Tiga hari sudah kedua insan yang hendak melakukan prosesi sakral dipingit. Selama tiga hari itu keduanya hanya berada di rumah. Sebenarnya hal ini dilakukan kedua keluarga untuk menjaga anak cucu mereka agar tidak melarikan diri sebelum hari pernikahan.
Kini, keduanya dipertemukan kembali dalam acara sakral. Sebuah pernikahan yang sama sekali tidak mereka sangka. Pernikahan konyol hanya untuk menjalankan wasiat Kakek Wijaya. Gadis mungil itu kini menjelma layaknya boneka hidup. Wajah imutnya dipulas begitu apik oleh MUA paling terkenal di kota ini, membuat siapa saja akan mengangumi maha karya sang perias. Tidak sia-sia Opa Gunandar mengirimkan perias handal untuk memulas wajah calon menantu tomboynya ini. Penampilan Adinda kali ini terlihat anggun dengan kebaya modern berwarna putih yang melekat sempurna di tubuhnya."Wah... cantiknya pengantinku satu ini," puji si perias tidak henti-hentinya memandangi hasil karyanya."Pantesan aja dipilih sama Mas Tampan (Sena), orang kamunya aja cantik begini, Mba," celetuk perias lainnya.Adinda mengulum senyum masam. 'Dipilih dari hongkong... Lihat muka gue aja si loser langsung enek,' batin Adinda. "Mba, kalau udah selesai beresin make up-nya keluar bentar ya! Saya mau sendirian dulu di kamar buat berdoa," kilah Adinda. "Yaudah, kami keluar dulu ya, Mba."Dengan tergesa-gesa, Adinda menutup pintu kamarnya. Menggulung selimut memanjang menjadi sebuah tali.Adinda membuka pintu kaca penghubung antara balkon dengan kamarnya. Hendak melilitkan tali yang dibuatnya pada pagar pembatas balkon. Menggigit bibir bawahnya seraya berkacak pinggang frustasi. "Sialan..." gerutu Adinda. Dua orang bodyguard tampak sedang berjaga di depan pagar rumah. Dua orang lainnya berjaga di sisi kanan dan kiri rumahnya. Mencoba berpikir keras disaat semuanya terasa buntu. Adinda akhirnya memiliki jalan keluar dari masalahnya. "Apa boleh buat, lewat pintu belakang aja deh."Berjalan mengendap-endap. Adinda sangka semua orang akan sibuk dengan acara ini dan tidak memperhatikannya.Ceklek! "Cantik banget sih adik Kak Arga," puji Arga. "Yuk turun!" ajaknya. "Uhm... Kak... Dinda ke kamar mandi dulu ya, pengen pipis ini.""Yaudah, buruan sana masuk.""Di kamar mandi bawah aja, Kak," cicit Adinda. "Emang kamar mandi kamarmu itu kenapa?" tanya Arga. "Airnya mati, Kak.""Ah, masa?" balas Arga tidak percaya."Beneran ih.""Yaudah, ayo."Arga dengan setia mengawal Adinda. Bahkan menunggu adiknya di depan kamar mandi. Semua ini Arga lakukan agar tidak kecolongan. Bisa saja kan Adinda mencari seribu satu cara untuk kabur di hari pernikahannya?"Buruan, Dinda... Semua orang udah nunggu kamu buat ijab.""Iya, bentar lagi. Perut Dinda mules ini," kilahnya. Sementara itu Adinda mencari cara untuk kabur. Mengetukkan jari ke kening seraya berpikir.Netranya berbinar tatkala mendapati jendela kecil di atas dinding kamar mandi. Adinda akan naik ke atas sana dan loncat ke bawah. Bukankah sangat cemerlang idenya itu? Di luar sana Arga merasa curiga karena Adinda tidak lekas membuka pintu. "Dinda... keluar, Din." Arga menggedor gedor pintu kamar mandi. Tidak ada sahutan apapun dari Adinda. Manusia pembangkang itu tengah berusaha kabur. Naik ke atas bak kamar mandi, hendak memanjat. "Dinda... jangan coba-coba kabur kamu ya. Kak Arga dobrak nih.""Sialan, bacot amat sih punya Kakak," sunggut Adinda. "Dinda... buruan keluar!" ucap Arga tegas. Sama saja. Tidak ada sahutan apapun dari Adinda. Gadis itu rupanya sedang fokus memanjat. Akhirnya... Adinda dapat meraih bingkai jendela. Tinggal selangkah lagi, kakinya naik ke atas bingkai dan loncat ke bawah. Beres deh, Adinda bisa kabur dan terbebas dari pernikahan konyol ini. Brak! Belum sempat kaki Adinda naik ke atas, Arga sudah mendobrak pintu kamar mandi. Menariknya turun dari atas bak mandi. "Oh... bagus ya kamu mau kabur.""Aduh, Kak... Ampun... Jangan diseret juga kali. Sakit tau.""Nggak ada ampun buat anak pembangkang kayak kamu."Arga terus menyeret Adinda. Di pertengahan jalan, Risma sudah menunggu Adinda. "Cuma jemput adikmu ke kamar aja lama banget sih, Ga. Udah ditungguin semua orang tau," omel Risma. "Biasalah, Ma. Anak pembangkang ini cari masalah, pake acara mau kabur manjat jendela kamar mandi," gerutu Arga. "Astaga, Dinda...""Yaudah, ayo buruan!"Adinda tidak bisa berbuat apapun selain meratapi nasib sialnya. Kacau sudah... Setelah ini dunianya akan benar-benar hancur. Adinda yakin seribu persen, setelah manusia loser itu menikahinya pastilah akan menyiksanya. Dengan wajah masam, Adinda duduk bersanding bersama Sena di depan penghulu. Detik demi detik berlalu. Sebentar lagi Adinda akan menjadi istri seorang Sena Adi Pratama. "Sudah siap semuanya? Apa bisa kita mulai sekarang?" tanya penghulu. Menghela napas berat, Sena menganggukkan kepala lemah. "Bismillahirrahmanirrahim. Saya nikahkan dan kawinkan engkau ananda Sena Adi Pratama Gunandar bin Abimanyu Pratama Gunandar dengan anak saya Adinda Almira Wijaya dengan mas kawin berupa satu unit perumahan dan seperangkat alat salat dibayar tunai," ucap Salman menghentakkan tangan Sena. "Saya terima nikah dan kawinnya Adinda Almira Wijaya binti Salman Wijaya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai," jawab Sena."Bagaimana saksi? Sah?" tanya penghulu. "Sah..." jawab para saksi. "Alhamdulillahirabbilalamin. Baarokallahu laka wa baaroka 'alaika wa jama'a bainakuma fi khoir." Penghulu membacakan doa untuk pengantin. "Mempelai wanita silahkan cium tangan mempelai pria sebagai wujud hormat pada suamimu!" ucap penghulu. Adinda dengan ragu mengamit tangan besar pria yang sekarang sudah sah menjadi suaminya. Menempelkan bibirnya pada punggung tangan Sena sekilas. Andai bukan karena menghormati keluarga dan para tamu undangan, sudah Adinda usap bibirnya. Sangat geli rasanya, meskipun hanya mencium punggung tangan pria itu. "Mempelai pria silahkan cium kening mempelai wanita sebagai wujud kasih sayang pada istrimu!" ucap penghulu. Mengikis jarak diantara keduanya, Sena membisikkan sesuatu sebelum mengecup kening harum Adinda. "Gausah geer, gue lakuin ini juga terpaksa," ucap Sena lirih. Namun, terdengar amat menyebalkan. Cup! Hanya sekilas dan begitu cepat Sena mengecup kening harum itu. Tidak ingin berlama-lama juga karena Sena merasa terpaksa melakukannya. Acara selanjutnya sungkeman. Sepasang pengantin yang tidak tampak bahagia itu meminta doa restu pada sesepuh dan orangtua. Yang sialnya hanyalah bualan semata. Jelas... Mana mau Adinda dan Sena melakukan pernikahan konyol ini dengan kesungguhan layaknya dua insan saling mencintai yang siap membina bahtera rumah tangga.Terlepas dari itu, kedua keluarga menitikkan air mata haru melepaskan Adinda dan Sena untuk membuka lembaran baru sebagai suami dan istri. Acara resepsi digelar dengan begitu mewah. Baik Salman, Abimanyu, maupun Opa Gunandar mengundang rekan bisnis mereka. Kalangan atas itu turut berbahagia atas menyatunya dua keluarga.Adinda berdecak. Merasa kesal karena dipajang seharian. "Ckckck... Sumpah ya, hari ini jadi hari tersial buat gue.""Emangnya gue enggak?" sahut Sena ketus. "Pokonya gue ogah jadi istri beneran buat elo.""Heh, emangnya lo pikir gue mau jadi suami beneran?""Bagus deh kalau gitu. Anggap aja kita nikah boongan.""Oke. Gue pegang omongan lo. Awas aja kalau sampai jatuh cinta sama gue."Adinda tertawa sumbang. "Idih, najis..."Tubuh sepasang pengantin itu terasa remuk redam. Bagaimana tidak, seharian dipajang dan menyalami para tamu yang terus-terusan berdatangan tanpa henti."Uh... hampir copot rasanya ini kaki," ucap Adinda seraya meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Adinda tidak habis pikir. Kedua keluarga itu mengundang begitu banyak tamu. Bahkan ada beberapa diantaranya yang berasal dari luar negeri. Jauh-jauh datang kemari hanya untuk menghadiri pesta pernikahan Adinda dengan Sena. "Nikah konyol aja dibikin seheboh ini. Apa Papa-Mama, Mertua, sama Opa pada nggak sayang sama duitnya ya?"Jelas sekali acara pernikahan ini menggelontorkan banyak dana. Semua tamu dan rekan bisnis yang berasal dari luar negeri saja disediakan hotel fasilitas bintang lima untuk tempat peristirahatan. "Ah udahlah, terserah. Yang penting temen-teman kampus gak ada yang tahu kalau gue nikah sama itu manusia loser."Adinda melipat ujung gaunnya. Melangkahkan kaki menuju tempat peraduan. Sepasang pengantin itu awalnya di
Ceklek! Keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kaos oblong dan celanana kolor, Sena berjalan menuju tempat peraduan. Adinda terus mengekori pergerakan si loser melalui tangkapan netranya. Ranjang berderit, menandakan bahwa terdapat sebuah pergerakan. Si loser naik ke atas ranjang, membuat Adinda memicingkan matanya. "Heh, siapa yang ijinin lo naik ke atas ranjang?" tanya Adinda. "Gak ada," balas Sena cuek. Dibaringkannya tubuh yang terasa lelah di sebelah si kutu kupret. Adinda tidak terima si loser tidur di sampingnya. Enak saja, bisa-bisa si loser itu akan mengambil kesempatan dalam kesempitan saat Adinda terlelap nanti. Didorongnya tubuh Sena sekuat tenaga, tapi tetap saja tidak bergeming. Adinda dibuat kesal sejadi jadinya. Sementara Sena cuek saja. "Minggir ih, gue nggak sudi tidur seranjang sama loser," ucap Adinda. "Hmm..." balas Sena menggumam. Matanya terpejam. "Awas ih..." Adinda masih bersikeras mendorong tubuh besar itu agar beranjak dari atas ranjang. Dengan
Sang surya enggan menampakkan wajahnya. Awan hitam tampak mendominasi sebagian. Rupanya semalam suhu udara teramat dingin karena hendak turun hujan. Dua anak manusia masih bergelung di bawah selimut, di atap yang sama, tapi bukan pada satu peraduan yang sama. Sena yang semalam kesakitan akhirnya bisa kembali terlelap di atas ranjang. Sementara Adinda dengan rasa was-wasnya akhirnya bisa memejamkan mata di atas sofa. Tok... Tok... Tok... "Permisi, Non Dinda, Den Sena... Tuan dan Nyonya sudah menunggu di bawah untuk sarapan," ucap Bi Inah dari balik pintu.Baik Sena maupun Adinda, keduanya sama sekali tidak terusik oleh suara Bi Inah. Mereka berdua tampak tertidur pulas. "Dinda sama Sena mana Bi, kok nggak ikut turun?" tanya Risma saat melihat Bi Inah turun dari lantai dua seorang diri. "Maaf, Tuan, Nyonya. Non Dinda sama Den Sena belum bangun. Saya panggil berkali-kali nggak ada yang menyahut. Kalau begitu saya perimisi ke belakang dulu.""Udahlah, Ma, biarin aja. Namanya juga peng
"Nah itu mereka," seru Arga."Kalian tersesat?" tanya Risma khawatir."Iya, Ma," jawab Adinda berkilah. "Yaudah, ayo masuk!" Risma mengajak Sena dan Adinda masuk ke dalam rumah."Sebelah sini ruang tamu. Nah, kalau yang ini ruang keluarga, kalau yang atas itu kamar kalian berdua," tunjuk Risma. "Gimana rumahnya, suka?" tanya Opa Gunandar.Adinda dan Sena hanya menganggukkan kepala lemah."Mulai sekarang kalian berdua akan tinggal di rumah ini. Opa berharap kalian bisa belajar hidup mandiri.""Dinda, mulai sekarang Papa nggak akan kasih kamu uang bulanan lagi. Kamu sudah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Sena," ucap Salman. "Ya nggak bisa gitu dong, Pa. Ini namanya nggak adil. Dinda kan udah nurutin kemauan Papa buat nikah sama Sena.""Sayang, Papa melakukan ini semua juga buat kebaikan kamu, Nak. Percayalah!" ucap Risma."Halah... bulshit!" jawab Adinda ngegas.Berlalu meninggalkan mereka semua, Adinda masuk ke dalam kamar, lalu mengunci pintu dari dalam. "Dinda..." ucap Risma semb
Kedua keluarga besar itu telah meninggalkan kediaman sepasang pengantin baru. Kini, tersisalah Sena dan Adinda. Raut wajah keduanya tampak kusut. Bagaimana tidak, kehidupan keduanya serasa jungkir balik. Mendadak menikah, mendadak hidup serba pas-pasan juga.Melangkahkan kaki mendekati Adinda, Sena perlahan mengikis jarak diantara keduanya. Menatap gadis itu dalam, lalu merengkuh pinggangnya. Sekian detik keduanya saling bersitatap, membuat Adinda kepayahan. Adinda memalingkan wajahnya. Adinda terlalu gugup. Dadanya bergemuruh, tubuhnya meremang. Tidak pernah sekalipun Adinda diperlakukan begini dengan seorang pria.Membingkai wajah Adinda, Sena mengulum senyum manisnya. Siapa saja pasti akan terpana melihat betapa tampannya makhluk satu ini. Termasuk Adinda. Adinda begitu larut dalam temu pandang itu. Hidung keduanya saling bertabrakan. Selangkah lagi Sena dapat menjemput rezeki. Merasakan betapa manisnya bibir merah muda yang halal disentuhnya. Adinda terpaku seketika. Gadis itu s
Sena pikir, perlu adanya sebuah perjanjian pernikahan. Mengingat pernikahan ini hanya didasari sebuah keterpaksaan.Kini, keduanya tengah berkutat membubuhkan pena di atas selembar kertas.Sena Adi Pratama sebagai pihak pertama dan Adinda Almira Wijaya sebagai pihak kedua. Isi surat perjanjian yang dibuat Sena:[1. Pihak pertama dan pihak kedua bebas melakukan aktivitas apapun, seperti saat sebelum menikah. 2. Pihak pertama dan pihak kedua bebas menjalin hubungan dengan siapapun, asalkan tidak sampai ketahuan oleh pihak keluarga dan dapat menjaga rahasianya dengan baik. 3. Pihak pertama tidak memiliki kewajiban memberikan nafkah apapun, mengingat pernikahan ini hanyalah pernikahan sandiwara.4. Dilarang mencampuri urusan masing-masing.]Diberikannya surat perjanjian itu pada Adinda. "Nah, baca!"Netra Adinda menelusuri deretan abjad. Mengerutkan keningnya. Adinda tampak berpikir dengan apa yang ditulis si loser. "Nggak bisa gitu dong, masa gue nggak dikasih uang bulanan," protes A
"Laper..." rengek Adinda manja. "Bentar. Ada yang harus gue pastiin," ucap Sena. "Apa?""Kenapa elo nggak marah?" tanya Sena. "Marah soal apa?" Adinda balik bertanya. "Si brengsek itu udah cium pipi elo, Dinda..." ucap Sena geram. "Tapi, gue nggak berasa apa-apa, Sena."Sena melirik sinis ke arah Adinda. "Iyalah, orang elo pingsan.""Jangan-jangan om itu pacar elo? Makannya waktu lo tahu dicium biasa aja," tuduh Sena. "Nggak usah asal nuduh. Gue nggak punya pacar. Lagian yang lo maksud siapa sih? Bahas om-om mulu dari tadi.""Kan gue udah bilang gatau namanya, Dinda..." "Yaudah, biasa aja gausah ngegas."Adinda membuka kotak pizza. Mengambil sepotong hendak memakannya, tapi Sena menghalau pergerakannya. "Nggak usah dimakan udah jatuh. Jorok," cibir Sena. "Jatuhnya kan masih pake bungkus. Nggak bakalan kotor juga ini pizzanya. Udah ah awas, gue laper pengen makan."Sena bergeming. Enggan melepaskan cekalannya. "Jawab dulu, itu pacar elo atau bukan?"Adinda menelisik netra Sena.
Hujan membasahi bumi. Tanah yang gersang kembali lembab. Bunga yang sempat layu kembali bersemi. Seorang wanita memandang nanar sekitarnya. Guratan penuh kesedihan nampak di wajahnya. Netranya tidak berhenti menitikkan air mata. Ya, dia tengah terisak di bawah guyuran air hujan.Memukuli dadanya sendiri yang terasa amat menyesakkan. Napas tersengal-sengal dan tercekat di tenggorokan. Tidak, dia tidak sanggup menerima kenyataan pahit ini. Dicampakkan saat tengah berbadan dua. Sebuah penyesalan menyelimuti perasaannya saat ini. Ah, andai saja malam itu tidak termakan bujuk rayu setan, pastilah tidak akan mengalami kesakitan yang sebegininya. Kotor. Itulah yang dirasakannya saat ini. Menggosok tubuh di bawah guyuran air hujan. Berharap air dari langit dapat meluruhkan seluruh dosa-dosanya. Hawa dingin kian terasa. Perpaduan hembusan angin dan guyuran air hujan membuat tubuhnya menggigil. Netranya mulai berkabut. Seluruh persendiannya terasa melemas. Hampir saja wanita itu limbung. Be
Suasana penuh kebahagiaan menyertai kediaman keluarga Wijaya. Hari ini ketiga keluarga besar itu berkumpul menjadi satu untuk merayakan kehamilan Adinda.Sena mulai kesal karena dari tadi tidak diperbolehkan berdampingan dengan Adinda. Sedari tadi Opa Gunandar tidak mau jauh dari Adinda. Istri Sena itu hari ini dikuasai oleh Opa Gunandar. Opa Gunandar hanya terlampau bahagia karena sebentar lagi akan mempunyai cicit yang sudah lama didambakannya. "Perutnya Dinda jangan diusap terus dong, Opa. Lama-lama bisa mengikis entar," protes Sena. "Brisik! Ganggu orang lagi bahagia aja," kesal Opa Gunandar. "Ma, geseran dong! Sena pengen duduk sebelah Dinda," ucapnya pada Indah. "Nggak mau. Mama kan juga pengen dekat sama Dinda," tolak Indah. Sena mencebikkan bibirnya. Mama dan Opa-nya sama saja, paling hobi membuat Sena jengkel. Adinda terkekeh. "Sayang, ih... begitu aja masa ngambek," ledek Adinda. "Emang lebay banget tuh suami kamu. Tiap hari juga udah ngekepin, masih aja kurang," cibi
Satu minggu ini kelakuan Adinda membuat Sena pusing tujuh keliling. Setiap hari ada saja hal yang menguji kesabaran Sena. Seperti saat ini, di tengah malam seperti ini Adinda ingin pergi melihat air terjun.Adinda menarik-narik baju Sena. Merengek seperti bocah balita. Keinginannya harus segera terpenuhi. Bila tidak, Adinda tidak akan merasa lega. "Ayo, berangkat sekarang, Yang!""Enggak!" tegas Sena. Sudah berulang kali Adinda merengek, berulang kali pula Sena menolak permintaan Adinda. Semua dirasa tidak masuk akal bagi Sena. Mana ada tempat wisata yang sudah buka di jam pocong seperti saat ini. Adinda berbalik, meringkuk dan memunggungi Sena. Wajahnya sangat masam. Di dalam batinnya itu, Adinda sangat kesal dan terus menggerutu. "Hih, dasar nyebelin. Pengen lihat air terjun aja nggak diturutin."Meraih ponsel di atas nakas, Adinda membuka aplikasi berwarna merah. Menonton video air terjun. Netranya tampak berbinar-binar saat melihat video tersebut. Suara gemericik air membuat h
Melihat wajah-wajah ketakutan, Pak Ihsan menahan tawanya agar tidak meledak. 'Mungkin mereka pikir aku ini dukun yang bisa baca pikiran orang kali ya. Apa tampangku begitu? ha ha ha.'"Nah, ini rumahnya Pak Dullah," ujar Pak Ihsan. Sejenak, Sena menghembuskan napas penuh kelegaan. Pak Ihsan benar-benar membawanya ke rumah Pak Dullah. 'Astagfirullah. Maafkan aku, Ya Allah, sudah suudzon.'"Malah bengong, ayo diketuk pintunya!" ucap Pak Ihsan. Belum sempat Sena mengetuk pintu, pintu sudah dibuka lebih dulu. Menampakkan sang pemilik rumah yang sedang mengulum senyum. "Assalamualaikum..." sapa Pak Dullah. "Waalaikumussalam...""Mau cari buah strawberry yang warnanya hijau kan?" tebak Pak Dullah.Lagi dan lagi, Sena dan Arfan saling melempar pandang. Misteri tentang Pak Ihsan yang bisa membaca pikiran mereka saja belum terpecahkan, ini sudah bertambah Pak Dullah. Semakin membuat Sena dan Arfan pusing saja. "Dari mana Bapak tahu?" tanya Sena heran. Pak Dullah tidak menjawab, justru
"Sayang..." panggil Sena. "Kamu kenapa sih?" tanya Sena kesal karena sedari tadi diacuhkan. Takut mulut Sena beraroma bawang goreng, Adinda mendorong dada Sena. Enggan berdekatan dengan suaminya itu. Menutup hidung rapat-rapat. Biarlah menghindar dan menahan napas ketimbang muntah lagi."Kamu kenapa sih, Yang? Aku bau?""Awas ih, minggir!" teriak Adinda kesal. Menghembuskan napas ke udara, Sena mencium aroma dari dalam mulutnya sendiri. Sena rasa aroma napasnya masih segar. Tidak bau makanan atau apa, karena dia belum sempat makan tadi. Kembali duduk, Adinda sudah menjauhkan toples berisi bawang goreng itu dari jangkauannya. "Loh, bawang gorengnya ke mana, Yang?" tanya Sena. "Nggak ada, udah aku simpen.""Di mana?""Udah buruan duduk! Mau makan nggak?""Ya makan lah. Bentar, aku mau cari bawang goreng dulu.""Nggak ada. Awas ya kalau kamu berani makan bawang goreng, bakalan aku usir kamu dari rumah," ancam Adinda. "Yaelah, Yang. Bagi dikit doang. Jangan mentang-mentang kamu suk
Dua minggu berlalu. Adinda, Sena, dan Arfan duduk di depan ruang sidang. Harap-harap cemas tampak di raut wajah Adinda dan Arfan ketika menunggu giliran selanjutnya. Berbeda dengan keduanya, Sena tampak santai dan biasa-biasa saja. "Sayang, kenapa donat tengahnya bolong?""Kalau yang utuh namanya bolu.""Salah. Yang utuh itu cinta aku ke kamu wkwk."Satu pukulan mendarat di lengan Sena. "Ih, dasar jokes Bapak-bapak.""He he... Biar sedikit mencair suasananya loh, Sayang. Habisnya kamu dari tadi tegang mulu sih.""Ya gimana nggak tegang. Mau sidang juga. Emangnya kamu, daritadi santai begitu.""Ya buat apa pusing-pusing sih. Kalau ditanya ya tinggal di jawab. Begitu aja repot.""Heh, enak banget ya itu bibir kalau ngoceh.""Kalian ini... Udah mau sidang masih aja ribut," ucap Arfan kesal. "Ya gimana, Fan. Abisnya si Sena ngeselin.""Halah. Ngeselin begitu juga lo bucin," cibir Arfan. "He he he... Jelas kalau itu mah," ucap Adinda cengangas-cengenges. "Arfan Ardyatama..." panggil pe
Ditemani Sena dan pengacaranya, Adinda memasuki ruang sidang. Segala macam bukti sudah Adinda kumpulkan, termasuk hasil visum bekas luka cambuk. Begitu mendudukkan diri, Adinda merasa tidak karuan. Tatapan nanar tertuju kepada mantan kekasih Sena itu. Memori sewaktu penyekapan terus berputar-putar memenuhi pikiran Adinda. Bayangan pecutan cambuk menggores kulit tangan. Sekelebat, Adinda memejamkan mata. Napasnya jadi tersengal-sengal. Ngilu sekali rasanya bila teringat hari itu. Jemari Adinda berada dalam genggaman tangan Sena. Sejenak, keduanya beradu pandang. Tatapan mata Sena seolah menjadi penenang. Sena selalu meyakinkan Adinda bahwa kebahagiaan sebentar lagi akan mereka raih. Adinda tenang karenanya. Sidang putusan berlangsung. Mantan kekasih Sena itu dijerat pasal 333 KUHP tentang penyekapan dan penculikan. Hukuman berlangsung paling lama sembilan tahun.Menjerit histeris usai persidangan, Ella menangis tersedu-sedu. Memohon pengampunan kepada Adinda dan Sena. Meminta belas
"Tante Dinda... Om Sena..." teriak Andina girang. "Baby Rion..." pekik Andina.Gemas, Adinda hendak mencium pipi gembul baby Arion, tapi ujung sweaternya ditarik dari belakang oleh Wildan."Heh, cuci tangan sama cuci kaki dulu kalau mau dekat-dekat sama Rion," ucap Wildan. Adinda mencebikkan bibirnya. "Iya... Iya..."Setelah membasuh tangan dan kaki, Adinda dan Sena mendekati baby Arion. Menimang dan menciumi pipinya dengan gemas."Sen..." lirih Adinda. "Hmm..." Sena hanya bergumam. Sibuk menimang baby Arion. "Kamu pengen punya yang kayak gini?""Pengen banget. Nanti sampai di rumah kita buat ya," balas Sena tersenyum lebar. Tentu saja Sena sudah menginginkan memiliki baby sendiri. Sena merasa bahwa sekarang dirinya sudah siap dan mampu menjadi seorang ayah. Namun, Adinda masih dilanda kebimbangan. Disatu sisi Adinda juga menginginkan hadirnya buah hati, tapi disisi lain Adinda ingin menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu baru memikirkan soal momongan. "Tapi gimana sama perjanj
Menyakiti diri sendiri sebagai bentuk pelampiasan emosi. Beberapa helai rambut rontok akibat kuatnya tarikan dari sang pemilik tubuh itu sendiri. Menjerit histeris layaknya orang kesurupan. Masih tidak bisa menerima bahwa dirinya bersalah dan harus merasakan buah dari akibat perbuatannya. "Arghhh..." teriaknya. "Diam! Berisik!" sentak wanita bertato. "Sumpal saja mulutnya dengan kaos kaki," ujar wanita kurus di sebelahnya mengompori. Wanita bertato mendekat, memandang tajam tahanan baru. Menelisik wajah cantik yang dipenuhi air mata. Merasa ngeri karena ditatap sedari tadi, Ella memalingkan wajahnya. Menghindari adu tatap lebih baik ketimbang cari perkara. "Heh, ada kasus apa sampai kau bisa masuk ke sini?" tanya wanita berambut keriting. Mengatupkan kedua bibir rapat-rapat, Ella enggan membuka suara. Membuat wanita bertato geram karena temannya diacuhkan. "Heh, jawab!" sentak wanita bertato."Penculikan.""Menculik siapa?" kepo wanita berambut keriting. "Istri mantan pacarku
Mendengar suara gaduh, Ella tergopoh menghampiri. Dilihatnya Sena yang sedang dihajar orang bayarannya."Hentikan!" teriak Ella. "Bos?""Mundur semuanya!" perintah Ella. "Sen, lo gapapa?" tanya Ella penuh perhatian.Sena menggeleng lemah. Memegang perutnya yang terasa nyeri akibat kena pukulan. "Ayo, bangun!"Meraih lengan Sena, Ella hendak membantu mantan kekasihnya itu berdiri. Sena menepisnya. Sena bisa berdiri sendiri tanpa bantuan dari Ella. Bukannya songong karena tidak mau dibantu, tapi mengingat Ella kerap kali mencelakai Adinda membuat Sena geram padanya."Lepasin, La. Gue bisa berdiri sendiri.""Tapi, Sen. Perut lo tadi kena pukulan.""Gapapa. Gue udah biasa dipukul kok," balas Sena ketus. Memandang tajam ketujuh orang bayarannya, Ella mengamuk seketika. "Dasar bodoh. Kenapa kalian menghajar Sena, hah?" maki Ella. Menundukkan kepala, para orang bayaran itu tidak berani berkutik. "Ma-maaf, Bos. Kami gak tahu.""Dasar tolol! Gue kan udah bilang jangan sakiti Sena."Sena m