Jalan-jalan sekitar resort, makan malam, dan bersantai sejenak. Saking semangatnya, rasanya Aneth tidak bisa memejamkan mata malam ini. Ia menyukai suasana di Bintan walaupun siang hari sangat terik.
“Kamu belum mau tidur?” tanya Yuka yang melihat wajah Aneth masih tampak segar.
“Aku belum ngantuk.”
“Kamu suka di sini?”
Aneth mengangguk sambil tersenyum lebar. “Kamu tau,” ucapnya memberi jeda sejenak. “Aku pernah berharap bisa pensiun dini dan menghabiskan sisa hidupku traveling ke berbagai tempat indah seperti ini.”
“Aku bisa kabulin harapan kamu. Kita bisa pergi ke tempat-tempat yang kamu mau.”
Aneth tersenyum. “Kalo jadi semudah itu rasanya aneh. Lagi pula pulang dari sini nanti kerjaan kamu udah menanti.”
“Err... tolong jangan ingetin aku.” Keduanya lalu tertawa.
“Aku mau ke jacuzzi, kamu mau ikut?”
Yuka terdiam memandangi Aneth.
Menyadari ajakan ambigunya, buru-buru Aneth menimpali, “Ma-mak
Yuhuuu, nggak terasa ceritanya udah tamat. Bonus Part ga nih? Terima kasih buat pembaca yang sudah memberi apresiasi dengan like, komen, bintang, dan gems. Baiklah, nanti aku ceritakan sedikit pertemuan Aneth dan Yuka di masa lalu :*
Setelah pesta pernikahan, banyak orang yang mengaitkannya dengan malam pertama. Nyatanya, gagasan mengenai malam pertama setelah pernikahan tidak selalu terjadi karena para pasangan cenderung lelah setelah seharian menjamu tamu. Tidur hanya dua hingga tiga jam sebelum acara, harus bangun dini hari khususnya pengantin wanita untuk berdandan, menghadiri acara peneguhan sesuai kepercayaan masing-masing, kemudian resepsi. Aneth yang baru pertama kali menikah—begitu juga dengan Yuka sebetulnya—merasa sekujur tubuh dan kakinya sakit karena terlalu lama berdiri. Padahal gaun pengantin didesain senyaman dan seringan mungkin untuk dikenakan di tubuh. Tapi tetap saja. Aneth sangat lelah berdiri dan menarik senyum senyum seharian. Setelah dibantu oleh kru untuk melepaskan gaunnya, ia masih harus membersihkan riasan dan melepas jepit-jepit di rambut. Saking lelahnya, Aneth dan Yuka langsung bergegas tidur semalam. Ya. Hanya tidur. “Morning,
“Kamu tau, pertemuan kita waktu membahas kontrak... itu bukan pertemuan pertama kita?” tutur Yuka saat mereka duduk di ruang tengah. Sepasang alis Aneth terangkat naik menanggapi. “Ah, kamu ingat?” “Huh? Ternyata kamu tau? Kita pernah ketemu waktu—” “Waktu aku wisuda.” “Waktu aku masih kuliah.” Mereka bicara berbarengan. “Huh?” “Eh?” Keduanya bingung dengan jawaban yang tidak sinkron. “Waktu kamu wisuda?” Yuka mengulang jawaban Aneth dengan pertanyaan. “Iya, waktu itu lift penuh. Aku buru-buru naik tangga ke auditorium terus kesandung karena rok kebaya aku. Tapi kamu bantu menahanku di tangga dan ambilin tabung wisuda aku yang jatuh. Aku sempat kira kamu Valdi, tapi kamu nggak pakai toga.” “Ahh... waktu aku datang ke acara wisudanya Valdi, ya? Wisudanya kamu juga.” Aneth lalu mengangguk. Kemudian ganti ia yang bertanya. “Kalo waktu kamu kuliah itu, maksudnya kapan?” “Hm..
Gadis itu mengangkat kedua tangan, menengadahkan tangannya untuk dipandangi. Membalik-balikkannya dan memerhatikan dengan raut datar bekas luka yang ada di sana. Luka yang sudah kering dan sudah sembuh, namun masih ada jejak goresan dan bekas jahitan. Dia lalu membuka lemari pakaiannya, memilih blus lengan panjang yang dapat menutupi bekas lukanya. Ia tersenyum simpul menatap pantulan dirinya di cermin. Sempurna. Semuanya terlihat tampak normal. *** Sudah dua tahun Aneth tinggal di indekos yang letaknya di bagian selatan ibu kota. Menurutnya, lokasi di sana cukup strategis, banyak pusat perkantoran besar. Mengingat profesinya sebagai desainer grafis lepas, ia bisa mencari suasana baru dan mempelajari permintaan kebutuhan desain perkotaan. Selain itu akses kendaraan umum seperti bus juga mudah dijangkau. Keputusan untuk tinggal sendiri di indekos sebenarnya sebagai salah satu bentuk pelari
“Bagaimana saya bisa percaya begitu saja kalau Anda tidak akan cerita ke siapa pun?” tanya laki-laki itu dengan sebelah alis terangkat. Nada suaranya penuh selidik. “Mmm... itu...” Aneth tampak berpikir. Kepalanya berdenyut memikirkan jawaban yang tepat. Bagaimana bisa pertanyaan yang terdengar mudah itu sulit sekali dijawab. Kira-kira apa yang bisa meyakinkannya? Sungguh, dia tidak sengaja memergoki Yuka. “Umm... Anda tau kan, saya mengenal Ivy dan Valdi? Saya akan tutup mulut karena Anda kerabat dari teman saya,” Selain itu karena Aneth tidak tertarik dengan hubungan percintaannya. “Apa... Anda bisa percaya saya?” Ia bertanya lagi karena laki-laki itu belum merespon. ‘Kumohon, percaya saja dong.’ Akhirnya Yuka menghela napas. Tampak menemukan solusi yang mungkin menjadi jalan tengah mereka. “Begini saja, supaya saya bisa percaya dan mengawasi kamu, bagaimana kalau kamu bekerja di perusahaan k
Hari ini hari pertama ia masuk kerja. Tapi setelah jam pulang kerja, Aneth tidak tahu mengapa dia harus ikut ke ruangan ini. Ruangan yang pernah didatanginya satu kali sebelum bekerja di perusahaan ini. Ruangan dengan pintu besar berwarna coklat gelap yang elegan. Aneth hanya bisa menatap dua makhluk yang wajahnya hampir serupa itu. Seorang pria berparas lebih ceria dan jenaka. Dan seorang lagi pembawaannya lebih serius namun memesona. Kedua orang itu sedang berdiskusi, membicarakan tempat yang akan mereka tuju. Tidak, bukan berdiskusi. Lebih tepatnya Valdi yang lebih sibuk dan antusias. Tidak berubah, dia selalu punya caranya sendiri untuk bersenang-senang. Setidaknya begitu pikir Aneth. “Apa kita ke Cayden Bar buat welcome party Aneth?” Jadi, saat Aneth keluar lift dan berjalan di lobby hendak pulang, ia bertemu dengan Valdi. Susah payah ia menghindar agar lelaki itu tidak melihat dan tidak menyapanya. Wajah Valdi keburu sumringah
Kepala Aneth masih terasa sedikit pusing sewaktu tiba di kantor pagi ini. Ia benar-benar tidak percaya dengan kejadian semalam. Mengingatnya saja membuat detak jantungnya marathon nyaris melompat. Seharusnya ia ekstra hati-hati saat kakak perempuan Bosnya memperingatkannya. Bisa-bisanya Valdi menariknya dan hampir saja...Arghhh!Ia tidak ingin mengingatnya. Ingin marah, tapi anak itu sedang mabuk. Ia sedang memijat pelipisnya saat Yuka masuk ke lift yang sama dengannya.“Eh, Neth.”“Pagi Pak,” sapa Aneth sopan.Hari ini pun sepupu temannya sekaligus Bosnya itu tampak tampan dan cerah. Padahal semalam dia juga habis minum banyak. Tapi pagi ini tetap terlihat segar. Orang ganteng mah beda, ya. Gaya berpakaiannya selalu terlihat rapi dan modis, selera para wanita seperti di drama-drama yang sering ditontonnya atau komik-komik yang sering dibacanya.Ia jadi teringat, kalau saja kemarin bu
Laki-laki itu terus memerhatikan orang yang berlalu lalang keluar saat jam pulang kantor. Tapi perempuan yang dicarinya sama sekali tidak tampak. Ia menghela napas. Sepuluh menit, ia paling tidak suka menunggu dan membuang-buang waktu. Akhirnya ia putuskan untuk naik ke kantor Direksi.“Eh, Aneth lembur apa gimana sih?” tanya Valdi tanpa basa-basi ke kakak sepupunya.“Mana gue tahu, gue nggak urusin satu persatu karyawan lah.”“Ya kali aja lo tau. ““Telepon aja sih.”“Masalahnya gue nggak punya nomor Hp-nya.”Yuka yang sedang membaca berkasnya berhenti sejenak dan mengernyit. “Aneh, padahal kalian pergi bareng melulu. Lagian lo ngapain sih, udah mau nikah masih pergi berduaan sama cewek lain. Mantan pula,”“Bukan mantan, cuma pernah dekat,” koreksi Valdi. “Gue bosan aja, dia bisa gue ajak makan di tempat yang gue pingin. Lo aja nggak mau gue aja
Setelah bicara soal masa lalu mereka, Valdi menyuruh Aneth meminum obatnya. Karena Valdi tidak begitu tahu gejala yang dialami Aneth, ia membelikan beragam obat-obatan. Biar Aneth yang memilih, pikirnya.Mudah baginya untuk menginterogasi orang yang mabuk dan orang yang sedang sakit. Keduanya tidak begitu berbeda. Mereka akan mengalami masa-masa di mana emosi mereka sulit dikontrol dan akan bicara begitu saja tentang apa yang mereka pikirkan.Di saat Aneth merasa tambah lemas dan mengantuk, Valdi terus melayangkan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya ingin dia dengar langsung dari Aneth.“Apa waktu itu lo memang nggak ada rasa sama sekali ke gue?” tanyanya sambil membantu Aneth berbaring.“Bukan begitu. Mana mungkin gue bisa merespon sementara lo belum lama putus dari teman gue.” Aneth mengalihkan pandangannya dengan sebelah tangan menutupi wajahnya. Ia tidak ingin Valdi membaca ekspresinya saat ini.“Jadi lo juga suk
“Kamu tau, pertemuan kita waktu membahas kontrak... itu bukan pertemuan pertama kita?” tutur Yuka saat mereka duduk di ruang tengah. Sepasang alis Aneth terangkat naik menanggapi. “Ah, kamu ingat?” “Huh? Ternyata kamu tau? Kita pernah ketemu waktu—” “Waktu aku wisuda.” “Waktu aku masih kuliah.” Mereka bicara berbarengan. “Huh?” “Eh?” Keduanya bingung dengan jawaban yang tidak sinkron. “Waktu kamu wisuda?” Yuka mengulang jawaban Aneth dengan pertanyaan. “Iya, waktu itu lift penuh. Aku buru-buru naik tangga ke auditorium terus kesandung karena rok kebaya aku. Tapi kamu bantu menahanku di tangga dan ambilin tabung wisuda aku yang jatuh. Aku sempat kira kamu Valdi, tapi kamu nggak pakai toga.” “Ahh... waktu aku datang ke acara wisudanya Valdi, ya? Wisudanya kamu juga.” Aneth lalu mengangguk. Kemudian ganti ia yang bertanya. “Kalo waktu kamu kuliah itu, maksudnya kapan?” “Hm..
Setelah pesta pernikahan, banyak orang yang mengaitkannya dengan malam pertama. Nyatanya, gagasan mengenai malam pertama setelah pernikahan tidak selalu terjadi karena para pasangan cenderung lelah setelah seharian menjamu tamu. Tidur hanya dua hingga tiga jam sebelum acara, harus bangun dini hari khususnya pengantin wanita untuk berdandan, menghadiri acara peneguhan sesuai kepercayaan masing-masing, kemudian resepsi. Aneth yang baru pertama kali menikah—begitu juga dengan Yuka sebetulnya—merasa sekujur tubuh dan kakinya sakit karena terlalu lama berdiri. Padahal gaun pengantin didesain senyaman dan seringan mungkin untuk dikenakan di tubuh. Tapi tetap saja. Aneth sangat lelah berdiri dan menarik senyum senyum seharian. Setelah dibantu oleh kru untuk melepaskan gaunnya, ia masih harus membersihkan riasan dan melepas jepit-jepit di rambut. Saking lelahnya, Aneth dan Yuka langsung bergegas tidur semalam. Ya. Hanya tidur. “Morning,
Jalan-jalan sekitar resort, makan malam, dan bersantai sejenak. Saking semangatnya, rasanya Aneth tidak bisa memejamkan mata malam ini. Ia menyukai suasana di Bintan walaupun siang hari sangat terik. “Kamu belum mau tidur?” tanya Yuka yang melihat wajah Aneth masih tampak segar. “Aku belum ngantuk.” “Kamu suka di sini?” Aneth mengangguk sambil tersenyum lebar. “Kamu tau,” ucapnya memberi jeda sejenak. “Aku pernah berharap bisa pensiun dini dan menghabiskan sisa hidupku traveling ke berbagai tempat indah seperti ini.” “Aku bisa kabulin harapan kamu. Kita bisa pergi ke tempat-tempat yang kamu mau.” Aneth tersenyum. “Kalo jadi semudah itu rasanya aneh. Lagi pula pulang dari sini nanti kerjaan kamu udah menanti.” “Err... tolong jangan ingetin aku.” Keduanya lalu tertawa. “Aku mau ke jacuzzi, kamu mau ikut?” Yuka terdiam memandangi Aneth. Menyadari ajakan ambigunya, buru-buru Aneth menimpali, “Ma-mak
Semenjak bertemu dengan keluarga Yuka, Aneth sesekali diundang ke rumah orang tuanya pada akhir pekan. Katanya sekalian mengakrabkan diri karena mereka akan menikah. Jujur saja, sewaktu Yuka mengatakan ingin menikahi Aneth di depan kedua orang tuanya, Aneth masih merasa abu-abu. Menikah. Dulu, kata itu menjadi hal terakhir yang ada di pikirannya. Bahkan tidak masuk dalam rencana masa depannya. Tetapi sejak bersama Yuka, semuanya berubah. Keinginannya mulai berubah. Rencananya tak lagi miliknya sendiri. Belum lama ini dia juga baru tahu, kalau Yuka mengunjungi rumah Mama tanpa sepengetahuannya. Sewaktu Aneth pulang ke rumah, mamanya menceritakan apa yang disampaikan Yuka, termasuk hubungan mereka. Aneth sempat merasa takut dan tidak enak hati untuk mengakui. Tapi Mama kemudian berkata, “Kalau kamu memang mau menikah, jangan diam-diam aja. Setidaknya kasih tau kapan rencana kalian. Kamu juga bisa tanya persiapannya ke Kak Rena yang udah pengalaman
Benang kusut yang selama ini menghambat hubungan mereka sedikit demi sedikit terurai. Yuka telah mengumpulkan kepingan fakta yang menjadi sumber tanyanya pada gadis itu. Tinggal selangkah lagi. Hingga untaian benang yang berantakan lurus seutuhnya. Tatkala di pagi yang cerah, mobilnya yang kontras berhenti di depan rumah konvensional bergaya sederhana yang pernah dikunjunginya. Dia melangkah turun dari mobil. Berdiri di depan pagar hitam dengan ujung-ujung runcing yang tingginya melewati kepalanya. Dari celah pagar itu ia melongok ke pintu rumah yang terbuka. Berharap orang yang dicarinya ada di dalam. Sambil menghela napas dalam-dalam, ia mengumpulkan keberanian. Mengadu gembok yang tergantung di pagar agar menimbulkan suara bunyi. “Permisi,” panggilnya. Bukan, dia bukan mau jadi sales panci atau semacamnya. Dia perlu menemui seseorang. Tak lama kemudian tampak seorang wanita keluar dari dalam. Dengan raut keheranan berhenti melangkah di tera
Semakin langit menggelap, ruangan itu semakin ramai. Tidak seperti siang tadi yang sepi. Mungkin karena bukan akhir pekan, mereka baru menyempatkan datang sepulang kerja. Sebagian besar orang yang hadir mengenakan pakaian berwarna putih. Orang-orang sibuk menyalami keluarganya, memberikan ucapan belasungkawa. Di tengah suasana duka yang pekat, gadis itu sama sekali tidak merasakan apa-apa. Dia tidak menitikkan air mata seperti beberapa dari mereka yang datang. “Neth, gantian kamu sama Niko makan, gih di kamar. Biar Kak Rena sama Kak Denny aja yang jaga.” “Iya, Kak.” Aneth beranjak dari duduknya, diikuti Niko dengan mata sembab dan wajah bengkaknya sehabis menangis. Aneth tidak tahu lagi apa yang harus ia rasakan sementara orang-orang jelas menunjukkan kesedihan mereka. Bisa saja dia mengikuti yang lainnya, berpura-pura menangis. Namun, Aneth tidak suka bersikap munafik. Ada rasa sesak yang mengganjal, tapi bukan kesedihan. Mungkin penyesalan.
Banyak yang telah terjadi selama empat bulan ini. Mulai dari hal yang kurang menyenangkan hingga hal baik. Memori buruk yang terus dipendam dan menghantuinya selama bertahun-tahun ternyata dapat memudar hanya dalam watu beberapa bulan. Alasan baru baginya untuk tetap bertahan dan memiliki arti hidup yang sesungguhnya. Apakah ini takdir? Ataukah keberuntungan? Yang pasti ia akan memanfaatkannya sebaik mungkin. Segala hal yang semula bertentangan dengannya perlahan berbalik mendukungnya. Sampai suatu hari ketika terbangun, dia masih merasa semuanya bagai mimpi. Tapi ketika membuka ponselnya di pagi hari, Aneth tahu. Apa yang dialaminya adalah kenyataan. Setiap membuka mata, pesan itu selalu meyakinkannya. Ucapan selamat tidur, selamat pagi, atau sisa percakapan semalam yang membuatnya ketiduran. Bukan karena membosankan, hanya dia terlalu nyaman. Hingga insomnia tidak lagi dirasakannya akhir-akhir ini. *** “Kamu... gila....
Perasaan bahagia menyelimutinya sejak turun dari pesawat. Ia tak bisa menahan sudut-sudut bibirnya yang mengembang. Setelah beberapa hari terpisah, akhirnya dia akan menemui pujaan hati di rumah. Andai bisa seperti ini setiap hari, batinnya. Disambut di rumah sepulang kerja, terlelap bersisian dan bangun memandangi wajahnya, menghabiskan waktu senggang, juga melakukan aktivitas dengannya. Ia pasti menjadi laki-laki paling bahagia di dunia jika itu terjadi. “Pak, biar saya bawakan kopernya.” “Nggak pa-pa, Ren. Barang yang kamu udah banyak. Cari troli aja dulu.” Rendy kemudian mengangguk mengiyakan. Selama dua tahun bekerja menjadi asisten Yuka Damiani Leovin, ia diperlakukan dengan amat baik. Pria itu tidak pernah menyuruhnya sesuka hati dan bertingkah semena-mena, menghormati waktu kerja dan hari liburnya, menggunakan tutur kata yang sopan meski ia bawahannya. Bagi Rendy, baru kali ini dia bekerja senyaman ini walau aktivitasnya selama jam kerja padat
“Anda panggil saya?” tanya Aneth formal ketika memasuki ruangan. “Astaga, kita cuma berdua. Ngomong kayak biasa aja, Sayang,” “Kamu, nih. Kalo kedengaran orang lain kan, nggak enak. Udah cukup ya, Regina tau tentang kita. Jangan sampe ada pegawai lain lagi yang tau.” Melirik ke arah pintu besar yang baru ditutupnya. “Becca tau, Rendy tau, supirku juga tau. Memang kenapa kalo yang lainnya tau?” “Oke, mereka nggak masuk hitungan. Mereka orang kepercayaan kamu. Tapi kalau staf lain, bisa jadi biang gosip sekantor!” “Tenang ajaa. Yang lebih penting, aku pergi sore ini, loh. Kita nggak bisa ketemu beberapa hari. Memang kamu nggak bakal kangen?” Beranjak dari bangkunya, Yuka berjalan melewati Aneth yang masih berdiri. Berpindah duduk ke sofa. “Sini,” pinta laki-laki itu. Aneth pun mau tak mau mengikutinya, mengambil tempat di sebelahnya. Memiringkan badan saling berhadapan. Terasa sedikit aneh, ruang Direksi waktu itu menjadi