"Hallo, Sena...""Ya, Ma?" tanya Sena pada mamanya. "Besok hari Sabtu keluarga Wijaya dan keluarga Gunandar mau liburan ke puncak. Kamu sama Dinda bisa ikut kan?" "Bisa, Ma, tapi kalau tunggu Dinda pulang kerja dulu gimana?""Yaudah gini aja, besok kita berangkat dulu. Kalian nyusul aja ya," usul Indah. "Oke, Ma."Mengulum senyum semringah. Siapa sih yang tidak suka diajak liburan? Jelas Sena mau. Sudah lama juga Sena jarang pergi bersama keluarganya. Menghampiri Adinda, Sena menyampaikan kabar bahagia. Ah, Sena tidak sabar. Adinda pasti juga akan senang bila diajak berlibur dengannya. "Besok sabtu kita ke puncak," bisik Sena tepat di belakang Adinda. "Ih, Sena... Gue pikir siapa.""Gimana, mau kan?""Tumben lo ngajakin gue liburan. Lagi kesambet ya?" selidik Adinda. "Enak aja. Itu, Mama yang ajak.""Oh..." Adinda hanya ber oh ria."Lo bisa kan?" tanya Sena. "Bisa.""Entar gue antar lo ke tempat kerja ya? Pulangnya kita bisa langsung nyusul ke villa.""Hm..."***Udara dingin k
Semenjak menikah dengan Andina, Wildan masih menjalin kasih dengan Renita-kekasihnya. Wildan tidak bisa meninggalkan wanita itu begitu saja hanya karena menikah dengan Andina. Wildan merasa lebih cinta untuk Renita lebih besar daripada untuk Andina. Bagi Renita sendiri, tidak masalah menjalin hubungan dengan suami orang. Ya, cinta terlalu membutakan arah, membuat yang tidak benar dibenar-benarkan. Wildan mencuri-curi kesempatan untuk menghubungi Renita. Cukup lama keduanya saling bersua melalui via telepon, membuat rasa rindunya sedikit terobati. "Sayang, besok kamu ke kosan aku ya. Kangen..." ucap Renita manja. "Aku usahakan ya," jawab Wildan seadanya.Mendengar suara hentakan kaki, Wildan buru-buru mengakhiri sesi obrolan mereka. "Udah dulu ya, Sayang. Dina kayaknya mau ke sini. Bye, Yang.""Sayang... Ishhh. Malah dimatiin," gerutu Renita. "Barusan aku kaya dengar kamu lagi ngomong deh, Wil," ucap Andina.Wildan tersentak. Takut Andina mengetahui hubungannya dengan Renita. Yang
Andina telah diperiksa dokter dan dinyatakan hanya mengalami keram saja. Semua orang yang ada di sana berangsur meninggalkan kamar Andina. Ibu hamil itu harus istirahat agar kondisinya kembali membaik. Sena dan Adinda juga masuk ke dalam kamar mereka. Berdiri di depan almari, Sena mengemasi baju yang semalam telah ditata. Memasukkannya kembali ke dalam tas ransel. "Buruan kemasin bajunya. Gue tunggu lima menit." ucap Sena dingin. Adinda melongo, "hah?""Emangnya kita mau ke mana? Mau pulang sekarang, iya?""Cepetan kemasin bajunya, Dinda! Nggak usah banyak tanya bisa nggak?" ketus Sena. "Iya... Iya..." sunggut Adinda sebal. Liburan yang diharapkan bisa menambah keharmonisan serta mempererat hubungan kekeluargaan justru menimbulkan masalah dan kekacauan. Daripada tetap berada di villa dan menimbulkan masalah baru, lebih baik Sena dan Adinda yang mengalah pergi."Loh... loh... kalian mau ke mana?" tanya Indah. Heran mendapati anak-menantunya membawa ransel. "Semuanya... Sena sama D
Semenjak liburan di Bandung, hubungan Adinda dan Sena kian membaik. Mereka berdua sudah menjalankan rumah tangga yang sesungguhnya. Di kampus pun sudah tidak ada yang perlu ditutup-tutupi lagi. Toh, pernikahan keduanya telah terbongkar. Sena juga mengakui bahwa Adinda istrinya. Biarlah orang mau beranggapan apa tentang keduanya. Yang suka ya silahkan, yang tidak ya silahkan. Adinda dan Sena sendiri tidak bisa memaksa orang-orang untuk selalu menyukai mereka.Pagi ini keduanya berangkat ke kampus bersama. Berboncengan motor, menikmati waktu di jalan dengan canda dan cerita. Ternyata seindah ini rasanya berdamai dan ikhlas menerima takdir. Tahu begitu Sena dan Adinda lakukan sedari awal menikah. Sayang sekali, pagi yang menyenangkan untuk keduanya nampaknya usai sampai di sini. Ya, Sena dan Adinda harus berpisah di Program Studi masing-masing untuk menjalani jam perkuliahan. "Kabarin gue kalau kelas lo udah kelar!" perintah Sena. "Oke." Adinda berlalu menuju kelasnya. Dari balik po
Sebelum berangkat ke kampus, Adinda dan Sena membagi tugas untuk membersihkan rumah. Sena membersihkan lantai bagian atas, sedangkan Adinda membersihkan lantai bagian bawah. "Sena... Ke sini cepetan!" teriak Adinda. Tergopoh menghampiri Adinda, napas Sena tersengal-sengal. Mengatur napasnya sesaat sebelum bersuara. "Ada apa?" tanya Sena. "Lo masukin kucing tetangga ke dalam rumah ya?" tuduh Adinda.Sena mengerutkan dahi. "Hah?""Kamar tamu berantakan banget. Kayaknya diberantakin sama kucing deh."Melangkahkan kaki ke dalam kamar tamu, Sena melihat kondisi kamar yang berantakan seperti kapal pecah. Sena celingukan, berjongkok memeriksa kolong tempat tidur. "Ngapain sih lo?" tanya Adinda heran."Nyari kucing lah. Siapa tahu ada di kolong," jelas Sena. "Iya, coba cari. Takutnya nanti pup di sembarang tempat." Adinda ikut memeriksa kamar mandi di kamar tamu, siapa tahu dapat menemukan kucing tetangganya di sana. "Uek..." Menutup hidungnya dengan jari telunjuk dan jempol, Sena ber
Sudah tiga minggu ini Ella hanya berdiam diri di rumah. Moodnya memburuk semenjak kejadian salah sasaran itu. Apa yang harus Ella lakukan sekarang? Berbagai rencana yang disusun pasti akan berakhir dengan kegagalan. Lebih parahnya lagi, rencana jahatnya langsung berimbas pada dirinya. Seakan karma dibayar lunas. Tiba-tiba perut Ella terasa bergejolak. Tergopoh menuju wastafel. Dimuntahkan seluruh isi di dalam perut. "Uek..." "Uek...""Astaga..."Meremat perutnya yang kian terasa bergejolak. Seakan tiada henti, membuat tubuh Ella melemas. "Bi..." teriak Ella. "Astaga, Non Ella... Kenapa bisa muntah-muntah begini?" tanya bibi. Bibi memapah tubuh Ella. Membawanya berbaring di atas ranjang. Terlihat wajah Ella pucat pasi. "Non Ella sakit?" tanya bibi. Menggelengkan kepala lemah sebagai jawaban. Ella merasa dirinya sehat. Hanya saja kurang makan makannya lemas begini. "Bibi panggilkan Dokter atau kita ke rumah sakit ya, Non?""Tidak usah, Bi.""Tapi, Non. Non Ella kayaknya masuk an
"Uek..." Lagi-lagi Ella memuntahkan sisa-sisa makanan yang ada di dalam perutnya. Baru saja makan roti satu bungkus, tapi perutnya sudah bergejolak. Matanya kembali terpejam. Kepalanya dirasa masih sangat pusing. Kehamilan ini sungguh sangat mengganggu. Berulang kali ingin mengeluh dan mengumpat, tapi Ella urungkan. Sadar bahwa janin ini yang nantinya dapat membantunya mendaparkan Sena. Setelah tertidur beberapa menit, Ella terbangun. Tiba-tiba saja Ella merindukan aroma Wildan. Aneh, sungguh sangat aneh. Padahal baru bertemu dua kali dengan pria itu, bisa-bisanya Ella merindukan aromanya. "Apa ini yang dinamakan dengan ngidam?"Ella menghubungi Wildan. Meminta bantuan untuk menuruti ngidamnya. "Hallo, Wil.""Ya, ada apa?""Gue butuh bantuan lo?""Lo mau gue lakuin apa?""Lo datang ke rumah gue ya, Wil?""Buat apa?""Anak lo pengen nyium aroma tubuh lo.""Lo ngidam?""Sepertinya." Terdengar tawa Wildan di seberang sana. "Wil..." panggil Ella lagi. "Gue kirimin parfum gue aja ya
"Selamat pagi, Opa... Selamat pagi, Mama Indah..." sapa Ella ceria. "Mau apa kamu ke sini?" tanya Indah sinis. "Ella hanya ingin menjenguk Opa. Boleh kan, Ma?"Setelah menyimpan buah tangan yang dibawanya di atas nakas, Ella mendudukkan diri di kursi samping brankar. "Opa sudah sarapan?" tanya Ella basa-basi. "Sudah," balas Opa Gunandar acuh tak acuh. Melipat kedua tangan di depan dada dan menyilangkan kaki, Indah memilih duduk di sofa ketimbang berdekatan dengan Ella. Melirik sinis kepada wanita itu. Akan selalu Indah awasi pergerakan mantan kekasih Sena itu.Indah sangat yakin ada sesuatu yang direcanakan oleh Ella. Entah apa, Indah sendiri tidak tahu. Mungkin saja ada kaitannya dengan foto yang dia kirimkan pada Opa Gunandar. "Pa, Papa daritadi belum istirahat kan? Sekarang isirahat ya! Indah berjaga di sofa."Sengaja Indah mengusir Ella secara halus. Coba, akan Indah lihat bagaimana sikap wanita itu setelahnya. Ella sendiri merasa bahwa ucapan Mama Sena seakan usiran halus u
Suasana penuh kebahagiaan menyertai kediaman keluarga Wijaya. Hari ini ketiga keluarga besar itu berkumpul menjadi satu untuk merayakan kehamilan Adinda.Sena mulai kesal karena dari tadi tidak diperbolehkan berdampingan dengan Adinda. Sedari tadi Opa Gunandar tidak mau jauh dari Adinda. Istri Sena itu hari ini dikuasai oleh Opa Gunandar. Opa Gunandar hanya terlampau bahagia karena sebentar lagi akan mempunyai cicit yang sudah lama didambakannya. "Perutnya Dinda jangan diusap terus dong, Opa. Lama-lama bisa mengikis entar," protes Sena. "Brisik! Ganggu orang lagi bahagia aja," kesal Opa Gunandar. "Ma, geseran dong! Sena pengen duduk sebelah Dinda," ucapnya pada Indah. "Nggak mau. Mama kan juga pengen dekat sama Dinda," tolak Indah. Sena mencebikkan bibirnya. Mama dan Opa-nya sama saja, paling hobi membuat Sena jengkel. Adinda terkekeh. "Sayang, ih... begitu aja masa ngambek," ledek Adinda. "Emang lebay banget tuh suami kamu. Tiap hari juga udah ngekepin, masih aja kurang," cibi
Satu minggu ini kelakuan Adinda membuat Sena pusing tujuh keliling. Setiap hari ada saja hal yang menguji kesabaran Sena. Seperti saat ini, di tengah malam seperti ini Adinda ingin pergi melihat air terjun.Adinda menarik-narik baju Sena. Merengek seperti bocah balita. Keinginannya harus segera terpenuhi. Bila tidak, Adinda tidak akan merasa lega. "Ayo, berangkat sekarang, Yang!""Enggak!" tegas Sena. Sudah berulang kali Adinda merengek, berulang kali pula Sena menolak permintaan Adinda. Semua dirasa tidak masuk akal bagi Sena. Mana ada tempat wisata yang sudah buka di jam pocong seperti saat ini. Adinda berbalik, meringkuk dan memunggungi Sena. Wajahnya sangat masam. Di dalam batinnya itu, Adinda sangat kesal dan terus menggerutu. "Hih, dasar nyebelin. Pengen lihat air terjun aja nggak diturutin."Meraih ponsel di atas nakas, Adinda membuka aplikasi berwarna merah. Menonton video air terjun. Netranya tampak berbinar-binar saat melihat video tersebut. Suara gemericik air membuat h
Melihat wajah-wajah ketakutan, Pak Ihsan menahan tawanya agar tidak meledak. 'Mungkin mereka pikir aku ini dukun yang bisa baca pikiran orang kali ya. Apa tampangku begitu? ha ha ha.'"Nah, ini rumahnya Pak Dullah," ujar Pak Ihsan. Sejenak, Sena menghembuskan napas penuh kelegaan. Pak Ihsan benar-benar membawanya ke rumah Pak Dullah. 'Astagfirullah. Maafkan aku, Ya Allah, sudah suudzon.'"Malah bengong, ayo diketuk pintunya!" ucap Pak Ihsan. Belum sempat Sena mengetuk pintu, pintu sudah dibuka lebih dulu. Menampakkan sang pemilik rumah yang sedang mengulum senyum. "Assalamualaikum..." sapa Pak Dullah. "Waalaikumussalam...""Mau cari buah strawberry yang warnanya hijau kan?" tebak Pak Dullah.Lagi dan lagi, Sena dan Arfan saling melempar pandang. Misteri tentang Pak Ihsan yang bisa membaca pikiran mereka saja belum terpecahkan, ini sudah bertambah Pak Dullah. Semakin membuat Sena dan Arfan pusing saja. "Dari mana Bapak tahu?" tanya Sena heran. Pak Dullah tidak menjawab, justru
"Sayang..." panggil Sena. "Kamu kenapa sih?" tanya Sena kesal karena sedari tadi diacuhkan. Takut mulut Sena beraroma bawang goreng, Adinda mendorong dada Sena. Enggan berdekatan dengan suaminya itu. Menutup hidung rapat-rapat. Biarlah menghindar dan menahan napas ketimbang muntah lagi."Kamu kenapa sih, Yang? Aku bau?""Awas ih, minggir!" teriak Adinda kesal. Menghembuskan napas ke udara, Sena mencium aroma dari dalam mulutnya sendiri. Sena rasa aroma napasnya masih segar. Tidak bau makanan atau apa, karena dia belum sempat makan tadi. Kembali duduk, Adinda sudah menjauhkan toples berisi bawang goreng itu dari jangkauannya. "Loh, bawang gorengnya ke mana, Yang?" tanya Sena. "Nggak ada, udah aku simpen.""Di mana?""Udah buruan duduk! Mau makan nggak?""Ya makan lah. Bentar, aku mau cari bawang goreng dulu.""Nggak ada. Awas ya kalau kamu berani makan bawang goreng, bakalan aku usir kamu dari rumah," ancam Adinda. "Yaelah, Yang. Bagi dikit doang. Jangan mentang-mentang kamu suk
Dua minggu berlalu. Adinda, Sena, dan Arfan duduk di depan ruang sidang. Harap-harap cemas tampak di raut wajah Adinda dan Arfan ketika menunggu giliran selanjutnya. Berbeda dengan keduanya, Sena tampak santai dan biasa-biasa saja. "Sayang, kenapa donat tengahnya bolong?""Kalau yang utuh namanya bolu.""Salah. Yang utuh itu cinta aku ke kamu wkwk."Satu pukulan mendarat di lengan Sena. "Ih, dasar jokes Bapak-bapak.""He he... Biar sedikit mencair suasananya loh, Sayang. Habisnya kamu dari tadi tegang mulu sih.""Ya gimana nggak tegang. Mau sidang juga. Emangnya kamu, daritadi santai begitu.""Ya buat apa pusing-pusing sih. Kalau ditanya ya tinggal di jawab. Begitu aja repot.""Heh, enak banget ya itu bibir kalau ngoceh.""Kalian ini... Udah mau sidang masih aja ribut," ucap Arfan kesal. "Ya gimana, Fan. Abisnya si Sena ngeselin.""Halah. Ngeselin begitu juga lo bucin," cibir Arfan. "He he he... Jelas kalau itu mah," ucap Adinda cengangas-cengenges. "Arfan Ardyatama..." panggil pe
Ditemani Sena dan pengacaranya, Adinda memasuki ruang sidang. Segala macam bukti sudah Adinda kumpulkan, termasuk hasil visum bekas luka cambuk. Begitu mendudukkan diri, Adinda merasa tidak karuan. Tatapan nanar tertuju kepada mantan kekasih Sena itu. Memori sewaktu penyekapan terus berputar-putar memenuhi pikiran Adinda. Bayangan pecutan cambuk menggores kulit tangan. Sekelebat, Adinda memejamkan mata. Napasnya jadi tersengal-sengal. Ngilu sekali rasanya bila teringat hari itu. Jemari Adinda berada dalam genggaman tangan Sena. Sejenak, keduanya beradu pandang. Tatapan mata Sena seolah menjadi penenang. Sena selalu meyakinkan Adinda bahwa kebahagiaan sebentar lagi akan mereka raih. Adinda tenang karenanya. Sidang putusan berlangsung. Mantan kekasih Sena itu dijerat pasal 333 KUHP tentang penyekapan dan penculikan. Hukuman berlangsung paling lama sembilan tahun.Menjerit histeris usai persidangan, Ella menangis tersedu-sedu. Memohon pengampunan kepada Adinda dan Sena. Meminta belas
"Tante Dinda... Om Sena..." teriak Andina girang. "Baby Rion..." pekik Andina.Gemas, Adinda hendak mencium pipi gembul baby Arion, tapi ujung sweaternya ditarik dari belakang oleh Wildan."Heh, cuci tangan sama cuci kaki dulu kalau mau dekat-dekat sama Rion," ucap Wildan. Adinda mencebikkan bibirnya. "Iya... Iya..."Setelah membasuh tangan dan kaki, Adinda dan Sena mendekati baby Arion. Menimang dan menciumi pipinya dengan gemas."Sen..." lirih Adinda. "Hmm..." Sena hanya bergumam. Sibuk menimang baby Arion. "Kamu pengen punya yang kayak gini?""Pengen banget. Nanti sampai di rumah kita buat ya," balas Sena tersenyum lebar. Tentu saja Sena sudah menginginkan memiliki baby sendiri. Sena merasa bahwa sekarang dirinya sudah siap dan mampu menjadi seorang ayah. Namun, Adinda masih dilanda kebimbangan. Disatu sisi Adinda juga menginginkan hadirnya buah hati, tapi disisi lain Adinda ingin menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu baru memikirkan soal momongan. "Tapi gimana sama perjanj
Menyakiti diri sendiri sebagai bentuk pelampiasan emosi. Beberapa helai rambut rontok akibat kuatnya tarikan dari sang pemilik tubuh itu sendiri. Menjerit histeris layaknya orang kesurupan. Masih tidak bisa menerima bahwa dirinya bersalah dan harus merasakan buah dari akibat perbuatannya. "Arghhh..." teriaknya. "Diam! Berisik!" sentak wanita bertato. "Sumpal saja mulutnya dengan kaos kaki," ujar wanita kurus di sebelahnya mengompori. Wanita bertato mendekat, memandang tajam tahanan baru. Menelisik wajah cantik yang dipenuhi air mata. Merasa ngeri karena ditatap sedari tadi, Ella memalingkan wajahnya. Menghindari adu tatap lebih baik ketimbang cari perkara. "Heh, ada kasus apa sampai kau bisa masuk ke sini?" tanya wanita berambut keriting. Mengatupkan kedua bibir rapat-rapat, Ella enggan membuka suara. Membuat wanita bertato geram karena temannya diacuhkan. "Heh, jawab!" sentak wanita bertato."Penculikan.""Menculik siapa?" kepo wanita berambut keriting. "Istri mantan pacarku
Mendengar suara gaduh, Ella tergopoh menghampiri. Dilihatnya Sena yang sedang dihajar orang bayarannya."Hentikan!" teriak Ella. "Bos?""Mundur semuanya!" perintah Ella. "Sen, lo gapapa?" tanya Ella penuh perhatian.Sena menggeleng lemah. Memegang perutnya yang terasa nyeri akibat kena pukulan. "Ayo, bangun!"Meraih lengan Sena, Ella hendak membantu mantan kekasihnya itu berdiri. Sena menepisnya. Sena bisa berdiri sendiri tanpa bantuan dari Ella. Bukannya songong karena tidak mau dibantu, tapi mengingat Ella kerap kali mencelakai Adinda membuat Sena geram padanya."Lepasin, La. Gue bisa berdiri sendiri.""Tapi, Sen. Perut lo tadi kena pukulan.""Gapapa. Gue udah biasa dipukul kok," balas Sena ketus. Memandang tajam ketujuh orang bayarannya, Ella mengamuk seketika. "Dasar bodoh. Kenapa kalian menghajar Sena, hah?" maki Ella. Menundukkan kepala, para orang bayaran itu tidak berani berkutik. "Ma-maaf, Bos. Kami gak tahu.""Dasar tolol! Gue kan udah bilang jangan sakiti Sena."Sena m