"Sayang, ikut aku ke area balap yuk!" ajak Sena. "Kamu tanding?" tanya Adinda. "Enggak sih, cuma lihat aja.""Boleh deh."Meraih sebuah helm, Sena memakaikannya di kepala Adinda. Klik! Terpasang sudah helm di kepala Adinda. Siapa lagi yang memakaikannya kalau bukan Sena. Dengan jahilnya, Sena menggetok kepala Adinda, menimbulkan bunyi 'tok' di sana. Adinda mencebikkan bibirnya. "Ih, kok digetok?""Gemesin soalnya.""Ih, nyebelin," gerutu Adinda. "Udah, nggak usah monyong-monyong begitu. Entar aku sosor baru tahu rasa.""Aku balas, week." Adinda menjulurkan lidahnya.Meraih pinggang Adinda, Sena mencubit hidung lancip itu. "Dasar nakal."Setengah jam sudah mereka di dalam perjalanan. Akhirnya, mereka berdua tiba di area balap. Jemari Sena tidak terlepas dari Adinda sedetik pun. Banyak mata melirik sinis pada Adinda. Masa bodoh dengan itu semua, Adinda yakin mereka hanya iri saja. Pastilah banyak wanita yang menginginkan berada di posisinya saat ini bersama dengan Sena. Netra Adi
Rasa gelisah menyelinap relung hati Sena. Bagaimana tidak, wanitanya saat ini tengah berada di UGD dalam keadaan tidak sadarkan diri. Bersandar di tembok rumah sakit, menunduk dan terus merapal doa. Hanya itu yang bisa Sena lakukan saat ini. Merayu Sang Pencipta agar bermurah hati memberikan kesembuhan serta keselamatan untuk Adinda. "Sena..."Menoleh ke sumber suara, Sena menubrukkan diri mendekap mamanya. Membagi rasa gelisah yang tengah dirasakan. Tumpah sudah air mata yang sedari tadi dibendung. Lemah, cengeng, rapuh. Ya, tampak kacau bukan keadaan Sena? "Sudah, Sayang. Jangan menangis! Dinda pasti baik-baik saja. Kita berdoa sama-sama ya," ucap Indah. "Duduklah, Sen! Kita tunggu kabar dari Dokter," ucap Abimanyu. Tidak lama setelahnya pintu ruang pemulihan terbuka. Belum sempat dokter menyampaikan keadaan Adinda, Sena sudah lebih dulu memberondongi dengan berbagai pertanyaan. "Dok, bagaimana keadaan istri saya?""Istri saya tidak apa-apa kan, Dok? Hanya pingsan saja kan?""T
Kriet... Suara pintu diseret membuat bulu roma merinding. Sena hendak melongok ke arah kamar mandi untuk memastikan, tapi diurungkan. Ketakutan lebih menguasai dibanding rasa penasaran itu sendiri. Jadilah sampai tengah malam Sena tetap terjaga.Suasana rumah sakit yang terlalu kentara membuatnya tidak nyaman. Bayangan arwah-arwah di kamar mayat terus berputar di otaknya. Sontak, Sena bergidik. Melihat hantu di film saja Sena berteriak histeris. Apalagi, dihadapkan pada situasi nyata seperti ini. Ekor mata Sena melirik ke samping. Didapatinya Adinda tengah tertidur pulas. Mendengkur pula. Huh, semakin membuat Sena jengkel saja rasanya. "Ingat, Dinda lagi sakit, dia butuh istirahat. Maklumilah kalau tidurnya sampai mendengkur," gumam Sena. Ditariknya selimut rapat-rapat. Berharap dengan begitu posisinya sedikit nyaman, dan bayangan arwah di kamar mayat segera enyah. "Argh!" teriak Sena jengkel. Berbagai cara telah dilakukan agar bisa terlelap. Dari mulai menenggelamkan seluruh wa
Satu minggu berlalu. Adinda sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Kondisinya benar-benar sudah pulih seperti sedia kala. Bahkan, pagi ini Adinda bergulat di dapur membuat sarapan untuk Sena. "Buruan mandinya, Sen. Sarapannya udah siap nih," teriak Adinda."Bentar lagi, Sayang," sahut Sena ikut teriak. Keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggang. Rambut setengah basah itu dibiarkan begitu saja. Mengambil kaos oblong dan celana jeans selutut, Sena memakainya cepat-cepat dan berlari ke ruang makan. "Astagfirullah, Sena!" omel Adinda."Apaan sih, Yang?" tanya Sena heran, belum apa-apa Adinda sudah marah-marah."Duduk! Aku ambil handuk dulu."Setengah berlari Adinda ke lantai dua. Rasa sebal kian dirasa. Adinda paling sebal kalau ada handuk basah tergeletak di atas ranjang. Ya, seperti emak-emak pada umumnya. Pasti sebal kan kalau ada handuk basah di taruh di atas ranjang?"Udah dibilangin berkali-kali kalau taruh handuk basah jangan di atas ranjang! Begitu juga masih d
"Hatiku terlalu kuat untuk kau buat hancur. Dipatahkan berkali-kali, tapi masih saja utuh. Kurang apa aku dalam mencintaimu?" ucap Andina. Luruh sudah tangis ini, bercampur menjadi satu bersama rasa kecewa di dalamnya. "Maafkan aku, Dina. Aku... Aku terpaksa menikahi Ella." hanya kata maaf yang sanggup ia ucapkan. Ia akui bahwa dirinya memang terlalu b******k."Andai saja waktu itu aku tak menumpang mandi di rumah Adinda, mungkin saja tak akan seperti ini. Andai saja aku tak haus dan tak meminum es teh yang dicampurkan dengan obat sialan itu, mungkin hatimu masih baik-baik saja karena aku tak perlu repot-repot untuk bertanggung jawab menikahi Ella."Sungguh muak rasanya dengan seorang b******n yang sedang berusaha membuat keadaan menjadi membaik, tapi yang terjadi malah sebaliknya."Jangan berandai-andai, Wil. Kamu pikir kata 'andai' dan 'mungkin' yang terucap dari mulutmu bisa mengubah kenyataan buruk ini? Duniaku sedang tidak baik-baik saja. Tolong jangan bebani aku dengan ungkapan
Demi menjaga kewarasan hidupnya, Wildan terpaksa memutuskan hubungan dengan Renita. Menjalin kasih dengan tiga wanita sekaligus akan merepotkan dirinya senidri. Sungguh, ia tak akan sanggup. "Sorry, Ren. Aku nggak bisa lanjutin hubungan ini" ucap Wildan ketika Renita baru saja sampai di sebuah taman untuk menemui Wildan. Renita mengernyitkan dahi. Ia tak mengerti dengan maksud dari ucapan Wildan. Sebelumnya hubungan ini baik-baik saja. "Kenapa, Wil. Salah aku apa?" tanya Renita."Kamu nggak salah apa-apa, Ren. Aku yang salah. Aku sudah menikah lagi. Hidupku sudah terlalu rumit dengan dua wanita itu. Aku terpaksa melepaskanmu, Ren."Ya, Wildan sudah bercerita dengan Renita mengenai pernikahan keduanya dengan Ella. Bahkan Renita masih mau menerima Wildan. Asalkan mereka masih tetap bisa bersama. Bagi Renita itu sudah lebih dari cukup. "Katanya cintamu padaku melebihi apapun. Lalu kenapa yang ditinggalkan justru aku. Bukan kedua wanita sialan itu, hah?" bentak Renita. Ia terlalu emosi
Adinda libur kuliah hari ini karena tidak ada jadwal mata kuliah. Ia hanya mendapatkan tugas dari beberapa dosen. Mungkin akan ia kerjakan nanti siang setelah pekerjaan rumah selesai semuanya. Berbeda dengan Adinda, Sena hari ini sudah mulai bekerja di perusahan Papa Abimanyu. Sena bekerja dari pagi sampai sore. Malam hari akan ia pakai untuk kuliah, mengambil kelas karyawan."Din, pasangin dasi aku dong!" Sena berlari menuruni tangga, menghampiri Adinda yang sedang berada di ruang makan menata menu sarapan pagi ini. Adinda mengambil dasi yang dipegang Sena, lalu memasangnya. Setelah itu ia merapikan kerah kemeja Sena. Suaminya terlihat gagah dan berwibawa setelah memakai pakaian kantor seperti ini. Kesan nakal dari geng motor seakan luntur begitu saja dalam diri Sena. "Enggak pakai jas?" tanya Adinda. Sena menggeleng. "Enggak ah, aku kan staf biasa. Besok aja pakai jasnya kalau udah jadi bos" kekeh Sena. Adinda mengambilkan nasi goreng dan meletakkan di piring Sena. Sena makan de
Sena menemui Abimanyu di ruangan CEO. Sena mengetuk pintu. Meskipun itu ruangan papanya sendiri, tapi di sini ia bekerja sebagai bawahan. Ia harus menujukkan sopan santun seorang bawahan terhadap atasannya. "Pagi, Pa" sapa Sena setelah diperbolehkan masuk oleh Abimanyu. "Duduk, Sen!" perintah Abimanyu, menunjuk kursi di depannya. "Papa senang kamu mau bekerja di perusahaan ini. Nantinya perusahaan ini juga akan menjadi milikmu. Namun, Papa mau kamu bekerja sebagai staf biasa terlebih dahulu agar tahu alurnya" jelas Abimanyu."Sena mengerti, Pa. Sena maunya juga begitu. Bekerja dari bawah terlebih dahulu agar nantinya Papa bisa menilai bagaimana kinerja Sena.""Bagus jika kamu sependapat dengan Papa. Oh iya, bagaimana kabar Adinda?""Baik, Pa. Hari ini dia sedang libur kuliah. Tidak ada jadwal mata kuliah. Hanya nanti sore bekerja di cafe.""Kamu harus bekerja dengan baik, Sen. Apa kamu mau membawa istrimu itu hidup serba pas-pasan terus? Kasihan jika Dinda bekerja terus-terusan di ca
Suasana penuh kebahagiaan menyertai kediaman keluarga Wijaya. Hari ini ketiga keluarga besar itu berkumpul menjadi satu untuk merayakan kehamilan Adinda.Sena mulai kesal karena dari tadi tidak diperbolehkan berdampingan dengan Adinda. Sedari tadi Opa Gunandar tidak mau jauh dari Adinda. Istri Sena itu hari ini dikuasai oleh Opa Gunandar. Opa Gunandar hanya terlampau bahagia karena sebentar lagi akan mempunyai cicit yang sudah lama didambakannya. "Perutnya Dinda jangan diusap terus dong, Opa. Lama-lama bisa mengikis entar," protes Sena. "Brisik! Ganggu orang lagi bahagia aja," kesal Opa Gunandar. "Ma, geseran dong! Sena pengen duduk sebelah Dinda," ucapnya pada Indah. "Nggak mau. Mama kan juga pengen dekat sama Dinda," tolak Indah. Sena mencebikkan bibirnya. Mama dan Opa-nya sama saja, paling hobi membuat Sena jengkel. Adinda terkekeh. "Sayang, ih... begitu aja masa ngambek," ledek Adinda. "Emang lebay banget tuh suami kamu. Tiap hari juga udah ngekepin, masih aja kurang," cibi
Satu minggu ini kelakuan Adinda membuat Sena pusing tujuh keliling. Setiap hari ada saja hal yang menguji kesabaran Sena. Seperti saat ini, di tengah malam seperti ini Adinda ingin pergi melihat air terjun.Adinda menarik-narik baju Sena. Merengek seperti bocah balita. Keinginannya harus segera terpenuhi. Bila tidak, Adinda tidak akan merasa lega. "Ayo, berangkat sekarang, Yang!""Enggak!" tegas Sena. Sudah berulang kali Adinda merengek, berulang kali pula Sena menolak permintaan Adinda. Semua dirasa tidak masuk akal bagi Sena. Mana ada tempat wisata yang sudah buka di jam pocong seperti saat ini. Adinda berbalik, meringkuk dan memunggungi Sena. Wajahnya sangat masam. Di dalam batinnya itu, Adinda sangat kesal dan terus menggerutu. "Hih, dasar nyebelin. Pengen lihat air terjun aja nggak diturutin."Meraih ponsel di atas nakas, Adinda membuka aplikasi berwarna merah. Menonton video air terjun. Netranya tampak berbinar-binar saat melihat video tersebut. Suara gemericik air membuat h
Melihat wajah-wajah ketakutan, Pak Ihsan menahan tawanya agar tidak meledak. 'Mungkin mereka pikir aku ini dukun yang bisa baca pikiran orang kali ya. Apa tampangku begitu? ha ha ha.'"Nah, ini rumahnya Pak Dullah," ujar Pak Ihsan. Sejenak, Sena menghembuskan napas penuh kelegaan. Pak Ihsan benar-benar membawanya ke rumah Pak Dullah. 'Astagfirullah. Maafkan aku, Ya Allah, sudah suudzon.'"Malah bengong, ayo diketuk pintunya!" ucap Pak Ihsan. Belum sempat Sena mengetuk pintu, pintu sudah dibuka lebih dulu. Menampakkan sang pemilik rumah yang sedang mengulum senyum. "Assalamualaikum..." sapa Pak Dullah. "Waalaikumussalam...""Mau cari buah strawberry yang warnanya hijau kan?" tebak Pak Dullah.Lagi dan lagi, Sena dan Arfan saling melempar pandang. Misteri tentang Pak Ihsan yang bisa membaca pikiran mereka saja belum terpecahkan, ini sudah bertambah Pak Dullah. Semakin membuat Sena dan Arfan pusing saja. "Dari mana Bapak tahu?" tanya Sena heran. Pak Dullah tidak menjawab, justru
"Sayang..." panggil Sena. "Kamu kenapa sih?" tanya Sena kesal karena sedari tadi diacuhkan. Takut mulut Sena beraroma bawang goreng, Adinda mendorong dada Sena. Enggan berdekatan dengan suaminya itu. Menutup hidung rapat-rapat. Biarlah menghindar dan menahan napas ketimbang muntah lagi."Kamu kenapa sih, Yang? Aku bau?""Awas ih, minggir!" teriak Adinda kesal. Menghembuskan napas ke udara, Sena mencium aroma dari dalam mulutnya sendiri. Sena rasa aroma napasnya masih segar. Tidak bau makanan atau apa, karena dia belum sempat makan tadi. Kembali duduk, Adinda sudah menjauhkan toples berisi bawang goreng itu dari jangkauannya. "Loh, bawang gorengnya ke mana, Yang?" tanya Sena. "Nggak ada, udah aku simpen.""Di mana?""Udah buruan duduk! Mau makan nggak?""Ya makan lah. Bentar, aku mau cari bawang goreng dulu.""Nggak ada. Awas ya kalau kamu berani makan bawang goreng, bakalan aku usir kamu dari rumah," ancam Adinda. "Yaelah, Yang. Bagi dikit doang. Jangan mentang-mentang kamu suk
Dua minggu berlalu. Adinda, Sena, dan Arfan duduk di depan ruang sidang. Harap-harap cemas tampak di raut wajah Adinda dan Arfan ketika menunggu giliran selanjutnya. Berbeda dengan keduanya, Sena tampak santai dan biasa-biasa saja. "Sayang, kenapa donat tengahnya bolong?""Kalau yang utuh namanya bolu.""Salah. Yang utuh itu cinta aku ke kamu wkwk."Satu pukulan mendarat di lengan Sena. "Ih, dasar jokes Bapak-bapak.""He he... Biar sedikit mencair suasananya loh, Sayang. Habisnya kamu dari tadi tegang mulu sih.""Ya gimana nggak tegang. Mau sidang juga. Emangnya kamu, daritadi santai begitu.""Ya buat apa pusing-pusing sih. Kalau ditanya ya tinggal di jawab. Begitu aja repot.""Heh, enak banget ya itu bibir kalau ngoceh.""Kalian ini... Udah mau sidang masih aja ribut," ucap Arfan kesal. "Ya gimana, Fan. Abisnya si Sena ngeselin.""Halah. Ngeselin begitu juga lo bucin," cibir Arfan. "He he he... Jelas kalau itu mah," ucap Adinda cengangas-cengenges. "Arfan Ardyatama..." panggil pe
Ditemani Sena dan pengacaranya, Adinda memasuki ruang sidang. Segala macam bukti sudah Adinda kumpulkan, termasuk hasil visum bekas luka cambuk. Begitu mendudukkan diri, Adinda merasa tidak karuan. Tatapan nanar tertuju kepada mantan kekasih Sena itu. Memori sewaktu penyekapan terus berputar-putar memenuhi pikiran Adinda. Bayangan pecutan cambuk menggores kulit tangan. Sekelebat, Adinda memejamkan mata. Napasnya jadi tersengal-sengal. Ngilu sekali rasanya bila teringat hari itu. Jemari Adinda berada dalam genggaman tangan Sena. Sejenak, keduanya beradu pandang. Tatapan mata Sena seolah menjadi penenang. Sena selalu meyakinkan Adinda bahwa kebahagiaan sebentar lagi akan mereka raih. Adinda tenang karenanya. Sidang putusan berlangsung. Mantan kekasih Sena itu dijerat pasal 333 KUHP tentang penyekapan dan penculikan. Hukuman berlangsung paling lama sembilan tahun.Menjerit histeris usai persidangan, Ella menangis tersedu-sedu. Memohon pengampunan kepada Adinda dan Sena. Meminta belas
"Tante Dinda... Om Sena..." teriak Andina girang. "Baby Rion..." pekik Andina.Gemas, Adinda hendak mencium pipi gembul baby Arion, tapi ujung sweaternya ditarik dari belakang oleh Wildan."Heh, cuci tangan sama cuci kaki dulu kalau mau dekat-dekat sama Rion," ucap Wildan. Adinda mencebikkan bibirnya. "Iya... Iya..."Setelah membasuh tangan dan kaki, Adinda dan Sena mendekati baby Arion. Menimang dan menciumi pipinya dengan gemas."Sen..." lirih Adinda. "Hmm..." Sena hanya bergumam. Sibuk menimang baby Arion. "Kamu pengen punya yang kayak gini?""Pengen banget. Nanti sampai di rumah kita buat ya," balas Sena tersenyum lebar. Tentu saja Sena sudah menginginkan memiliki baby sendiri. Sena merasa bahwa sekarang dirinya sudah siap dan mampu menjadi seorang ayah. Namun, Adinda masih dilanda kebimbangan. Disatu sisi Adinda juga menginginkan hadirnya buah hati, tapi disisi lain Adinda ingin menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu baru memikirkan soal momongan. "Tapi gimana sama perjanj
Menyakiti diri sendiri sebagai bentuk pelampiasan emosi. Beberapa helai rambut rontok akibat kuatnya tarikan dari sang pemilik tubuh itu sendiri. Menjerit histeris layaknya orang kesurupan. Masih tidak bisa menerima bahwa dirinya bersalah dan harus merasakan buah dari akibat perbuatannya. "Arghhh..." teriaknya. "Diam! Berisik!" sentak wanita bertato. "Sumpal saja mulutnya dengan kaos kaki," ujar wanita kurus di sebelahnya mengompori. Wanita bertato mendekat, memandang tajam tahanan baru. Menelisik wajah cantik yang dipenuhi air mata. Merasa ngeri karena ditatap sedari tadi, Ella memalingkan wajahnya. Menghindari adu tatap lebih baik ketimbang cari perkara. "Heh, ada kasus apa sampai kau bisa masuk ke sini?" tanya wanita berambut keriting. Mengatupkan kedua bibir rapat-rapat, Ella enggan membuka suara. Membuat wanita bertato geram karena temannya diacuhkan. "Heh, jawab!" sentak wanita bertato."Penculikan.""Menculik siapa?" kepo wanita berambut keriting. "Istri mantan pacarku
Mendengar suara gaduh, Ella tergopoh menghampiri. Dilihatnya Sena yang sedang dihajar orang bayarannya."Hentikan!" teriak Ella. "Bos?""Mundur semuanya!" perintah Ella. "Sen, lo gapapa?" tanya Ella penuh perhatian.Sena menggeleng lemah. Memegang perutnya yang terasa nyeri akibat kena pukulan. "Ayo, bangun!"Meraih lengan Sena, Ella hendak membantu mantan kekasihnya itu berdiri. Sena menepisnya. Sena bisa berdiri sendiri tanpa bantuan dari Ella. Bukannya songong karena tidak mau dibantu, tapi mengingat Ella kerap kali mencelakai Adinda membuat Sena geram padanya."Lepasin, La. Gue bisa berdiri sendiri.""Tapi, Sen. Perut lo tadi kena pukulan.""Gapapa. Gue udah biasa dipukul kok," balas Sena ketus. Memandang tajam ketujuh orang bayarannya, Ella mengamuk seketika. "Dasar bodoh. Kenapa kalian menghajar Sena, hah?" maki Ella. Menundukkan kepala, para orang bayaran itu tidak berani berkutik. "Ma-maaf, Bos. Kami gak tahu.""Dasar tolol! Gue kan udah bilang jangan sakiti Sena."Sena m