Gadis itu mengangkat kedua tangan, menengadahkan tangannya untuk dipandangi. Membalik-balikkannya dan memerhatikan dengan raut datar bekas luka yang ada di sana. Luka yang sudah kering dan sudah sembuh, namun masih ada jejak goresan dan bekas jahitan.
Dia lalu membuka lemari pakaiannya, memilih blus lengan panjang yang dapat menutupi bekas lukanya. Ia tersenyum simpul menatap pantulan dirinya di cermin.
Sempurna.
Semuanya terlihat tampak normal.
***
Sudah dua tahun Aneth tinggal di indekos yang letaknya di bagian selatan ibu kota. Menurutnya, lokasi di sana cukup strategis, banyak pusat perkantoran besar. Mengingat profesinya sebagai desainer grafis lepas, ia bisa mencari suasana baru dan mempelajari permintaan kebutuhan desain perkotaan. Selain itu akses kendaraan umum seperti bus juga mudah dijangkau.
Keputusan untuk tinggal sendiri di indekos sebenarnya sebagai salah satu bentuk pelariannya. Butuh waktu satu tahun semenjak lulus kuliah, dia berusaha mendapatkan ijin dari mama. Memohon, meminta, merengek, dan akhirnya hanya dengan sedikit kata dari kak Rena, mama menyetujuinya.
Semudah itu beliau mendengarkan kata-kata kak Rena, tapi mengapa selalu menentang permintaannya? Ia hanya mendengkus mengingat kejadian yang sudah berlalu itu.
Setidaknya sekarang, setelah dua tahun tinggal di indekos, Aneth bisa membuktikan kalau dia pantas hidup sendiri dan mampu mengatur dirinya sendiri. Ia berharap bisa terlepas dari hari-harinya yang bagaikan mimpi buruk di rumah orang tuanya.
“Nona Ranetha Claire, perkenalkan saya Rebecca.” Seorang wanita tersenyum ramah dan mengulurkan tangan padanya. “Anda sudah ditunggu Pak CEO. Mari, saya akan mengantar Anda,”
‘Pak CEO?’
Apa Aneth tidak salah dengar?
Bukankah waktu itu katanya dia akan bertemu dengan penanggung jawab sayembara yang mewakili perusahaan?
Baru-baru ini Aneth memenangkan sayembara desain yang diadakan oleh PT Akina Herbalindo dalam rangka mendesain kemasan limited edition untuk LORA kosmetik, produk kosmetik lokal yang belakangan sangat digemari perempuan kalangan muda dan dewasa. Dan hari ini adalah hari di mana ia akan menandatangani kontrak dan perjanjian terkait desainnya dengan perusahaan tersebut.
Aneth mengikuti wanita bernama Rebecca memasuki lift, yang membawa mereka ke lantai tiga puluh tujuh. Tiba-tiba saja telapak tangannya berkeringat. Lalu terasa seperti ada yang berputar-putar dalam perutnya. Meski keputusan juara utama telah jatuh padanya, tapi tetap saja, bagi seorang introvert yang masih dalam masa pemulihan melewati gangguan stres pascatraumanya, dia gugup saat akan menghadapi suatu hal yang baru, tempat baru, dan orang baru.
Ia terbiasa bekerja dari balik laptopnya, berkomunikasi secara tulisan dengan kliennya melalui sebuah situs yang menampung para pekerja lepas. Klien-klien yang ditemui biasanya tidak akan membahas banyak hal karena mereka sudah sepakat melalui platform. Hanya dalam keadaan tertentu mereka akan bertemu secara langsung.
Ketika tiba di depan pintu besar berwarna gelap, terasa aura perwujudan dari ruangan seseorang yang berkuasa di sana. Rebecca kemudian mengetuknya, disambut suara merdu seorang pria dari balik pintu yang mempersilakan mereka masuk.
***
Jantung Aneth yang sejak tadi berdegup cepat sudah tidak bisa lagi berdetak lebih cepat dari sekarang. Bukan, bukan karena ini pertemuan pertama mereka. Bukan juga karena sosok yang sangat tampan sempurna berada di hadapannya. Tapi ia sungguh tidak mengira kalau Direktur dari PT Akina Herbalindo berasal dari keluarga Leovin, Yuka Damiani Leovin.
Dia tidak pernah mencari tahu siapa pemiliknya, siapa Direkturnya, atau tentang perusahaannya. Yang ia pelajari hanya mengenai LORA kosmetik itu sendiri, demi kelancarannya membuat desain.
Aneth meremas sisi celana di bagian lututnya menahan gugup. Ia tahu betul siapa laki-laki di depannya, tetapi tidak yakin laki-laki itu tahu siapa dia.
Saat tiba di ruangannya tadi, laki-laki itu meminta maaf atas keterlambatannya—sekitar lewat lima belas menit dari jam yang dijanjikan—dan memintanya membahas kontrak di luar sebagai permintaan maaf sambil menikmati makan siang yang tertunda. Aneth pun menyetujuinya dengan gemetar-gemetar canggung.
“Jadi, Miss Ranetha, desain Anda akan dipakai untuk produk limited edition LORA kosmetik sampai jangka waktu yang tidak ditentukan dan menjadi hak milik PT Akina Herbalindo. Sehingga kami bebas menggunakan, mengeksplor, serta mengunggah desain yang sudah diberikan. Apa Anda sepakat?” jelas Yuka dengan wajah berwibawanya
Aneth tahu, usia laki-laki ini sekitar dua puluh tujuh tahun, hanya terpaut dua tahun di atasnya. Tapi dia bisa sangat sukses dan jauh segala-segalanya dari padanya.
“Ya, saya sepakat.” Susah payah ia berusaha mengendalikan diri agar tetap tenang.
“Kalau begitu silakan baca ketentuan lebih lanjut yang ada di sini. Jika sudah setuju, Anda bisa menandatanganinya.” Laki-laki itu menyerahkan map berisi lembaran kertas yang harus ditandatanganinya.
Isi kepala Aneth terus saja disuguhkan pertanyaan-pertanyaan yang sejak tadi membuatnya gugup campur penasaran.
Apa dia tahu?
Apa dia sadar?
Apa dia mengingatnya?
Tapi dia tampak tenang. Mungkin tidak tahu?
Atau pura-pura tidak tahu?
Aneth pun berusaha mengenyahkan hal-hal yang mengganggunya sekarang dan fokus pada lembaran berkas yang ada di tangannya. Ini menjadi salah satu penentu kariernya. Sumber penghasilan yang menopangnya untuk hidup mandiri. Ia harus bisa mengesampingkan masalah lain.
Selesai membaca isi kontraknya, Aneth mengeluarkan pena dari dalam tas, menandatangani beberapa kolom yang memerlukan tanda tangannya. Terakhir, ia menggoreskan ujung pennya di bagian bermaterai. Dan, selesai.
Ia menyerahkannya kembali kepada laki-laki di hadapannya.
“Silakan Anda simpan lembar yang ini,” Yuka memberikan beberapa lembar kertas dan map baru untuknya.
“Kalau begitu, mari nikmati makan siang kita,” lanjut laki-laki itu sambil tersenyum.
Aneth tertegun. Senyumnya membuat pertanyaan-pertanyaan yang sejak tadi berseliweran di benaknya tiba-tiba menguap dan malah memerhatikan hal lain.
Sosok yang ada di hadapannya tidak cukup jika hanya disebut tampan. Garis wajahnya tegas dan berkharisma, hidung mancung yang lurus, bibir dengan lengkungan sempurna, dan bola mata kecoklatan yang tampak berkilau. Semua keindahan itu melekat pada wajahnya seolah dia adalah mahakarya.
Ah, orang ini memang terlalu mirip dengan ‘dia’.
Setelah mereka menyantap makanan dalam keheningan beberapa saat, laki-laki di hadapannya angkat suara.
“Miss Ranetha.”
“Ya?”
“Saya rasa ada hal lain yang perlu kita bahas, kan?”
Mendadak Aneth tersedak oleh makan siangnya yang hampir habis. Ia meraih gelasnya dengan wajah berjengit. Meneguk minum perlahan dan membasahi bibirnya.
‘Sepertinya ini saatnya. Sepertinya dia sadar.’
Aneth sebetulnya tidak melakukan kesalahan, tapi mengapa dia merasa setakut ini? Tatapan mengintimidasi dari laki-laki itu membuatnya kembali gugup.
“Saya cuma mau memastikan kejadian waktu itu tidak akan tersebar dan sampai ke media,” ujar Yuka penuh makna.
“Ah, ya. Anggap saja saya tidak melihatnya.”
***
Kembali ke kejadian beberapa hari lalu, hari pertunangan teman kuliahnya dulu, Ivy dan Valdi Leovin. Aneth yang tidak sengaja bertemu dengan Ivy di mal, diundang ke pesta pertunangannya pada hari Sabtu. Tetapi, hal yang tidak terduga terjadi di hari itu.
Setelah mengunjungi Ivy lebih awal di kamar rias, Aneth pergi ke toilet di lorong yang masih sepi sebelum acara dimulai. Di sanalah, dia melihat hal yang tidak boleh dilihatnya. Sepasang manusia yang sedang bermesraan di depan toilet.
Matanya terbelalak maksimal menyaksikan apa yang ada di sana. Ia membatu. Si wanita melingkarkan lengannya di leher si pria dengan sebelah tangan menekan kepala pria itu. Sementara si pria—yang berdiri membelakangi Aneth—sedang balas memeluk wanita itu juga.
Jangankan Aneth, lukisan dan cicak di dinding pun sudah bisa menebak apa yang dilakukan pasangan itu. Semakin lama ia berdiri di sana, semakin panas pula adegan yang ditampilkan mereka. Tangan si pria yang mulai melalang buana menyusuri lekuk tubuh gadis di hadapannya, membuat dia jengah.
Aneth meringis, entah apa yang harus ia lakukan sekarang. Dia terjebak dengan pilihan ganda di kepalanya. Berbalik pergi, melanjutkan jalan ke toilet melewati dua sejoli itu dengan tak acuh, atau haruskan dia berdeham? Perkaranya dengan toilet menjadi urusan yang sulit ditinggalkannya saat ini.
‘Cari toilet lainkah? Di mana lagi yang terdekat?’
Ia baru saja mundur selangkah ketika heels-nya beradu dan memunculkan suara ‘klotak’ yang cukup bisa membuat aktivitas kedua orang itu terhenti.
Aneth masih berdiri mematung ketika si wanita mulai menyadari kehadirannya, dan melonggarkan pelukan. Wanita cantik itu buru-buru melepaskan tangannya dan melangkah cepat dengan wajah menunduk ketika melewati Aneth. Sementara si pria sama terkejutnya dengan wanita tadi ketika berbalik dan menyadari alasan kepergian wanitanya.
Ketika sang pria menatapnya, Aneth masih bergeming. Tapi kini ganti ia yang terkejut. Wajah itu, wajah yang mirip dengan tunangan laki-laki di acara hari ini.
Sedikitnya Aneth tahu siapa dia. Aneth pernah melihatnya dulu bersama Valdi Leovin sewaktu kuliah. Dan lagi, orang ini cukup populer di kalangan media sosial. Pria yang barusan terpergok bermesraan adalah sepupu dari lelaki yang akan bertunangan hari ini, Yuka Damiani Leovin.
“Bagaimana saya bisa percaya begitu saja kalau Anda tidak akan cerita ke siapa pun?” tanya laki-laki itu dengan sebelah alis terangkat. Nada suaranya penuh selidik. “Mmm... itu...” Aneth tampak berpikir. Kepalanya berdenyut memikirkan jawaban yang tepat. Bagaimana bisa pertanyaan yang terdengar mudah itu sulit sekali dijawab. Kira-kira apa yang bisa meyakinkannya? Sungguh, dia tidak sengaja memergoki Yuka. “Umm... Anda tau kan, saya mengenal Ivy dan Valdi? Saya akan tutup mulut karena Anda kerabat dari teman saya,” Selain itu karena Aneth tidak tertarik dengan hubungan percintaannya. “Apa... Anda bisa percaya saya?” Ia bertanya lagi karena laki-laki itu belum merespon. ‘Kumohon, percaya saja dong.’ Akhirnya Yuka menghela napas. Tampak menemukan solusi yang mungkin menjadi jalan tengah mereka. “Begini saja, supaya saya bisa percaya dan mengawasi kamu, bagaimana kalau kamu bekerja di perusahaan k
Hari ini hari pertama ia masuk kerja. Tapi setelah jam pulang kerja, Aneth tidak tahu mengapa dia harus ikut ke ruangan ini. Ruangan yang pernah didatanginya satu kali sebelum bekerja di perusahaan ini. Ruangan dengan pintu besar berwarna coklat gelap yang elegan. Aneth hanya bisa menatap dua makhluk yang wajahnya hampir serupa itu. Seorang pria berparas lebih ceria dan jenaka. Dan seorang lagi pembawaannya lebih serius namun memesona. Kedua orang itu sedang berdiskusi, membicarakan tempat yang akan mereka tuju. Tidak, bukan berdiskusi. Lebih tepatnya Valdi yang lebih sibuk dan antusias. Tidak berubah, dia selalu punya caranya sendiri untuk bersenang-senang. Setidaknya begitu pikir Aneth. “Apa kita ke Cayden Bar buat welcome party Aneth?” Jadi, saat Aneth keluar lift dan berjalan di lobby hendak pulang, ia bertemu dengan Valdi. Susah payah ia menghindar agar lelaki itu tidak melihat dan tidak menyapanya. Wajah Valdi keburu sumringah
Kepala Aneth masih terasa sedikit pusing sewaktu tiba di kantor pagi ini. Ia benar-benar tidak percaya dengan kejadian semalam. Mengingatnya saja membuat detak jantungnya marathon nyaris melompat. Seharusnya ia ekstra hati-hati saat kakak perempuan Bosnya memperingatkannya. Bisa-bisanya Valdi menariknya dan hampir saja...Arghhh!Ia tidak ingin mengingatnya. Ingin marah, tapi anak itu sedang mabuk. Ia sedang memijat pelipisnya saat Yuka masuk ke lift yang sama dengannya.“Eh, Neth.”“Pagi Pak,” sapa Aneth sopan.Hari ini pun sepupu temannya sekaligus Bosnya itu tampak tampan dan cerah. Padahal semalam dia juga habis minum banyak. Tapi pagi ini tetap terlihat segar. Orang ganteng mah beda, ya. Gaya berpakaiannya selalu terlihat rapi dan modis, selera para wanita seperti di drama-drama yang sering ditontonnya atau komik-komik yang sering dibacanya.Ia jadi teringat, kalau saja kemarin bu
Laki-laki itu terus memerhatikan orang yang berlalu lalang keluar saat jam pulang kantor. Tapi perempuan yang dicarinya sama sekali tidak tampak. Ia menghela napas. Sepuluh menit, ia paling tidak suka menunggu dan membuang-buang waktu. Akhirnya ia putuskan untuk naik ke kantor Direksi.“Eh, Aneth lembur apa gimana sih?” tanya Valdi tanpa basa-basi ke kakak sepupunya.“Mana gue tahu, gue nggak urusin satu persatu karyawan lah.”“Ya kali aja lo tau. ““Telepon aja sih.”“Masalahnya gue nggak punya nomor Hp-nya.”Yuka yang sedang membaca berkasnya berhenti sejenak dan mengernyit. “Aneh, padahal kalian pergi bareng melulu. Lagian lo ngapain sih, udah mau nikah masih pergi berduaan sama cewek lain. Mantan pula,”“Bukan mantan, cuma pernah dekat,” koreksi Valdi. “Gue bosan aja, dia bisa gue ajak makan di tempat yang gue pingin. Lo aja nggak mau gue aja
Setelah bicara soal masa lalu mereka, Valdi menyuruh Aneth meminum obatnya. Karena Valdi tidak begitu tahu gejala yang dialami Aneth, ia membelikan beragam obat-obatan. Biar Aneth yang memilih, pikirnya.Mudah baginya untuk menginterogasi orang yang mabuk dan orang yang sedang sakit. Keduanya tidak begitu berbeda. Mereka akan mengalami masa-masa di mana emosi mereka sulit dikontrol dan akan bicara begitu saja tentang apa yang mereka pikirkan.Di saat Aneth merasa tambah lemas dan mengantuk, Valdi terus melayangkan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya ingin dia dengar langsung dari Aneth.“Apa waktu itu lo memang nggak ada rasa sama sekali ke gue?” tanyanya sambil membantu Aneth berbaring.“Bukan begitu. Mana mungkin gue bisa merespon sementara lo belum lama putus dari teman gue.” Aneth mengalihkan pandangannya dengan sebelah tangan menutupi wajahnya. Ia tidak ingin Valdi membaca ekspresinya saat ini.“Jadi lo juga suk
Yuka menatap wanita di hadapannya yang sedang memakaikan dasi untuknya. Sungguh, ia masih penasaran dan mencari tahu sampai saat ini. Bagian mana yang menarik darinya? Tidak terlalu cantik, bertubuh seksi pun sepertinya tidak. Lihat pakaian yang sehari-hari dikenakannya, blus lengan panjang, kemeja lengan panjang, sweater, kaus dan outwear, blazer, semuanya cenderung tertutup dan tidak begitu feminim.Mungkin karena ruang kerjanya dingin.Tunggu, tapi gaunnya saat acara waktu itu juga berlengan panjang meskipun potongan kerahnya sedikit rendah. Entahlah, mungkin itu seleranya. Sepertinya saat ke kantor juga wanita itu lebih sering memakai boots dan kets. Ya pokoknya bukan bergaya feminim. Tapi kenapa sepupunya bisa sempat tertarik padanya?“Eh? Ada apa Pak?” tanya wanita itu menatapnya bingung.Ah, kalau diperhatikan seperti itu jelas saja dia sadar. Siapa suruh terang-terangan menatap orang yang ada dihadapannya. De
“Wahh, Aneth udah sembuh.”“Iya nih, mukanya kelihatan lebih cerah. Kayaknya lagi bahagia juga ya.”“Apa sih kalian.” Aneth tertawa membalas kata-kata teman seruangannya.“Istirahat seharian bikin cepat sembuh kan? Apa gue bilang,” sergah Alex sambil menjentikkan jarinya.“Eh, eh, besok mau ikut nggak Neth?” Tanya Ivanka mendekat ke meja Aneth.“Ngapain tuh?”“Biasanya kantor kita adain makan-makan sebelum libur Natal dan Tahun Baru. Rencananya sih besok.”“Oh? Mendadak ya?”“Nggak sih, cuma gue lupa bilang ke lo,” sahut Alex.“Kapan itu? Pulang kantor?”Ivanka yang ada di sebelahnya mengangguk. “Biasanya para cewek pasti dandan sebelum pergi, karena itu tuh kesempatan buat kenalan sama cowok dari divisi lain. Lo jomblo kan Neth?”“Eh ingat, lo udah punya pacar!” Al
Dari mejanya, ia dapat melihat seseorang yang sepertinya bukan dari divisi yang sama menghampiri Aneth. Tadinya dia berniat pulang lebih awal, tapi beberapa orang mengajaknya berdiskusi tentang penjualan akhir tahun. Karena ia memiliki tangung jawab dan peranan besar pada perusahaan ini, tentu saja ia tidak mungkin mengabaikannya. Tapi kemudian matanya tertuju pada tim kreatif dan secara tidak sengaja melihat pemandangan itu. Di meja sana, jajaran botol dan kaleng-kaleng bir juga tidak kalah dengan meja lain. Penampilan mereka sudah cukup kusut. Karena hal itu sudah biasa terjadi, ia tidak ambil pusing selama tidak ada yang menimbulkan kekacauan. Ia lalu mengalihkan pandangan kembali mengobrol. Tapi tak lama kemudian dari sudut matanya ia melihat Aneth beranjak dari kursinya dan sepetinya berjalan ke arah toilet. Ia lalu berpamitan sebentar dan mengikuti wanita itu. “Astaga!” pekik Aneth terkejut ketika keluar dari toilet wanita dan mendongakan wajahnya. “Kam
“Kamu tau, pertemuan kita waktu membahas kontrak... itu bukan pertemuan pertama kita?” tutur Yuka saat mereka duduk di ruang tengah. Sepasang alis Aneth terangkat naik menanggapi. “Ah, kamu ingat?” “Huh? Ternyata kamu tau? Kita pernah ketemu waktu—” “Waktu aku wisuda.” “Waktu aku masih kuliah.” Mereka bicara berbarengan. “Huh?” “Eh?” Keduanya bingung dengan jawaban yang tidak sinkron. “Waktu kamu wisuda?” Yuka mengulang jawaban Aneth dengan pertanyaan. “Iya, waktu itu lift penuh. Aku buru-buru naik tangga ke auditorium terus kesandung karena rok kebaya aku. Tapi kamu bantu menahanku di tangga dan ambilin tabung wisuda aku yang jatuh. Aku sempat kira kamu Valdi, tapi kamu nggak pakai toga.” “Ahh... waktu aku datang ke acara wisudanya Valdi, ya? Wisudanya kamu juga.” Aneth lalu mengangguk. Kemudian ganti ia yang bertanya. “Kalo waktu kamu kuliah itu, maksudnya kapan?” “Hm..
Setelah pesta pernikahan, banyak orang yang mengaitkannya dengan malam pertama. Nyatanya, gagasan mengenai malam pertama setelah pernikahan tidak selalu terjadi karena para pasangan cenderung lelah setelah seharian menjamu tamu. Tidur hanya dua hingga tiga jam sebelum acara, harus bangun dini hari khususnya pengantin wanita untuk berdandan, menghadiri acara peneguhan sesuai kepercayaan masing-masing, kemudian resepsi. Aneth yang baru pertama kali menikah—begitu juga dengan Yuka sebetulnya—merasa sekujur tubuh dan kakinya sakit karena terlalu lama berdiri. Padahal gaun pengantin didesain senyaman dan seringan mungkin untuk dikenakan di tubuh. Tapi tetap saja. Aneth sangat lelah berdiri dan menarik senyum senyum seharian. Setelah dibantu oleh kru untuk melepaskan gaunnya, ia masih harus membersihkan riasan dan melepas jepit-jepit di rambut. Saking lelahnya, Aneth dan Yuka langsung bergegas tidur semalam. Ya. Hanya tidur. “Morning,
Jalan-jalan sekitar resort, makan malam, dan bersantai sejenak. Saking semangatnya, rasanya Aneth tidak bisa memejamkan mata malam ini. Ia menyukai suasana di Bintan walaupun siang hari sangat terik. “Kamu belum mau tidur?” tanya Yuka yang melihat wajah Aneth masih tampak segar. “Aku belum ngantuk.” “Kamu suka di sini?” Aneth mengangguk sambil tersenyum lebar. “Kamu tau,” ucapnya memberi jeda sejenak. “Aku pernah berharap bisa pensiun dini dan menghabiskan sisa hidupku traveling ke berbagai tempat indah seperti ini.” “Aku bisa kabulin harapan kamu. Kita bisa pergi ke tempat-tempat yang kamu mau.” Aneth tersenyum. “Kalo jadi semudah itu rasanya aneh. Lagi pula pulang dari sini nanti kerjaan kamu udah menanti.” “Err... tolong jangan ingetin aku.” Keduanya lalu tertawa. “Aku mau ke jacuzzi, kamu mau ikut?” Yuka terdiam memandangi Aneth. Menyadari ajakan ambigunya, buru-buru Aneth menimpali, “Ma-mak
Semenjak bertemu dengan keluarga Yuka, Aneth sesekali diundang ke rumah orang tuanya pada akhir pekan. Katanya sekalian mengakrabkan diri karena mereka akan menikah. Jujur saja, sewaktu Yuka mengatakan ingin menikahi Aneth di depan kedua orang tuanya, Aneth masih merasa abu-abu. Menikah. Dulu, kata itu menjadi hal terakhir yang ada di pikirannya. Bahkan tidak masuk dalam rencana masa depannya. Tetapi sejak bersama Yuka, semuanya berubah. Keinginannya mulai berubah. Rencananya tak lagi miliknya sendiri. Belum lama ini dia juga baru tahu, kalau Yuka mengunjungi rumah Mama tanpa sepengetahuannya. Sewaktu Aneth pulang ke rumah, mamanya menceritakan apa yang disampaikan Yuka, termasuk hubungan mereka. Aneth sempat merasa takut dan tidak enak hati untuk mengakui. Tapi Mama kemudian berkata, “Kalau kamu memang mau menikah, jangan diam-diam aja. Setidaknya kasih tau kapan rencana kalian. Kamu juga bisa tanya persiapannya ke Kak Rena yang udah pengalaman
Benang kusut yang selama ini menghambat hubungan mereka sedikit demi sedikit terurai. Yuka telah mengumpulkan kepingan fakta yang menjadi sumber tanyanya pada gadis itu. Tinggal selangkah lagi. Hingga untaian benang yang berantakan lurus seutuhnya. Tatkala di pagi yang cerah, mobilnya yang kontras berhenti di depan rumah konvensional bergaya sederhana yang pernah dikunjunginya. Dia melangkah turun dari mobil. Berdiri di depan pagar hitam dengan ujung-ujung runcing yang tingginya melewati kepalanya. Dari celah pagar itu ia melongok ke pintu rumah yang terbuka. Berharap orang yang dicarinya ada di dalam. Sambil menghela napas dalam-dalam, ia mengumpulkan keberanian. Mengadu gembok yang tergantung di pagar agar menimbulkan suara bunyi. “Permisi,” panggilnya. Bukan, dia bukan mau jadi sales panci atau semacamnya. Dia perlu menemui seseorang. Tak lama kemudian tampak seorang wanita keluar dari dalam. Dengan raut keheranan berhenti melangkah di tera
Semakin langit menggelap, ruangan itu semakin ramai. Tidak seperti siang tadi yang sepi. Mungkin karena bukan akhir pekan, mereka baru menyempatkan datang sepulang kerja. Sebagian besar orang yang hadir mengenakan pakaian berwarna putih. Orang-orang sibuk menyalami keluarganya, memberikan ucapan belasungkawa. Di tengah suasana duka yang pekat, gadis itu sama sekali tidak merasakan apa-apa. Dia tidak menitikkan air mata seperti beberapa dari mereka yang datang. “Neth, gantian kamu sama Niko makan, gih di kamar. Biar Kak Rena sama Kak Denny aja yang jaga.” “Iya, Kak.” Aneth beranjak dari duduknya, diikuti Niko dengan mata sembab dan wajah bengkaknya sehabis menangis. Aneth tidak tahu lagi apa yang harus ia rasakan sementara orang-orang jelas menunjukkan kesedihan mereka. Bisa saja dia mengikuti yang lainnya, berpura-pura menangis. Namun, Aneth tidak suka bersikap munafik. Ada rasa sesak yang mengganjal, tapi bukan kesedihan. Mungkin penyesalan.
Banyak yang telah terjadi selama empat bulan ini. Mulai dari hal yang kurang menyenangkan hingga hal baik. Memori buruk yang terus dipendam dan menghantuinya selama bertahun-tahun ternyata dapat memudar hanya dalam watu beberapa bulan. Alasan baru baginya untuk tetap bertahan dan memiliki arti hidup yang sesungguhnya. Apakah ini takdir? Ataukah keberuntungan? Yang pasti ia akan memanfaatkannya sebaik mungkin. Segala hal yang semula bertentangan dengannya perlahan berbalik mendukungnya. Sampai suatu hari ketika terbangun, dia masih merasa semuanya bagai mimpi. Tapi ketika membuka ponselnya di pagi hari, Aneth tahu. Apa yang dialaminya adalah kenyataan. Setiap membuka mata, pesan itu selalu meyakinkannya. Ucapan selamat tidur, selamat pagi, atau sisa percakapan semalam yang membuatnya ketiduran. Bukan karena membosankan, hanya dia terlalu nyaman. Hingga insomnia tidak lagi dirasakannya akhir-akhir ini. *** “Kamu... gila....
Perasaan bahagia menyelimutinya sejak turun dari pesawat. Ia tak bisa menahan sudut-sudut bibirnya yang mengembang. Setelah beberapa hari terpisah, akhirnya dia akan menemui pujaan hati di rumah. Andai bisa seperti ini setiap hari, batinnya. Disambut di rumah sepulang kerja, terlelap bersisian dan bangun memandangi wajahnya, menghabiskan waktu senggang, juga melakukan aktivitas dengannya. Ia pasti menjadi laki-laki paling bahagia di dunia jika itu terjadi. “Pak, biar saya bawakan kopernya.” “Nggak pa-pa, Ren. Barang yang kamu udah banyak. Cari troli aja dulu.” Rendy kemudian mengangguk mengiyakan. Selama dua tahun bekerja menjadi asisten Yuka Damiani Leovin, ia diperlakukan dengan amat baik. Pria itu tidak pernah menyuruhnya sesuka hati dan bertingkah semena-mena, menghormati waktu kerja dan hari liburnya, menggunakan tutur kata yang sopan meski ia bawahannya. Bagi Rendy, baru kali ini dia bekerja senyaman ini walau aktivitasnya selama jam kerja padat
“Anda panggil saya?” tanya Aneth formal ketika memasuki ruangan. “Astaga, kita cuma berdua. Ngomong kayak biasa aja, Sayang,” “Kamu, nih. Kalo kedengaran orang lain kan, nggak enak. Udah cukup ya, Regina tau tentang kita. Jangan sampe ada pegawai lain lagi yang tau.” Melirik ke arah pintu besar yang baru ditutupnya. “Becca tau, Rendy tau, supirku juga tau. Memang kenapa kalo yang lainnya tau?” “Oke, mereka nggak masuk hitungan. Mereka orang kepercayaan kamu. Tapi kalau staf lain, bisa jadi biang gosip sekantor!” “Tenang ajaa. Yang lebih penting, aku pergi sore ini, loh. Kita nggak bisa ketemu beberapa hari. Memang kamu nggak bakal kangen?” Beranjak dari bangkunya, Yuka berjalan melewati Aneth yang masih berdiri. Berpindah duduk ke sofa. “Sini,” pinta laki-laki itu. Aneth pun mau tak mau mengikutinya, mengambil tempat di sebelahnya. Memiringkan badan saling berhadapan. Terasa sedikit aneh, ruang Direksi waktu itu menjadi