihat dia satu mobil sama Pak Narendra."Padahal masih cantikan juga istrinya, ya? Mungkin pake pelet.""Aku malah dapat foto mereka lagi makan berdua di cafe luar kota dari grup watshap.""Serius?! Coba lihat.""Eh, ya ampun, beneran ini ...."Aku meneguk air mineral. Seolah ada yang mengganjal dikerongkonganku. Seperti bom waktu, akhirnya meledak juga setelah kepulanganku dan Narendra kemarin lusa.Kasak kusuk itu terus mengikuti kemana langkahku saat ini. Hampir semua orang menyalahkan dan memberikan nyiyiran, bahkan hujatan padaku. Lebih mirisnya lagi mereka membawa dan menyeret keluargaku untuk ikut di hakimi."Sebenarnya aku juga penasaran dengan gosip yang beredar. Jangan hanya diam saja. Berikan klarifikasi, Hana." Bang Choky yang biasanya tak perduli dengan gosip ap
Pov NarendraAku mengajak Hana keluar kota untuk keperluan bisnis Cafe yang aku geluti sejak keluar dari bangku kuliah. Jauh sebelum bergabung di Bagaskara grup.Dulu aku menjual mobil untuk memulai bisnis, meski banyak kendala yang harus aku hadapi. Tapi aku bersyukur apa yang kulakukan kini membuahkan hasil.Aku sudah memiliki banyak cabang, di berbagai kota. Setidaknya aku bisa membuktikan pada Papa dan semua orang bahwa aku tidak hanya mengandalkan Bagaskara grup. Aku bisa berkembang serta besar di bidang dan jalanku sendiri.Saat meraih tangan Hana untuk ku gandeng, aku tau istriku itu kaget dengan apa yang aku lakukan. Tapi dia sama sekali tidak menolak atau mungkin menampik tanganku.Memperkenalkan Hana sebagai istriku. Aku tak perduli dengan pandangan karyawan yang seolah menilai wanita dengan balutan kaos lengan panjang dan celana jins yang tetap menebar senyum manisnya. Meski aku tau Hana merasa kurang nyaman, tapi aku terus menggengam tang
Ibu Sarah, psikolog yang menanganiku. Kuakui beliau sangat membantu menghilangkan traumaku itu. Meski Bu Sarah kerap berkata, keinginan dan dorongan kuat dari diriku sendiri lah yang akan membantu progress signifikan pada penyembuhanku.Namun, aku tetap sangat berterima kasih pada beliau, atas tugas terapi yang kerap beliau beri padaku. Terbukti rasa takutku yang berlebihan saat berdekatan dengan Narendra, kurasakan perlahan mulai menghilang.Mobil yang aku tumpangi meluncur dijalan tol menuju luar kota. Suasana di mobil lebih banyak hening, karena kami hanya berbicara seperlunya. Narendra tepatnya yang lebih dulu membuka obrolan, sedangkan aku hanya menjawab saja. Melihat kearah jendela dan melihat pemandangan diluar adalah pengalihan rasa gugupku.Turun dari Mobil dan saat memasuki Cafe, aku kaget saat tiba-tiba Narendra meraih tanganku dan menggengamnya. Aku meliriknya sekilas lalu tertunduk dengan tersipu. Meski begitu aku bisa menerima dan tak memberontak a
Aku duduk diruang tunggu poli psikologi. Aku membuat jadwal konseling di jam istirahat kerjaku. Jarak antara kantor dan Rumah sakit tempat kini aku berada memang tidak terlalu jauh.Untung saja Ibu Sarah baik sekali, bersedia memberikan waktu jam makan siangnya untukku. Memasuki ruang poli saat perawat berseragam putih hijau itu memanggil, aku menduduki kursi nyaman yang diperuntukan untuk para pasien yang berkunjung kesini.Kepada Ibu Sarah aku menceritakan kejadian saat aku berada didapur beberapa malam lalu bersama Narendra. Serta kejadian semalam saat pria itu tidur seranjang denganku meski tak terjadi apapun. Tapi rasa takut itu masih saja menghantuiku. Meski kadarnya mulai berkurang sedikit.Aku meminta terapi agar mau dan mampu menatap mata Narendra. Pelaku pelecehan yang menciptakan trauma pada diriku. Ibu Sarah memuji bagaimana pengendalian diriku yang menurutnya cukup baik. Masih mau menerima pelukan Narenda walau respon fisikku belum menunjukan
"Pulang kerja jalan, yuk. Suntuk nih pengen ke salon dan shopping," ajak Nola yang sore ini menghampiri keruang kerjaku. Mengenakan setelan warna tosca yang begitu cocok dengan kulit tubuhnyaAku menggeleng."Tanggal tua. Gue belum gajian Bu Manajer," tolakku masih fokus pada layar laptop."Hello, lo itu sekarang istri Direktur Utama, jangan kayak orang susah, deh," ledek putri tunggal Pak Bagaskara itu."Menikah sama Abang lo berasa mimpi. Apalagi statusnya jadi yang kedua," ungkapku jujur.Nola kemudian melangkah lebih dekat denganku. Lalu membungkukkan badanya dan memelukku dari samping. Aroma parfumnya menyapa hidungku."Lo itu special, Hana. Melengkapi rumah tangga Abang gue. Tenang saja, gue akan selalu suport lo, kok." Dari awal Nola memang langsung setuju saat Abangnya bermaksud akan menikahiku. Jika dengan orang lain, dia bilang akan berpikir ratusan kali untuk memberi izin pada Abangnya itu.Ya, Nola juga sesayang
Pov Narendra Entah apa yang terjadi dengan sahabat Nola itu. Sikapnya sungguh aneh.Jangan katanya? Aku memeluk istri sah ku dan dia bilang jangan?Aku mengajak dia menjalani hubungan dan dia juga bilang jangan? Bagaimana jika aku benar-benar meminta apa yang sudah menjadi hak ku sebagai seorang suami?Memaksanya melayaniku di atas ranjang.Bersikap masa bodoh dengan segala tetesan air mata dan raut takutnya. Setiap kali dia berada hanya berdua denganku, selalu menunjukan sikap seolah aku ini adalah hantu yang tampak menyeramkan. Sekarang dia sudah berstatus sebagai istriku. Aku menikahinya untuk memiliki keturunan. Akupun menikahinya untuk menolong persoalan keluarganya. Tapi apa yang kudapat? Hampir satu bulan hubungan ini stagnan. Bagaimana aku meminta Tiara untuk terus bersabar dengan Hana. Wanita itu selalu bersikap kerap menjauhiku. Kali ini, aku merasa sedang dimanfaatkan olehnya. Iya. dimanfaatkan! Dia hanya ingin karirnya di bagas
Aku mendaftar konseling pada psikolog yang praktek di Rumah sakit. Setelah mendapat giliran, aku masuk dan mulai melakukan sesi cerita. Ibu Sarah selaku psikolog yang pernah membantuku beberapa tahun yang lalu. Beliau sangat pandai mensugestiku untuk memaafkan dan berdamai dengan insiden itu. Keluhanku mengenai traumaku. Jika teringat malam itu. Satu sisi aku juga merasa bersalah pada Narendra. Namun sebagian besar sisi hatiku entah mengapa menolak bersentuhan dengan dirinya. Menurut psikolog yang menanganiku, memiliki teman curhat untuk mengeluarkan semua uneg-uneg dihatiku adalah salah satu cara. Namun aku tak berani melakukan itu. Aku tak mungkin bercerita pada Nola, meski kami sangat dekat. Masalah yang menurutku sangatlah pribadi, aku cenderung menyimpannya sendiri. Apalagi masalah yang menimpaku beberapa tahun yang lalu. Bahkan keluargaku tidak ada yang tau. Hingga, caraku untuk menumpahkan semuanya adalah lewat diary-ku. Membuat s