Beranda / Romansa / Bukan Siti Nurbaya / Pertemuan Dua Keluarga Besar

Share

Pertemuan Dua Keluarga Besar

Penulis: Ranti Kurnia
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Keluarga Gunandar telah bersiap-siap sejak sore. Mereka menyiapkan berbagai macam bingkisan untuk dibawa ke rumah keluarga Wijaya. Semua orang yang ada di rumah itu menyibukkan dirinya masing-masing untuk acara pertemuan dua keluarga ini.

Memangku kedua tangan di bawah dagu. Melamun memikirkan nasibnya di masa depan. Sena sungguh tidak menginginkan perjodohan ini. 

Jujur saja, Sena sedang malas berurusan dengan wanita, membuatnya pusing saja. Apalagi kejadian menyakitkan di masa lalu, membuat hatinya mati rasa. 

Sena masih ingat bagaimana dirinya dihianati pacar dan sahabatnya. Mereka berdua menjalin kasih di belakang Sena. Menancapkan luka secara bersamaan. 

Indah menghampiri anak semata wayangnya. "Sen... Ayo buruan mandi! Kalau Opa tau kamu belum siap-siap bisa marah."

Sena memegang perutnya, pura-pura sakit agar terhindar dari rencana perjodohan ini. "Ma, Sena nggak usah ikut ya. Perut Sena sakit banget ini, Ma."

"Opa tau kamu pura-pura, Sena. Ayo buruan mandi atau Opa akan mencoretmu dari daftar ahli waris dan menjadikanmu gelandangan di luaran sana!"

"Udah, buruan mandi!" perintah sang mama. 

Menyeret langkahnya yang begitu berat, Sena pun hanya bisa pasrah. Membayangkan dirinya diusir dari rumah dan menjadi gelandang membuat Sena bergidik ngeri. 

***

Bi Inah memasak lebih banyak dari biasanya untuk menyambut kedatangan keluarga Gunandar. Berbagai macam hidangan tersedia dengan lengkap di atas meja makan. Ada sayur, lauk pauk dengan aneka macam jenis ikan laut dan juga daging, berbagai macam buah-buahan, serta beberapa kue dan camilan untuk hidangan penutup.

Salman tersenyum hangat menyambut kedatangan keluarga Gunandar. Mereka duduk santai, berbincang, sambil sesekali tertawa. Sementara Sena hanya diam dan menyimak. Lebih tepatnya pemuda tampan itu tidak tahu harus bersikap bagaimana. Lebih baik dirinya diam, ketimbang ikut berbicara dan akan membuat keluarganya kesal. 

Arga melangkahkan kakinya mendekati Opa Gunandar, Abimanyu, dan Indah. Menyalami mereka satu persatu dengan sopan.

Arga mencoba mengakrabkan dirinya dengan calon adik ipar. Mengajak Sena melakukan tos. "Bro..." 

Sena pun membalas tos dari Arga. "Yoi..."

"Ini anakmu yang pertama, Man?" tanya Opa Gunandar. Sudah lama sekali tidak bersua dengan keluarga Wijaya, membuat Opa lupa-lupa ingat. 

"Iya, Opa. Arga anak sulung saya."

"Lalu anak perempuanmu mana?" tanya Opa Gunandar lagi. 

"Sebentar lagi mereka turun, Opa," jawab Arga.

Andina turun dari lantai dua terlebih dahulu. Andina tampak begitu anggun dengan dress motif bunga selutut berlengan balon. Riasan yang melekat pada wajahnya juga memancarkan kesan yang natural. Membuat gadis itu tampil memukau. Rambut panjangnya yang sepunggung dibiarkan terurai begitu saja. 

"Nah, itu anak saya yang nomor dua. Andina namanya," ucap Salman saat semua orang menatap Andina yang baru saja ikut bergabung.

"Ayo, Dina perkenalkan dirimu!" ucap Salman. 

"Dina, Opa, Tante, Om," ucap Andina sopan menyalami mereka semua. 

"Oh ya, kenalkan ini anak Om." Abimanyu memperkenalkan Sena. 

"Dina." Andina memperkenalkan dirinya dengan ramah, menjabat tangan Sena. 

"Sena," jawab Sena acuh. Membalas jabatan tangan Andina kemudian menarik tangannya kembali secara cepat. 

"Kamu anak Fakultas Ekonomi kan?" tanya Andina berbasa-basi. 

"Hmm..." gumam Sena. 

"Kamu tau siapa aku?" tanya Andina. 

"Ya, anak Fakultas Kedokteran," jawab Sena datarnya tanpa memandang Andina. 

'Eh bentar... Kalau dia yang mau dijodohin sama gue, berarti yang satunya lagi si kutu kupret itu dong. Secara mereka kembar. Astaga...' batin Sena berkecamuk.

Adinda turun bersama Risma. "Ma, Dinda ganti baju aja ya? Dinda nggak pede pakai baju ini."

"Kamu sangat cantik, Sayang. Harus percaya diri ya." Risma meyakinkan Adinda. 

Adinda hendak menuruni anak tangga. Tampak kegelisahan menyelimuti hatinya. Kali ini Adinda sangat gugup, meskipun penampilannya sangat memukau dan berbeda dari biasanya. Biasanya Adinda terlihat tomboy dan sangat cuek dengan apa yang dikenakannya. Namun, kali ini Adinda mengenakan dress model sabrina berwarna merah maroon selutut. Nampak terbalut indah di kulitnya yang putih. 

Make up tipis terkesan natural melekat pada wajah imutnya. Rambutnya yang sebahu dibiarkan terurai. Hanya diberi tambahan bando bermotif bunga. Menambah kesan manis pada penampilannya kali ini.

"Nah, itu anak saya yang ketiga. Namanya Adinda." Salman memperkenalkan Adinda. 

"Adinda, Opa, Om, Tante." Adinda memperkenalkan dirinya dengan sopan. Mencium punggung tangan ketiganya dengan takzim. 

Beralih pandang ke arah pria yang mungkin akan menjadi jodohnya, Adinda membelalakkan mata. Adinda benar-benar tidak menyangka akan dipertemukan kembali dengan loser menyebalkan itu pada situasi seperti ini. 

Adinda ingin menertawakan keadaan. Dunia benar-benar sedang mengajaknya bercanda. 

Netra keduanya saling bersirobok. "Elo?" ucap keduanya secara spontan. Saling menujuk satu sama lain. 

'Astaga... Dugaan gue jadi kenyataan kan. Bocah kutu kupret satu ini pasti juga jadi kandidat calon bini gue,' batin Sena seraya mengalihkan pandangan ke segala arah. 

'Tuh, lihat aja gayanya, songong begitu. Pengen gue timpuk palanya pake sandal,' gerutu Adinda. Sayangnya hanya mampu diucapkan dalam hati.

Melihat Adinda hanya berdiam diri saja, Salman membuka suara. "Dinda, duduk!" perintah Salman tegas. 

Adinda menggigit bibir bawahnya. Adinda tidak tahu lagi harus duduk di mana. Kursi yang kosong ada di sebelah Sena saja. Adinda bergeming seraya celingukan ke kanan dan ke kiri. Benar-benar seperti manusia linglung. 

"Ayo, duduk!" perintah Salman sekali lagi.

Tidak mau mendapati sang papa murka, Adinda terpaksa menjatuhkan tubuhnya di kursi samping Sena. 

Melirik sinis ke arah pria di sebelahnya, menyikut perutnya seraya mengucap lirih. "Heh, balikin ponsel gue."

Bukannya kesakitan perutnya kena sikut, Sena malah hampir saja tergelak. Untungnya Sena masih bisa bersikap normal dan berwajah datar. 

Oh iya, Sena bahkan lupa kalau dirinya masih menyimpan ponsel gadis itu. 

"Gak ada," balas Sena datar. 

"Lo jual ya?" tuduh Adinda. 

"Jangan bercanda dong. Ponsel itu penting buat gue. Balikin gak?" ucap Adinda sembari menahan emosinya agar tidak meledak. 

Sena melirik ke arah Adinda. Melihat napas gadis itu naik turun, menandakan sedang menahan kekesalannya, Sena memutar otaknya. Menarik sudut bibirnya ke atas. 

'Gue kerjain ah...' batin Sena. 

Menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan Adinda, Sena berbisik. "Akuin kalau gue ganteng di depan semua orang. Hadiahnya ponsel itu balik ke pemiliknya."

Hembusan napas Sena terasa menyentuh telinganya. Sedetik kemudian Adinda bergidik. Menggeser tubuhnya agar sedikit menjauh dari si loser. 

Sena menanti jawaban Adinda, tapi gadis itu tetap bergeming. 

"Yaudah, nggak gue balikin. Lumayan juga kalau dijual ke tukang rongsok."

Adinda mendelik. "Awas aja kalau berani. Gue sembelih juga lo curut," ancam Adinda. 

Netranya tidak lepas dari tingkah kedua insan yang tengah beradu mulut itu. Indah berdehem. Memecah perdebatan lucu diantara keduanya.

"Ehm... Ada yang udah tukeran ponsel nih. Bukannya kalau baru kenal itu tukeran nomor dulu ya?" goda Indah pada keduanya.

Wajah Sena maupun Adinda mendadak merah padam menahan malu. Baik Sena mupun Adinda tidak menyangka kalau perdebatan mereka sedari tadi diperhatikan oleh Indah. 

"Tukeran ponsel? Jadi kalian berdua memang sudah ada hubungan? Iya, begitu?" tanya Opa Gunandar. 

"Enggak Opa," balas Sena cepat. Tidak ingin terjadi salah paham yang bisa mengantarkan dirinya berjodoh dengan Adinda. 

Opa Gunandar terkekeh. "Kalau iya juga gapapa. Malah bagus. Mukamu nggak usah kaku begitu. Santai aja."

Sena mencebikkan bibir. "Dibilangin enggak ya enggak, Opa."

Opa Gunandar sibuk membatin, menertawakan Sena dalam hatinya. 'Malu-malu kucing garong ini mah si Sena.'

"Oh ya Man, jadi bagaimana keputusanmu tentang perjodohan ini?" tanya Opa Gunandar. 

"Saya menyerahkan semuanya pada Sena, Opa," balas Salman. 

"Nak Sena, kamu maunya menikah dengan Dinda atau Dina?" tanya Salman. 

"Saya nggak mau dua-duanya, Om," balas Sena acuh tak acuh. 

Opa Gunandar menatap tajam cucu satu-satunya. "Heh, yang benar saja kamu!"

"Opa, Om, dan Tante. Di sini Dina mau jujur. Sebenarnya Dina udah punya pacar. Dia kakak tingkat Dina di kampus. Um... jadi, Dina nggak mau dijodohin sama Sena," aku Andina. 

"Yasudah, kalau begitu Sena dengan Dinda saja. Beres kan?" ucap Opa Gunandar enteng. 

Baik Adinda maupun Sena tersentak. Keduanya tidak salah dengar kan? Apa tadi kata Opa Gunandar, mereka akan dinikahkan? Iya, begitu? Ah, yang benar saja. Dunia Sena bisa runtuh kalau menikah dengan si kutu kupret satu ini. Begitu pula dengan Adinda, malang sekali nasibnya bersanding dengan seorang loser. 

"Hah?" ucap keduanya bersamaan. 

"Nggak bisa gitu dong, Opa. Ini namanya nggak adil!" protes Adinda. 

"Nggak adil gimana? Dina kan udah punya pacar. Nggak mungkin mutusin pacarnya kan?" ucap Opa Gunandar. 

Sebelum adik bungsunya protes lagi, Arga membuka suaranya. "Saya setuju, Opa. Lagipula Dinda itu kan jomblo, jadi ya nggak ada yang dirugikan."

Adinda menatap Arga sengit. Bisa-bisanya Arga mendukung rencana perjodohan ini. Rasanya Adinda ingin menyumpal mulut Arga dengan sandal.

"Opa, Sena nggak mau dijodohin sama siapapun titik!" 

"Heh, lo pikir gue juga mau dijodohin? Apalagi dijodohinnya sama elo? Idih, najis," ceplos Adinda. 

"Dinda... Jaga ucapan kamu ya!" peringat Salman. 

Bahkan dalam situasi seperti ini pun Adinda tidak bisa menempatkan dirinya. Bersikap urakan dan ceplas ceplos, membuat Salman geram saja pada anak bungsunya satu ini. 

"Sudah... sudah..." Opa Gunandar menengahi.

"Opa sudah memutuskan akan menikahkan Dinda dan Sena tiga hari lagi. Perkara acara pernikahan, kalian berdua tinggal terima beres saja."

Lemas sudah seluruh persendian Adinda. Tulang-tulangnya seakan lepas dari tubuh. Tidak mampu lagi menyangga bobot tubuhnya.

Dengan setengah sadar, Adinda terhuyung ke samping. Setengah tubuh Adinda jatuh di atas pangkuan Sena. 

"Heh, jangan pingsan lo," gerutu Sena. Menepuk kedua pipi Adinda. 

"Dinda..."

Semua orang tampak panik. Memanggil nama 'Adinda' berulang kali. Kini, Adinda benar-benar tidak sadarkan diri. 

'Astaga... Nyusahin aja ini si kutu kupret.' Sena tidak henti-hentinya ngedumel. 

"Ga, bawa adikmu itu ke kamar. Kalau perlu disiram air. Papa curiga Dinda cuma pura-pura pingsan," bisik Salman pada Arga. 

"Sen, bantuin gotong Dinda," ucap Arga. 

"Hah?" balas Sena setengah terkejut. 

"Elo aja deh, Kak," imbuhnya. 

"Udah sana bantuin Arga. Nggak kasihan kamu lihat calon istrimu pingsan begitu?" sahut Opa Gunandar. 

Menggaruk tengkuk yang tidak gatal, Sena gamang. Malas sekali rasanya menolong si kutu kupret, tapi ya mau bagaimana lagi. Titah Baginda Gunandar tidak bisa diacuhkan begitu saja. 

Bab terkait

  • Bukan Siti Nurbaya   Pernikahan

    Tiga hari sudah kedua insan yang hendak melakukan prosesi sakral dipingit. Selama tiga hari itu keduanya hanya berada di rumah. Sebenarnya hal ini dilakukan kedua keluarga untuk menjaga anak cucu mereka agar tidak melarikan diri sebelum hari pernikahan. Kini, keduanya dipertemukan kembali dalam acara sakral. Sebuah pernikahan yang sama sekali tidak mereka sangka. Pernikahan konyol hanya untuk menjalankan wasiat Kakek Wijaya. Gadis mungil itu kini menjelma layaknya boneka hidup. Wajah imutnya dipulas begitu apik oleh MUA paling terkenal di kota ini, membuat siapa saja akan mengangumi maha karya sang perias. Tidak sia-sia Opa Gunandar mengirimkan perias handal untuk memulas wajah calon menantu tomboynya ini. Penampilan Adinda kali ini terlihat anggun dengan kebaya modern berwarna putih yang melekat sempurna di tubuhnya."Wah... cantiknya pengantinku satu ini," puji si perias tidak henti-hentinya memandangi hasil karyanya."Pantesan aja dipilih sama Mas Tampan (Sena), orang kamunya aja

  • Bukan Siti Nurbaya   Hari Pertama Bersama

    Tubuh sepasang pengantin itu terasa remuk redam. Bagaimana tidak, seharian dipajang dan menyalami para tamu yang terus-terusan berdatangan tanpa henti."Uh... hampir copot rasanya ini kaki," ucap Adinda seraya meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Adinda tidak habis pikir. Kedua keluarga itu mengundang begitu banyak tamu. Bahkan ada beberapa diantaranya yang berasal dari luar negeri. Jauh-jauh datang kemari hanya untuk menghadiri pesta pernikahan Adinda dengan Sena. "Nikah konyol aja dibikin seheboh ini. Apa Papa-Mama, Mertua, sama Opa pada nggak sayang sama duitnya ya?"Jelas sekali acara pernikahan ini menggelontorkan banyak dana. Semua tamu dan rekan bisnis yang berasal dari luar negeri saja disediakan hotel fasilitas bintang lima untuk tempat peristirahatan. "Ah udahlah, terserah. Yang penting temen-teman kampus gak ada yang tahu kalau gue nikah sama itu manusia loser."Adinda melipat ujung gaunnya. Melangkahkan kaki menuju tempat peraduan. Sepasang pengantin itu awalnya di

  • Bukan Siti Nurbaya   Hari Pertama Bersama 2

    Ceklek! Keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kaos oblong dan celanana kolor, Sena berjalan menuju tempat peraduan. Adinda terus mengekori pergerakan si loser melalui tangkapan netranya. Ranjang berderit, menandakan bahwa terdapat sebuah pergerakan. Si loser naik ke atas ranjang, membuat Adinda memicingkan matanya. "Heh, siapa yang ijinin lo naik ke atas ranjang?" tanya Adinda. "Gak ada," balas Sena cuek. Dibaringkannya tubuh yang terasa lelah di sebelah si kutu kupret. Adinda tidak terima si loser tidur di sampingnya. Enak saja, bisa-bisa si loser itu akan mengambil kesempatan dalam kesempitan saat Adinda terlelap nanti. Didorongnya tubuh Sena sekuat tenaga, tapi tetap saja tidak bergeming. Adinda dibuat kesal sejadi jadinya. Sementara Sena cuek saja. "Minggir ih, gue nggak sudi tidur seranjang sama loser," ucap Adinda. "Hmm..." balas Sena menggumam. Matanya terpejam. "Awas ih..." Adinda masih bersikeras mendorong tubuh besar itu agar beranjak dari atas ranjang. Dengan

  • Bukan Siti Nurbaya   Pindah Rumah

    Sang surya enggan menampakkan wajahnya. Awan hitam tampak mendominasi sebagian. Rupanya semalam suhu udara teramat dingin karena hendak turun hujan. Dua anak manusia masih bergelung di bawah selimut, di atap yang sama, tapi bukan pada satu peraduan yang sama. Sena yang semalam kesakitan akhirnya bisa kembali terlelap di atas ranjang. Sementara Adinda dengan rasa was-wasnya akhirnya bisa memejamkan mata di atas sofa. Tok... Tok... Tok... "Permisi, Non Dinda, Den Sena... Tuan dan Nyonya sudah menunggu di bawah untuk sarapan," ucap Bi Inah dari balik pintu.Baik Sena maupun Adinda, keduanya sama sekali tidak terusik oleh suara Bi Inah. Mereka berdua tampak tertidur pulas. "Dinda sama Sena mana Bi, kok nggak ikut turun?" tanya Risma saat melihat Bi Inah turun dari lantai dua seorang diri. "Maaf, Tuan, Nyonya. Non Dinda sama Den Sena belum bangun. Saya panggil berkali-kali nggak ada yang menyahut. Kalau begitu saya perimisi ke belakang dulu.""Udahlah, Ma, biarin aja. Namanya juga peng

  • Bukan Siti Nurbaya   Kesepakatan

    "Nah itu mereka," seru Arga."Kalian tersesat?" tanya Risma khawatir."Iya, Ma," jawab Adinda berkilah. "Yaudah, ayo masuk!" Risma mengajak Sena dan Adinda masuk ke dalam rumah."Sebelah sini ruang tamu. Nah, kalau yang ini ruang keluarga, kalau yang atas itu kamar kalian berdua," tunjuk Risma. "Gimana rumahnya, suka?" tanya Opa Gunandar.Adinda dan Sena hanya menganggukkan kepala lemah."Mulai sekarang kalian berdua akan tinggal di rumah ini. Opa berharap kalian bisa belajar hidup mandiri.""Dinda, mulai sekarang Papa nggak akan kasih kamu uang bulanan lagi. Kamu sudah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Sena," ucap Salman. "Ya nggak bisa gitu dong, Pa. Ini namanya nggak adil. Dinda kan udah nurutin kemauan Papa buat nikah sama Sena.""Sayang, Papa melakukan ini semua juga buat kebaikan kamu, Nak. Percayalah!" ucap Risma."Halah... bulshit!" jawab Adinda ngegas.Berlalu meninggalkan mereka semua, Adinda masuk ke dalam kamar, lalu mengunci pintu dari dalam. "Dinda..." ucap Risma semb

  • Bukan Siti Nurbaya   Kekhawatiran Adinda

    Kedua keluarga besar itu telah meninggalkan kediaman sepasang pengantin baru. Kini, tersisalah Sena dan Adinda. Raut wajah keduanya tampak kusut. Bagaimana tidak, kehidupan keduanya serasa jungkir balik. Mendadak menikah, mendadak hidup serba pas-pasan juga.Melangkahkan kaki mendekati Adinda, Sena perlahan mengikis jarak diantara keduanya. Menatap gadis itu dalam, lalu merengkuh pinggangnya. Sekian detik keduanya saling bersitatap, membuat Adinda kepayahan. Adinda memalingkan wajahnya. Adinda terlalu gugup. Dadanya bergemuruh, tubuhnya meremang. Tidak pernah sekalipun Adinda diperlakukan begini dengan seorang pria.Membingkai wajah Adinda, Sena mengulum senyum manisnya. Siapa saja pasti akan terpana melihat betapa tampannya makhluk satu ini. Termasuk Adinda. Adinda begitu larut dalam temu pandang itu. Hidung keduanya saling bertabrakan. Selangkah lagi Sena dapat menjemput rezeki. Merasakan betapa manisnya bibir merah muda yang halal disentuhnya. Adinda terpaku seketika. Gadis itu s

  • Bukan Siti Nurbaya   Kehidupan Baru

    Sena pikir, perlu adanya sebuah perjanjian pernikahan. Mengingat pernikahan ini hanya didasari sebuah keterpaksaan.Kini, keduanya tengah berkutat membubuhkan pena di atas selembar kertas.Sena Adi Pratama sebagai pihak pertama dan Adinda Almira Wijaya sebagai pihak kedua. Isi surat perjanjian yang dibuat Sena:[1. Pihak pertama dan pihak kedua bebas melakukan aktivitas apapun, seperti saat sebelum menikah. 2. Pihak pertama dan pihak kedua bebas menjalin hubungan dengan siapapun, asalkan tidak sampai ketahuan oleh pihak keluarga dan dapat menjaga rahasianya dengan baik. 3. Pihak pertama tidak memiliki kewajiban memberikan nafkah apapun, mengingat pernikahan ini hanyalah pernikahan sandiwara.4. Dilarang mencampuri urusan masing-masing.]Diberikannya surat perjanjian itu pada Adinda. "Nah, baca!"Netra Adinda menelusuri deretan abjad. Mengerutkan keningnya. Adinda tampak berpikir dengan apa yang ditulis si loser. "Nggak bisa gitu dong, masa gue nggak dikasih uang bulanan," protes A

  • Bukan Siti Nurbaya   Kecemburuan Sena

    "Laper..." rengek Adinda manja. "Bentar. Ada yang harus gue pastiin," ucap Sena. "Apa?""Kenapa elo nggak marah?" tanya Sena. "Marah soal apa?" Adinda balik bertanya. "Si brengsek itu udah cium pipi elo, Dinda..." ucap Sena geram. "Tapi, gue nggak berasa apa-apa, Sena."Sena melirik sinis ke arah Adinda. "Iyalah, orang elo pingsan.""Jangan-jangan om itu pacar elo? Makannya waktu lo tahu dicium biasa aja," tuduh Sena. "Nggak usah asal nuduh. Gue nggak punya pacar. Lagian yang lo maksud siapa sih? Bahas om-om mulu dari tadi.""Kan gue udah bilang gatau namanya, Dinda..." "Yaudah, biasa aja gausah ngegas."Adinda membuka kotak pizza. Mengambil sepotong hendak memakannya, tapi Sena menghalau pergerakannya. "Nggak usah dimakan udah jatuh. Jorok," cibir Sena. "Jatuhnya kan masih pake bungkus. Nggak bakalan kotor juga ini pizzanya. Udah ah awas, gue laper pengen makan."Sena bergeming. Enggan melepaskan cekalannya. "Jawab dulu, itu pacar elo atau bukan?"Adinda menelisik netra Sena.

Bab terbaru

  • Bukan Siti Nurbaya   Tamat

    Suasana penuh kebahagiaan menyertai kediaman keluarga Wijaya. Hari ini ketiga keluarga besar itu berkumpul menjadi satu untuk merayakan kehamilan Adinda.Sena mulai kesal karena dari tadi tidak diperbolehkan berdampingan dengan Adinda. Sedari tadi Opa Gunandar tidak mau jauh dari Adinda. Istri Sena itu hari ini dikuasai oleh Opa Gunandar. Opa Gunandar hanya terlampau bahagia karena sebentar lagi akan mempunyai cicit yang sudah lama didambakannya. "Perutnya Dinda jangan diusap terus dong, Opa. Lama-lama bisa mengikis entar," protes Sena. "Brisik! Ganggu orang lagi bahagia aja," kesal Opa Gunandar. "Ma, geseran dong! Sena pengen duduk sebelah Dinda," ucapnya pada Indah. "Nggak mau. Mama kan juga pengen dekat sama Dinda," tolak Indah. Sena mencebikkan bibirnya. Mama dan Opa-nya sama saja, paling hobi membuat Sena jengkel. Adinda terkekeh. "Sayang, ih... begitu aja masa ngambek," ledek Adinda. "Emang lebay banget tuh suami kamu. Tiap hari juga udah ngekepin, masih aja kurang," cibi

  • Bukan Siti Nurbaya   Jadi, Ini Sebabnya?

    Satu minggu ini kelakuan Adinda membuat Sena pusing tujuh keliling. Setiap hari ada saja hal yang menguji kesabaran Sena. Seperti saat ini, di tengah malam seperti ini Adinda ingin pergi melihat air terjun.Adinda menarik-narik baju Sena. Merengek seperti bocah balita. Keinginannya harus segera terpenuhi. Bila tidak, Adinda tidak akan merasa lega. "Ayo, berangkat sekarang, Yang!""Enggak!" tegas Sena. Sudah berulang kali Adinda merengek, berulang kali pula Sena menolak permintaan Adinda. Semua dirasa tidak masuk akal bagi Sena. Mana ada tempat wisata yang sudah buka di jam pocong seperti saat ini. Adinda berbalik, meringkuk dan memunggungi Sena. Wajahnya sangat masam. Di dalam batinnya itu, Adinda sangat kesal dan terus menggerutu. "Hih, dasar nyebelin. Pengen lihat air terjun aja nggak diturutin."Meraih ponsel di atas nakas, Adinda membuka aplikasi berwarna merah. Menonton video air terjun. Netranya tampak berbinar-binar saat melihat video tersebut. Suara gemericik air membuat h

  • Bukan Siti Nurbaya   Adinda Kerasukan Jin Tomang?

    Melihat wajah-wajah ketakutan, Pak Ihsan menahan tawanya agar tidak meledak. 'Mungkin mereka pikir aku ini dukun yang bisa baca pikiran orang kali ya. Apa tampangku begitu? ha ha ha.'"Nah, ini rumahnya Pak Dullah," ujar Pak Ihsan. Sejenak, Sena menghembuskan napas penuh kelegaan. Pak Ihsan benar-benar membawanya ke rumah Pak Dullah. 'Astagfirullah. Maafkan aku, Ya Allah, sudah suudzon.'"Malah bengong, ayo diketuk pintunya!" ucap Pak Ihsan. Belum sempat Sena mengetuk pintu, pintu sudah dibuka lebih dulu. Menampakkan sang pemilik rumah yang sedang mengulum senyum. "Assalamualaikum..." sapa Pak Dullah. "Waalaikumussalam...""Mau cari buah strawberry yang warnanya hijau kan?" tebak Pak Dullah.Lagi dan lagi, Sena dan Arfan saling melempar pandang. Misteri tentang Pak Ihsan yang bisa membaca pikiran mereka saja belum terpecahkan, ini sudah bertambah Pak Dullah. Semakin membuat Sena dan Arfan pusing saja. "Dari mana Bapak tahu?" tanya Sena heran. Pak Dullah tidak menjawab, justru

  • Bukan Siti Nurbaya   Adinda Yang Aneh Dan Strawberry Berbuntut Panjang

    "Sayang..." panggil Sena. "Kamu kenapa sih?" tanya Sena kesal karena sedari tadi diacuhkan. Takut mulut Sena beraroma bawang goreng, Adinda mendorong dada Sena. Enggan berdekatan dengan suaminya itu. Menutup hidung rapat-rapat. Biarlah menghindar dan menahan napas ketimbang muntah lagi."Kamu kenapa sih, Yang? Aku bau?""Awas ih, minggir!" teriak Adinda kesal. Menghembuskan napas ke udara, Sena mencium aroma dari dalam mulutnya sendiri. Sena rasa aroma napasnya masih segar. Tidak bau makanan atau apa, karena dia belum sempat makan tadi. Kembali duduk, Adinda sudah menjauhkan toples berisi bawang goreng itu dari jangkauannya. "Loh, bawang gorengnya ke mana, Yang?" tanya Sena. "Nggak ada, udah aku simpen.""Di mana?""Udah buruan duduk! Mau makan nggak?""Ya makan lah. Bentar, aku mau cari bawang goreng dulu.""Nggak ada. Awas ya kalau kamu berani makan bawang goreng, bakalan aku usir kamu dari rumah," ancam Adinda. "Yaelah, Yang. Bagi dikit doang. Jangan mentang-mentang kamu suk

  • Bukan Siti Nurbaya   Sidang Skripsi

    Dua minggu berlalu. Adinda, Sena, dan Arfan duduk di depan ruang sidang. Harap-harap cemas tampak di raut wajah Adinda dan Arfan ketika menunggu giliran selanjutnya. Berbeda dengan keduanya, Sena tampak santai dan biasa-biasa saja. "Sayang, kenapa donat tengahnya bolong?""Kalau yang utuh namanya bolu.""Salah. Yang utuh itu cinta aku ke kamu wkwk."Satu pukulan mendarat di lengan Sena. "Ih, dasar jokes Bapak-bapak.""He he... Biar sedikit mencair suasananya loh, Sayang. Habisnya kamu dari tadi tegang mulu sih.""Ya gimana nggak tegang. Mau sidang juga. Emangnya kamu, daritadi santai begitu.""Ya buat apa pusing-pusing sih. Kalau ditanya ya tinggal di jawab. Begitu aja repot.""Heh, enak banget ya itu bibir kalau ngoceh.""Kalian ini... Udah mau sidang masih aja ribut," ucap Arfan kesal. "Ya gimana, Fan. Abisnya si Sena ngeselin.""Halah. Ngeselin begitu juga lo bucin," cibir Arfan. "He he he... Jelas kalau itu mah," ucap Adinda cengangas-cengenges. "Arfan Ardyatama..." panggil pe

  • Bukan Siti Nurbaya   Penuh Rasa Syukur

    Ditemani Sena dan pengacaranya, Adinda memasuki ruang sidang. Segala macam bukti sudah Adinda kumpulkan, termasuk hasil visum bekas luka cambuk. Begitu mendudukkan diri, Adinda merasa tidak karuan. Tatapan nanar tertuju kepada mantan kekasih Sena itu. Memori sewaktu penyekapan terus berputar-putar memenuhi pikiran Adinda. Bayangan pecutan cambuk menggores kulit tangan. Sekelebat, Adinda memejamkan mata. Napasnya jadi tersengal-sengal. Ngilu sekali rasanya bila teringat hari itu. Jemari Adinda berada dalam genggaman tangan Sena. Sejenak, keduanya beradu pandang. Tatapan mata Sena seolah menjadi penenang. Sena selalu meyakinkan Adinda bahwa kebahagiaan sebentar lagi akan mereka raih. Adinda tenang karenanya. Sidang putusan berlangsung. Mantan kekasih Sena itu dijerat pasal 333 KUHP tentang penyekapan dan penculikan. Hukuman berlangsung paling lama sembilan tahun.Menjerit histeris usai persidangan, Ella menangis tersedu-sedu. Memohon pengampunan kepada Adinda dan Sena. Meminta belas

  • Bukan Siti Nurbaya   Ingin Punya Baby

    "Tante Dinda... Om Sena..." teriak Andina girang. "Baby Rion..." pekik Andina.Gemas, Adinda hendak mencium pipi gembul baby Arion, tapi ujung sweaternya ditarik dari belakang oleh Wildan."Heh, cuci tangan sama cuci kaki dulu kalau mau dekat-dekat sama Rion," ucap Wildan. Adinda mencebikkan bibirnya. "Iya... Iya..."Setelah membasuh tangan dan kaki, Adinda dan Sena mendekati baby Arion. Menimang dan menciumi pipinya dengan gemas."Sen..." lirih Adinda. "Hmm..." Sena hanya bergumam. Sibuk menimang baby Arion. "Kamu pengen punya yang kayak gini?""Pengen banget. Nanti sampai di rumah kita buat ya," balas Sena tersenyum lebar. Tentu saja Sena sudah menginginkan memiliki baby sendiri. Sena merasa bahwa sekarang dirinya sudah siap dan mampu menjadi seorang ayah. Namun, Adinda masih dilanda kebimbangan. Disatu sisi Adinda juga menginginkan hadirnya buah hati, tapi disisi lain Adinda ingin menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu baru memikirkan soal momongan. "Tapi gimana sama perjanj

  • Bukan Siti Nurbaya   Meniti Kebahagiaan

    Menyakiti diri sendiri sebagai bentuk pelampiasan emosi. Beberapa helai rambut rontok akibat kuatnya tarikan dari sang pemilik tubuh itu sendiri. Menjerit histeris layaknya orang kesurupan. Masih tidak bisa menerima bahwa dirinya bersalah dan harus merasakan buah dari akibat perbuatannya. "Arghhh..." teriaknya. "Diam! Berisik!" sentak wanita bertato. "Sumpal saja mulutnya dengan kaos kaki," ujar wanita kurus di sebelahnya mengompori. Wanita bertato mendekat, memandang tajam tahanan baru. Menelisik wajah cantik yang dipenuhi air mata. Merasa ngeri karena ditatap sedari tadi, Ella memalingkan wajahnya. Menghindari adu tatap lebih baik ketimbang cari perkara. "Heh, ada kasus apa sampai kau bisa masuk ke sini?" tanya wanita berambut keriting. Mengatupkan kedua bibir rapat-rapat, Ella enggan membuka suara. Membuat wanita bertato geram karena temannya diacuhkan. "Heh, jawab!" sentak wanita bertato."Penculikan.""Menculik siapa?" kepo wanita berambut keriting. "Istri mantan pacarku

  • Bukan Siti Nurbaya   War Dan Misi Penyelamatan

    Mendengar suara gaduh, Ella tergopoh menghampiri. Dilihatnya Sena yang sedang dihajar orang bayarannya."Hentikan!" teriak Ella. "Bos?""Mundur semuanya!" perintah Ella. "Sen, lo gapapa?" tanya Ella penuh perhatian.Sena menggeleng lemah. Memegang perutnya yang terasa nyeri akibat kena pukulan. "Ayo, bangun!"Meraih lengan Sena, Ella hendak membantu mantan kekasihnya itu berdiri. Sena menepisnya. Sena bisa berdiri sendiri tanpa bantuan dari Ella. Bukannya songong karena tidak mau dibantu, tapi mengingat Ella kerap kali mencelakai Adinda membuat Sena geram padanya."Lepasin, La. Gue bisa berdiri sendiri.""Tapi, Sen. Perut lo tadi kena pukulan.""Gapapa. Gue udah biasa dipukul kok," balas Sena ketus. Memandang tajam ketujuh orang bayarannya, Ella mengamuk seketika. "Dasar bodoh. Kenapa kalian menghajar Sena, hah?" maki Ella. Menundukkan kepala, para orang bayaran itu tidak berani berkutik. "Ma-maaf, Bos. Kami gak tahu.""Dasar tolol! Gue kan udah bilang jangan sakiti Sena."Sena m

DMCA.com Protection Status