Seorang gadis berpakaian minim membawa bendera kecil di tangannya. Berjalan memasuki area, berdiri diantara dua pengendara motor, kemudian memberikan aba-aba tanda pertandingan akan segera dimulai. Bukan pertandingan sepak bola, basket, apalagi adu jotos, tetapi balap liar.
Gadis tersebut mulai mengayunkan bendera tanda dimulainya balap liar ini. Kedua pembalap saling melirik satu sama lain. Melemparkan tatapan sinis disertai seringaian. "One... Two... Three... Go!"Keduanya menarik gas motor secara bersamaan. Menekan hingga menghasilkan kecepatan tinggi, beradu di jalanan yang sepi dan berebut untuk menyentuh garis finish terlebih dahulu dengan saling menyalip. Pembalap dengan motor ninja berwarna merah dapat menyentuh garis finis terlebih dahulu pada putaran pertama. Namun, pada putaran kedua pembalap dengan motor ninja berwarna putih dapat menyalipnya.Pendukung keduanya saling bersorak sorai. Menggumamkan nama idola mereka. Tiga putaran ini akan menjadi balapan yang penuh dengan emosional. Harga diri seorang Sena Adi Pratama Gunandar dipertaruhkan di area balap ini. Tidak biasanya Sena mendapati lawan yang tangguh seperti sekarang ini. Berulang kali Sena menahan gemeletuk dan gemuruh di dalam dadanya. Pikirannya hanya satu, dia harus bisa menyentuh garis finis terlebih dahulu atau pulang membawa rasa malu. Menekan gas lebih dalam lagi. Kecepatan berkendaranya melebihi di atas rata-rata. Siapa sangka, Sena belum bisa menyalip juga. Rupanya pembalap ninja putih bukan joki abal-abal. Sena tidak bisa meremehkan kemampuannya. Putaran ketiga penentu kemenangan malam ini. Sebentar lagi keduanya akan tiba di garis finis. "Ayo, Sena... Salip, Sen... Jangan sampai kalah." Itu teriakan gadis-gadis penggemarnya. Mereka selalu berada di barisan terdepan untuk mendukungnya.Pembalap dengan motor ninja berwarna putih lebih dulu menyentuh garis finish.Sorak sarai pendukungnya memenuhi area balap. Memekakan gendang telinga Sena dan para pendukungnya. Berlarian menghampiri sang juara malam ini. Mengangkat tubuh sang juara dengan penuh kebahagiaan.Meremat tangan hingga buku-buku jari memutih. Menekan gejolak amarah yang hampir meledak. Netranya menelisik ke segala penjuru area. Banyak hati yang dikecewakannya malam ini. Merutuki kesialan yang tengah menimpanya. Sena benar-benar tidak habis pikir. Malam ini dirinya dapat dikalahkan."Sang juara balap akhirnya kalah juga," ejek seorang gadis yang Sena ketahui bernama Clara. Hancur sudah harga diri yang selama ini dipertaruhkannya. Sena benar-benar merasa malu atas kekalahannya. "Arghhh... Bangsat, bajingan, bedebah!" Segala sumpah serapah keluar dari mulutnya.Membuka helm dan melemparkannya di atas jalan berasapal hingga menimbulkan bunyi gemeletuk di sana. Biarlah helmnya retak, Sena tidak peduli. Harga dirinya pun sudah retak sedari dikalahkam pembalap sialan itu. Pembalap ninja putih melepaskan helm fullface-nya. Mengibaskan rambut sebahu yang tergerai. Sepoi angin membawa anak rambut beterbangan. Gadis itu melangkahkan kaki mendekati mantan juara bertahan yang dikalahkannya hari ini. Gemuruh di dalam dadanya kian bergemuruh. Membelalakkan mata saking tidak percayanya. Ternyata yang bisa mengalahkan sang juara bertahan sampai saat ini seorang gadis mungil. "Astaga..." Suara teman-teman Sena bersahutan. Menutup mulut dengan kedua tangan. Mengekspresikan rasa keterkejutannya. Mengulurkan tangan sembari mengulum senyum. Yang sialnya sangat Sena benci. Baginya senyum gadis itu sebuah penghinaan untuknya. "Maaf ya..." ucap gadis itu. Sena hanya melirik tangan gadis itu. Tidak berniat membalas jabatan tangannya. Mana sudi Sena beramah tamah dengan orang yang sudah mengalahkannya hari ini. Merasa diacuhkan, gadis itu mengusap tangan kosong ke celana. Rupanya niat baiknya tidak dihargai sama sekali. 'Cih... Sombongnya,' ucapnya berdecak sebal. "Girls, ambil duit taruhannya. Gue cabut dulu! Selamat bersenang-senang. Jangan lupa dibagi rata," ucapnya lalu berlalu. Menaiki ninja putihnya dan menekan gas dengan kecepatan tinggi. Meninggalkan area balap. Keempat sekawan sohibnya mendekati Sena. Menepuk bahu pria itu bergantian. "Gue tahu, pasti hati lo lagi mendidih kan?" ucap Aldo. Terdengar sebuah hinaan baginya. Sialnya, Sena tidak bisa marah pada temannya satu ini. Arfan menyikut perut Aldo. "Bangsat lo ya, Do. Udah tahu hati Sena lagi panas. Pakai acara ngeledek lagi."Si pencari huru hara hanya nyengir menampakkan deretan giginya. Tiga gadis mendekati mereka berlima. Menatap kelima sekawan itu dengan tatapan sinis dan senyum remeh. "Eh, mana duit taruhannya?" kali ini Karin bersuara, meminta uang hasil taruhan. Aldo yang memegang uang tersebut memberikannya dengan rasa tidak ikhlas. Harusnya malam ini mereka akan menikmati pesta perayaan kemenangan Sena di basecamp Andromeda. Siapa sangka, malam ini justru malah jadi kekalahannya. "Ah elah, lama bener." Karin yang tidak sabaran gegas menarik uang dari tangan Aldo. Mengibaskan tangan ke udara. "Yok cabut!" perintah Karin pada Sasa dan Clara. "Byee loser." Clara dada-dada sembari tertawa. Mengejek geng Andromeda. "Sialan... Gue dikalahin sama cewek!" ucap Sena tidak terima. Aldo menepuk bahu Sena. "Tenang aja Sen, kita bakal buat perhitungan sama tuh cewek yang kalahin lo.""Atur-atur lah!" balas Sena acuh tak acuh. Mengambil helm yang retak di beberapa bagian. Berlalu begitu saja seraya membawa kekesalannya.***Gadis pembalap yang diketahui bernama Adinda Almira Wijaya baru saja menginjakkan kakinya di halaman depan rumah pukul sebelas malam.Menyogok satpam rumah dengan dua lembar ratusan ribu agar tidak melaporkan kelakuannya pada sang papa. "Diem ya, Pak. Awas aja kalau sampai buka mulut. Dinda bejek-bejek itu mulutnya Bapak!" ancamnya. Pak satpam hanya mengangguk lemah. Sudah biasa mendapati anak majikannya yang satu ini berbeda dari lainnya. Sangat pembangkang dan suka keluar malam. Entah apa yang dilakukannya di luar rumah. Pak satpam sendiri tidak mau tahu. Menapakkan kakinya dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi gaduh. Memantau ke kanan dan ke kiri. Adinda rasa masuk melalui pintu samping dekat garasi seperti biasanya akan aman.Terus melangkahkan kakinya dengan mengendap-endap, Adinda akhirnya memasuki ruang tengah.Klik! Lampu tiba-tiba menyala, membuat jantung Adinda mencelos seketika. Adinda pikir ada setan atau demit di rumahnya yang suka mainan lampu malam-malam begini. "Astaga!" Mengurut dadanya naik turun. Napasnya yang tersengal-sengal masih terasa. Adinda tersentak, terkejut bukan kepalang. Papanya ternyata berdiri di ruang tengah seraya berkacak pinggang. Melemparkan tatapan tajam ke arah anak nakalnya. "Papa ih, kagetin Dinda aja."Adinda mengatur deru napasnya senormal mungkin. Adinda bersiap menerima kemarahan Salman. Adinda sangat yakin, malam ini dirinya tidak akan lolos dari amukan sang papa tercinta. "Dari mana saja kamu?" tanya Salman. "Da-dari rumah temen, Pa," jawab Adinda terbata-bata. Membuat alasan selogis mungkin agar bisa diterima papanya. "Temen siapa?" katanya masih dengan intonasi tinggi. "Sasa, Pa. Iya, Sasa..." Adinda menunduk, takut papanya akan menghajarnya secara tiba-tiba. "Masuk!" perintah Salman tegas. Adinda melangkahkan kakinya menuju peraduan. Salman mengikutinya dari belakang. Setelah Adinda masuk ke dalam kamar, Salman mengunci pintunya dari luar dengan amat pelan sehingga anak nakalnya itu tidak akan menyadari jika tengah dikurung di dalam kamar. ***Adinda membasuh tubuhnya dengan kecepatan kilat. Mengambil kaos dan celana jeans secara acak. Mengikat rambut tanpa disisir terlebih dahulu. Penampilannya benar-benar amburadul. Sama sekali tidak mirip anak kuliahan. Beruntunglah Adinda karena tertolong dengan wajahnya yang imut. Ceklek... Ceklek... "Ih... Siapa sih yang kunci pintunya? Tolong bukain woi gue mau kuliah..." Adinda berteriak kesal. Tangannya menggedor-gedor pintu kamar, tapi tidak ada satu orangpun yang menyahut. Ini bukan pertama kalinya Adinda dikunci di dalam kamar. Salman akan mengurung Adinda bila tidak patuh, sebagai hukuman atas kesalahannya. Seperti sekarang ini, Adinda yang sudah terlambat hanya mendudukkan diri dengan lesu di tepi ranjang sembari menerima hukuman dari sang papa."Ah sial... jadi bolos kuliah lagi kan. Coba aja semalem nggak ketahuan. Anjir lah, mana kekurung di dalam kamar, bisa mati bosen gue. Besok pasti juga kena hukuman Prof gara-gara bolos kuliah."Ceklek! Pintu terbuka, muncul sosok wanita paruh baya yang bersahaja. Tersenyum lembut pada Adinda. Risma membawa sarapan dan menaruhnya di atas nakas. "Sesekali nurut sama Papa biar kamu nggak dihukum terus, Dinda. Apa nggak capek dikurung begini?""Iya, Ma," jawab Adinda seadanya. Tidak berniat membantah ataupun membuat sang mama murka."Ya sudah, ayo makan! Mama akan bujuk Papa dulu biar kamu bisa keluar dari kamar buat kuliah.""Makasih ya, Ma." Adinda memeluk Risma. Merasa sangat berterima kasih. Sang mama selalu menjadi penyelamat saat Adinda dihukum sang papa. Setelah mendapatkan bujuk rayu dari sang istri, Salman akhirnya luluh dan membebaskan Adinda. "Jangan sampai buat ulah lagi atau Papa akan menghukummu lebih berat daripada ini!" peringat dari Salman sebelum berangkat ke kantor. Adinda hormat seraya nyengir. Ah, anak nakal itu masih saja bertingkah di depan sang papa. "Siap, Jenderal!""Mama Sayang, Dinda ke kampus dulu." Mencium pipi kanan dan kiri secara bergantian. Tidak lupa Adinda mencium punggung tangan Salman dengan takzim. Melambaikan tangan pada kedua orangtuanya. Berlarian dengan riang seraya dada-dada. Salman menghela napasnya sembari menggelengkan kepala. "Dari ketiga anak kita, Dinda yang paling ajaib," ujarnya seraya merengkuh pinggang Risma. Berjalan bersisian sampai depan rumah.""Papa kerja dulu ya, Ma. Hati-hati di rumah," imbuhnya. "Papa juga hati-hati di kantor. Awas banyak yang genit," canda Risma. Mencium punggung tangan Salman. Sang suami balas mencium kening istrinya.***Adinda tidak langsung masuk ke dalam kelas. Percuma saja, mata kuliah jam pertama telah berlangsung. Tiga puluh menit lagi juga akan selesai. Adinda memilih menunggu mata kuliah jam kedua di parkiran. Duduk di atas motor sambil memainkan ponselnya. Tiba-tiba seseorang merebutponsel Adinda secara paksa. "Woi... Balikin ponsel gue nggak!" teriak Adinda. Raut wajahnya penuh dengan kekesalan. Arfan mengangkat ponsel Adinda setinggi mungkin, berusaha menjauhkannya dari si pemilik. Mengulum senyum remeh karena gadis mungil itu tidak bisa mengambilnya.Adinda tidak menyerah. Adinda terus berusaha menggapai ponselnya, meskipun sangat sulit karena tinggi Arfan jauh di atas Adinda dua puluh centi.Arfan melemparkan ponsel Adinda ke salah satu temannya. Aldo dengan sigap menangkap ponsel itu. Adinda yang masih berusaha mendapatkan ponselnya berlari ke arah Aldo. Namun, ketika Adinda hampir mendapatkan ponselnya, Aldo melemparnya. Sena yang menerima lemparan ponsel dari Aldo segera memasukkan benda tersebut ke saku celananya."Anjir ya lo pada. Maunya apa sih?" tanya Adinda sewot. Menyunggingkan senyum sinisnya, yang sialnya malah menambah tingkat ketampanan pria itu. "Lo yang semalam jadi lawan balap gue kan?" tanya Sena."Kalau iya kenapa?" Menatap lawan balapnya semalam dengan tajam. Adinda mengetukkan jari di dagu, sedang memikirkan sesuatu. "Oh, gue tau sekarang. Jadi lo nggak terima kalau kalah, hmm?"Sekian detik berikutnya Adinda tertawa penuh ejekan. "Cuma seorang pecundang yang nggak terima kekalahannya.""Wah songong nih bocah. Kasih pelajaran yok!" ucap Aldo. Melangkahkan kakinya mendekati Adinda, hendak menyerang gadis itu. Sena menepuk bahu Aldo. "Mundur, Do!" perintahnya tegas, membuat Aldo beringsut menjauhi Adinda. Melihat tingkah Aldo, Adinda tergelak. "Ha ha ha. Lucu banget sih lo. Disuruh ini itu sama loser aja nurut.""Keterlaluan itu bocah. Hajar aja lah, Sen. Gedek juga gue lama-lama," ucap Arfan mengompori. "Tahan... Nggak usah pada emosi begitu." Sena membentengi geng Andromeda yang sudah tersulut emosi. "Bisa sopan gak? Mau ponselnya balik kan?" tanya Sena. "Minta yang baik-baik dong," imbuhnya.Kali ini Sena mengulum senyumnya. Adinda rasa Sena sedang mempermainkan dirinya. Adinda tersenyum remeh. "Dih... Sopan sama loser? Nggak salah lo?""Heh, mulut lo bisa dijaga gak? Sekali lagi lo bilang Sena loser, gue sumpal mulut lo." Suara Bima yang baru saja datang bersama Rizal membuat Adinda memalingkan wajah ke arahnya. Adinda tertawa seraya bertepuk tangan. Sungguh lucu baginya. Ini pertama kalinya Adinda dikeroyok di kampus. Dengan geng Andromeda yang terkenal pembuat onarnya pula. "Gengs... Sini dong! Jangan lupa diviralin ya. Kelima cowok loser ini lagi ngeroyok cewek rapuh kayak gue loh," ucap Adinda mendramatisir. Sontak mengundang beberapa mahasiswa lainnya melihat drama mereka. Kini mereka menjadi pusat tontonan. Banyak diantara mereka berkasak-kusuk. "Gila ya tuh si Dinda. Berani-beraninya dia ngelawan Sena," ucap mahasiswi berambut pirang. "Biasa lah kaya kalian nggak tau Dinda aja. Dia kan urakan. Beda banget tuh sama kembarannya si Dina," sambung mahasiswi bergincu tebal. Mulai membandingkan antara Adinda dengan kembarannya yang juga mahasiswi di kampus ini. Sena melangkahkan kakinya mendekati Adinda. Adinda yang tidak gentar juga ikut melangkahkan kakinya mendekati Sena. Mereka nyaris bertabrakan. Jarak diantara keduanya hanya beberapa centi saja. Saling menatap tajam satu sama lain. Sorot mata keduanya menyimpan kebencian yang mendalam. Sena yang membenci Adinda karena merasa harga dirinya diinjak-injak oleh gadis itu, sementara Adinda membenci Sena karena sikap angkuh pria itu. Deru napas keduanya saling bertabrakan. Baik Sena maupun Adinda bahkan siap adu jotos. Namun, Sena tidak sebrengsek itu. Melawan wanita dengan kekerasan bukanlah dirinya. Sena mendekatkan wajahnya ke telinga Adinda, membuat gadis itu tersentak mundur seketika. Sebelum Adinda melangkah terlalu jauh, Sena sudah mencengkeram pergelangan tangannya. "Kalau mau ponsel lo balik, temuin gue entar malam di area balap."Adinda mendekatkan wajahnya di telinga Sena, ikut berbisik. "Kalau gue bisa kalahin lo hadiahnya udah bukan ponsel lagi, tapi lo harus jadi suami gue. Gimana?" tantang Adinda. Adinda sebenarnya sedang menahan tawa saat membisikkan serentetan kalimat menjijikkan di telinga Sena. Sungguh, Adinda hanya ingin mengejeknya. Sialnya, wajah pria itu berubah merona. Seperti gadis yang kedapatan sedang jatuh cinta.Malam menjelang, riuh suara penonton telah memenuhi area pertandingan. Begitupun dengan Sena yang telah berada di area balap, sedangkan Adinda masih mondar mandir di parkiran dengan gelisah. Karin berlari dengan tergesa-gesa "Dinda... Gawat Din, gawat," ucapnya sembari mengatur napasnya yang tersengal-sengal. "Apaan sih Rin? Gue lagi pusing nih ban motor gue kempes." Dinda memijat pelipisnya sembari menendang ban motornya yang kempes, menunjukkannya pada Karin. "Nah ini yang mau gue omongin. Motor lo disabotase sama Arfan. Tadi gue rekam, nih liat videonya!" Karin menyerahkan bukti rekaman sabotase itu pada Dinda. "Kenapa malah lo rekam sih? Harusnya tuh lo cegah! Peak lo," ucap Adinda setengah emosi. "Udah sekarang lo bawa bukti ini kesana. Kasih tunjuk tuh kalau motor lo disabotase sama Arfan biar geng Andromeda malu. Udah buruan!""Pinter juga ya lo." Adinda nyengir, menepuk bahu Karin, lalu pergi meninggalkannya. "Dih... Tadi aja bilang gue peak."Adinda berjalan memasuki are
Keluarga Gunandar telah bersiap-siap sejak sore. Mereka menyiapkan berbagai macam bingkisan untuk dibawa ke rumah keluarga Wijaya. Semua orang yang ada di rumah itu menyibukkan dirinya masing-masing untuk acara pertemuan dua keluarga ini.Memangku kedua tangan di bawah dagu. Melamun memikirkan nasibnya di masa depan. Sena sungguh tidak menginginkan perjodohan ini. Jujur saja, Sena sedang malas berurusan dengan wanita, membuatnya pusing saja. Apalagi kejadian menyakitkan di masa lalu, membuat hatinya mati rasa. Sena masih ingat bagaimana dirinya dihianati pacar dan sahabatnya. Mereka berdua menjalin kasih di belakang Sena. Menancapkan luka secara bersamaan. Indah menghampiri anak semata wayangnya. "Sen... Ayo buruan mandi! Kalau Opa tau kamu belum siap-siap bisa marah."Sena memegang perutnya, pura-pura sakit agar terhindar dari rencana perjodohan ini. "Ma, Sena nggak usah ikut ya. Perut Sena sakit banget ini, Ma.""Opa tau kamu pura-pura, Sena. Ayo buruan mandi atau Opa akan mencore
Tiga hari sudah kedua insan yang hendak melakukan prosesi sakral dipingit. Selama tiga hari itu keduanya hanya berada di rumah. Sebenarnya hal ini dilakukan kedua keluarga untuk menjaga anak cucu mereka agar tidak melarikan diri sebelum hari pernikahan. Kini, keduanya dipertemukan kembali dalam acara sakral. Sebuah pernikahan yang sama sekali tidak mereka sangka. Pernikahan konyol hanya untuk menjalankan wasiat Kakek Wijaya. Gadis mungil itu kini menjelma layaknya boneka hidup. Wajah imutnya dipulas begitu apik oleh MUA paling terkenal di kota ini, membuat siapa saja akan mengangumi maha karya sang perias. Tidak sia-sia Opa Gunandar mengirimkan perias handal untuk memulas wajah calon menantu tomboynya ini. Penampilan Adinda kali ini terlihat anggun dengan kebaya modern berwarna putih yang melekat sempurna di tubuhnya."Wah... cantiknya pengantinku satu ini," puji si perias tidak henti-hentinya memandangi hasil karyanya."Pantesan aja dipilih sama Mas Tampan (Sena), orang kamunya aja
Tubuh sepasang pengantin itu terasa remuk redam. Bagaimana tidak, seharian dipajang dan menyalami para tamu yang terus-terusan berdatangan tanpa henti."Uh... hampir copot rasanya ini kaki," ucap Adinda seraya meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Adinda tidak habis pikir. Kedua keluarga itu mengundang begitu banyak tamu. Bahkan ada beberapa diantaranya yang berasal dari luar negeri. Jauh-jauh datang kemari hanya untuk menghadiri pesta pernikahan Adinda dengan Sena. "Nikah konyol aja dibikin seheboh ini. Apa Papa-Mama, Mertua, sama Opa pada nggak sayang sama duitnya ya?"Jelas sekali acara pernikahan ini menggelontorkan banyak dana. Semua tamu dan rekan bisnis yang berasal dari luar negeri saja disediakan hotel fasilitas bintang lima untuk tempat peristirahatan. "Ah udahlah, terserah. Yang penting temen-teman kampus gak ada yang tahu kalau gue nikah sama itu manusia loser."Adinda melipat ujung gaunnya. Melangkahkan kaki menuju tempat peraduan. Sepasang pengantin itu awalnya di
Ceklek! Keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kaos oblong dan celanana kolor, Sena berjalan menuju tempat peraduan. Adinda terus mengekori pergerakan si loser melalui tangkapan netranya. Ranjang berderit, menandakan bahwa terdapat sebuah pergerakan. Si loser naik ke atas ranjang, membuat Adinda memicingkan matanya. "Heh, siapa yang ijinin lo naik ke atas ranjang?" tanya Adinda. "Gak ada," balas Sena cuek. Dibaringkannya tubuh yang terasa lelah di sebelah si kutu kupret. Adinda tidak terima si loser tidur di sampingnya. Enak saja, bisa-bisa si loser itu akan mengambil kesempatan dalam kesempitan saat Adinda terlelap nanti. Didorongnya tubuh Sena sekuat tenaga, tapi tetap saja tidak bergeming. Adinda dibuat kesal sejadi jadinya. Sementara Sena cuek saja. "Minggir ih, gue nggak sudi tidur seranjang sama loser," ucap Adinda. "Hmm..." balas Sena menggumam. Matanya terpejam. "Awas ih..." Adinda masih bersikeras mendorong tubuh besar itu agar beranjak dari atas ranjang. Dengan
Sang surya enggan menampakkan wajahnya. Awan hitam tampak mendominasi sebagian. Rupanya semalam suhu udara teramat dingin karena hendak turun hujan. Dua anak manusia masih bergelung di bawah selimut, di atap yang sama, tapi bukan pada satu peraduan yang sama. Sena yang semalam kesakitan akhirnya bisa kembali terlelap di atas ranjang. Sementara Adinda dengan rasa was-wasnya akhirnya bisa memejamkan mata di atas sofa. Tok... Tok... Tok... "Permisi, Non Dinda, Den Sena... Tuan dan Nyonya sudah menunggu di bawah untuk sarapan," ucap Bi Inah dari balik pintu.Baik Sena maupun Adinda, keduanya sama sekali tidak terusik oleh suara Bi Inah. Mereka berdua tampak tertidur pulas. "Dinda sama Sena mana Bi, kok nggak ikut turun?" tanya Risma saat melihat Bi Inah turun dari lantai dua seorang diri. "Maaf, Tuan, Nyonya. Non Dinda sama Den Sena belum bangun. Saya panggil berkali-kali nggak ada yang menyahut. Kalau begitu saya perimisi ke belakang dulu.""Udahlah, Ma, biarin aja. Namanya juga peng
"Nah itu mereka," seru Arga."Kalian tersesat?" tanya Risma khawatir."Iya, Ma," jawab Adinda berkilah. "Yaudah, ayo masuk!" Risma mengajak Sena dan Adinda masuk ke dalam rumah."Sebelah sini ruang tamu. Nah, kalau yang ini ruang keluarga, kalau yang atas itu kamar kalian berdua," tunjuk Risma. "Gimana rumahnya, suka?" tanya Opa Gunandar.Adinda dan Sena hanya menganggukkan kepala lemah."Mulai sekarang kalian berdua akan tinggal di rumah ini. Opa berharap kalian bisa belajar hidup mandiri.""Dinda, mulai sekarang Papa nggak akan kasih kamu uang bulanan lagi. Kamu sudah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Sena," ucap Salman. "Ya nggak bisa gitu dong, Pa. Ini namanya nggak adil. Dinda kan udah nurutin kemauan Papa buat nikah sama Sena.""Sayang, Papa melakukan ini semua juga buat kebaikan kamu, Nak. Percayalah!" ucap Risma."Halah... bulshit!" jawab Adinda ngegas.Berlalu meninggalkan mereka semua, Adinda masuk ke dalam kamar, lalu mengunci pintu dari dalam. "Dinda..." ucap Risma semb
Kedua keluarga besar itu telah meninggalkan kediaman sepasang pengantin baru. Kini, tersisalah Sena dan Adinda. Raut wajah keduanya tampak kusut. Bagaimana tidak, kehidupan keduanya serasa jungkir balik. Mendadak menikah, mendadak hidup serba pas-pasan juga.Melangkahkan kaki mendekati Adinda, Sena perlahan mengikis jarak diantara keduanya. Menatap gadis itu dalam, lalu merengkuh pinggangnya. Sekian detik keduanya saling bersitatap, membuat Adinda kepayahan. Adinda memalingkan wajahnya. Adinda terlalu gugup. Dadanya bergemuruh, tubuhnya meremang. Tidak pernah sekalipun Adinda diperlakukan begini dengan seorang pria.Membingkai wajah Adinda, Sena mengulum senyum manisnya. Siapa saja pasti akan terpana melihat betapa tampannya makhluk satu ini. Termasuk Adinda. Adinda begitu larut dalam temu pandang itu. Hidung keduanya saling bertabrakan. Selangkah lagi Sena dapat menjemput rezeki. Merasakan betapa manisnya bibir merah muda yang halal disentuhnya. Adinda terpaku seketika. Gadis itu s
Suasana penuh kebahagiaan menyertai kediaman keluarga Wijaya. Hari ini ketiga keluarga besar itu berkumpul menjadi satu untuk merayakan kehamilan Adinda.Sena mulai kesal karena dari tadi tidak diperbolehkan berdampingan dengan Adinda. Sedari tadi Opa Gunandar tidak mau jauh dari Adinda. Istri Sena itu hari ini dikuasai oleh Opa Gunandar. Opa Gunandar hanya terlampau bahagia karena sebentar lagi akan mempunyai cicit yang sudah lama didambakannya. "Perutnya Dinda jangan diusap terus dong, Opa. Lama-lama bisa mengikis entar," protes Sena. "Brisik! Ganggu orang lagi bahagia aja," kesal Opa Gunandar. "Ma, geseran dong! Sena pengen duduk sebelah Dinda," ucapnya pada Indah. "Nggak mau. Mama kan juga pengen dekat sama Dinda," tolak Indah. Sena mencebikkan bibirnya. Mama dan Opa-nya sama saja, paling hobi membuat Sena jengkel. Adinda terkekeh. "Sayang, ih... begitu aja masa ngambek," ledek Adinda. "Emang lebay banget tuh suami kamu. Tiap hari juga udah ngekepin, masih aja kurang," cibi
Satu minggu ini kelakuan Adinda membuat Sena pusing tujuh keliling. Setiap hari ada saja hal yang menguji kesabaran Sena. Seperti saat ini, di tengah malam seperti ini Adinda ingin pergi melihat air terjun.Adinda menarik-narik baju Sena. Merengek seperti bocah balita. Keinginannya harus segera terpenuhi. Bila tidak, Adinda tidak akan merasa lega. "Ayo, berangkat sekarang, Yang!""Enggak!" tegas Sena. Sudah berulang kali Adinda merengek, berulang kali pula Sena menolak permintaan Adinda. Semua dirasa tidak masuk akal bagi Sena. Mana ada tempat wisata yang sudah buka di jam pocong seperti saat ini. Adinda berbalik, meringkuk dan memunggungi Sena. Wajahnya sangat masam. Di dalam batinnya itu, Adinda sangat kesal dan terus menggerutu. "Hih, dasar nyebelin. Pengen lihat air terjun aja nggak diturutin."Meraih ponsel di atas nakas, Adinda membuka aplikasi berwarna merah. Menonton video air terjun. Netranya tampak berbinar-binar saat melihat video tersebut. Suara gemericik air membuat h
Melihat wajah-wajah ketakutan, Pak Ihsan menahan tawanya agar tidak meledak. 'Mungkin mereka pikir aku ini dukun yang bisa baca pikiran orang kali ya. Apa tampangku begitu? ha ha ha.'"Nah, ini rumahnya Pak Dullah," ujar Pak Ihsan. Sejenak, Sena menghembuskan napas penuh kelegaan. Pak Ihsan benar-benar membawanya ke rumah Pak Dullah. 'Astagfirullah. Maafkan aku, Ya Allah, sudah suudzon.'"Malah bengong, ayo diketuk pintunya!" ucap Pak Ihsan. Belum sempat Sena mengetuk pintu, pintu sudah dibuka lebih dulu. Menampakkan sang pemilik rumah yang sedang mengulum senyum. "Assalamualaikum..." sapa Pak Dullah. "Waalaikumussalam...""Mau cari buah strawberry yang warnanya hijau kan?" tebak Pak Dullah.Lagi dan lagi, Sena dan Arfan saling melempar pandang. Misteri tentang Pak Ihsan yang bisa membaca pikiran mereka saja belum terpecahkan, ini sudah bertambah Pak Dullah. Semakin membuat Sena dan Arfan pusing saja. "Dari mana Bapak tahu?" tanya Sena heran. Pak Dullah tidak menjawab, justru
"Sayang..." panggil Sena. "Kamu kenapa sih?" tanya Sena kesal karena sedari tadi diacuhkan. Takut mulut Sena beraroma bawang goreng, Adinda mendorong dada Sena. Enggan berdekatan dengan suaminya itu. Menutup hidung rapat-rapat. Biarlah menghindar dan menahan napas ketimbang muntah lagi."Kamu kenapa sih, Yang? Aku bau?""Awas ih, minggir!" teriak Adinda kesal. Menghembuskan napas ke udara, Sena mencium aroma dari dalam mulutnya sendiri. Sena rasa aroma napasnya masih segar. Tidak bau makanan atau apa, karena dia belum sempat makan tadi. Kembali duduk, Adinda sudah menjauhkan toples berisi bawang goreng itu dari jangkauannya. "Loh, bawang gorengnya ke mana, Yang?" tanya Sena. "Nggak ada, udah aku simpen.""Di mana?""Udah buruan duduk! Mau makan nggak?""Ya makan lah. Bentar, aku mau cari bawang goreng dulu.""Nggak ada. Awas ya kalau kamu berani makan bawang goreng, bakalan aku usir kamu dari rumah," ancam Adinda. "Yaelah, Yang. Bagi dikit doang. Jangan mentang-mentang kamu suk
Dua minggu berlalu. Adinda, Sena, dan Arfan duduk di depan ruang sidang. Harap-harap cemas tampak di raut wajah Adinda dan Arfan ketika menunggu giliran selanjutnya. Berbeda dengan keduanya, Sena tampak santai dan biasa-biasa saja. "Sayang, kenapa donat tengahnya bolong?""Kalau yang utuh namanya bolu.""Salah. Yang utuh itu cinta aku ke kamu wkwk."Satu pukulan mendarat di lengan Sena. "Ih, dasar jokes Bapak-bapak.""He he... Biar sedikit mencair suasananya loh, Sayang. Habisnya kamu dari tadi tegang mulu sih.""Ya gimana nggak tegang. Mau sidang juga. Emangnya kamu, daritadi santai begitu.""Ya buat apa pusing-pusing sih. Kalau ditanya ya tinggal di jawab. Begitu aja repot.""Heh, enak banget ya itu bibir kalau ngoceh.""Kalian ini... Udah mau sidang masih aja ribut," ucap Arfan kesal. "Ya gimana, Fan. Abisnya si Sena ngeselin.""Halah. Ngeselin begitu juga lo bucin," cibir Arfan. "He he he... Jelas kalau itu mah," ucap Adinda cengangas-cengenges. "Arfan Ardyatama..." panggil pe
Ditemani Sena dan pengacaranya, Adinda memasuki ruang sidang. Segala macam bukti sudah Adinda kumpulkan, termasuk hasil visum bekas luka cambuk. Begitu mendudukkan diri, Adinda merasa tidak karuan. Tatapan nanar tertuju kepada mantan kekasih Sena itu. Memori sewaktu penyekapan terus berputar-putar memenuhi pikiran Adinda. Bayangan pecutan cambuk menggores kulit tangan. Sekelebat, Adinda memejamkan mata. Napasnya jadi tersengal-sengal. Ngilu sekali rasanya bila teringat hari itu. Jemari Adinda berada dalam genggaman tangan Sena. Sejenak, keduanya beradu pandang. Tatapan mata Sena seolah menjadi penenang. Sena selalu meyakinkan Adinda bahwa kebahagiaan sebentar lagi akan mereka raih. Adinda tenang karenanya. Sidang putusan berlangsung. Mantan kekasih Sena itu dijerat pasal 333 KUHP tentang penyekapan dan penculikan. Hukuman berlangsung paling lama sembilan tahun.Menjerit histeris usai persidangan, Ella menangis tersedu-sedu. Memohon pengampunan kepada Adinda dan Sena. Meminta belas
"Tante Dinda... Om Sena..." teriak Andina girang. "Baby Rion..." pekik Andina.Gemas, Adinda hendak mencium pipi gembul baby Arion, tapi ujung sweaternya ditarik dari belakang oleh Wildan."Heh, cuci tangan sama cuci kaki dulu kalau mau dekat-dekat sama Rion," ucap Wildan. Adinda mencebikkan bibirnya. "Iya... Iya..."Setelah membasuh tangan dan kaki, Adinda dan Sena mendekati baby Arion. Menimang dan menciumi pipinya dengan gemas."Sen..." lirih Adinda. "Hmm..." Sena hanya bergumam. Sibuk menimang baby Arion. "Kamu pengen punya yang kayak gini?""Pengen banget. Nanti sampai di rumah kita buat ya," balas Sena tersenyum lebar. Tentu saja Sena sudah menginginkan memiliki baby sendiri. Sena merasa bahwa sekarang dirinya sudah siap dan mampu menjadi seorang ayah. Namun, Adinda masih dilanda kebimbangan. Disatu sisi Adinda juga menginginkan hadirnya buah hati, tapi disisi lain Adinda ingin menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu baru memikirkan soal momongan. "Tapi gimana sama perjanj
Menyakiti diri sendiri sebagai bentuk pelampiasan emosi. Beberapa helai rambut rontok akibat kuatnya tarikan dari sang pemilik tubuh itu sendiri. Menjerit histeris layaknya orang kesurupan. Masih tidak bisa menerima bahwa dirinya bersalah dan harus merasakan buah dari akibat perbuatannya. "Arghhh..." teriaknya. "Diam! Berisik!" sentak wanita bertato. "Sumpal saja mulutnya dengan kaos kaki," ujar wanita kurus di sebelahnya mengompori. Wanita bertato mendekat, memandang tajam tahanan baru. Menelisik wajah cantik yang dipenuhi air mata. Merasa ngeri karena ditatap sedari tadi, Ella memalingkan wajahnya. Menghindari adu tatap lebih baik ketimbang cari perkara. "Heh, ada kasus apa sampai kau bisa masuk ke sini?" tanya wanita berambut keriting. Mengatupkan kedua bibir rapat-rapat, Ella enggan membuka suara. Membuat wanita bertato geram karena temannya diacuhkan. "Heh, jawab!" sentak wanita bertato."Penculikan.""Menculik siapa?" kepo wanita berambut keriting. "Istri mantan pacarku
Mendengar suara gaduh, Ella tergopoh menghampiri. Dilihatnya Sena yang sedang dihajar orang bayarannya."Hentikan!" teriak Ella. "Bos?""Mundur semuanya!" perintah Ella. "Sen, lo gapapa?" tanya Ella penuh perhatian.Sena menggeleng lemah. Memegang perutnya yang terasa nyeri akibat kena pukulan. "Ayo, bangun!"Meraih lengan Sena, Ella hendak membantu mantan kekasihnya itu berdiri. Sena menepisnya. Sena bisa berdiri sendiri tanpa bantuan dari Ella. Bukannya songong karena tidak mau dibantu, tapi mengingat Ella kerap kali mencelakai Adinda membuat Sena geram padanya."Lepasin, La. Gue bisa berdiri sendiri.""Tapi, Sen. Perut lo tadi kena pukulan.""Gapapa. Gue udah biasa dipukul kok," balas Sena ketus. Memandang tajam ketujuh orang bayarannya, Ella mengamuk seketika. "Dasar bodoh. Kenapa kalian menghajar Sena, hah?" maki Ella. Menundukkan kepala, para orang bayaran itu tidak berani berkutik. "Ma-maaf, Bos. Kami gak tahu.""Dasar tolol! Gue kan udah bilang jangan sakiti Sena."Sena m