Malam menjelang, riuh suara penonton telah memenuhi area pertandingan. Begitupun dengan Sena yang telah berada di area balap, sedangkan Adinda masih mondar mandir di parkiran dengan gelisah.
Karin berlari dengan tergesa-gesa "Dinda... Gawat Din, gawat," ucapnya sembari mengatur napasnya yang tersengal-sengal. "Apaan sih Rin? Gue lagi pusing nih ban motor gue kempes." Dinda memijat pelipisnya sembari menendang ban motornya yang kempes, menunjukkannya pada Karin. "Nah ini yang mau gue omongin. Motor lo disabotase sama Arfan. Tadi gue rekam, nih liat videonya!" Karin menyerahkan bukti rekaman sabotase itu pada Dinda. "Kenapa malah lo rekam sih? Harusnya tuh lo cegah! Peak lo," ucap Adinda setengah emosi. "Udah sekarang lo bawa bukti ini kesana. Kasih tunjuk tuh kalau motor lo disabotase sama Arfan biar geng Andromeda malu. Udah buruan!""Pinter juga ya lo." Adinda nyengir, menepuk bahu Karin, lalu pergi meninggalkannya. "Dih... Tadi aja bilang gue peak."Adinda berjalan memasuki area balap seraya menenteng helm fullface-nya. Geng Andromeda mengulum senyum remeh. Mereka mengira Adinda akan menyerah sebelum perang dimulai.Adinda berdiri di tengah-tengah area. "Semuanya dengerin gue..." ucapnya lantang, menarik atensi orang-orang yang ada di sana. "Motor gue disabotase sama Arfan. Ya... kalian tau lah siapa Arfan." Melirik ke arah Arfan dan tersenyum sinis. Seketika semua orang yang ada di area balap menatap Arfan dengan penuh tanda tanya. "Jangan asal lo kalau ngomong," jawab Arfan tidak terima namanya dibawa-bawa. "Gue punya buktinya. Lihat aja di grub wa kampus," ucap Adinda. Seketika semua orang mengeluarkan ponselnya. Melihat video yang dikirim Adinda di grub kampus."Huuu..." sorak sorai memenuhi area balap. Ada beberapa diantara pendukung Adinda yang anarkis. Melempari geng Andromeda dengan botol plastik bekas. Sena menundukkan kepalanya merasa malu. Sena tidak habis pikir dengan sikap Arfan yang bertindak semaunya sendiri. Begini kan akibatnya. Semua anggota geng Andromeda pastilah merasa malu, tidak ada harga dirinya sama sekali dihadapan pendukungnya sekalipun. "Arfan sengaja sabotase motor Dinda biar Sena bisa menang gaes," teriak Clara mengompori. Suasana semakin panas. Geng Andoromeda yang terkenal pembuat onar itu kini menjadi bahan bullyan. "Huuu... Dasar curang!""Ngakunya raja balap, tapi lawan cewek aja curang!""Sial!" umpat geng Andromeda bersamaan. "Semuanya tenang!" ucap Adinda tegas, membuat suara-suara ricuh itu berangsur sunyi. "Gue bakal lanjutin pertandingan ini lawan Sena pake motor matic.""Gue pinjem motor lo dulu buat balapan." Adinda membawa salah satu motor matic milik teman sekelasnya-Bagus. Sena yang terlanjur malu berjalan ke arah Rando, mengambil motor matic miliknya. "Gue pinjem dulu ya bro!" ijin Sena. Rando hanya mengangguk."Gue juga bakalan pake motor matic biar kita imbang," jawab Sena kemudian.Suasana di area balap berangsur membaik. Tidak ricuh seperti tadi. Pendukung geng Andromeda juga kembali ke tempat mereka. Bersiap mendukung sang raja balap. Sementara itu, wajah-wajah penuh kecemasan tampak pada raut wajah Arfan, Aldo, Bima, dan Rizal. Mereka berempat tidak sepenuhnya yakin kalau Sena akan keluar menjadi pemenang malam ini, mengingat Adinda begitu tangguh pada balapan sebelumnya.Sena dan Adinda memblayer-blayer motornya, saling menatap tajam satu sama lain, dan bersiap menarik gas motor mereka. Gadis pembawa bendera memberikan aba-aba. "One... Two..." Belum selesai aba-aba diucapkan, sialnya suara sirine polisi mendekat ke area balap."Kabur..." ucap mereka semua. Mereka semua berlari secepat mungkin untuk menghindari polisi. Mengurusi dirinya sendiri di tengah kepanikan yang melanda. Adinda pun bersiap menarik gas motor matic milik Bagus. Brem... Drttt... Motor milik Bagus tiba-tiba saja mati. Adinda mencoba menstarternya kembali. Sungguh sangat sial baginya, motor Bagus tetap tidak bisa distarter. Adinda akhirnya mengenjotnya. Sama saja. Hasilnya sia-sia. Speedometer bensin menunjukkan garis merah. Tanda bahwa bensin habis. Bila tidak mengingat motor ini milik temannya sudah Adinda rongsokkan. "Goblok emang si Bagus. Bisa-bisanya punya motor gak ada bensinnya," ucap Adinda kesal. Netranya menelisik ke segala penjuru area balap. Barangkali masih ada temannya yang tertinggal. Adinda akan menebeng. Sayang sekali, tidak tersisa satu orang pun di sana. Semua sudah berbondong bondong meninggalkan area balap. Menyisakan Adinda seorang diri. Adinda hendak berlari, sembunyi di toilet. Namun siapa sangka, polisi datang lebih cepat dari dugaannya. Polisi yang mengetahui Adinda di area balap membawanya ke polsek dan menahannya. Adinda menelepon papanya dan meminta bantuan agar dibebaskan dari sini.Adinda mencoba membuka suaranya. Sedari tadi sang papa hanya diam saja. Memarahinya pun tidak. Sikap acuh Salman justru membuat Adinda takut. Lebih baik dimarahi daripada diacuhkan."Pa... Dinda minta maaf. Dinda tau Dinda salah." Salman masih mengunci bibirnya. Enggan mengeluarkan satu kata pun. Rasanya terlalu kecewa. Kesabarannya menghadapi anak bungsu mulai terkikis. Paham akan kemarahan sang papa, Adinda beralih mendekati sang mama. "Ma... Dinda minta maaf. Dinda janji, ini jadi balapan yang terakhir buat Dinda.""Mama memafkanmu, Dinda. Mama mohon, jangan diulangi lagi. Jadikan ini pembelajaran. Kami menyayangimu, Din. Kamu tahu, bagaimana khawatirnya Mama dan Papa saat tengah malam mengetahui anak bungsunya tidak ada di rumah? Terlebih lagi kamu seorang gadis. Tentulah kami mengkhawatirkan keadaan anak gadis kami yang sering keluar malam dan membuat ulah."Ya begitulah Risma. Mau senakal apapun Adinda, dia pasti akan luluh dan memaafkan anak bungsunya. Adinda semakin merasa bersalah saja. Adinda tidak bisa menyenangkan hati kedua orangtuanya seperti kakak-kakaknya. Adinda selalu membuat ulah dan darah tinggi kedua orangtuanya naik. Adinda memeluk sang mama. "Makasih, Ma. Dinda sayang sama Mama.""Tolong bujuk Papa biar maafin Dinda ya, Ma," rengeknya. "Iya, Mama pasti berusaha bujuk Papa kamu. Kamu tenang aja. Besok Papa juga udah maafin kamu. Sekarang kamu isirahat ya." Risma mencium kening anak bungsunya. "Makasih, Ma. Good night." Adinda mencium pipi sang mama sebelum berlalu. Risma melangkahkan kakinya memasuki kamar. Tampak sang suami tengah bersandar pada headboard sembari membaca buku bisnis. "Pa..." panggil Risma sembari menyandarkan kepalanya pada dada bidang Salman. "Hmm," gumam Salman tanpa mengalihkan pandangannya. Salman paham, sangat paham dengan sikap sang istri. Sebentar lagi pasti Risma akan membujuknya untuk memaafkan anak bungsu mereka. "Maafin Dinda ya, Pa. Maafin mama juga yang belum bisa mendidik Dinda dengan baik. Mama janji akan mendidik anak bungsu kita lebih baik lagi."Nah kan, benar saja dugaan Salman. Saat ini Risma tengah membujuknya agar memaafkan anak bungsu mereka. "Udahlah, Ma. Papa juga udah capek sama anak pembangkang itu. Dari dulu emang susah banget diatur. Kita nikahin aja dia biar diurus sama suaminya."Mendengar ucapan Salman, Risma memicingkan matanya. Dahinya mengerut. Risma tidak habis pikir dengan sikap sang suami. Ucapannya barusan sama saja dengan melimpahkan Adinda pada orang lain. Salman juga tidak mau mengurus anak bungsu mereka lagi. "Maksud Papa?" tanya Risma. "Papa mau nikahin Dinda sama anak sahabat Papa," jawab Salman. Mengalihkan pandangannya dari buku bisnis ke arah sang istri. "Jangan ngaco ah, Pa." Risma memukul lengan suaminya. Risma mengira Salman hanya bercanda."Papa serius, Ma," jawabnya begitu serius. Tidak ada canda di raut wajahnya. Itu berarti Salman memang tidak bercanda dengan ucapannya."Tapi Dinda masih kuliah, Pa. Umurnya aja masih 20 tahun. Mana mau dia nikah muda.""Harus dipaksa biar mau," jawab Salman enteng. "Jangan gitu lah, Pa."Risma tidak setuju dengan pemikiran suaminya. Mengalihkan tanggung jawab Adinda pada orang asing. Ya, meskipun tanggung jawab itu suatu saat memang akan diambil alih oleh suami Adinda kelak. Tapi, bukan dengan cara seperti ini. Risma mau anak-anaknya menikah dengan cara baik-baik dan dengan orang yang mereka cintai. Bukan karena sebuah paksaan. Apalagi karena Salman sudah lelah mengurus anak bungsu mereka. Salman membuka brankasnya. Di dalam sana terdapat sebuah kotak yang isinya aset-aset peninggalan Kakek Wijaya. Ada sebuah surat wasiat juga di sana. Salman memberikan surat wasiat tersebut dan meminta Risma untuk membacanya. [Teruntuk Anak dan Cucuku;Wijaya Garment akan kuwariskan untuk putraku Salman. Butik dan beberapa salon kecantikan mendiang istriku akan dikelola menantuku-Risma. Tolong kelola dengan baik. Sebagimana amanat yang telah kuberitahu sebelum aku menutup usia.Seluruh aset tanah dan villa tolong bagikan dengan rata untuk ketiga cucuku. Ini bagian yang paling penting. Perusahaan tambang yang selama ini dikelola oleh orang kepercayaanku akan kuwariskan pada cucuku yang menikah dengan cucu Gunandar. Aku mengajukan persyaratan ini bermaksud untuk menjaga tali persaudaraan yang telah terbangun sejak lama dengan keluarga Gunandar.]"Opa Gunandar itu bukannya Papanya Pak Abimanyu ya, Pa?" tanya Risma. "Ya, kamu benar ma. Jadi dulu Papa Wijaya dan Opa Gunandar itu sahabat sejak kecil. Mereka memutuskan untuk menikahkan anak mereka kelak agar persaudaraan mereka tetap terjalin sampai kapanpun. Namun, anak dari Papa Wijaya dan Opa Gunandar sama-sama laki-laki-aku dan Abimanyu, jadi perjodohan itu diteruskan sampai anak keturunan kami." Salman menjelaskan isi dari surat wasiat tersebut pada Risma dengan detail. "Lalu anak Pak Abimanyu laki-laki atau perempuan, Pa?" tanya Risma. "Laki-laki, Ma. Makannya mau Papa jodohin sama Dinda atau Dina. Tapi mama tau sendiri kan kalau Dinda itu pembangkang, beda sama Dina yang selalu nurut sama kita. Papa maunya Dinda yang nikah duluan. Papa capek ngurusin anak pembangkang itu, Ma.""Jangan banding-bangdingkan anak, Pa, nggak baik. Soal perjodohan ini Papa harus kasih tau Dinda juga Dina. Biarkan mereka yang memilih siapa salah satu dari mereka yang ingin dinikahkan dengan keluarga Gunandar.""Mama nggak mau sampai dengar lagi kalau Papa ngomong 'capek ngurusin anak bungsu kita.' Biar bagaimanapun Dinda anak kita, Pa. Mama nggak suka Papa ngomong begitu."Salman mendekap mesra sang istri. "Iya... iya, Ma. Maafin Papa ya. Abisnya Papa kesel sama anak nakal itu. Nanti soal perjodohan ini Papa bilang sama Dinda-Dina dulu deh. Biar mereka yang putuskan."***"Pagi, Pa... Pagi, Ma." Andina mengecupi pipi mama dan papanya bergantian. Mendudukkan diri, ikut bergabung bersama kedua orangtuanya di meja makan. "Pagi juga, Sayang," jawab Salman dan Risma serempak. "Hari ini Kak Arga pulang ya, Pa, Ma?" tanya Andina antusias. "Ya, Papa suruh dia pulang," jawab Salman."Tumben Papa suruh Kak Arga balik?" tanya Andina lagi. "Ada yang mau Papa sampaikan ke kalian."Adinda yang masih mengantuk menyeret langkahnya dengan malas menuju meja makan. Biasanya Adinda akan sarapan sendiri bila masih ingin tidur, tapi kali ini sang papa menyuruhnya bergabung ke meja makan. "Hoam..." Adinda menguap dengan lebar tanpa menutup mulutnya. Salman yang melihat kelakuan anak bungsungnya sontak membelalakkan mata. "Mulutnya ditutup kalau nguap, nggak sopan!" ucapnya ketus. "Maaf, Pa. Dinda masih ngantuk." Adinda mengucek matanya yang berair akibat mengantuk. "Cuci muka dulu baru ke sini!" perintah Salman tegas. "Ya, Pa." Adinda menurut saja daripada kena ocehan papanya pagi-pagi begini. Ya, kan? Gadis itu segera berlalu meninggalkan meja makan untuk cuci muka terlebih dahulu. Setelah mencuci muka dan gosok gigi Adinda kembali ke meja makan. Tiba-tiba bel rumahnya berbunyi. Adinda membuka pintu rumahnya. Adinda melihat Arga di ambang pintu. Adinda langsung berlari dan memeluk kakaknya dengan erat. "Kak Arga, Dinda kangen banget sama Kakak.""Hai, Sayang. Kakak juga kangen sama adik bungsu kakak yang satu ini." Arga juga membalas pelukan Adinda. Keduanya pun menumpahkan kerinduan."Yaudah, masuk yuk!" suruh Adinda masih bergelayut manja dengan kakaknya. Arga memanggil Bi Inah. "Bi... Tolong bawa koper Arga ke kamar ya!""Baik, Den Arga."Arga melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Menghampiri sang papa, mama, dan juga adik tengahnya. "Pagi, Ma... Pagi, Pa..." Arga mencium punggung tangan kedua orangtuanya takzim. "Pagi juga, Sayang," jawab Salman dan Risma. "Kak Arga..." Andina merentangkan tangannya meminta dipeluk sang kakak."Hai, Sayang..." Ketika Arga hendak memeluk Andina, Adinda terus bergelayut manja pada Arga, membuat Andina sebal."Lepasin dulu Kak Arga-nya dong Din. Gue kan juga kangen sama Kak Arga," ucap Andina ketus. "Dih... Elo aja yang lepasin Kak Arga. Gue juga masih kangen sama Kak Arga tau," jawab Adinda tidak kalah ketus. Selalu saja begitu. Setiap kali ada Arga, baik Adinda maupun Andina berusaha untuk menguasasi sang kakak. "Udah... Udah jangan berantem. Ayo duduk dulu terus sarapan!" Risma melerai anak-anaknya. Mereka akhirnya sarapan dengan tenang. Setelahnya, Salman mengungkapkan tujuannya mengumpulkan anak-anaknya di sini. "Gimana bisnis kamu, Ga?" tanya Salman pada anak sulungnya. "Alhamdulillah lancar, Pa. Arga baru aja menang tender gede," jawab Arga dengan senyumnya yang lebar. Salman menepuk bahu Arga. Menandakan banga pada anak sulungnya. "Hebat anak Papa yang satu ini.""Berkat doa Mama dan Papa. Oh ya, tumben Papa suruh Arga balik. Ada apa?" tanya Arga penasaran.Tidak biasanya Salman memburunya agar cepat-cepat pulang. Bahkan saat Arga mengatakan dirinya sibuk dengan berbagai pekerjaan dan tidak bisa pulang pun, Salman memakluminya. Salman juga sudah memberikan kepercayaan penuh pada Arga untuk mengatur hidupnya sendiri. "Papa mau sampaikan surat wasiat dari Kakek Wijaya. Sekarang kalian bertiga baca surat ini baik-baik!" perintah Salman pada ketiga anaknya. Arga, Andina, dan Adinda membaca surat wasiat yang ditulis tangan oleh Kakek Wijaya. "Kakek Wijaya akan memberikan perusahaan tambang untuk salah satu diantara kita yang menikah dengan cucu Opa Gunandar. Begitu, Pa?" Arga berusaha menjelaskan maksud dari surat wasiat tersebut. "Ya, kamu benar, Ga.""Terus siapa yang mau dijodohin sama cucu Opa Gunandar?" tanya Arga. "Arga nggak mau dijodohin ya, Pa, meski dikasih perusahaan tambang sekalipun," imbuhnya. "Cucu Opa Gunandar itu cuma satu, laki-laki. Jadi nggak mungkin nikah sama kamu, Ga" kekeh Salman. "Syukurlah..." Arga mengurut dadanya penuh kelegaan karena bukan dia yang dijodohkan."Terus sama siapa, Pa?" tanya Andina"Ya, antara kalian berdua. Siapa lagi," jawab Salman cuek. "Dina nggak mau, Pa. Dina udah punya pacar. Papa kan tau." Andina melayangkan protesnya."Yaudah, Dinda aja lah yang jomblo. Beres kan?" celetuk Arga menjengkelkan.Adinda memukul lengan Arga. "Enak aja. Dinda juga nggak mau, Pa. Dinda masih pengen kuliah.""Nanti malam Opa Gunandar, Pak Abimanyu, Bu Indah, dan anak tunggal mereka akan ke sini. Biarkan mereka yang memilih antara kalian berdua. Keputusan ada di tangan mereka," jelas Salman tegas. "Ya nggak bisa gitu dong, Pa. Kita berdua kan bukan barang yang bisa asal comot gitu aja," protes Andina lagi. "Bener kata Kak Dina. Papa nggak bisa seenaknya gitu lah sama kita.""Udah... Udah... Pokoknya nanti malam kita ketemu dulu sama keluarga Opa Gunandar. Nurut sama Papa!" perintah Salman kemudian untuk menghentikan perdebatan ini. "Ishhh... Ma, tolonglah, Ma..." Adinda dan Andina merengek meminta pertolongan sang mama.Sementara Risma tidak bisa berbuat banyak. Sebenarnya Risma juga ingin anak-anaknya menikah dengan pilihan mereka sendiri, bukan karena dijodohkan, apalagi dipaksa seperti ini. Namun mau bagaimana lagi, semua ini juga karena wasiat Kakek Wijaya.Siapapun yang akhirnya betjodoh dengan cucu keluarga Gunandar nanti, Risma berharap anaknya itu mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Sampai akhir hayat nanti. "Kalian nurut aja sama Papa ya, Sayang."Jawaban Risma membuat kedua saudari kembar itu menunduk lesu.Keluarga Gunandar telah bersiap-siap sejak sore. Mereka menyiapkan berbagai macam bingkisan untuk dibawa ke rumah keluarga Wijaya. Semua orang yang ada di rumah itu menyibukkan dirinya masing-masing untuk acara pertemuan dua keluarga ini.Memangku kedua tangan di bawah dagu. Melamun memikirkan nasibnya di masa depan. Sena sungguh tidak menginginkan perjodohan ini. Jujur saja, Sena sedang malas berurusan dengan wanita, membuatnya pusing saja. Apalagi kejadian menyakitkan di masa lalu, membuat hatinya mati rasa. Sena masih ingat bagaimana dirinya dihianati pacar dan sahabatnya. Mereka berdua menjalin kasih di belakang Sena. Menancapkan luka secara bersamaan. Indah menghampiri anak semata wayangnya. "Sen... Ayo buruan mandi! Kalau Opa tau kamu belum siap-siap bisa marah."Sena memegang perutnya, pura-pura sakit agar terhindar dari rencana perjodohan ini. "Ma, Sena nggak usah ikut ya. Perut Sena sakit banget ini, Ma.""Opa tau kamu pura-pura, Sena. Ayo buruan mandi atau Opa akan mencore
Tiga hari sudah kedua insan yang hendak melakukan prosesi sakral dipingit. Selama tiga hari itu keduanya hanya berada di rumah. Sebenarnya hal ini dilakukan kedua keluarga untuk menjaga anak cucu mereka agar tidak melarikan diri sebelum hari pernikahan. Kini, keduanya dipertemukan kembali dalam acara sakral. Sebuah pernikahan yang sama sekali tidak mereka sangka. Pernikahan konyol hanya untuk menjalankan wasiat Kakek Wijaya. Gadis mungil itu kini menjelma layaknya boneka hidup. Wajah imutnya dipulas begitu apik oleh MUA paling terkenal di kota ini, membuat siapa saja akan mengangumi maha karya sang perias. Tidak sia-sia Opa Gunandar mengirimkan perias handal untuk memulas wajah calon menantu tomboynya ini. Penampilan Adinda kali ini terlihat anggun dengan kebaya modern berwarna putih yang melekat sempurna di tubuhnya."Wah... cantiknya pengantinku satu ini," puji si perias tidak henti-hentinya memandangi hasil karyanya."Pantesan aja dipilih sama Mas Tampan (Sena), orang kamunya aja
Tubuh sepasang pengantin itu terasa remuk redam. Bagaimana tidak, seharian dipajang dan menyalami para tamu yang terus-terusan berdatangan tanpa henti."Uh... hampir copot rasanya ini kaki," ucap Adinda seraya meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Adinda tidak habis pikir. Kedua keluarga itu mengundang begitu banyak tamu. Bahkan ada beberapa diantaranya yang berasal dari luar negeri. Jauh-jauh datang kemari hanya untuk menghadiri pesta pernikahan Adinda dengan Sena. "Nikah konyol aja dibikin seheboh ini. Apa Papa-Mama, Mertua, sama Opa pada nggak sayang sama duitnya ya?"Jelas sekali acara pernikahan ini menggelontorkan banyak dana. Semua tamu dan rekan bisnis yang berasal dari luar negeri saja disediakan hotel fasilitas bintang lima untuk tempat peristirahatan. "Ah udahlah, terserah. Yang penting temen-teman kampus gak ada yang tahu kalau gue nikah sama itu manusia loser."Adinda melipat ujung gaunnya. Melangkahkan kaki menuju tempat peraduan. Sepasang pengantin itu awalnya di
Ceklek! Keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kaos oblong dan celanana kolor, Sena berjalan menuju tempat peraduan. Adinda terus mengekori pergerakan si loser melalui tangkapan netranya. Ranjang berderit, menandakan bahwa terdapat sebuah pergerakan. Si loser naik ke atas ranjang, membuat Adinda memicingkan matanya. "Heh, siapa yang ijinin lo naik ke atas ranjang?" tanya Adinda. "Gak ada," balas Sena cuek. Dibaringkannya tubuh yang terasa lelah di sebelah si kutu kupret. Adinda tidak terima si loser tidur di sampingnya. Enak saja, bisa-bisa si loser itu akan mengambil kesempatan dalam kesempitan saat Adinda terlelap nanti. Didorongnya tubuh Sena sekuat tenaga, tapi tetap saja tidak bergeming. Adinda dibuat kesal sejadi jadinya. Sementara Sena cuek saja. "Minggir ih, gue nggak sudi tidur seranjang sama loser," ucap Adinda. "Hmm..." balas Sena menggumam. Matanya terpejam. "Awas ih..." Adinda masih bersikeras mendorong tubuh besar itu agar beranjak dari atas ranjang. Dengan
Sang surya enggan menampakkan wajahnya. Awan hitam tampak mendominasi sebagian. Rupanya semalam suhu udara teramat dingin karena hendak turun hujan. Dua anak manusia masih bergelung di bawah selimut, di atap yang sama, tapi bukan pada satu peraduan yang sama. Sena yang semalam kesakitan akhirnya bisa kembali terlelap di atas ranjang. Sementara Adinda dengan rasa was-wasnya akhirnya bisa memejamkan mata di atas sofa. Tok... Tok... Tok... "Permisi, Non Dinda, Den Sena... Tuan dan Nyonya sudah menunggu di bawah untuk sarapan," ucap Bi Inah dari balik pintu.Baik Sena maupun Adinda, keduanya sama sekali tidak terusik oleh suara Bi Inah. Mereka berdua tampak tertidur pulas. "Dinda sama Sena mana Bi, kok nggak ikut turun?" tanya Risma saat melihat Bi Inah turun dari lantai dua seorang diri. "Maaf, Tuan, Nyonya. Non Dinda sama Den Sena belum bangun. Saya panggil berkali-kali nggak ada yang menyahut. Kalau begitu saya perimisi ke belakang dulu.""Udahlah, Ma, biarin aja. Namanya juga peng
"Nah itu mereka," seru Arga."Kalian tersesat?" tanya Risma khawatir."Iya, Ma," jawab Adinda berkilah. "Yaudah, ayo masuk!" Risma mengajak Sena dan Adinda masuk ke dalam rumah."Sebelah sini ruang tamu. Nah, kalau yang ini ruang keluarga, kalau yang atas itu kamar kalian berdua," tunjuk Risma. "Gimana rumahnya, suka?" tanya Opa Gunandar.Adinda dan Sena hanya menganggukkan kepala lemah."Mulai sekarang kalian berdua akan tinggal di rumah ini. Opa berharap kalian bisa belajar hidup mandiri.""Dinda, mulai sekarang Papa nggak akan kasih kamu uang bulanan lagi. Kamu sudah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Sena," ucap Salman. "Ya nggak bisa gitu dong, Pa. Ini namanya nggak adil. Dinda kan udah nurutin kemauan Papa buat nikah sama Sena.""Sayang, Papa melakukan ini semua juga buat kebaikan kamu, Nak. Percayalah!" ucap Risma."Halah... bulshit!" jawab Adinda ngegas.Berlalu meninggalkan mereka semua, Adinda masuk ke dalam kamar, lalu mengunci pintu dari dalam. "Dinda..." ucap Risma semb
Kedua keluarga besar itu telah meninggalkan kediaman sepasang pengantin baru. Kini, tersisalah Sena dan Adinda. Raut wajah keduanya tampak kusut. Bagaimana tidak, kehidupan keduanya serasa jungkir balik. Mendadak menikah, mendadak hidup serba pas-pasan juga.Melangkahkan kaki mendekati Adinda, Sena perlahan mengikis jarak diantara keduanya. Menatap gadis itu dalam, lalu merengkuh pinggangnya. Sekian detik keduanya saling bersitatap, membuat Adinda kepayahan. Adinda memalingkan wajahnya. Adinda terlalu gugup. Dadanya bergemuruh, tubuhnya meremang. Tidak pernah sekalipun Adinda diperlakukan begini dengan seorang pria.Membingkai wajah Adinda, Sena mengulum senyum manisnya. Siapa saja pasti akan terpana melihat betapa tampannya makhluk satu ini. Termasuk Adinda. Adinda begitu larut dalam temu pandang itu. Hidung keduanya saling bertabrakan. Selangkah lagi Sena dapat menjemput rezeki. Merasakan betapa manisnya bibir merah muda yang halal disentuhnya. Adinda terpaku seketika. Gadis itu s
Sena pikir, perlu adanya sebuah perjanjian pernikahan. Mengingat pernikahan ini hanya didasari sebuah keterpaksaan.Kini, keduanya tengah berkutat membubuhkan pena di atas selembar kertas.Sena Adi Pratama sebagai pihak pertama dan Adinda Almira Wijaya sebagai pihak kedua. Isi surat perjanjian yang dibuat Sena:[1. Pihak pertama dan pihak kedua bebas melakukan aktivitas apapun, seperti saat sebelum menikah. 2. Pihak pertama dan pihak kedua bebas menjalin hubungan dengan siapapun, asalkan tidak sampai ketahuan oleh pihak keluarga dan dapat menjaga rahasianya dengan baik. 3. Pihak pertama tidak memiliki kewajiban memberikan nafkah apapun, mengingat pernikahan ini hanyalah pernikahan sandiwara.4. Dilarang mencampuri urusan masing-masing.]Diberikannya surat perjanjian itu pada Adinda. "Nah, baca!"Netra Adinda menelusuri deretan abjad. Mengerutkan keningnya. Adinda tampak berpikir dengan apa yang ditulis si loser. "Nggak bisa gitu dong, masa gue nggak dikasih uang bulanan," protes A
Suasana penuh kebahagiaan menyertai kediaman keluarga Wijaya. Hari ini ketiga keluarga besar itu berkumpul menjadi satu untuk merayakan kehamilan Adinda.Sena mulai kesal karena dari tadi tidak diperbolehkan berdampingan dengan Adinda. Sedari tadi Opa Gunandar tidak mau jauh dari Adinda. Istri Sena itu hari ini dikuasai oleh Opa Gunandar. Opa Gunandar hanya terlampau bahagia karena sebentar lagi akan mempunyai cicit yang sudah lama didambakannya. "Perutnya Dinda jangan diusap terus dong, Opa. Lama-lama bisa mengikis entar," protes Sena. "Brisik! Ganggu orang lagi bahagia aja," kesal Opa Gunandar. "Ma, geseran dong! Sena pengen duduk sebelah Dinda," ucapnya pada Indah. "Nggak mau. Mama kan juga pengen dekat sama Dinda," tolak Indah. Sena mencebikkan bibirnya. Mama dan Opa-nya sama saja, paling hobi membuat Sena jengkel. Adinda terkekeh. "Sayang, ih... begitu aja masa ngambek," ledek Adinda. "Emang lebay banget tuh suami kamu. Tiap hari juga udah ngekepin, masih aja kurang," cibi
Satu minggu ini kelakuan Adinda membuat Sena pusing tujuh keliling. Setiap hari ada saja hal yang menguji kesabaran Sena. Seperti saat ini, di tengah malam seperti ini Adinda ingin pergi melihat air terjun.Adinda menarik-narik baju Sena. Merengek seperti bocah balita. Keinginannya harus segera terpenuhi. Bila tidak, Adinda tidak akan merasa lega. "Ayo, berangkat sekarang, Yang!""Enggak!" tegas Sena. Sudah berulang kali Adinda merengek, berulang kali pula Sena menolak permintaan Adinda. Semua dirasa tidak masuk akal bagi Sena. Mana ada tempat wisata yang sudah buka di jam pocong seperti saat ini. Adinda berbalik, meringkuk dan memunggungi Sena. Wajahnya sangat masam. Di dalam batinnya itu, Adinda sangat kesal dan terus menggerutu. "Hih, dasar nyebelin. Pengen lihat air terjun aja nggak diturutin."Meraih ponsel di atas nakas, Adinda membuka aplikasi berwarna merah. Menonton video air terjun. Netranya tampak berbinar-binar saat melihat video tersebut. Suara gemericik air membuat h
Melihat wajah-wajah ketakutan, Pak Ihsan menahan tawanya agar tidak meledak. 'Mungkin mereka pikir aku ini dukun yang bisa baca pikiran orang kali ya. Apa tampangku begitu? ha ha ha.'"Nah, ini rumahnya Pak Dullah," ujar Pak Ihsan. Sejenak, Sena menghembuskan napas penuh kelegaan. Pak Ihsan benar-benar membawanya ke rumah Pak Dullah. 'Astagfirullah. Maafkan aku, Ya Allah, sudah suudzon.'"Malah bengong, ayo diketuk pintunya!" ucap Pak Ihsan. Belum sempat Sena mengetuk pintu, pintu sudah dibuka lebih dulu. Menampakkan sang pemilik rumah yang sedang mengulum senyum. "Assalamualaikum..." sapa Pak Dullah. "Waalaikumussalam...""Mau cari buah strawberry yang warnanya hijau kan?" tebak Pak Dullah.Lagi dan lagi, Sena dan Arfan saling melempar pandang. Misteri tentang Pak Ihsan yang bisa membaca pikiran mereka saja belum terpecahkan, ini sudah bertambah Pak Dullah. Semakin membuat Sena dan Arfan pusing saja. "Dari mana Bapak tahu?" tanya Sena heran. Pak Dullah tidak menjawab, justru
"Sayang..." panggil Sena. "Kamu kenapa sih?" tanya Sena kesal karena sedari tadi diacuhkan. Takut mulut Sena beraroma bawang goreng, Adinda mendorong dada Sena. Enggan berdekatan dengan suaminya itu. Menutup hidung rapat-rapat. Biarlah menghindar dan menahan napas ketimbang muntah lagi."Kamu kenapa sih, Yang? Aku bau?""Awas ih, minggir!" teriak Adinda kesal. Menghembuskan napas ke udara, Sena mencium aroma dari dalam mulutnya sendiri. Sena rasa aroma napasnya masih segar. Tidak bau makanan atau apa, karena dia belum sempat makan tadi. Kembali duduk, Adinda sudah menjauhkan toples berisi bawang goreng itu dari jangkauannya. "Loh, bawang gorengnya ke mana, Yang?" tanya Sena. "Nggak ada, udah aku simpen.""Di mana?""Udah buruan duduk! Mau makan nggak?""Ya makan lah. Bentar, aku mau cari bawang goreng dulu.""Nggak ada. Awas ya kalau kamu berani makan bawang goreng, bakalan aku usir kamu dari rumah," ancam Adinda. "Yaelah, Yang. Bagi dikit doang. Jangan mentang-mentang kamu suk
Dua minggu berlalu. Adinda, Sena, dan Arfan duduk di depan ruang sidang. Harap-harap cemas tampak di raut wajah Adinda dan Arfan ketika menunggu giliran selanjutnya. Berbeda dengan keduanya, Sena tampak santai dan biasa-biasa saja. "Sayang, kenapa donat tengahnya bolong?""Kalau yang utuh namanya bolu.""Salah. Yang utuh itu cinta aku ke kamu wkwk."Satu pukulan mendarat di lengan Sena. "Ih, dasar jokes Bapak-bapak.""He he... Biar sedikit mencair suasananya loh, Sayang. Habisnya kamu dari tadi tegang mulu sih.""Ya gimana nggak tegang. Mau sidang juga. Emangnya kamu, daritadi santai begitu.""Ya buat apa pusing-pusing sih. Kalau ditanya ya tinggal di jawab. Begitu aja repot.""Heh, enak banget ya itu bibir kalau ngoceh.""Kalian ini... Udah mau sidang masih aja ribut," ucap Arfan kesal. "Ya gimana, Fan. Abisnya si Sena ngeselin.""Halah. Ngeselin begitu juga lo bucin," cibir Arfan. "He he he... Jelas kalau itu mah," ucap Adinda cengangas-cengenges. "Arfan Ardyatama..." panggil pe
Ditemani Sena dan pengacaranya, Adinda memasuki ruang sidang. Segala macam bukti sudah Adinda kumpulkan, termasuk hasil visum bekas luka cambuk. Begitu mendudukkan diri, Adinda merasa tidak karuan. Tatapan nanar tertuju kepada mantan kekasih Sena itu. Memori sewaktu penyekapan terus berputar-putar memenuhi pikiran Adinda. Bayangan pecutan cambuk menggores kulit tangan. Sekelebat, Adinda memejamkan mata. Napasnya jadi tersengal-sengal. Ngilu sekali rasanya bila teringat hari itu. Jemari Adinda berada dalam genggaman tangan Sena. Sejenak, keduanya beradu pandang. Tatapan mata Sena seolah menjadi penenang. Sena selalu meyakinkan Adinda bahwa kebahagiaan sebentar lagi akan mereka raih. Adinda tenang karenanya. Sidang putusan berlangsung. Mantan kekasih Sena itu dijerat pasal 333 KUHP tentang penyekapan dan penculikan. Hukuman berlangsung paling lama sembilan tahun.Menjerit histeris usai persidangan, Ella menangis tersedu-sedu. Memohon pengampunan kepada Adinda dan Sena. Meminta belas
"Tante Dinda... Om Sena..." teriak Andina girang. "Baby Rion..." pekik Andina.Gemas, Adinda hendak mencium pipi gembul baby Arion, tapi ujung sweaternya ditarik dari belakang oleh Wildan."Heh, cuci tangan sama cuci kaki dulu kalau mau dekat-dekat sama Rion," ucap Wildan. Adinda mencebikkan bibirnya. "Iya... Iya..."Setelah membasuh tangan dan kaki, Adinda dan Sena mendekati baby Arion. Menimang dan menciumi pipinya dengan gemas."Sen..." lirih Adinda. "Hmm..." Sena hanya bergumam. Sibuk menimang baby Arion. "Kamu pengen punya yang kayak gini?""Pengen banget. Nanti sampai di rumah kita buat ya," balas Sena tersenyum lebar. Tentu saja Sena sudah menginginkan memiliki baby sendiri. Sena merasa bahwa sekarang dirinya sudah siap dan mampu menjadi seorang ayah. Namun, Adinda masih dilanda kebimbangan. Disatu sisi Adinda juga menginginkan hadirnya buah hati, tapi disisi lain Adinda ingin menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu baru memikirkan soal momongan. "Tapi gimana sama perjanj
Menyakiti diri sendiri sebagai bentuk pelampiasan emosi. Beberapa helai rambut rontok akibat kuatnya tarikan dari sang pemilik tubuh itu sendiri. Menjerit histeris layaknya orang kesurupan. Masih tidak bisa menerima bahwa dirinya bersalah dan harus merasakan buah dari akibat perbuatannya. "Arghhh..." teriaknya. "Diam! Berisik!" sentak wanita bertato. "Sumpal saja mulutnya dengan kaos kaki," ujar wanita kurus di sebelahnya mengompori. Wanita bertato mendekat, memandang tajam tahanan baru. Menelisik wajah cantik yang dipenuhi air mata. Merasa ngeri karena ditatap sedari tadi, Ella memalingkan wajahnya. Menghindari adu tatap lebih baik ketimbang cari perkara. "Heh, ada kasus apa sampai kau bisa masuk ke sini?" tanya wanita berambut keriting. Mengatupkan kedua bibir rapat-rapat, Ella enggan membuka suara. Membuat wanita bertato geram karena temannya diacuhkan. "Heh, jawab!" sentak wanita bertato."Penculikan.""Menculik siapa?" kepo wanita berambut keriting. "Istri mantan pacarku
Mendengar suara gaduh, Ella tergopoh menghampiri. Dilihatnya Sena yang sedang dihajar orang bayarannya."Hentikan!" teriak Ella. "Bos?""Mundur semuanya!" perintah Ella. "Sen, lo gapapa?" tanya Ella penuh perhatian.Sena menggeleng lemah. Memegang perutnya yang terasa nyeri akibat kena pukulan. "Ayo, bangun!"Meraih lengan Sena, Ella hendak membantu mantan kekasihnya itu berdiri. Sena menepisnya. Sena bisa berdiri sendiri tanpa bantuan dari Ella. Bukannya songong karena tidak mau dibantu, tapi mengingat Ella kerap kali mencelakai Adinda membuat Sena geram padanya."Lepasin, La. Gue bisa berdiri sendiri.""Tapi, Sen. Perut lo tadi kena pukulan.""Gapapa. Gue udah biasa dipukul kok," balas Sena ketus. Memandang tajam ketujuh orang bayarannya, Ella mengamuk seketika. "Dasar bodoh. Kenapa kalian menghajar Sena, hah?" maki Ella. Menundukkan kepala, para orang bayaran itu tidak berani berkutik. "Ma-maaf, Bos. Kami gak tahu.""Dasar tolol! Gue kan udah bilang jangan sakiti Sena."Sena m