"Selamat pagi, Opa... Selamat pagi, Mama Indah..." sapa Ella ceria. "Mau apa kamu ke sini?" tanya Indah sinis. "Ella hanya ingin menjenguk Opa. Boleh kan, Ma?"Setelah menyimpan buah tangan yang dibawanya di atas nakas, Ella mendudukkan diri di kursi samping brankar. "Opa sudah sarapan?" tanya Ella basa-basi. "Sudah," balas Opa Gunandar acuh tak acuh. Melipat kedua tangan di depan dada dan menyilangkan kaki, Indah memilih duduk di sofa ketimbang berdekatan dengan Ella. Melirik sinis kepada wanita itu. Akan selalu Indah awasi pergerakan mantan kekasih Sena itu.Indah sangat yakin ada sesuatu yang direcanakan oleh Ella. Entah apa, Indah sendiri tidak tahu. Mungkin saja ada kaitannya dengan foto yang dia kirimkan pada Opa Gunandar. "Pa, Papa daritadi belum istirahat kan? Sekarang isirahat ya! Indah berjaga di sofa."Sengaja Indah mengusir Ella secara halus. Coba, akan Indah lihat bagaimana sikap wanita itu setelahnya. Ella sendiri merasa bahwa ucapan Mama Sena seakan usiran halus u
Opa Gunandar berada di ruang pesakitan seorang diri. Indah sedang ke kantin membeli makan siang. Sementara bibi tidak lagi berjaga di rumah sakit karena mengurusi rumah. Memandangi langit-langit kamar, pria berambut putih itu tampak merenung. Opa Gunandar pikir dengan menikahkan Sena dan Adinda bisa membuat cucu satu-satunya itu berubah. Namun pada kenyataannya, semua tidak berjalan sesuai dengan kehendaknya. "Astaghfirullah..."Berulang kali mengucap istighfar, Opa Gunandar masih tidak habis pikir bagaimana mungkin Sena melakukan hal di luar batas bersama mantan kekasihnya. Rasanya sulit untuk percaya, tapi bukti tampak nyata. "Opa..."Mencium punggung tangan Opa Gunandar, Ella lalu mendudukkan diri di bangku samping brankar. "Sudah sehat, Opa?" tanya Ella berbasa basi. "Hmm..." balas Opa Gunandar malas. "Opa kenapa lesu begitu? Tidakkah Opa merasa senang? Sebentar lagi Opa dapat cicit loh," celoteh Ella. "Ini, Opa, lihatlah!"Ella menyerahkan amplop berlogo rumah sakit, Opa Gu
Keadaan Opa Gunandar semakin membaik. Dokter sudah memperbolehkan untuk pulang. Terlihat Indah sedang membereskan barang-barang Opa Gunandar."Selamat pagi, Opa. Selamat pagi, Tante Indah," sapa Ella ceria. "Mau apalagi kamu ke sini?" tanya Indah sinis. "Mau menagih janji. Ya kan, Opa?""Siapa yang berjanji, heh?" balas Opa. "Katanya, Opa mau menikahkan Ella dengan cucu kesayanganmu itu?"Indah menimpali, "jangan mimpi kamu!""Siapa yang bermimpi sih, Tante? Ella kan sedang tidak tidur.""Oh, ya. Asal Tante dan Opa tahu, anak yang Ella kandung ini memang anak Sena. Jadi, cepat atau lambat Ella akan tetap menjadi istri Sena. Ya, kalau Sena tidak mau bertanggung jawab tinggal dituntut saja. Gampang kan?"Menautkan sebelah alis ke atas, Indah melirik sinis. "Oh ya? Bukan anak dari pria lain?""Apa maksud Tante? Jangan asal bicara ya, Tante. Ella hanya berhubungan dengan Sena saja."Mengambil foto di atas nakas, Indah melemparkan foto tersebut ke arah Ella. "Lalu ini apa, hah?" sentak
"Arghhh..." teriak Ella. Prang! Segala macam kosmetik, parfum, dan benda lainnya di meja rias tumpah, berserakan di atas lantai. "Non, kenapa lagi?"Mendekati Ella, Bibi merengkuh tubuh majikannya itu. Mengusap punggung Ella dan memberikan ketenangan."Tenang ya, Non. Ada Bibi di sini. Sebenarnya ada apa?""Kenapa semua orang kejam sama Ella sih, Bi? Kenapa, hah?""Siapa yang kejam, Non?""Keluarga Sena, Bi. Mereka semua sekarang benci sama Ella. Padahal Ella udah minta maaf perkara kesalahan di masa lalu, tapi kenapa mereka nggak mau maafin Ella sih, Bi?""Ella mau disayang kayak dulu lagi. Ella mau kembali lagi sama Sena, Bi. Ella cintanya sama Sena.""Dan sekarang, gara-gara anak sialan ini Ella jadi lebih sulit buat kembali sama Sena."Berulang kali Ella memukuli perutnya. Berharap janin yang ada di dalam rahim luruh seketika. "Arghhh..."Menangis sudah Bibi. Tidak tahan wanita paruh baya itu melihat majikannya frustasi."Astagfirullah... Istighfar, Non. Nyebut. Kalau memang be
Hampir setiap hari Ella meneror Wildan. Mengirimi pesan berupa ancaman. Tidak hanya itu, Ella bahkan nekat mengirim orang untuk menghajar Wildan. Ancaman itu akan terus dilakukan sampai Wildan mau bertanggung jawab. Kepala Wildan hampir meledak rasanya. Sudah kepalang tanggung ini, daripada diteror terus menerus lebih baik mengikuti kemauan Ella saja. Biarlah perkara Andina dan keluarga besarnya akan dihadapi dikemudian hari. Sore ini, pernikahan kedua Wildan digelar. Tidak ada kedua orangtua maupun kerabat Wildan yang hadir. Hanya kedua orangtua Ella dan kerabat terdekat saja. Apalagi alasannya kalau bukan karena pernikahan ini sengaja disembunyikan."Kenapa serba dadakan sih, La? Kami kan juga belum mengenal calon suami kamu. Semuanya kan harus dipertimbangkan bibit, bebet, dan bobotnya. Tidak bisa tiba-tiba langsung menikah begini," gerutu Mama Ella. "Sebenarnya ada apa? Katakan!" ucap Papa Ella. "Tidak ada apa-apa, Pa, Ma. Ella sengaja kasih tahu dadakan karena Ella tahu kalian
Kebimbangan tengah dirasa Sena. Sampai saat ini, Sena masih bungkam dan menyimpan rapat-rapat kejadian pada waktu subuh kala itu. Tentu saja Sena tidak ingin Adinda banyak pikiran karena memikirkan nasib Andina. Tapi bila dipikir ulang, Sena tentu tidak tega mendapati kelakuan Wildan yang mungkin saja memang berkhianat di belakang Andina. Memikirkan perasaan Andina yang hancur karenanya, Sena semakin merasa bersalah karena menutupi tabiat Wildan. Malam ini, Sena putuskan untuk berbicara dengan Adinda. Siapa tahu keduanya dapat menemukan solusi terbaik untuk membantu Andina mengatasi masalah ini. Ceklek! "Sen..." sapa Adinda. Adinda baru saja pulang dari bekerja. Meletakkan jaket dan tas di gantungan, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Kini, Adinda tampak segar sesudah mandi. Istri Sena itu juga terlihat menggemaskan sebab mengenakan piyama bermotif boneka. Menutup laptop dan mengesampingkan tugas kuliah yang membuatnya mumet, Sena melangkahkan kaki mendekati Adinda. Merebut sisir
"Sayang, ikut aku ke area balap yuk!" ajak Sena. "Kamu tanding?" tanya Adinda. "Enggak sih, cuma lihat aja.""Boleh deh."Meraih sebuah helm, Sena memakaikannya di kepala Adinda. Klik! Terpasang sudah helm di kepala Adinda. Siapa lagi yang memakaikannya kalau bukan Sena. Dengan jahilnya, Sena menggetok kepala Adinda, menimbulkan bunyi 'tok' di sana. Adinda mencebikkan bibirnya. "Ih, kok digetok?""Gemesin soalnya.""Ih, nyebelin," gerutu Adinda. "Udah, nggak usah monyong-monyong begitu. Entar aku sosor baru tahu rasa.""Aku balas, week." Adinda menjulurkan lidahnya.Meraih pinggang Adinda, Sena mencubit hidung lancip itu. "Dasar nakal."Setengah jam sudah mereka di dalam perjalanan. Akhirnya, mereka berdua tiba di area balap. Jemari Sena tidak terlepas dari Adinda sedetik pun. Banyak mata melirik sinis pada Adinda. Masa bodoh dengan itu semua, Adinda yakin mereka hanya iri saja. Pastilah banyak wanita yang menginginkan berada di posisinya saat ini bersama dengan Sena. Netra Adi
Rasa gelisah menyelinap relung hati Sena. Bagaimana tidak, wanitanya saat ini tengah berada di UGD dalam keadaan tidak sadarkan diri. Bersandar di tembok rumah sakit, menunduk dan terus merapal doa. Hanya itu yang bisa Sena lakukan saat ini. Merayu Sang Pencipta agar bermurah hati memberikan kesembuhan serta keselamatan untuk Adinda. "Sena..."Menoleh ke sumber suara, Sena menubrukkan diri mendekap mamanya. Membagi rasa gelisah yang tengah dirasakan. Tumpah sudah air mata yang sedari tadi dibendung. Lemah, cengeng, rapuh. Ya, tampak kacau bukan keadaan Sena? "Sudah, Sayang. Jangan menangis! Dinda pasti baik-baik saja. Kita berdoa sama-sama ya," ucap Indah. "Duduklah, Sen! Kita tunggu kabar dari Dokter," ucap Abimanyu. Tidak lama setelahnya pintu ruang pemulihan terbuka. Belum sempat dokter menyampaikan keadaan Adinda, Sena sudah lebih dulu memberondongi dengan berbagai pertanyaan. "Dok, bagaimana keadaan istri saya?""Istri saya tidak apa-apa kan, Dok? Hanya pingsan saja kan?""T
Suasana penuh kebahagiaan menyertai kediaman keluarga Wijaya. Hari ini ketiga keluarga besar itu berkumpul menjadi satu untuk merayakan kehamilan Adinda.Sena mulai kesal karena dari tadi tidak diperbolehkan berdampingan dengan Adinda. Sedari tadi Opa Gunandar tidak mau jauh dari Adinda. Istri Sena itu hari ini dikuasai oleh Opa Gunandar. Opa Gunandar hanya terlampau bahagia karena sebentar lagi akan mempunyai cicit yang sudah lama didambakannya. "Perutnya Dinda jangan diusap terus dong, Opa. Lama-lama bisa mengikis entar," protes Sena. "Brisik! Ganggu orang lagi bahagia aja," kesal Opa Gunandar. "Ma, geseran dong! Sena pengen duduk sebelah Dinda," ucapnya pada Indah. "Nggak mau. Mama kan juga pengen dekat sama Dinda," tolak Indah. Sena mencebikkan bibirnya. Mama dan Opa-nya sama saja, paling hobi membuat Sena jengkel. Adinda terkekeh. "Sayang, ih... begitu aja masa ngambek," ledek Adinda. "Emang lebay banget tuh suami kamu. Tiap hari juga udah ngekepin, masih aja kurang," cibi
Satu minggu ini kelakuan Adinda membuat Sena pusing tujuh keliling. Setiap hari ada saja hal yang menguji kesabaran Sena. Seperti saat ini, di tengah malam seperti ini Adinda ingin pergi melihat air terjun.Adinda menarik-narik baju Sena. Merengek seperti bocah balita. Keinginannya harus segera terpenuhi. Bila tidak, Adinda tidak akan merasa lega. "Ayo, berangkat sekarang, Yang!""Enggak!" tegas Sena. Sudah berulang kali Adinda merengek, berulang kali pula Sena menolak permintaan Adinda. Semua dirasa tidak masuk akal bagi Sena. Mana ada tempat wisata yang sudah buka di jam pocong seperti saat ini. Adinda berbalik, meringkuk dan memunggungi Sena. Wajahnya sangat masam. Di dalam batinnya itu, Adinda sangat kesal dan terus menggerutu. "Hih, dasar nyebelin. Pengen lihat air terjun aja nggak diturutin."Meraih ponsel di atas nakas, Adinda membuka aplikasi berwarna merah. Menonton video air terjun. Netranya tampak berbinar-binar saat melihat video tersebut. Suara gemericik air membuat h
Melihat wajah-wajah ketakutan, Pak Ihsan menahan tawanya agar tidak meledak. 'Mungkin mereka pikir aku ini dukun yang bisa baca pikiran orang kali ya. Apa tampangku begitu? ha ha ha.'"Nah, ini rumahnya Pak Dullah," ujar Pak Ihsan. Sejenak, Sena menghembuskan napas penuh kelegaan. Pak Ihsan benar-benar membawanya ke rumah Pak Dullah. 'Astagfirullah. Maafkan aku, Ya Allah, sudah suudzon.'"Malah bengong, ayo diketuk pintunya!" ucap Pak Ihsan. Belum sempat Sena mengetuk pintu, pintu sudah dibuka lebih dulu. Menampakkan sang pemilik rumah yang sedang mengulum senyum. "Assalamualaikum..." sapa Pak Dullah. "Waalaikumussalam...""Mau cari buah strawberry yang warnanya hijau kan?" tebak Pak Dullah.Lagi dan lagi, Sena dan Arfan saling melempar pandang. Misteri tentang Pak Ihsan yang bisa membaca pikiran mereka saja belum terpecahkan, ini sudah bertambah Pak Dullah. Semakin membuat Sena dan Arfan pusing saja. "Dari mana Bapak tahu?" tanya Sena heran. Pak Dullah tidak menjawab, justru
"Sayang..." panggil Sena. "Kamu kenapa sih?" tanya Sena kesal karena sedari tadi diacuhkan. Takut mulut Sena beraroma bawang goreng, Adinda mendorong dada Sena. Enggan berdekatan dengan suaminya itu. Menutup hidung rapat-rapat. Biarlah menghindar dan menahan napas ketimbang muntah lagi."Kamu kenapa sih, Yang? Aku bau?""Awas ih, minggir!" teriak Adinda kesal. Menghembuskan napas ke udara, Sena mencium aroma dari dalam mulutnya sendiri. Sena rasa aroma napasnya masih segar. Tidak bau makanan atau apa, karena dia belum sempat makan tadi. Kembali duduk, Adinda sudah menjauhkan toples berisi bawang goreng itu dari jangkauannya. "Loh, bawang gorengnya ke mana, Yang?" tanya Sena. "Nggak ada, udah aku simpen.""Di mana?""Udah buruan duduk! Mau makan nggak?""Ya makan lah. Bentar, aku mau cari bawang goreng dulu.""Nggak ada. Awas ya kalau kamu berani makan bawang goreng, bakalan aku usir kamu dari rumah," ancam Adinda. "Yaelah, Yang. Bagi dikit doang. Jangan mentang-mentang kamu suk
Dua minggu berlalu. Adinda, Sena, dan Arfan duduk di depan ruang sidang. Harap-harap cemas tampak di raut wajah Adinda dan Arfan ketika menunggu giliran selanjutnya. Berbeda dengan keduanya, Sena tampak santai dan biasa-biasa saja. "Sayang, kenapa donat tengahnya bolong?""Kalau yang utuh namanya bolu.""Salah. Yang utuh itu cinta aku ke kamu wkwk."Satu pukulan mendarat di lengan Sena. "Ih, dasar jokes Bapak-bapak.""He he... Biar sedikit mencair suasananya loh, Sayang. Habisnya kamu dari tadi tegang mulu sih.""Ya gimana nggak tegang. Mau sidang juga. Emangnya kamu, daritadi santai begitu.""Ya buat apa pusing-pusing sih. Kalau ditanya ya tinggal di jawab. Begitu aja repot.""Heh, enak banget ya itu bibir kalau ngoceh.""Kalian ini... Udah mau sidang masih aja ribut," ucap Arfan kesal. "Ya gimana, Fan. Abisnya si Sena ngeselin.""Halah. Ngeselin begitu juga lo bucin," cibir Arfan. "He he he... Jelas kalau itu mah," ucap Adinda cengangas-cengenges. "Arfan Ardyatama..." panggil pe
Ditemani Sena dan pengacaranya, Adinda memasuki ruang sidang. Segala macam bukti sudah Adinda kumpulkan, termasuk hasil visum bekas luka cambuk. Begitu mendudukkan diri, Adinda merasa tidak karuan. Tatapan nanar tertuju kepada mantan kekasih Sena itu. Memori sewaktu penyekapan terus berputar-putar memenuhi pikiran Adinda. Bayangan pecutan cambuk menggores kulit tangan. Sekelebat, Adinda memejamkan mata. Napasnya jadi tersengal-sengal. Ngilu sekali rasanya bila teringat hari itu. Jemari Adinda berada dalam genggaman tangan Sena. Sejenak, keduanya beradu pandang. Tatapan mata Sena seolah menjadi penenang. Sena selalu meyakinkan Adinda bahwa kebahagiaan sebentar lagi akan mereka raih. Adinda tenang karenanya. Sidang putusan berlangsung. Mantan kekasih Sena itu dijerat pasal 333 KUHP tentang penyekapan dan penculikan. Hukuman berlangsung paling lama sembilan tahun.Menjerit histeris usai persidangan, Ella menangis tersedu-sedu. Memohon pengampunan kepada Adinda dan Sena. Meminta belas
"Tante Dinda... Om Sena..." teriak Andina girang. "Baby Rion..." pekik Andina.Gemas, Adinda hendak mencium pipi gembul baby Arion, tapi ujung sweaternya ditarik dari belakang oleh Wildan."Heh, cuci tangan sama cuci kaki dulu kalau mau dekat-dekat sama Rion," ucap Wildan. Adinda mencebikkan bibirnya. "Iya... Iya..."Setelah membasuh tangan dan kaki, Adinda dan Sena mendekati baby Arion. Menimang dan menciumi pipinya dengan gemas."Sen..." lirih Adinda. "Hmm..." Sena hanya bergumam. Sibuk menimang baby Arion. "Kamu pengen punya yang kayak gini?""Pengen banget. Nanti sampai di rumah kita buat ya," balas Sena tersenyum lebar. Tentu saja Sena sudah menginginkan memiliki baby sendiri. Sena merasa bahwa sekarang dirinya sudah siap dan mampu menjadi seorang ayah. Namun, Adinda masih dilanda kebimbangan. Disatu sisi Adinda juga menginginkan hadirnya buah hati, tapi disisi lain Adinda ingin menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu baru memikirkan soal momongan. "Tapi gimana sama perjanj
Menyakiti diri sendiri sebagai bentuk pelampiasan emosi. Beberapa helai rambut rontok akibat kuatnya tarikan dari sang pemilik tubuh itu sendiri. Menjerit histeris layaknya orang kesurupan. Masih tidak bisa menerima bahwa dirinya bersalah dan harus merasakan buah dari akibat perbuatannya. "Arghhh..." teriaknya. "Diam! Berisik!" sentak wanita bertato. "Sumpal saja mulutnya dengan kaos kaki," ujar wanita kurus di sebelahnya mengompori. Wanita bertato mendekat, memandang tajam tahanan baru. Menelisik wajah cantik yang dipenuhi air mata. Merasa ngeri karena ditatap sedari tadi, Ella memalingkan wajahnya. Menghindari adu tatap lebih baik ketimbang cari perkara. "Heh, ada kasus apa sampai kau bisa masuk ke sini?" tanya wanita berambut keriting. Mengatupkan kedua bibir rapat-rapat, Ella enggan membuka suara. Membuat wanita bertato geram karena temannya diacuhkan. "Heh, jawab!" sentak wanita bertato."Penculikan.""Menculik siapa?" kepo wanita berambut keriting. "Istri mantan pacarku
Mendengar suara gaduh, Ella tergopoh menghampiri. Dilihatnya Sena yang sedang dihajar orang bayarannya."Hentikan!" teriak Ella. "Bos?""Mundur semuanya!" perintah Ella. "Sen, lo gapapa?" tanya Ella penuh perhatian.Sena menggeleng lemah. Memegang perutnya yang terasa nyeri akibat kena pukulan. "Ayo, bangun!"Meraih lengan Sena, Ella hendak membantu mantan kekasihnya itu berdiri. Sena menepisnya. Sena bisa berdiri sendiri tanpa bantuan dari Ella. Bukannya songong karena tidak mau dibantu, tapi mengingat Ella kerap kali mencelakai Adinda membuat Sena geram padanya."Lepasin, La. Gue bisa berdiri sendiri.""Tapi, Sen. Perut lo tadi kena pukulan.""Gapapa. Gue udah biasa dipukul kok," balas Sena ketus. Memandang tajam ketujuh orang bayarannya, Ella mengamuk seketika. "Dasar bodoh. Kenapa kalian menghajar Sena, hah?" maki Ella. Menundukkan kepala, para orang bayaran itu tidak berani berkutik. "Ma-maaf, Bos. Kami gak tahu.""Dasar tolol! Gue kan udah bilang jangan sakiti Sena."Sena m