Lapar. Ia belum makan sama sekali. Tubuhnya lemas dan terasa lengket karena keringat. Tapi juga tidak bisa protes. Dalam situasi seperti ini tidak tahu harus berbuat apa. Aneth betul-betul bingung sejak pertama membuka mata dan terbangun di tempat ini. Dengan pengkhianatan terbesar dua orang koleganya.
Pintu kemudian terbuka, menampilkan sosok Ivanka yang berjalan masuk diiringi seseorang di belakangnya. Wanita tinggi semampai, berparas cantik nan angkuh dengan tahi lalat tipis di sudut atas bibirnya. Rambut panjang balayage bergelombang membingkai wajah tirusnya.
Aneth kontan terbelalak melihat siapa yang datang bersama Ivanka. Musuh sesungguhnya mungkin bukanlah Ivanka. Melainkan wanita ini. Adeline Foresta.
‘Mereka saling kenal?’
Wanita itu lalu menoleh ke arah Aneth. “Gimana rasanya diikat? Sakit? Tapi belum sesakit hati gue waktu di-blacklist dari semua perusahaan Leovin, kan?”
“Tenang a
Apa yang kamu lakuin kalau punya temen pengkhianat macam Ivanka?
Tubuhnya bergidik ngeri. Tidak ingin kejadian kelam dan pahit yang pernah menimpanya terulang kembali. Apa nasibnya benar-benar akan berakhir seperti ini? Sebenarnya kesalahan apa yang telah diperbuatnya selama hidup? Jika dosanya memang sebesar itu hingga harus menanggung hal yang berada di luar kendalinya, dia hanya bisa memohon ampun pada Sang Pencipta. Aneth memejamkan mata, meresapi napas kehidupan yang masih mengalir di tubuhnya. “Kamu berharga.” Ucapan terakhir Yuka terngiang begitu saja di kepalanya. Air mata mulai luruh seiring teringat kalimat sederhana yang begitu menyentuh nuraninya. Kali pertama seseorang mengatakan kalau dia berharga. Bahkan selama ini, ia tidak benar-benar menyayangi dirinya sendiri. Aneth mulai menyesali setiap kata menusuk yang diucapkannya pada Yuka. Kata ‘terakhir kali’ yang sempat diucapkannya dalam pikiran seolah menjadi kenyataan. Bukan. Bukan seperti ini ‘terakhir kali’ yang diharapkanny
Sempat merasa lega ketika berpikir Elden kembali datang mengunjunginya. Tapi sesaat kemudian napasnya tercekat di kerongkongan melihat siapa yang datang. Potongan melon yang akan ditusuk menggunakan garpu dengan tangan kirinya yang tidak dibebat meleset dan jatuh ke ranjang. Perasaan ini bukan hanya sekadar perasaan senang. Ada seberkas rindu. Sedikit tanda tanya, rasa takut, juga beragam perasaan lainnya yang membuat matanya menatap kaku bergeming. “Aneth,” panggil suara itu, seolah berjuta kembang api sedang meledak-ledak di dadanya. Aneth tertegun saat laki-laki itu melangkah masuk dan menghampirinya. Tatapan mata mereka saling mengunci, menatap satu sama lain. Rupanya tidak hanya Aneth saja yang merasakan warna-warni perasaan ini. Laki-laki itu mendekat, mengambil potongan melon yang terjatuh di ranjang. Membungkusnya dengan tisu dan membuangnya ke tempat sampah. Mulut Aneth terbuka hendak mengatakan sesuatu, tapi suaranya tidak keluar. Seluruh fo
“Saya aja sus,”“Biar gue aja, kok lo nggak pulang-pulang?” Elden jelas menyatakan perang sejak tadi. Yuka dapat menangkap sinyalnya.“Lo ngusir?”Aneth hanya bisa menghela napas sepanjang mendengarkan perdebatan kedua lelaki di depannya, saling berebut mengambil alih mangkuk bubur untuk makan sorenya. Sebenarnya mereka lelaki usia berapa sih?Sejak terbangun dari tidurnya, atmosfir di antara dua orang itu sudah memanas. Kamar Aneth yang sejak kemarin seperti suasana mengheningkan cipta mendadak bagai pasar kaget.Perawat yang bertugas membawakan makanan Aneth pun hanya tersenyum sambil memandangi dua makhluk tampan yang beradu mulut. Kapan lagi ia disuguhkan lukisan empat dimensi seindah ini.Yang satu berwajah kebarat-baratan dengan rambut coklat gelap, selaras matanya yang keemasan saat tersorot cahaya lampu. Tinggi, kekar, seksi, bergaya santai dengan kaus hitam polos lengan pendek dan jins robek
Keheningan menyapu ruangan setelah Elden meninggalkan mereka berdua. Ingin bicara, tapi tidak tahu mulai dari mana. Yuka sempat membuka ponselnya sebentar, meminta tolong pada Becca untuk mengirim ponsel baru beserta kartu perdana ke rumah sakit.“Pak,”“Neth,”Keduanya tiba-tiba memanggil berbarengan.Yuka agak tersentak saat Aneth kembali memanggilnya dengan jabatan. Merasa dianggap asing oleh wanita itu.“Kenapa panggilnya begitu lagi?” Akhirnya ia protes. “Dan lagi, kenapa Elden tau ukuran...” Kejengkelannya kembali naik ke permukaan mendapati fakta bahwa Elden lebih tahu tentang Aneth dibanding dirinya. Apa lagi tahu hingga dalam-dalamnya Aneth.Sialan!Dia bahkan hanya pernah berciuman dengan Aneth.“Jangan mikir aneh-aneh!” keluh Aneth jutek. “Itu... karena cuma dia kemarin yang bisa dimintain tolong. Saya mana bisa keluar sendiri?” Wajahnya
Aneth terdiam kaku tidak mampu menjawab. Tubuhnya mulai meremang mendengar pertanyaan yang paling sensitif untuknya. Dicengkramnya erat selimut yang menutupi separuh badannya dengan tangan kiri yang bergetar. Sekali lagi ia melupakan hal itu. Hal yang membuatnya berusaha mati-matian menjaga jarak dari Yuka. Masa lalu kelamnya yang ia takut sewaktu-waktu akan terungkap dan membuat laki-laki itu berbalik menjauhinya. “Neth.” Suara merdu laki-laki itu membuatnya terlonjak. Dengan bibir yang bergetar, Aneth berusaha menjawab. “Aku tau kamu udah banyak membantuku. Tapi... tolong....” Ia menjeda kalimatnya. “Jangan bertanya lebih dari ini. Please... jangan cari tau tentangku.” Jawaban itu lagi. Permintaan yang membuatnya seperti dihempas menjauh. Yuka berada dekat dengan Aneth, tapi di saat yang bersamaan juga terasa sangat jauh dari gadis itu. Benteng tinggi yang dibuatnya seolah membatasi mereka. Tidak sampai hati melihat raut waj
“Bego! Dasar tolol! Kenapa bisa-bisanya dia kabur, hah?! Padahal tangan, kaki dia aja diikat. Lo kenapa nggak becus amat sih?!” Amukan seseorang terdengar dari ujung telepon. “So-sorry, Dele,” Gadis mungil itu meringkuk sambil berjongkok gemetaran di kamar, bersandar pada bingkai ranjangnya. Selimut melilit seluruh tubuhnya yang menggigil meski ruangan itu tidak terlalu dingin. “Bodo amat! Kerjaan lo nggak ada yang beres satu pun tau, nggak?! Gue nggak perlu kata sorry lo, sialan! Jangan temuin gue lagi! Gue bakal stop kirimin upah lo!” “Tapi Dele—“ “APA?! Udah gobl*k nggak tau diri! Jangan libatin gue, awas aja lo bawa-bawa nama gue. Abis lo! Sana biar kalian berdua aja yang dicari polisi! Semuanya kan gara-gara kalian. Lagian paling lama juga hukumannya cuma setahun.” “Dele, bantuin gue, please... Gue butuh...” Klik. Sambungan telepon telah terputus. Ivanka menatap layar ponselnya dengan frustrasi.
Yuka mengeluarkan laptop dan meletakkannya di meja. Beruntung fasilitas yang didapatkan Aneth di rumah sakit tersebut cukup memuaskan. Ada meja dan bangku yang layak untuk dipakai bekerja. Meski memang tidak senyaman di kantor, tapi setidaknya lebih baik daripada tidak ada sama sekali.“Eh, apa Aneth pindah ke VIP aja ya,” gumamnya pada diri sendiri. Namun masih cukup terdengar jelas oleh Aneth.“Udah deh, nggak usah aneh-aneh. Kalo nggak nyaman pulang aja,” Aneth tidak ingin berutang lebih banyak lagi pada laki-laki itu.Merasa salah bicara, Yuka akhirnya diam. Larut dalam pekerjaannya. Sesekali melirik Aneth yang menonton drama di ponsel. Sesekali juga berbicara dengan Aneth.Saat Aneth selesai makan siang, ia sempat berhenti sejenak dan pindah ke ranjang Aneth membawa laptopnya. Yuka duduk di sisi kirinya sambil memanfaatkan meja makan Aneth yang sudah kosong untuk menaruh laptopnya. Senang rasanya berada di sebelah gadis itu.
Sembilan tahun lalu.Seperti biasa, Aneth terkadang menghabiskan waktu menggambar di halaman gedung sekolah lama. Duduk di dekat tumpukan meja dan bangku yang tidak terpakai. Dia terlalu malas pulang ke rumah.Kadang, beberapa kakak kelas juga memanfaatkan halaman belakang gedung lama yang sepi untuk merokok. Biasanya ia akan masuk ke salah satu ruang kelas dan hanya diam tanpa menunjukkan diri dan tanpa suara agar tidak ketahuan sedang berada di sana. Dia tidak mau berurusan dengan mereka. Tapi, siapa sangka. Hari itu adalah pertama kalinya mereka tahu Aneth ada di sana.Saat itu dia yang sedang menggambar mendengar suara beberapa orang yang mengobrol mendekat ke arah gedung lama. Ini berarti saatnya dia harus pindah ke dalam kelas. Ia hapal betul dengan pola ini. Suara kakak kelas yang berkasak-kusuk agar tidak ketahuan memasuki area itu, bau asap rokok, dan obrolan tidak berbobotS mereka yang membicarakan teman lain atau perempuan.Aneth lalu
“Kamu tau, pertemuan kita waktu membahas kontrak... itu bukan pertemuan pertama kita?” tutur Yuka saat mereka duduk di ruang tengah. Sepasang alis Aneth terangkat naik menanggapi. “Ah, kamu ingat?” “Huh? Ternyata kamu tau? Kita pernah ketemu waktu—” “Waktu aku wisuda.” “Waktu aku masih kuliah.” Mereka bicara berbarengan. “Huh?” “Eh?” Keduanya bingung dengan jawaban yang tidak sinkron. “Waktu kamu wisuda?” Yuka mengulang jawaban Aneth dengan pertanyaan. “Iya, waktu itu lift penuh. Aku buru-buru naik tangga ke auditorium terus kesandung karena rok kebaya aku. Tapi kamu bantu menahanku di tangga dan ambilin tabung wisuda aku yang jatuh. Aku sempat kira kamu Valdi, tapi kamu nggak pakai toga.” “Ahh... waktu aku datang ke acara wisudanya Valdi, ya? Wisudanya kamu juga.” Aneth lalu mengangguk. Kemudian ganti ia yang bertanya. “Kalo waktu kamu kuliah itu, maksudnya kapan?” “Hm..
Setelah pesta pernikahan, banyak orang yang mengaitkannya dengan malam pertama. Nyatanya, gagasan mengenai malam pertama setelah pernikahan tidak selalu terjadi karena para pasangan cenderung lelah setelah seharian menjamu tamu. Tidur hanya dua hingga tiga jam sebelum acara, harus bangun dini hari khususnya pengantin wanita untuk berdandan, menghadiri acara peneguhan sesuai kepercayaan masing-masing, kemudian resepsi. Aneth yang baru pertama kali menikah—begitu juga dengan Yuka sebetulnya—merasa sekujur tubuh dan kakinya sakit karena terlalu lama berdiri. Padahal gaun pengantin didesain senyaman dan seringan mungkin untuk dikenakan di tubuh. Tapi tetap saja. Aneth sangat lelah berdiri dan menarik senyum senyum seharian. Setelah dibantu oleh kru untuk melepaskan gaunnya, ia masih harus membersihkan riasan dan melepas jepit-jepit di rambut. Saking lelahnya, Aneth dan Yuka langsung bergegas tidur semalam. Ya. Hanya tidur. “Morning,
Jalan-jalan sekitar resort, makan malam, dan bersantai sejenak. Saking semangatnya, rasanya Aneth tidak bisa memejamkan mata malam ini. Ia menyukai suasana di Bintan walaupun siang hari sangat terik. “Kamu belum mau tidur?” tanya Yuka yang melihat wajah Aneth masih tampak segar. “Aku belum ngantuk.” “Kamu suka di sini?” Aneth mengangguk sambil tersenyum lebar. “Kamu tau,” ucapnya memberi jeda sejenak. “Aku pernah berharap bisa pensiun dini dan menghabiskan sisa hidupku traveling ke berbagai tempat indah seperti ini.” “Aku bisa kabulin harapan kamu. Kita bisa pergi ke tempat-tempat yang kamu mau.” Aneth tersenyum. “Kalo jadi semudah itu rasanya aneh. Lagi pula pulang dari sini nanti kerjaan kamu udah menanti.” “Err... tolong jangan ingetin aku.” Keduanya lalu tertawa. “Aku mau ke jacuzzi, kamu mau ikut?” Yuka terdiam memandangi Aneth. Menyadari ajakan ambigunya, buru-buru Aneth menimpali, “Ma-mak
Semenjak bertemu dengan keluarga Yuka, Aneth sesekali diundang ke rumah orang tuanya pada akhir pekan. Katanya sekalian mengakrabkan diri karena mereka akan menikah. Jujur saja, sewaktu Yuka mengatakan ingin menikahi Aneth di depan kedua orang tuanya, Aneth masih merasa abu-abu. Menikah. Dulu, kata itu menjadi hal terakhir yang ada di pikirannya. Bahkan tidak masuk dalam rencana masa depannya. Tetapi sejak bersama Yuka, semuanya berubah. Keinginannya mulai berubah. Rencananya tak lagi miliknya sendiri. Belum lama ini dia juga baru tahu, kalau Yuka mengunjungi rumah Mama tanpa sepengetahuannya. Sewaktu Aneth pulang ke rumah, mamanya menceritakan apa yang disampaikan Yuka, termasuk hubungan mereka. Aneth sempat merasa takut dan tidak enak hati untuk mengakui. Tapi Mama kemudian berkata, “Kalau kamu memang mau menikah, jangan diam-diam aja. Setidaknya kasih tau kapan rencana kalian. Kamu juga bisa tanya persiapannya ke Kak Rena yang udah pengalaman
Benang kusut yang selama ini menghambat hubungan mereka sedikit demi sedikit terurai. Yuka telah mengumpulkan kepingan fakta yang menjadi sumber tanyanya pada gadis itu. Tinggal selangkah lagi. Hingga untaian benang yang berantakan lurus seutuhnya. Tatkala di pagi yang cerah, mobilnya yang kontras berhenti di depan rumah konvensional bergaya sederhana yang pernah dikunjunginya. Dia melangkah turun dari mobil. Berdiri di depan pagar hitam dengan ujung-ujung runcing yang tingginya melewati kepalanya. Dari celah pagar itu ia melongok ke pintu rumah yang terbuka. Berharap orang yang dicarinya ada di dalam. Sambil menghela napas dalam-dalam, ia mengumpulkan keberanian. Mengadu gembok yang tergantung di pagar agar menimbulkan suara bunyi. “Permisi,” panggilnya. Bukan, dia bukan mau jadi sales panci atau semacamnya. Dia perlu menemui seseorang. Tak lama kemudian tampak seorang wanita keluar dari dalam. Dengan raut keheranan berhenti melangkah di tera
Semakin langit menggelap, ruangan itu semakin ramai. Tidak seperti siang tadi yang sepi. Mungkin karena bukan akhir pekan, mereka baru menyempatkan datang sepulang kerja. Sebagian besar orang yang hadir mengenakan pakaian berwarna putih. Orang-orang sibuk menyalami keluarganya, memberikan ucapan belasungkawa. Di tengah suasana duka yang pekat, gadis itu sama sekali tidak merasakan apa-apa. Dia tidak menitikkan air mata seperti beberapa dari mereka yang datang. “Neth, gantian kamu sama Niko makan, gih di kamar. Biar Kak Rena sama Kak Denny aja yang jaga.” “Iya, Kak.” Aneth beranjak dari duduknya, diikuti Niko dengan mata sembab dan wajah bengkaknya sehabis menangis. Aneth tidak tahu lagi apa yang harus ia rasakan sementara orang-orang jelas menunjukkan kesedihan mereka. Bisa saja dia mengikuti yang lainnya, berpura-pura menangis. Namun, Aneth tidak suka bersikap munafik. Ada rasa sesak yang mengganjal, tapi bukan kesedihan. Mungkin penyesalan.
Banyak yang telah terjadi selama empat bulan ini. Mulai dari hal yang kurang menyenangkan hingga hal baik. Memori buruk yang terus dipendam dan menghantuinya selama bertahun-tahun ternyata dapat memudar hanya dalam watu beberapa bulan. Alasan baru baginya untuk tetap bertahan dan memiliki arti hidup yang sesungguhnya. Apakah ini takdir? Ataukah keberuntungan? Yang pasti ia akan memanfaatkannya sebaik mungkin. Segala hal yang semula bertentangan dengannya perlahan berbalik mendukungnya. Sampai suatu hari ketika terbangun, dia masih merasa semuanya bagai mimpi. Tapi ketika membuka ponselnya di pagi hari, Aneth tahu. Apa yang dialaminya adalah kenyataan. Setiap membuka mata, pesan itu selalu meyakinkannya. Ucapan selamat tidur, selamat pagi, atau sisa percakapan semalam yang membuatnya ketiduran. Bukan karena membosankan, hanya dia terlalu nyaman. Hingga insomnia tidak lagi dirasakannya akhir-akhir ini. *** “Kamu... gila....
Perasaan bahagia menyelimutinya sejak turun dari pesawat. Ia tak bisa menahan sudut-sudut bibirnya yang mengembang. Setelah beberapa hari terpisah, akhirnya dia akan menemui pujaan hati di rumah. Andai bisa seperti ini setiap hari, batinnya. Disambut di rumah sepulang kerja, terlelap bersisian dan bangun memandangi wajahnya, menghabiskan waktu senggang, juga melakukan aktivitas dengannya. Ia pasti menjadi laki-laki paling bahagia di dunia jika itu terjadi. “Pak, biar saya bawakan kopernya.” “Nggak pa-pa, Ren. Barang yang kamu udah banyak. Cari troli aja dulu.” Rendy kemudian mengangguk mengiyakan. Selama dua tahun bekerja menjadi asisten Yuka Damiani Leovin, ia diperlakukan dengan amat baik. Pria itu tidak pernah menyuruhnya sesuka hati dan bertingkah semena-mena, menghormati waktu kerja dan hari liburnya, menggunakan tutur kata yang sopan meski ia bawahannya. Bagi Rendy, baru kali ini dia bekerja senyaman ini walau aktivitasnya selama jam kerja padat
“Anda panggil saya?” tanya Aneth formal ketika memasuki ruangan. “Astaga, kita cuma berdua. Ngomong kayak biasa aja, Sayang,” “Kamu, nih. Kalo kedengaran orang lain kan, nggak enak. Udah cukup ya, Regina tau tentang kita. Jangan sampe ada pegawai lain lagi yang tau.” Melirik ke arah pintu besar yang baru ditutupnya. “Becca tau, Rendy tau, supirku juga tau. Memang kenapa kalo yang lainnya tau?” “Oke, mereka nggak masuk hitungan. Mereka orang kepercayaan kamu. Tapi kalau staf lain, bisa jadi biang gosip sekantor!” “Tenang ajaa. Yang lebih penting, aku pergi sore ini, loh. Kita nggak bisa ketemu beberapa hari. Memang kamu nggak bakal kangen?” Beranjak dari bangkunya, Yuka berjalan melewati Aneth yang masih berdiri. Berpindah duduk ke sofa. “Sini,” pinta laki-laki itu. Aneth pun mau tak mau mengikutinya, mengambil tempat di sebelahnya. Memiringkan badan saling berhadapan. Terasa sedikit aneh, ruang Direksi waktu itu menjadi