Sudah tiga minggu ini Ella hanya berdiam diri di rumah. Moodnya memburuk semenjak kejadian salah sasaran itu. Apa yang harus Ella lakukan sekarang? Berbagai rencana yang disusun pasti akan berakhir dengan kegagalan. Lebih parahnya lagi, rencana jahatnya langsung berimbas pada dirinya. Seakan karma dibayar lunas. Tiba-tiba perut Ella terasa bergejolak. Tergopoh menuju wastafel. Dimuntahkan seluruh isi di dalam perut. "Uek..." "Uek...""Astaga..."Meremat perutnya yang kian terasa bergejolak. Seakan tiada henti, membuat tubuh Ella melemas. "Bi..." teriak Ella. "Astaga, Non Ella... Kenapa bisa muntah-muntah begini?" tanya bibi. Bibi memapah tubuh Ella. Membawanya berbaring di atas ranjang. Terlihat wajah Ella pucat pasi. "Non Ella sakit?" tanya bibi. Menggelengkan kepala lemah sebagai jawaban. Ella merasa dirinya sehat. Hanya saja kurang makan makannya lemas begini. "Bibi panggilkan Dokter atau kita ke rumah sakit ya, Non?""Tidak usah, Bi.""Tapi, Non. Non Ella kayaknya masuk an
"Uek..." Lagi-lagi Ella memuntahkan sisa-sisa makanan yang ada di dalam perutnya. Baru saja makan roti satu bungkus, tapi perutnya sudah bergejolak. Matanya kembali terpejam. Kepalanya dirasa masih sangat pusing. Kehamilan ini sungguh sangat mengganggu. Berulang kali ingin mengeluh dan mengumpat, tapi Ella urungkan. Sadar bahwa janin ini yang nantinya dapat membantunya mendaparkan Sena. Setelah tertidur beberapa menit, Ella terbangun. Tiba-tiba saja Ella merindukan aroma Wildan. Aneh, sungguh sangat aneh. Padahal baru bertemu dua kali dengan pria itu, bisa-bisanya Ella merindukan aromanya. "Apa ini yang dinamakan dengan ngidam?"Ella menghubungi Wildan. Meminta bantuan untuk menuruti ngidamnya. "Hallo, Wil.""Ya, ada apa?""Gue butuh bantuan lo?""Lo mau gue lakuin apa?""Lo datang ke rumah gue ya, Wil?""Buat apa?""Anak lo pengen nyium aroma tubuh lo.""Lo ngidam?""Sepertinya." Terdengar tawa Wildan di seberang sana. "Wil..." panggil Ella lagi. "Gue kirimin parfum gue aja ya
"Selamat pagi, Opa... Selamat pagi, Mama Indah..." sapa Ella ceria. "Mau apa kamu ke sini?" tanya Indah sinis. "Ella hanya ingin menjenguk Opa. Boleh kan, Ma?"Setelah menyimpan buah tangan yang dibawanya di atas nakas, Ella mendudukkan diri di kursi samping brankar. "Opa sudah sarapan?" tanya Ella basa-basi. "Sudah," balas Opa Gunandar acuh tak acuh. Melipat kedua tangan di depan dada dan menyilangkan kaki, Indah memilih duduk di sofa ketimbang berdekatan dengan Ella. Melirik sinis kepada wanita itu. Akan selalu Indah awasi pergerakan mantan kekasih Sena itu.Indah sangat yakin ada sesuatu yang direcanakan oleh Ella. Entah apa, Indah sendiri tidak tahu. Mungkin saja ada kaitannya dengan foto yang dia kirimkan pada Opa Gunandar. "Pa, Papa daritadi belum istirahat kan? Sekarang isirahat ya! Indah berjaga di sofa."Sengaja Indah mengusir Ella secara halus. Coba, akan Indah lihat bagaimana sikap wanita itu setelahnya. Ella sendiri merasa bahwa ucapan Mama Sena seakan usiran halus u
Opa Gunandar berada di ruang pesakitan seorang diri. Indah sedang ke kantin membeli makan siang. Sementara bibi tidak lagi berjaga di rumah sakit karena mengurusi rumah. Memandangi langit-langit kamar, pria berambut putih itu tampak merenung. Opa Gunandar pikir dengan menikahkan Sena dan Adinda bisa membuat cucu satu-satunya itu berubah. Namun pada kenyataannya, semua tidak berjalan sesuai dengan kehendaknya. "Astaghfirullah..."Berulang kali mengucap istighfar, Opa Gunandar masih tidak habis pikir bagaimana mungkin Sena melakukan hal di luar batas bersama mantan kekasihnya. Rasanya sulit untuk percaya, tapi bukti tampak nyata. "Opa..."Mencium punggung tangan Opa Gunandar, Ella lalu mendudukkan diri di bangku samping brankar. "Sudah sehat, Opa?" tanya Ella berbasa basi. "Hmm..." balas Opa Gunandar malas. "Opa kenapa lesu begitu? Tidakkah Opa merasa senang? Sebentar lagi Opa dapat cicit loh," celoteh Ella. "Ini, Opa, lihatlah!"Ella menyerahkan amplop berlogo rumah sakit, Opa Gu
Keadaan Opa Gunandar semakin membaik. Dokter sudah memperbolehkan untuk pulang. Terlihat Indah sedang membereskan barang-barang Opa Gunandar."Selamat pagi, Opa. Selamat pagi, Tante Indah," sapa Ella ceria. "Mau apalagi kamu ke sini?" tanya Indah sinis. "Mau menagih janji. Ya kan, Opa?""Siapa yang berjanji, heh?" balas Opa. "Katanya, Opa mau menikahkan Ella dengan cucu kesayanganmu itu?"Indah menimpali, "jangan mimpi kamu!""Siapa yang bermimpi sih, Tante? Ella kan sedang tidak tidur.""Oh, ya. Asal Tante dan Opa tahu, anak yang Ella kandung ini memang anak Sena. Jadi, cepat atau lambat Ella akan tetap menjadi istri Sena. Ya, kalau Sena tidak mau bertanggung jawab tinggal dituntut saja. Gampang kan?"Menautkan sebelah alis ke atas, Indah melirik sinis. "Oh ya? Bukan anak dari pria lain?""Apa maksud Tante? Jangan asal bicara ya, Tante. Ella hanya berhubungan dengan Sena saja."Mengambil foto di atas nakas, Indah melemparkan foto tersebut ke arah Ella. "Lalu ini apa, hah?" sentak
"Arghhh..." teriak Ella. Prang! Segala macam kosmetik, parfum, dan benda lainnya di meja rias tumpah, berserakan di atas lantai. "Non, kenapa lagi?"Mendekati Ella, Bibi merengkuh tubuh majikannya itu. Mengusap punggung Ella dan memberikan ketenangan."Tenang ya, Non. Ada Bibi di sini. Sebenarnya ada apa?""Kenapa semua orang kejam sama Ella sih, Bi? Kenapa, hah?""Siapa yang kejam, Non?""Keluarga Sena, Bi. Mereka semua sekarang benci sama Ella. Padahal Ella udah minta maaf perkara kesalahan di masa lalu, tapi kenapa mereka nggak mau maafin Ella sih, Bi?""Ella mau disayang kayak dulu lagi. Ella mau kembali lagi sama Sena, Bi. Ella cintanya sama Sena.""Dan sekarang, gara-gara anak sialan ini Ella jadi lebih sulit buat kembali sama Sena."Berulang kali Ella memukuli perutnya. Berharap janin yang ada di dalam rahim luruh seketika. "Arghhh..."Menangis sudah Bibi. Tidak tahan wanita paruh baya itu melihat majikannya frustasi."Astagfirullah... Istighfar, Non. Nyebut. Kalau memang be
Hampir setiap hari Ella meneror Wildan. Mengirimi pesan berupa ancaman. Tidak hanya itu, Ella bahkan nekat mengirim orang untuk menghajar Wildan. Ancaman itu akan terus dilakukan sampai Wildan mau bertanggung jawab. Kepala Wildan hampir meledak rasanya. Sudah kepalang tanggung ini, daripada diteror terus menerus lebih baik mengikuti kemauan Ella saja. Biarlah perkara Andina dan keluarga besarnya akan dihadapi dikemudian hari. Sore ini, pernikahan kedua Wildan digelar. Tidak ada kedua orangtua maupun kerabat Wildan yang hadir. Hanya kedua orangtua Ella dan kerabat terdekat saja. Apalagi alasannya kalau bukan karena pernikahan ini sengaja disembunyikan."Kenapa serba dadakan sih, La? Kami kan juga belum mengenal calon suami kamu. Semuanya kan harus dipertimbangkan bibit, bebet, dan bobotnya. Tidak bisa tiba-tiba langsung menikah begini," gerutu Mama Ella. "Sebenarnya ada apa? Katakan!" ucap Papa Ella. "Tidak ada apa-apa, Pa, Ma. Ella sengaja kasih tahu dadakan karena Ella tahu kalian
Kebimbangan tengah dirasa Sena. Sampai saat ini, Sena masih bungkam dan menyimpan rapat-rapat kejadian pada waktu subuh kala itu. Tentu saja Sena tidak ingin Adinda banyak pikiran karena memikirkan nasib Andina. Tapi bila dipikir ulang, Sena tentu tidak tega mendapati kelakuan Wildan yang mungkin saja memang berkhianat di belakang Andina. Memikirkan perasaan Andina yang hancur karenanya, Sena semakin merasa bersalah karena menutupi tabiat Wildan. Malam ini, Sena putuskan untuk berbicara dengan Adinda. Siapa tahu keduanya dapat menemukan solusi terbaik untuk membantu Andina mengatasi masalah ini. Ceklek! "Sen..." sapa Adinda. Adinda baru saja pulang dari bekerja. Meletakkan jaket dan tas di gantungan, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Kini, Adinda tampak segar sesudah mandi. Istri Sena itu juga terlihat menggemaskan sebab mengenakan piyama bermotif boneka. Menutup laptop dan mengesampingkan tugas kuliah yang membuatnya mumet, Sena melangkahkan kaki mendekati Adinda. Merebut sisir