Jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Semalaman Aneth tidak bisa tidur sama sekali. Ia telah mengemas barang-barangnya di kamar yang dipinjamkan Yuka untuknya. Keputusannya sejak kemarin sudah bulat. Hari ini ia akan meninggalkan apartemen Yuka. Meninggalkan laki-laki itu.
Sepulang kerja nanti dia akan membawa barang-barangnya. Ke mana pun. Ia bisa menyewa tempat. Masalah terakhir hanya pekerjaannya. Ia berharap laki-laki itu segera memecatnya, menyingkirkannya dari sana.
Masa kontrak kerjanya masih sekitar empat bulan kurang dua minggu. Sulit untuk harus menunggu pergi selama empat bulan. Ia tidak bisa lebih lama lagi melihat laki-laki itu.
Dengan langkah gontai Aneth bersiap keluar dari apartemen Yuka menuju kantor. Meski masih terlalu pagi, setidaknya ia tidak akan berpapasan dengannya di rumah. Ia benar-benar—
“Kamu mau ke mana?” Suara tenang dan maskulin itu mengejutkan Aneth.
Laki-laki yang sangat ingin dihindarinya kini b
Kalo orang yang kamu suka bilang, "kita nggak cocok", gimana perasaan kamu?
Hanya butuh satu kali naik bus untuk tiba di tempat tujuan Ivanka. Aneth mengikuti gadis itu turun, berjalan kaki menyebrangi jembatan penyebrangan. Entah mereka berada di mana. Meski hanya menempuh jarak sebentar, Aneth sama sekali buta daerah di sana. Selama dua tahun tinggal sendiri, hidupnya hanya berkutat seputar kos, mal, dan café terdekat.“Tunggu sini dulu, deh,” ujar Ivanka setelah berhenti melangkah di jalan yang sepi.“Ini di mana sih Van?” Aneth mengernyit menatap jalan sekelilingnya yang tampak asing. Baru pertama kali ia ke daerah ini.Perempuan mungil itu terkekeh. “Nggak tau, janjinya sekitar sini.”“Kok nggak asik gini jalannya? Sepi. Kenapa nggak di kantor aja COD-nya?”“Masa sih? Asik kok!” Seringai lebar Ivanka menyiratkan makna yang sulit ditebak.Kontan Aneth merasa bingung dengan raut wajah aneh gadis itu. “Hah?”“Oh, ada telepo
Sudah hari ketiga Aneth tidak masuk kerja. Selama itu pula Yuka tidak melihat gadis itu seujung kuku pun. Bahkan status pesannya masih tidak terkirim. Pikirannya kini mulai menyiksanya. Dia tidak bisa tenang lagi. Membuang harga dirinya, ia pergi menemui orang yang mungkin akan tahu di mana keberadaan gadis itu.Jam istirahat Yuka memasuki bangunan yang letaknya bersebelahan dengan gedung kantornya. Tempat yang dikenalnya, namun tak melulu didatanginya karena orang yang dia cari lebih sering berkunjung ke kantornya.“Siang Pak,” Suara seorang wanita menyapanya ramah dari dbalik meja sekretaris. “Sudah lama tidak berkunjung...” Menuturkan basa-basi singkat.“Siang. Direktur ada di tempat?”“Ada, Pak. Silakan masuk.” Wanita itu tersenyum ramah. Adalah hal biasa jika tamu gedung sebelah masuk tanpa membuat janji.Yuka berjalan dengan langkah besar menuju pintu di sudut ruangan. Tanpa menanggalkan tata kr
Tiga hari yang lalu.Hal yang pertama dirasakan saat kesadarannya mulai pulih adalah rasa sakit di belakang kepalanya, pergelangan tangan, dan kakinya. Dengan susah payah kelopak matanya bergerak membuka.‘Di mana ini?’Tempat usang yang sama sekali tidak dikenalinya menjadi pemandangan pertama saat membuka mata.“Wah, wah... putri tidur udah bangun rupanya,”Ia berkedip sejenak, berusaha menjernihkan penglihatannya. Dengan gerakan lemah menoleh ke sumber suara.“Vanka...” ucapnya lirih, masih terganggu rasa nyeri di kepala.“Gimana tidurnya? Nyenyak? Yah beberapa hari ini lo harus banyak-banyak istirahat sebelum mulai berpesta.”“Lo... ergh...” Aneth mengerang karena kepalanya terasa semakin nyeri saat ia mencoba berpikir. “Kenapa?” Akhirnya hanya satu kata itu yang dapat keluar dari mulutnya.“Kenapa apa sayang?” Gadis mungil y
Lapar. Ia belum makan sama sekali. Tubuhnya lemas dan terasa lengket karena keringat. Tapi juga tidak bisa protes. Dalam situasi seperti ini tidak tahu harus berbuat apa. Aneth betul-betul bingung sejak pertama membuka mata dan terbangun di tempat ini. Dengan pengkhianatan terbesar dua orang koleganya.Pintu kemudian terbuka, menampilkan sosok Ivanka yang berjalan masuk diiringi seseorang di belakangnya. Wanita tinggi semampai, berparas cantik nan angkuh dengan tahi lalat tipis di sudut atas bibirnya. Rambut panjang balayage bergelombang membingkai wajah tirusnya.Aneth kontan terbelalak melihat siapa yang datang bersama Ivanka. Musuh sesungguhnya mungkin bukanlah Ivanka. Melainkan wanita ini. Adeline Foresta.‘Mereka saling kenal?’Wanita itu lalu menoleh ke arah Aneth. “Gimana rasanya diikat? Sakit? Tapi belum sesakit hati gue waktu di-blacklist dari semua perusahaan Leovin, kan?”“Tenang a
Tubuhnya bergidik ngeri. Tidak ingin kejadian kelam dan pahit yang pernah menimpanya terulang kembali. Apa nasibnya benar-benar akan berakhir seperti ini? Sebenarnya kesalahan apa yang telah diperbuatnya selama hidup? Jika dosanya memang sebesar itu hingga harus menanggung hal yang berada di luar kendalinya, dia hanya bisa memohon ampun pada Sang Pencipta. Aneth memejamkan mata, meresapi napas kehidupan yang masih mengalir di tubuhnya. “Kamu berharga.” Ucapan terakhir Yuka terngiang begitu saja di kepalanya. Air mata mulai luruh seiring teringat kalimat sederhana yang begitu menyentuh nuraninya. Kali pertama seseorang mengatakan kalau dia berharga. Bahkan selama ini, ia tidak benar-benar menyayangi dirinya sendiri. Aneth mulai menyesali setiap kata menusuk yang diucapkannya pada Yuka. Kata ‘terakhir kali’ yang sempat diucapkannya dalam pikiran seolah menjadi kenyataan. Bukan. Bukan seperti ini ‘terakhir kali’ yang diharapkanny
Sempat merasa lega ketika berpikir Elden kembali datang mengunjunginya. Tapi sesaat kemudian napasnya tercekat di kerongkongan melihat siapa yang datang. Potongan melon yang akan ditusuk menggunakan garpu dengan tangan kirinya yang tidak dibebat meleset dan jatuh ke ranjang. Perasaan ini bukan hanya sekadar perasaan senang. Ada seberkas rindu. Sedikit tanda tanya, rasa takut, juga beragam perasaan lainnya yang membuat matanya menatap kaku bergeming. “Aneth,” panggil suara itu, seolah berjuta kembang api sedang meledak-ledak di dadanya. Aneth tertegun saat laki-laki itu melangkah masuk dan menghampirinya. Tatapan mata mereka saling mengunci, menatap satu sama lain. Rupanya tidak hanya Aneth saja yang merasakan warna-warni perasaan ini. Laki-laki itu mendekat, mengambil potongan melon yang terjatuh di ranjang. Membungkusnya dengan tisu dan membuangnya ke tempat sampah. Mulut Aneth terbuka hendak mengatakan sesuatu, tapi suaranya tidak keluar. Seluruh fo
“Saya aja sus,”“Biar gue aja, kok lo nggak pulang-pulang?” Elden jelas menyatakan perang sejak tadi. Yuka dapat menangkap sinyalnya.“Lo ngusir?”Aneth hanya bisa menghela napas sepanjang mendengarkan perdebatan kedua lelaki di depannya, saling berebut mengambil alih mangkuk bubur untuk makan sorenya. Sebenarnya mereka lelaki usia berapa sih?Sejak terbangun dari tidurnya, atmosfir di antara dua orang itu sudah memanas. Kamar Aneth yang sejak kemarin seperti suasana mengheningkan cipta mendadak bagai pasar kaget.Perawat yang bertugas membawakan makanan Aneth pun hanya tersenyum sambil memandangi dua makhluk tampan yang beradu mulut. Kapan lagi ia disuguhkan lukisan empat dimensi seindah ini.Yang satu berwajah kebarat-baratan dengan rambut coklat gelap, selaras matanya yang keemasan saat tersorot cahaya lampu. Tinggi, kekar, seksi, bergaya santai dengan kaus hitam polos lengan pendek dan jins robek
Keheningan menyapu ruangan setelah Elden meninggalkan mereka berdua. Ingin bicara, tapi tidak tahu mulai dari mana. Yuka sempat membuka ponselnya sebentar, meminta tolong pada Becca untuk mengirim ponsel baru beserta kartu perdana ke rumah sakit.“Pak,”“Neth,”Keduanya tiba-tiba memanggil berbarengan.Yuka agak tersentak saat Aneth kembali memanggilnya dengan jabatan. Merasa dianggap asing oleh wanita itu.“Kenapa panggilnya begitu lagi?” Akhirnya ia protes. “Dan lagi, kenapa Elden tau ukuran...” Kejengkelannya kembali naik ke permukaan mendapati fakta bahwa Elden lebih tahu tentang Aneth dibanding dirinya. Apa lagi tahu hingga dalam-dalamnya Aneth.Sialan!Dia bahkan hanya pernah berciuman dengan Aneth.“Jangan mikir aneh-aneh!” keluh Aneth jutek. “Itu... karena cuma dia kemarin yang bisa dimintain tolong. Saya mana bisa keluar sendiri?” Wajahnya
“Kamu tau, pertemuan kita waktu membahas kontrak... itu bukan pertemuan pertama kita?” tutur Yuka saat mereka duduk di ruang tengah. Sepasang alis Aneth terangkat naik menanggapi. “Ah, kamu ingat?” “Huh? Ternyata kamu tau? Kita pernah ketemu waktu—” “Waktu aku wisuda.” “Waktu aku masih kuliah.” Mereka bicara berbarengan. “Huh?” “Eh?” Keduanya bingung dengan jawaban yang tidak sinkron. “Waktu kamu wisuda?” Yuka mengulang jawaban Aneth dengan pertanyaan. “Iya, waktu itu lift penuh. Aku buru-buru naik tangga ke auditorium terus kesandung karena rok kebaya aku. Tapi kamu bantu menahanku di tangga dan ambilin tabung wisuda aku yang jatuh. Aku sempat kira kamu Valdi, tapi kamu nggak pakai toga.” “Ahh... waktu aku datang ke acara wisudanya Valdi, ya? Wisudanya kamu juga.” Aneth lalu mengangguk. Kemudian ganti ia yang bertanya. “Kalo waktu kamu kuliah itu, maksudnya kapan?” “Hm..
Setelah pesta pernikahan, banyak orang yang mengaitkannya dengan malam pertama. Nyatanya, gagasan mengenai malam pertama setelah pernikahan tidak selalu terjadi karena para pasangan cenderung lelah setelah seharian menjamu tamu. Tidur hanya dua hingga tiga jam sebelum acara, harus bangun dini hari khususnya pengantin wanita untuk berdandan, menghadiri acara peneguhan sesuai kepercayaan masing-masing, kemudian resepsi. Aneth yang baru pertama kali menikah—begitu juga dengan Yuka sebetulnya—merasa sekujur tubuh dan kakinya sakit karena terlalu lama berdiri. Padahal gaun pengantin didesain senyaman dan seringan mungkin untuk dikenakan di tubuh. Tapi tetap saja. Aneth sangat lelah berdiri dan menarik senyum senyum seharian. Setelah dibantu oleh kru untuk melepaskan gaunnya, ia masih harus membersihkan riasan dan melepas jepit-jepit di rambut. Saking lelahnya, Aneth dan Yuka langsung bergegas tidur semalam. Ya. Hanya tidur. “Morning,
Jalan-jalan sekitar resort, makan malam, dan bersantai sejenak. Saking semangatnya, rasanya Aneth tidak bisa memejamkan mata malam ini. Ia menyukai suasana di Bintan walaupun siang hari sangat terik. “Kamu belum mau tidur?” tanya Yuka yang melihat wajah Aneth masih tampak segar. “Aku belum ngantuk.” “Kamu suka di sini?” Aneth mengangguk sambil tersenyum lebar. “Kamu tau,” ucapnya memberi jeda sejenak. “Aku pernah berharap bisa pensiun dini dan menghabiskan sisa hidupku traveling ke berbagai tempat indah seperti ini.” “Aku bisa kabulin harapan kamu. Kita bisa pergi ke tempat-tempat yang kamu mau.” Aneth tersenyum. “Kalo jadi semudah itu rasanya aneh. Lagi pula pulang dari sini nanti kerjaan kamu udah menanti.” “Err... tolong jangan ingetin aku.” Keduanya lalu tertawa. “Aku mau ke jacuzzi, kamu mau ikut?” Yuka terdiam memandangi Aneth. Menyadari ajakan ambigunya, buru-buru Aneth menimpali, “Ma-mak
Semenjak bertemu dengan keluarga Yuka, Aneth sesekali diundang ke rumah orang tuanya pada akhir pekan. Katanya sekalian mengakrabkan diri karena mereka akan menikah. Jujur saja, sewaktu Yuka mengatakan ingin menikahi Aneth di depan kedua orang tuanya, Aneth masih merasa abu-abu. Menikah. Dulu, kata itu menjadi hal terakhir yang ada di pikirannya. Bahkan tidak masuk dalam rencana masa depannya. Tetapi sejak bersama Yuka, semuanya berubah. Keinginannya mulai berubah. Rencananya tak lagi miliknya sendiri. Belum lama ini dia juga baru tahu, kalau Yuka mengunjungi rumah Mama tanpa sepengetahuannya. Sewaktu Aneth pulang ke rumah, mamanya menceritakan apa yang disampaikan Yuka, termasuk hubungan mereka. Aneth sempat merasa takut dan tidak enak hati untuk mengakui. Tapi Mama kemudian berkata, “Kalau kamu memang mau menikah, jangan diam-diam aja. Setidaknya kasih tau kapan rencana kalian. Kamu juga bisa tanya persiapannya ke Kak Rena yang udah pengalaman
Benang kusut yang selama ini menghambat hubungan mereka sedikit demi sedikit terurai. Yuka telah mengumpulkan kepingan fakta yang menjadi sumber tanyanya pada gadis itu. Tinggal selangkah lagi. Hingga untaian benang yang berantakan lurus seutuhnya. Tatkala di pagi yang cerah, mobilnya yang kontras berhenti di depan rumah konvensional bergaya sederhana yang pernah dikunjunginya. Dia melangkah turun dari mobil. Berdiri di depan pagar hitam dengan ujung-ujung runcing yang tingginya melewati kepalanya. Dari celah pagar itu ia melongok ke pintu rumah yang terbuka. Berharap orang yang dicarinya ada di dalam. Sambil menghela napas dalam-dalam, ia mengumpulkan keberanian. Mengadu gembok yang tergantung di pagar agar menimbulkan suara bunyi. “Permisi,” panggilnya. Bukan, dia bukan mau jadi sales panci atau semacamnya. Dia perlu menemui seseorang. Tak lama kemudian tampak seorang wanita keluar dari dalam. Dengan raut keheranan berhenti melangkah di tera
Semakin langit menggelap, ruangan itu semakin ramai. Tidak seperti siang tadi yang sepi. Mungkin karena bukan akhir pekan, mereka baru menyempatkan datang sepulang kerja. Sebagian besar orang yang hadir mengenakan pakaian berwarna putih. Orang-orang sibuk menyalami keluarganya, memberikan ucapan belasungkawa. Di tengah suasana duka yang pekat, gadis itu sama sekali tidak merasakan apa-apa. Dia tidak menitikkan air mata seperti beberapa dari mereka yang datang. “Neth, gantian kamu sama Niko makan, gih di kamar. Biar Kak Rena sama Kak Denny aja yang jaga.” “Iya, Kak.” Aneth beranjak dari duduknya, diikuti Niko dengan mata sembab dan wajah bengkaknya sehabis menangis. Aneth tidak tahu lagi apa yang harus ia rasakan sementara orang-orang jelas menunjukkan kesedihan mereka. Bisa saja dia mengikuti yang lainnya, berpura-pura menangis. Namun, Aneth tidak suka bersikap munafik. Ada rasa sesak yang mengganjal, tapi bukan kesedihan. Mungkin penyesalan.
Banyak yang telah terjadi selama empat bulan ini. Mulai dari hal yang kurang menyenangkan hingga hal baik. Memori buruk yang terus dipendam dan menghantuinya selama bertahun-tahun ternyata dapat memudar hanya dalam watu beberapa bulan. Alasan baru baginya untuk tetap bertahan dan memiliki arti hidup yang sesungguhnya. Apakah ini takdir? Ataukah keberuntungan? Yang pasti ia akan memanfaatkannya sebaik mungkin. Segala hal yang semula bertentangan dengannya perlahan berbalik mendukungnya. Sampai suatu hari ketika terbangun, dia masih merasa semuanya bagai mimpi. Tapi ketika membuka ponselnya di pagi hari, Aneth tahu. Apa yang dialaminya adalah kenyataan. Setiap membuka mata, pesan itu selalu meyakinkannya. Ucapan selamat tidur, selamat pagi, atau sisa percakapan semalam yang membuatnya ketiduran. Bukan karena membosankan, hanya dia terlalu nyaman. Hingga insomnia tidak lagi dirasakannya akhir-akhir ini. *** “Kamu... gila....
Perasaan bahagia menyelimutinya sejak turun dari pesawat. Ia tak bisa menahan sudut-sudut bibirnya yang mengembang. Setelah beberapa hari terpisah, akhirnya dia akan menemui pujaan hati di rumah. Andai bisa seperti ini setiap hari, batinnya. Disambut di rumah sepulang kerja, terlelap bersisian dan bangun memandangi wajahnya, menghabiskan waktu senggang, juga melakukan aktivitas dengannya. Ia pasti menjadi laki-laki paling bahagia di dunia jika itu terjadi. “Pak, biar saya bawakan kopernya.” “Nggak pa-pa, Ren. Barang yang kamu udah banyak. Cari troli aja dulu.” Rendy kemudian mengangguk mengiyakan. Selama dua tahun bekerja menjadi asisten Yuka Damiani Leovin, ia diperlakukan dengan amat baik. Pria itu tidak pernah menyuruhnya sesuka hati dan bertingkah semena-mena, menghormati waktu kerja dan hari liburnya, menggunakan tutur kata yang sopan meski ia bawahannya. Bagi Rendy, baru kali ini dia bekerja senyaman ini walau aktivitasnya selama jam kerja padat
“Anda panggil saya?” tanya Aneth formal ketika memasuki ruangan. “Astaga, kita cuma berdua. Ngomong kayak biasa aja, Sayang,” “Kamu, nih. Kalo kedengaran orang lain kan, nggak enak. Udah cukup ya, Regina tau tentang kita. Jangan sampe ada pegawai lain lagi yang tau.” Melirik ke arah pintu besar yang baru ditutupnya. “Becca tau, Rendy tau, supirku juga tau. Memang kenapa kalo yang lainnya tau?” “Oke, mereka nggak masuk hitungan. Mereka orang kepercayaan kamu. Tapi kalau staf lain, bisa jadi biang gosip sekantor!” “Tenang ajaa. Yang lebih penting, aku pergi sore ini, loh. Kita nggak bisa ketemu beberapa hari. Memang kamu nggak bakal kangen?” Beranjak dari bangkunya, Yuka berjalan melewati Aneth yang masih berdiri. Berpindah duduk ke sofa. “Sini,” pinta laki-laki itu. Aneth pun mau tak mau mengikutinya, mengambil tempat di sebelahnya. Memiringkan badan saling berhadapan. Terasa sedikit aneh, ruang Direksi waktu itu menjadi