Opa Gunandar berada di ruang pesakitan seorang diri. Indah sedang ke kantin membeli makan siang. Sementara bibi tidak lagi berjaga di rumah sakit karena mengurusi rumah. Memandangi langit-langit kamar, pria berambut putih itu tampak merenung. Opa Gunandar pikir dengan menikahkan Sena dan Adinda bisa membuat cucu satu-satunya itu berubah. Namun pada kenyataannya, semua tidak berjalan sesuai dengan kehendaknya. "Astaghfirullah..."Berulang kali mengucap istighfar, Opa Gunandar masih tidak habis pikir bagaimana mungkin Sena melakukan hal di luar batas bersama mantan kekasihnya. Rasanya sulit untuk percaya, tapi bukti tampak nyata. "Opa..."Mencium punggung tangan Opa Gunandar, Ella lalu mendudukkan diri di bangku samping brankar. "Sudah sehat, Opa?" tanya Ella berbasa basi. "Hmm..." balas Opa Gunandar malas. "Opa kenapa lesu begitu? Tidakkah Opa merasa senang? Sebentar lagi Opa dapat cicit loh," celoteh Ella. "Ini, Opa, lihatlah!"Ella menyerahkan amplop berlogo rumah sakit, Opa Gu
Keadaan Opa Gunandar semakin membaik. Dokter sudah memperbolehkan untuk pulang. Terlihat Indah sedang membereskan barang-barang Opa Gunandar."Selamat pagi, Opa. Selamat pagi, Tante Indah," sapa Ella ceria. "Mau apalagi kamu ke sini?" tanya Indah sinis. "Mau menagih janji. Ya kan, Opa?""Siapa yang berjanji, heh?" balas Opa. "Katanya, Opa mau menikahkan Ella dengan cucu kesayanganmu itu?"Indah menimpali, "jangan mimpi kamu!""Siapa yang bermimpi sih, Tante? Ella kan sedang tidak tidur.""Oh, ya. Asal Tante dan Opa tahu, anak yang Ella kandung ini memang anak Sena. Jadi, cepat atau lambat Ella akan tetap menjadi istri Sena. Ya, kalau Sena tidak mau bertanggung jawab tinggal dituntut saja. Gampang kan?"Menautkan sebelah alis ke atas, Indah melirik sinis. "Oh ya? Bukan anak dari pria lain?""Apa maksud Tante? Jangan asal bicara ya, Tante. Ella hanya berhubungan dengan Sena saja."Mengambil foto di atas nakas, Indah melemparkan foto tersebut ke arah Ella. "Lalu ini apa, hah?" sentak
"Arghhh..." teriak Ella. Prang! Segala macam kosmetik, parfum, dan benda lainnya di meja rias tumpah, berserakan di atas lantai. "Non, kenapa lagi?"Mendekati Ella, Bibi merengkuh tubuh majikannya itu. Mengusap punggung Ella dan memberikan ketenangan."Tenang ya, Non. Ada Bibi di sini. Sebenarnya ada apa?""Kenapa semua orang kejam sama Ella sih, Bi? Kenapa, hah?""Siapa yang kejam, Non?""Keluarga Sena, Bi. Mereka semua sekarang benci sama Ella. Padahal Ella udah minta maaf perkara kesalahan di masa lalu, tapi kenapa mereka nggak mau maafin Ella sih, Bi?""Ella mau disayang kayak dulu lagi. Ella mau kembali lagi sama Sena, Bi. Ella cintanya sama Sena.""Dan sekarang, gara-gara anak sialan ini Ella jadi lebih sulit buat kembali sama Sena."Berulang kali Ella memukuli perutnya. Berharap janin yang ada di dalam rahim luruh seketika. "Arghhh..."Menangis sudah Bibi. Tidak tahan wanita paruh baya itu melihat majikannya frustasi."Astagfirullah... Istighfar, Non. Nyebut. Kalau memang be
Hampir setiap hari Ella meneror Wildan. Mengirimi pesan berupa ancaman. Tidak hanya itu, Ella bahkan nekat mengirim orang untuk menghajar Wildan. Ancaman itu akan terus dilakukan sampai Wildan mau bertanggung jawab. Kepala Wildan hampir meledak rasanya. Sudah kepalang tanggung ini, daripada diteror terus menerus lebih baik mengikuti kemauan Ella saja. Biarlah perkara Andina dan keluarga besarnya akan dihadapi dikemudian hari. Sore ini, pernikahan kedua Wildan digelar. Tidak ada kedua orangtua maupun kerabat Wildan yang hadir. Hanya kedua orangtua Ella dan kerabat terdekat saja. Apalagi alasannya kalau bukan karena pernikahan ini sengaja disembunyikan."Kenapa serba dadakan sih, La? Kami kan juga belum mengenal calon suami kamu. Semuanya kan harus dipertimbangkan bibit, bebet, dan bobotnya. Tidak bisa tiba-tiba langsung menikah begini," gerutu Mama Ella. "Sebenarnya ada apa? Katakan!" ucap Papa Ella. "Tidak ada apa-apa, Pa, Ma. Ella sengaja kasih tahu dadakan karena Ella tahu kalian
Kebimbangan tengah dirasa Sena. Sampai saat ini, Sena masih bungkam dan menyimpan rapat-rapat kejadian pada waktu subuh kala itu. Tentu saja Sena tidak ingin Adinda banyak pikiran karena memikirkan nasib Andina. Tapi bila dipikir ulang, Sena tentu tidak tega mendapati kelakuan Wildan yang mungkin saja memang berkhianat di belakang Andina. Memikirkan perasaan Andina yang hancur karenanya, Sena semakin merasa bersalah karena menutupi tabiat Wildan. Malam ini, Sena putuskan untuk berbicara dengan Adinda. Siapa tahu keduanya dapat menemukan solusi terbaik untuk membantu Andina mengatasi masalah ini. Ceklek! "Sen..." sapa Adinda. Adinda baru saja pulang dari bekerja. Meletakkan jaket dan tas di gantungan, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Kini, Adinda tampak segar sesudah mandi. Istri Sena itu juga terlihat menggemaskan sebab mengenakan piyama bermotif boneka. Menutup laptop dan mengesampingkan tugas kuliah yang membuatnya mumet, Sena melangkahkan kaki mendekati Adinda. Merebut sisir
"Sayang, ikut aku ke area balap yuk!" ajak Sena. "Kamu tanding?" tanya Adinda. "Enggak sih, cuma lihat aja.""Boleh deh."Meraih sebuah helm, Sena memakaikannya di kepala Adinda. Klik! Terpasang sudah helm di kepala Adinda. Siapa lagi yang memakaikannya kalau bukan Sena. Dengan jahilnya, Sena menggetok kepala Adinda, menimbulkan bunyi 'tok' di sana. Adinda mencebikkan bibirnya. "Ih, kok digetok?""Gemesin soalnya.""Ih, nyebelin," gerutu Adinda. "Udah, nggak usah monyong-monyong begitu. Entar aku sosor baru tahu rasa.""Aku balas, week." Adinda menjulurkan lidahnya.Meraih pinggang Adinda, Sena mencubit hidung lancip itu. "Dasar nakal."Setengah jam sudah mereka di dalam perjalanan. Akhirnya, mereka berdua tiba di area balap. Jemari Sena tidak terlepas dari Adinda sedetik pun. Banyak mata melirik sinis pada Adinda. Masa bodoh dengan itu semua, Adinda yakin mereka hanya iri saja. Pastilah banyak wanita yang menginginkan berada di posisinya saat ini bersama dengan Sena. Netra Adi
Rasa gelisah menyelinap relung hati Sena. Bagaimana tidak, wanitanya saat ini tengah berada di UGD dalam keadaan tidak sadarkan diri. Bersandar di tembok rumah sakit, menunduk dan terus merapal doa. Hanya itu yang bisa Sena lakukan saat ini. Merayu Sang Pencipta agar bermurah hati memberikan kesembuhan serta keselamatan untuk Adinda. "Sena..."Menoleh ke sumber suara, Sena menubrukkan diri mendekap mamanya. Membagi rasa gelisah yang tengah dirasakan. Tumpah sudah air mata yang sedari tadi dibendung. Lemah, cengeng, rapuh. Ya, tampak kacau bukan keadaan Sena? "Sudah, Sayang. Jangan menangis! Dinda pasti baik-baik saja. Kita berdoa sama-sama ya," ucap Indah. "Duduklah, Sen! Kita tunggu kabar dari Dokter," ucap Abimanyu. Tidak lama setelahnya pintu ruang pemulihan terbuka. Belum sempat dokter menyampaikan keadaan Adinda, Sena sudah lebih dulu memberondongi dengan berbagai pertanyaan. "Dok, bagaimana keadaan istri saya?""Istri saya tidak apa-apa kan, Dok? Hanya pingsan saja kan?""T
Kriet... Suara pintu diseret membuat bulu roma merinding. Sena hendak melongok ke arah kamar mandi untuk memastikan, tapi diurungkan. Ketakutan lebih menguasai dibanding rasa penasaran itu sendiri. Jadilah sampai tengah malam Sena tetap terjaga.Suasana rumah sakit yang terlalu kentara membuatnya tidak nyaman. Bayangan arwah-arwah di kamar mayat terus berputar di otaknya. Sontak, Sena bergidik. Melihat hantu di film saja Sena berteriak histeris. Apalagi, dihadapkan pada situasi nyata seperti ini. Ekor mata Sena melirik ke samping. Didapatinya Adinda tengah tertidur pulas. Mendengkur pula. Huh, semakin membuat Sena jengkel saja rasanya. "Ingat, Dinda lagi sakit, dia butuh istirahat. Maklumilah kalau tidurnya sampai mendengkur," gumam Sena. Ditariknya selimut rapat-rapat. Berharap dengan begitu posisinya sedikit nyaman, dan bayangan arwah di kamar mayat segera enyah. "Argh!" teriak Sena jengkel. Berbagai cara telah dilakukan agar bisa terlelap. Dari mulai menenggelamkan seluruh wa