"Din, antar pesanan ke alamat ini ya!" ucap Ara."Oke, siap."Melepaskan apron, Adinda mengambil box berisi pesanan pembeli. Adinda paling senang saat disuruh mengantar pesanan seperti ini. Hitung-hitung bekerja sekalian motoran keliling kota. Sepanjang jalan, Adinda terus melantunkan lagu-lagu yang membuat hatinya kian membuncah. Hingga tidak terasa, dua puluh menit sudah dilaluinya. Memasuki perumahan elit, Adinda diperiksa oleh bagian keamanan terlebih dahulu. Setelah dipastikan aman, Adinda boleh masuk ke dalam kompleks. Berhenti tepat di rumah mewah berwarna putih, Adinda kembali memeriksa alamat yang dituju. Oh, rupanya sudah benar. "Permisi, Pak. Saya mau antar makanan dan minuman," ucap Adinda pada satpam yang berjaga di depan rumah. "Baik, Mbak. Saya terima ya. Terima kasih."Adinda belum sempat pergi dari rumah itu. Sekian detik berikutnya pemilik rumah keluar dan memanggilnya. "Eh tunggu, Mbak!""Iya, Kak. Ada apa ya?" tanya Adinda. "Pesanan Kakak sudah saya titipkan
"Hallo, Sena...""Ya, Ma?" tanya Sena pada mamanya. "Besok hari Sabtu keluarga Wijaya dan keluarga Gunandar mau liburan ke puncak. Kamu sama Dinda bisa ikut kan?" "Bisa, Ma, tapi kalau tunggu Dinda pulang kerja dulu gimana?""Yaudah gini aja, besok kita berangkat dulu. Kalian nyusul aja ya," usul Indah. "Oke, Ma."Mengulum senyum semringah. Siapa sih yang tidak suka diajak liburan? Jelas Sena mau. Sudah lama juga Sena jarang pergi bersama keluarganya. Menghampiri Adinda, Sena menyampaikan kabar bahagia. Ah, Sena tidak sabar. Adinda pasti juga akan senang bila diajak berlibur dengannya. "Besok sabtu kita ke puncak," bisik Sena tepat di belakang Adinda. "Ih, Sena... Gue pikir siapa.""Gimana, mau kan?""Tumben lo ngajakin gue liburan. Lagi kesambet ya?" selidik Adinda. "Enak aja. Itu, Mama yang ajak.""Oh..." Adinda hanya ber oh ria."Lo bisa kan?" tanya Sena. "Bisa.""Entar gue antar lo ke tempat kerja ya? Pulangnya kita bisa langsung nyusul ke villa.""Hm..."***Udara dingin k
Semenjak menikah dengan Andina, Wildan masih menjalin kasih dengan Renita-kekasihnya. Wildan tidak bisa meninggalkan wanita itu begitu saja hanya karena menikah dengan Andina. Wildan merasa lebih cinta untuk Renita lebih besar daripada untuk Andina. Bagi Renita sendiri, tidak masalah menjalin hubungan dengan suami orang. Ya, cinta terlalu membutakan arah, membuat yang tidak benar dibenar-benarkan. Wildan mencuri-curi kesempatan untuk menghubungi Renita. Cukup lama keduanya saling bersua melalui via telepon, membuat rasa rindunya sedikit terobati. "Sayang, besok kamu ke kosan aku ya. Kangen..." ucap Renita manja. "Aku usahakan ya," jawab Wildan seadanya.Mendengar suara hentakan kaki, Wildan buru-buru mengakhiri sesi obrolan mereka. "Udah dulu ya, Sayang. Dina kayaknya mau ke sini. Bye, Yang.""Sayang... Ishhh. Malah dimatiin," gerutu Renita. "Barusan aku kaya dengar kamu lagi ngomong deh, Wil," ucap Andina.Wildan tersentak. Takut Andina mengetahui hubungannya dengan Renita. Yang
Andina telah diperiksa dokter dan dinyatakan hanya mengalami keram saja. Semua orang yang ada di sana berangsur meninggalkan kamar Andina. Ibu hamil itu harus istirahat agar kondisinya kembali membaik. Sena dan Adinda juga masuk ke dalam kamar mereka. Berdiri di depan almari, Sena mengemasi baju yang semalam telah ditata. Memasukkannya kembali ke dalam tas ransel. "Buruan kemasin bajunya. Gue tunggu lima menit." ucap Sena dingin. Adinda melongo, "hah?""Emangnya kita mau ke mana? Mau pulang sekarang, iya?""Cepetan kemasin bajunya, Dinda! Nggak usah banyak tanya bisa nggak?" ketus Sena. "Iya... Iya..." sunggut Adinda sebal. Liburan yang diharapkan bisa menambah keharmonisan serta mempererat hubungan kekeluargaan justru menimbulkan masalah dan kekacauan. Daripada tetap berada di villa dan menimbulkan masalah baru, lebih baik Sena dan Adinda yang mengalah pergi."Loh... loh... kalian mau ke mana?" tanya Indah. Heran mendapati anak-menantunya membawa ransel. "Semuanya... Sena sama D
Semenjak liburan di Bandung, hubungan Adinda dan Sena kian membaik. Mereka berdua sudah menjalankan rumah tangga yang sesungguhnya. Di kampus pun sudah tidak ada yang perlu ditutup-tutupi lagi. Toh, pernikahan keduanya telah terbongkar. Sena juga mengakui bahwa Adinda istrinya. Biarlah orang mau beranggapan apa tentang keduanya. Yang suka ya silahkan, yang tidak ya silahkan. Adinda dan Sena sendiri tidak bisa memaksa orang-orang untuk selalu menyukai mereka.Pagi ini keduanya berangkat ke kampus bersama. Berboncengan motor, menikmati waktu di jalan dengan canda dan cerita. Ternyata seindah ini rasanya berdamai dan ikhlas menerima takdir. Tahu begitu Sena dan Adinda lakukan sedari awal menikah. Sayang sekali, pagi yang menyenangkan untuk keduanya nampaknya usai sampai di sini. Ya, Sena dan Adinda harus berpisah di Program Studi masing-masing untuk menjalani jam perkuliahan. "Kabarin gue kalau kelas lo udah kelar!" perintah Sena. "Oke." Adinda berlalu menuju kelasnya. Dari balik po
Sebelum berangkat ke kampus, Adinda dan Sena membagi tugas untuk membersihkan rumah. Sena membersihkan lantai bagian atas, sedangkan Adinda membersihkan lantai bagian bawah. "Sena... Ke sini cepetan!" teriak Adinda. Tergopoh menghampiri Adinda, napas Sena tersengal-sengal. Mengatur napasnya sesaat sebelum bersuara. "Ada apa?" tanya Sena. "Lo masukin kucing tetangga ke dalam rumah ya?" tuduh Adinda.Sena mengerutkan dahi. "Hah?""Kamar tamu berantakan banget. Kayaknya diberantakin sama kucing deh."Melangkahkan kaki ke dalam kamar tamu, Sena melihat kondisi kamar yang berantakan seperti kapal pecah. Sena celingukan, berjongkok memeriksa kolong tempat tidur. "Ngapain sih lo?" tanya Adinda heran."Nyari kucing lah. Siapa tahu ada di kolong," jelas Sena. "Iya, coba cari. Takutnya nanti pup di sembarang tempat." Adinda ikut memeriksa kamar mandi di kamar tamu, siapa tahu dapat menemukan kucing tetangganya di sana. "Uek..." Menutup hidungnya dengan jari telunjuk dan jempol, Sena ber
Sudah tiga minggu ini Ella hanya berdiam diri di rumah. Moodnya memburuk semenjak kejadian salah sasaran itu. Apa yang harus Ella lakukan sekarang? Berbagai rencana yang disusun pasti akan berakhir dengan kegagalan. Lebih parahnya lagi, rencana jahatnya langsung berimbas pada dirinya. Seakan karma dibayar lunas. Tiba-tiba perut Ella terasa bergejolak. Tergopoh menuju wastafel. Dimuntahkan seluruh isi di dalam perut. "Uek..." "Uek...""Astaga..."Meremat perutnya yang kian terasa bergejolak. Seakan tiada henti, membuat tubuh Ella melemas. "Bi..." teriak Ella. "Astaga, Non Ella... Kenapa bisa muntah-muntah begini?" tanya bibi. Bibi memapah tubuh Ella. Membawanya berbaring di atas ranjang. Terlihat wajah Ella pucat pasi. "Non Ella sakit?" tanya bibi. Menggelengkan kepala lemah sebagai jawaban. Ella merasa dirinya sehat. Hanya saja kurang makan makannya lemas begini. "Bibi panggilkan Dokter atau kita ke rumah sakit ya, Non?""Tidak usah, Bi.""Tapi, Non. Non Ella kayaknya masuk an
"Uek..." Lagi-lagi Ella memuntahkan sisa-sisa makanan yang ada di dalam perutnya. Baru saja makan roti satu bungkus, tapi perutnya sudah bergejolak. Matanya kembali terpejam. Kepalanya dirasa masih sangat pusing. Kehamilan ini sungguh sangat mengganggu. Berulang kali ingin mengeluh dan mengumpat, tapi Ella urungkan. Sadar bahwa janin ini yang nantinya dapat membantunya mendaparkan Sena. Setelah tertidur beberapa menit, Ella terbangun. Tiba-tiba saja Ella merindukan aroma Wildan. Aneh, sungguh sangat aneh. Padahal baru bertemu dua kali dengan pria itu, bisa-bisanya Ella merindukan aromanya. "Apa ini yang dinamakan dengan ngidam?"Ella menghubungi Wildan. Meminta bantuan untuk menuruti ngidamnya. "Hallo, Wil.""Ya, ada apa?""Gue butuh bantuan lo?""Lo mau gue lakuin apa?""Lo datang ke rumah gue ya, Wil?""Buat apa?""Anak lo pengen nyium aroma tubuh lo.""Lo ngidam?""Sepertinya." Terdengar tawa Wildan di seberang sana. "Wil..." panggil Ella lagi. "Gue kirimin parfum gue aja ya