Sena menemui Abimanyu di ruangan CEO. Sena mengetuk pintu. Meskipun itu ruangan papanya sendiri, tapi di sini ia bekerja sebagai bawahan. Ia harus menujukkan sopan santun seorang bawahan terhadap atasannya. "Pagi, Pa" sapa Sena setelah diperbolehkan masuk oleh Abimanyu. "Duduk, Sen!" perintah Abimanyu, menunjuk kursi di depannya. "Papa senang kamu mau bekerja di perusahaan ini. Nantinya perusahaan ini juga akan menjadi milikmu. Namun, Papa mau kamu bekerja sebagai staf biasa terlebih dahulu agar tahu alurnya" jelas Abimanyu."Sena mengerti, Pa. Sena maunya juga begitu. Bekerja dari bawah terlebih dahulu agar nantinya Papa bisa menilai bagaimana kinerja Sena.""Bagus jika kamu sependapat dengan Papa. Oh iya, bagaimana kabar Adinda?""Baik, Pa. Hari ini dia sedang libur kuliah. Tidak ada jadwal mata kuliah. Hanya nanti sore bekerja di cafe.""Kamu harus bekerja dengan baik, Sen. Apa kamu mau membawa istrimu itu hidup serba pas-pasan terus? Kasihan jika Dinda bekerja terus-terusan di ca
Setelah jam pulang kantor Sena menemui papanya terlebih dahulu."Gimana hari pertama kerja, Sen?" tanya Abimanyu setelah Sena berada di dalam ruangannya. "Aman, Pa. Sena tadi udah ngerjain beberapa dokumen.""Pokonya belajar terus. Kalau kamu ngerasa nggak paham jangan sungkan buat tanya sama teman-temanmu" nasihat Abimanyu. "Iya, Pa. Yaudah, Sena pulang dulu ya, Pa. Mau siap-siap habis ini ke kampus.""Oke."Sena berlalu dari ruangan papanya. Ia berjalan menuju parkiran motor. Sena menarik tuas gas motornya. Mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Ia takut terjebak macet dijam-jam orang pulang bekerja seperti ini. Sena memburu waktu. Ia harus segera sampai rumah untuk mandi dan dilanjut pergi ke kampus. "Baru pulang, Sen?" tanya Wildan saat bertemu Sena di depan rumah. Wildan juga baru saja pulang kerja. Sama seperti Sena. "Iya, nih. Gue duluan ya. Buru-buru mau ke kampus soalnya" ucap Sena sembari membuka pintu gerbang. "Loh, bukannya baru pulang?" tanya Wildan tak mengerti.
Diangkatnya tubuh yang terbaring tak berdaya ke atas pangkuan. Adinda mendekap tubuh pria yang dia cintai erat-erat. Luruh sudah air mata yang sedari tadi dia tahan, bahkan air mata itu menetesi wajah Sena. "Sena, bangun!" Adinda terus mengoncangkan tubuh Sena. Berharap pria itu bangun seketika. Adinda terus berteriak meski tak ada satu orangpun yang melintasi jalanan ini. "Siapapun tolong kami. Tolong... Tolong!" Suara Adinda bahkan sudah parau karena terus-terusan berteriak, ditambah dengan menangisi Sena. "Please, Sen. Jangan mati dulu! Aku belum siap jadi janda." Adinda terus saja mengoceh sendiri, sudah seperti orang gila. Sena yang sudah tidak tahan untuk tertawa karena mendengar ocehan Adinda, membuka mata. Sedetik kemudian pria itu tertawa lepas. Menertawakan ucapan Adinda barusan. "Tenang aja, gue belum mati kok" celetuk Sena diselingi dengan tawa yang keluar dari mulutnya. Adinda memukul dada Sena. Ia sangat kesal dengan pria itu. Mengapa tidak? Jantungnya hampir saja m
Memar di kepala Sena sudah cukup memudar, tapi goresan-goresan luka di tubuh pria itu masih terlukis secara sempurna.Jalannya tertatih, menahan rasa perih akibat luka di tulang kering. Adinda meringis sendiri melihatnya. Tak tega dia melihat Sena. Pria yang biasanya terlihat garang dan pecicilan kini lemah tak berdaya. "Sen, hari ini libur kerja dulu ya! Nanti biar Dinda yang izinin ke Papa Abimanyu kalau kamu lagi sakit.""Enggak ah" tolak Sena. Merasa dirinya masih sanggup untuk bekerja. Lagipula hanya luka ringan. Setidaknya itu yang Sena rasa. "Kamu lagi sakit, Sen. Jangan ngeyel ah."Sena masih ngeyel. Ia harus tetap bekerja karena merasa sungkan dengan papanya jika baru pertama kali bekerja sudah meminta izin. "Udah, gpp. Di kantor kerjanya juga sambil duduk, jadi nggak capek lah."Adinda pasrah, mengiyakan. Dia tahu suaminya itu keras kepala. "Yaudah nanti aku antar ke kantor ya?""Nggak usah. Pakai taksi online aja" tolak Sena. Dia tahu Adinda akan pergi ke kampus pagi-pagi
Kisah baru telah dimulai. Hati yang sempat patah, kembali lagi. Meski tak utuh seperti semula. Telah dia kubur lara itu sendirian. Biarlah, semua sudah terjadi. Menangisi hal yang sudah berlalu pun serasa percuma. Termasuk halnya cinta. Andina sudah memulai hidupnya yang baru. Dia tak mau terlalu mengandalkan Wildan. Dia sadar, suaminya sekarang bukan hanya miliknya seorang, tapi juga milik wanita lain. Hari ini Andina mulai berjualan baju secara online. Dibantu dengan adiknya. Disela-sela waktu luang, Adinda secara suka rela membantu kakaknya. "Baju model terbaru nih bos! Kualitas bagus pol, jangan diragukan lagi. Pengemasan juga oke. Siapa yang nyangka harganya bakalan semurah ini. Nggak sampai dua ratus ribu loh. Pokonya kalian wajib beli sekarang! Nggak mau tahu. Stok tinggal sedikit. Harus gercep!" Adinda berbicara sendiri. Dia sedang melakukan siaran langsung di salah satu aplikasi. Mempromosikan dagangan Andina menggunakan akun miliknya. "Oke. Beberapa nama pembeli udah gu
"Din, sini!" Sena melambaikan tangan, memanggil Andina dari kejauhan.Langkah kaki wanita itu menapaki halaman rumah adik iparnya. "Kenapa, Sen?" tanya Andina. "Pas banget lo di depan rumah tadi. Ini, Dinda tadi buat kue bolu. Lo cobain ya!" Sena menyodorkan sepiring kue bolu rasa coklat. "Wah, kayaknya enak nih. Gue makan di sini aja ya?" Andina mendudukkan diri di kursi teras. Mulutnya sudah mengunyah kue bolu buatan adiknya. Rasanya sungguh enak, manis, dan empuk. Sena geleng-geleng kepala melihat kelakuan kakak iparnya yang sedang memakan bolu, mirip sekali seperti anak kecil. "Masuk aja!" ajak Sena. Andina mengangguk. Dia berjalan di belakang Sena. Mengekori langkah kaki pria itu. "Gue tinggal ke dalam ya. Mau ke dapur dulu.""Oke." Andina memilih duduk di sofa ruang tengah. Dia melanjutkan menikmati kue bolu buatan Adinda sembari menonton televisi. Mulutnya terus mengunyah, hingga tak terasa wanita itu merasakan haus akibat kebanyakan makan bolu. "Duh, haus." Andina merab
Hari ini cafe tempat Adinda bekerja sengaja ditutup, tapi para pegawainya tidak diliburkan. Gandhi sengaja menutup cafe karena dia akan merayakan ulang tahun anaknya yang pertama di sini. Kanaya namanya. Gadis cantik yang baru saja bisa berjalan itu mendekati seorang wanita, hendak menggapai tangan Adinda yang berada tepat di sampingnya.Merasa ada yang mencolek jemarinya, Adinda menoleh ke bawah. Ternyata gadis cilik itu yang memanggil dirinya. "Ada apa, Kanaya?" Adinda jongkok. Memposisikan dirinya agar sejajar dengan Kanaya. "A... Aaa..." Kanaya memang belum lancar berbicara, dia hanya menunjuk apa yang diinginkan. "Oh, kue. Kanaya mau kue?" tanya Adinda lembut. Gadis itu mengangguk. Matanya berbinar saat melihat kue ulang tahunnya dipindahkan ke meja depan. "Sabar ya, Kanaya. Nanti kuenya dipotong dulu. Sekarang Kanaya duduk di bangku itu ya!" tunjuk Adinda. Lagi-lagi gadis itu mengangguk patuh. Adinda menuntun Kanaya, lalu mendudukkannya di bangku yang telah disediakan. G
Rasa kesal yang masih menjalar di hatinya dia bawa sampai ke rumah. Enak saja dituduh pelakor. Memangnya siapa juga yang mau dengan pria itu? Bahkan yang ada di rumah jauh lebih menarik ketimbang pria itu. Brak!!! Pintu ditutup dengan keras. Menimbulkan bunyi 'bam'. Sena memicingkan mata. Dia sampai tersentak melihat kelakuan istrinya. Sena hanya membatin dan mengucapkan istighfar 'Astagfirullah.'Boro-boro tersenyum. Salam saja tidak Adinda ucapkan. Entahlah, setan seperti apa yang sedang membersamainya saat ini. "Hei... Hei... Jangan diterbangin piringnya" teriak Sena dari kejauhan saat melihat Adinda mengambil piring di dapur. Dia berlari dan mengambil piring yang Adinda pegang. "Siapa juga yang mau nerbangin piring. Memangnya aku sedang bermain akrobat, hah?" Adinda ikut berteriak. "Bisa-bisanya istrinya mau makan malah dibilang mau terbangin piring." Adinda rebut piring itu dari tangan Sena. Sena usap dadanya. Rasanya sungguh lega. Dia pikir istrinya ini akan membanting pir
Suasana penuh kebahagiaan menyertai kediaman keluarga Wijaya. Hari ini ketiga keluarga besar itu berkumpul menjadi satu untuk merayakan kehamilan Adinda.Sena mulai kesal karena dari tadi tidak diperbolehkan berdampingan dengan Adinda. Sedari tadi Opa Gunandar tidak mau jauh dari Adinda. Istri Sena itu hari ini dikuasai oleh Opa Gunandar. Opa Gunandar hanya terlampau bahagia karena sebentar lagi akan mempunyai cicit yang sudah lama didambakannya. "Perutnya Dinda jangan diusap terus dong, Opa. Lama-lama bisa mengikis entar," protes Sena. "Brisik! Ganggu orang lagi bahagia aja," kesal Opa Gunandar. "Ma, geseran dong! Sena pengen duduk sebelah Dinda," ucapnya pada Indah. "Nggak mau. Mama kan juga pengen dekat sama Dinda," tolak Indah. Sena mencebikkan bibirnya. Mama dan Opa-nya sama saja, paling hobi membuat Sena jengkel. Adinda terkekeh. "Sayang, ih... begitu aja masa ngambek," ledek Adinda. "Emang lebay banget tuh suami kamu. Tiap hari juga udah ngekepin, masih aja kurang," cibi
Satu minggu ini kelakuan Adinda membuat Sena pusing tujuh keliling. Setiap hari ada saja hal yang menguji kesabaran Sena. Seperti saat ini, di tengah malam seperti ini Adinda ingin pergi melihat air terjun.Adinda menarik-narik baju Sena. Merengek seperti bocah balita. Keinginannya harus segera terpenuhi. Bila tidak, Adinda tidak akan merasa lega. "Ayo, berangkat sekarang, Yang!""Enggak!" tegas Sena. Sudah berulang kali Adinda merengek, berulang kali pula Sena menolak permintaan Adinda. Semua dirasa tidak masuk akal bagi Sena. Mana ada tempat wisata yang sudah buka di jam pocong seperti saat ini. Adinda berbalik, meringkuk dan memunggungi Sena. Wajahnya sangat masam. Di dalam batinnya itu, Adinda sangat kesal dan terus menggerutu. "Hih, dasar nyebelin. Pengen lihat air terjun aja nggak diturutin."Meraih ponsel di atas nakas, Adinda membuka aplikasi berwarna merah. Menonton video air terjun. Netranya tampak berbinar-binar saat melihat video tersebut. Suara gemericik air membuat h
Melihat wajah-wajah ketakutan, Pak Ihsan menahan tawanya agar tidak meledak. 'Mungkin mereka pikir aku ini dukun yang bisa baca pikiran orang kali ya. Apa tampangku begitu? ha ha ha.'"Nah, ini rumahnya Pak Dullah," ujar Pak Ihsan. Sejenak, Sena menghembuskan napas penuh kelegaan. Pak Ihsan benar-benar membawanya ke rumah Pak Dullah. 'Astagfirullah. Maafkan aku, Ya Allah, sudah suudzon.'"Malah bengong, ayo diketuk pintunya!" ucap Pak Ihsan. Belum sempat Sena mengetuk pintu, pintu sudah dibuka lebih dulu. Menampakkan sang pemilik rumah yang sedang mengulum senyum. "Assalamualaikum..." sapa Pak Dullah. "Waalaikumussalam...""Mau cari buah strawberry yang warnanya hijau kan?" tebak Pak Dullah.Lagi dan lagi, Sena dan Arfan saling melempar pandang. Misteri tentang Pak Ihsan yang bisa membaca pikiran mereka saja belum terpecahkan, ini sudah bertambah Pak Dullah. Semakin membuat Sena dan Arfan pusing saja. "Dari mana Bapak tahu?" tanya Sena heran. Pak Dullah tidak menjawab, justru
"Sayang..." panggil Sena. "Kamu kenapa sih?" tanya Sena kesal karena sedari tadi diacuhkan. Takut mulut Sena beraroma bawang goreng, Adinda mendorong dada Sena. Enggan berdekatan dengan suaminya itu. Menutup hidung rapat-rapat. Biarlah menghindar dan menahan napas ketimbang muntah lagi."Kamu kenapa sih, Yang? Aku bau?""Awas ih, minggir!" teriak Adinda kesal. Menghembuskan napas ke udara, Sena mencium aroma dari dalam mulutnya sendiri. Sena rasa aroma napasnya masih segar. Tidak bau makanan atau apa, karena dia belum sempat makan tadi. Kembali duduk, Adinda sudah menjauhkan toples berisi bawang goreng itu dari jangkauannya. "Loh, bawang gorengnya ke mana, Yang?" tanya Sena. "Nggak ada, udah aku simpen.""Di mana?""Udah buruan duduk! Mau makan nggak?""Ya makan lah. Bentar, aku mau cari bawang goreng dulu.""Nggak ada. Awas ya kalau kamu berani makan bawang goreng, bakalan aku usir kamu dari rumah," ancam Adinda. "Yaelah, Yang. Bagi dikit doang. Jangan mentang-mentang kamu suk
Dua minggu berlalu. Adinda, Sena, dan Arfan duduk di depan ruang sidang. Harap-harap cemas tampak di raut wajah Adinda dan Arfan ketika menunggu giliran selanjutnya. Berbeda dengan keduanya, Sena tampak santai dan biasa-biasa saja. "Sayang, kenapa donat tengahnya bolong?""Kalau yang utuh namanya bolu.""Salah. Yang utuh itu cinta aku ke kamu wkwk."Satu pukulan mendarat di lengan Sena. "Ih, dasar jokes Bapak-bapak.""He he... Biar sedikit mencair suasananya loh, Sayang. Habisnya kamu dari tadi tegang mulu sih.""Ya gimana nggak tegang. Mau sidang juga. Emangnya kamu, daritadi santai begitu.""Ya buat apa pusing-pusing sih. Kalau ditanya ya tinggal di jawab. Begitu aja repot.""Heh, enak banget ya itu bibir kalau ngoceh.""Kalian ini... Udah mau sidang masih aja ribut," ucap Arfan kesal. "Ya gimana, Fan. Abisnya si Sena ngeselin.""Halah. Ngeselin begitu juga lo bucin," cibir Arfan. "He he he... Jelas kalau itu mah," ucap Adinda cengangas-cengenges. "Arfan Ardyatama..." panggil pe
Ditemani Sena dan pengacaranya, Adinda memasuki ruang sidang. Segala macam bukti sudah Adinda kumpulkan, termasuk hasil visum bekas luka cambuk. Begitu mendudukkan diri, Adinda merasa tidak karuan. Tatapan nanar tertuju kepada mantan kekasih Sena itu. Memori sewaktu penyekapan terus berputar-putar memenuhi pikiran Adinda. Bayangan pecutan cambuk menggores kulit tangan. Sekelebat, Adinda memejamkan mata. Napasnya jadi tersengal-sengal. Ngilu sekali rasanya bila teringat hari itu. Jemari Adinda berada dalam genggaman tangan Sena. Sejenak, keduanya beradu pandang. Tatapan mata Sena seolah menjadi penenang. Sena selalu meyakinkan Adinda bahwa kebahagiaan sebentar lagi akan mereka raih. Adinda tenang karenanya. Sidang putusan berlangsung. Mantan kekasih Sena itu dijerat pasal 333 KUHP tentang penyekapan dan penculikan. Hukuman berlangsung paling lama sembilan tahun.Menjerit histeris usai persidangan, Ella menangis tersedu-sedu. Memohon pengampunan kepada Adinda dan Sena. Meminta belas
"Tante Dinda... Om Sena..." teriak Andina girang. "Baby Rion..." pekik Andina.Gemas, Adinda hendak mencium pipi gembul baby Arion, tapi ujung sweaternya ditarik dari belakang oleh Wildan."Heh, cuci tangan sama cuci kaki dulu kalau mau dekat-dekat sama Rion," ucap Wildan. Adinda mencebikkan bibirnya. "Iya... Iya..."Setelah membasuh tangan dan kaki, Adinda dan Sena mendekati baby Arion. Menimang dan menciumi pipinya dengan gemas."Sen..." lirih Adinda. "Hmm..." Sena hanya bergumam. Sibuk menimang baby Arion. "Kamu pengen punya yang kayak gini?""Pengen banget. Nanti sampai di rumah kita buat ya," balas Sena tersenyum lebar. Tentu saja Sena sudah menginginkan memiliki baby sendiri. Sena merasa bahwa sekarang dirinya sudah siap dan mampu menjadi seorang ayah. Namun, Adinda masih dilanda kebimbangan. Disatu sisi Adinda juga menginginkan hadirnya buah hati, tapi disisi lain Adinda ingin menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu baru memikirkan soal momongan. "Tapi gimana sama perjanj
Menyakiti diri sendiri sebagai bentuk pelampiasan emosi. Beberapa helai rambut rontok akibat kuatnya tarikan dari sang pemilik tubuh itu sendiri. Menjerit histeris layaknya orang kesurupan. Masih tidak bisa menerima bahwa dirinya bersalah dan harus merasakan buah dari akibat perbuatannya. "Arghhh..." teriaknya. "Diam! Berisik!" sentak wanita bertato. "Sumpal saja mulutnya dengan kaos kaki," ujar wanita kurus di sebelahnya mengompori. Wanita bertato mendekat, memandang tajam tahanan baru. Menelisik wajah cantik yang dipenuhi air mata. Merasa ngeri karena ditatap sedari tadi, Ella memalingkan wajahnya. Menghindari adu tatap lebih baik ketimbang cari perkara. "Heh, ada kasus apa sampai kau bisa masuk ke sini?" tanya wanita berambut keriting. Mengatupkan kedua bibir rapat-rapat, Ella enggan membuka suara. Membuat wanita bertato geram karena temannya diacuhkan. "Heh, jawab!" sentak wanita bertato."Penculikan.""Menculik siapa?" kepo wanita berambut keriting. "Istri mantan pacarku
Mendengar suara gaduh, Ella tergopoh menghampiri. Dilihatnya Sena yang sedang dihajar orang bayarannya."Hentikan!" teriak Ella. "Bos?""Mundur semuanya!" perintah Ella. "Sen, lo gapapa?" tanya Ella penuh perhatian.Sena menggeleng lemah. Memegang perutnya yang terasa nyeri akibat kena pukulan. "Ayo, bangun!"Meraih lengan Sena, Ella hendak membantu mantan kekasihnya itu berdiri. Sena menepisnya. Sena bisa berdiri sendiri tanpa bantuan dari Ella. Bukannya songong karena tidak mau dibantu, tapi mengingat Ella kerap kali mencelakai Adinda membuat Sena geram padanya."Lepasin, La. Gue bisa berdiri sendiri.""Tapi, Sen. Perut lo tadi kena pukulan.""Gapapa. Gue udah biasa dipukul kok," balas Sena ketus. Memandang tajam ketujuh orang bayarannya, Ella mengamuk seketika. "Dasar bodoh. Kenapa kalian menghajar Sena, hah?" maki Ella. Menundukkan kepala, para orang bayaran itu tidak berani berkutik. "Ma-maaf, Bos. Kami gak tahu.""Dasar tolol! Gue kan udah bilang jangan sakiti Sena."Sena m