Setibanya di indekos, ia buru-buru membuka pintu kamarnya. Melempar tas asal, dan mencari benda yang mampu menenangkannya. Pandangannya terkunci pada pisau cutter yang ada di meja. Seperti yang sudah-sudah, ia akan melancarkan ritual penenangan dirinya.
Selagi menggenggam cutter, ponselnya berdering tanda telepon masuk. Gerakannya berhenti sesaat, namun tetap mengabaikan panggilan itu hingga dering ponselnya berhenti. Ketika benda tajam itu nyaris menggores kulitnya, ponselnya kembali berdering dengan tidak sabar. Akhirnya ia meraih tasnya. Menatap nama yang tertera di layar.
Telepon dari Bosnya.
Aneth berdehem sesaat sebelum mengangkat panggilan masuk itu. “Halo,”
“Akhirnya kamu respon juga.” Ada nada khawatir pada suaranya. “Semalam kamu nggak hubungin sama sekali.”
“Ah, maaf Pak. Saya langsung ketiduran.”
“Tapi nggak pa-pa kan kamu pulangnya?”
“Iya, nggak apa-apa kok. Maaf ya Pak, saya lupa kabarin.”
<Hai, haiii.... Jangan lupa berikan bintang dan diamond untuk Aneth ;) Salam elegan, @lunetha_lu
Hari yang ditunggu Aneth akhirnya tiba. Hari ini ia masuk kantor. Ia berangkat dengan perasaan senang. Dia juga sedikit berdandan hari ini. “Wah, kayaknya hari ini lo kelihatan lebih berwarna. Oh iya, happy new year, Neth!” seru Ivanka sambil melompat ke arahnya ketika mereka berpapasan di lobby. “Aw! Happy new year juga,” Aneth memekik karena Ivanka memeluknya terlalu erat. “Ada apa nih? Tumben hari ini dandan?” tanya Ivanka penasaran. Aneth tersenyum dan menjawabnya. “Nggak ada apa-apa kok. Tahun baru pingin suasana baru aja.” Lalu menyadari ada yang berubah juga dari Ivanka. “Lo juga potong rambut ya?” Ivanka mengangguk cepat sambil tersenyum lebar. “Iya, biar lebih rapi. Cocok nggak?” “Cocok kok, poninya lebih pendek jadi imut,” Gadis mungil itu tertawa, tapi tiba-tiba berhenti. Pandangannya tertuju ke belakang Aneth. “Eh, eh...” Dia menunjuk sepintas dengan dagunya. Aneth memutar
Malam itu Ivy mengajaknya untuk makan malam di luar. Katanya ada restoran yang ingin dikunjunginya. Seperti biasa, ia mengiyakan ajakan tunangannya itu. Sudah lewat seminggu dia tidak menghubungi Aneth. Gadis itu juga sepertinya merasa tidak enak menghubungi lebih dulu. Ia lalu menghela napas berat.‘Mungkin lebih baik kembali ke awal seperti ini.’“Babe, lihat deh,” kata Ivy tiba-tiba.“Hm?”“Ada Kak Yuri sama Yuka di sana,”Lelaki itu mengikuti arah pandang Ivy dan terkejut. Secara refleks, Valdi memalingkan wajah.“Oh, sama Aneth juga!” Ivy melambai pada mereka.“Meja kita dapatnya agak jauh dari mereka sih, nggak bisa ngobrol bareng,” ujar gadis cantik itu lagi.“....”“Kita sapa mereka dulu, yuk!” ajak Ivy.‘Damn’. Valdi merutuk dalam hati. Dari sekian banyak tempat, mereka ma
Sungguh ia tidak percaya. Kalau wanita lain mungkin akan marah dan langsung mengamuk diperlakukan seperti itu. Seperti wanita-wanita yang ditemuinya selama ini. Bahkan saat mereka yang bersalah pun, mereka bisa lebih marah dari padanya. Ajaib bukan? Tapi hingga kini Aneth hanya diam. Gadis itu sempat menangis tadi. Namun setelah ia mengajaknya pulang, Aneth tidak lagi malanjutkan tangisnya. Hanya terdiam duduk di kursi penumpang sebelahnya. Mungkin gadis itu merasa segan dengannya. Perjalanan ke indekos yang dituju jadi terasa lebih lama karena kesunyian di antara mereka. Yuka sudah mengabari Yurika sebelumnya kalau ia akan mengantar Aneth. Dia meminta maaf telah meninggalkan kakaknya di restoran tanpa pamit. “Sorry, gue antar Aneth pulang duluan ya. Dia nggak enak badan.” “Loh, Raneth kenapa? Tadi baik-baik aja?” tanya Yuri bingung. “Sorry ya, gue udah minta supir jemput lo, kok. Harusnya nggak lama setelah kalian selesai ma
Datang.Bunga itu datang lagi.Ketika ia membuka pintu kamarnya, buket bunga oranye tergeletak di sana, di depan pintu kamarnya. Bunga-bunganya mekar dengan klopak panjang yang cantik. Entah kali ini pun bunga apa. Meski yang datang adalah jenis bunga yang berbeda, tapi ia yakin masih dengan pengirim yang sama. Ia mengambil buket itu dan melihat selembar kartu di dalamnya.‘I know what you hide.’Begitu isi tulisan yang diketik rapi di sana. Aneth memeluk tubuhnya yang tidak kedinginan. Kecemasan timbul begitu saja. Ia menggigit bibir bawahnya dan melirik sekeliling. Pagi itu area indekos sepi seperti biasa.Apa sebenarnya yang diketahui pengirim bunga ini? Skandalnya dan Valdi? Atau tentang masa lalunya? Kalau masalah skandalnya dan Valdi, mereka berdua seharusnya tidak akan bertemu lagi. Kemungkinan berpapasan juga sepertinya sedikit, mengingat Valdi telah menghindarinya. Apa si peneror akan berhenti jika sudah tahu?I
Niatnya untuk mengundurkan diri jelas dibatalkan oleh Yuka. Kalau tidak salah, mulai besok yang akan datang ke kantor adalah Yurika. Tapi ia bersyukur, dengan disibukan oleh pekerjaan kantor membuat kesedihannya akibat patah hati teralihkan. Meskipun ketika tiba di indekos dia akan tetap teringat dan merasa kesepian, setidaknya ia bisa mengulur waktu di luar. Dan kembali ketika lelah. Jadi tiba di kos Aneth hanya akan beristirahat, atau melakukan kesibukan lain seperlunya. “Semoga penjualan menjelang Valentine laku keras lagi,” ujar Regina, salah satu tim promosi. “Ya cewek-cewek pasti tergiur kosmetik di masa Valentine. Mikirin kencan, jalan sama teman, atau sekadar upload foto di medsos dengan make up.” Ivanka menimpali. “Iya, nggak mau ketinggalan sama tren kan. Apa lagi kalau influencer dan seleb yang pakai. Omong-omong, siapa model berikutnya?” “Ada tiga orang kalau nggak salah.” Aneth hanya mendengarkan percaka
Ketiga tim masih berseliweran di ruangan yang lebih besar untuk berkolaborasi. Ini sudah hari kelima mereka lembur. Tapi hari ini mereka tampak lebih semangat menyelesaikan pekerjaannya karena malam ini mereka berencana untuk refreshing setelah pulang dari kantor. Memang sih Minggu depan mereka masih harus melewati dua hari lembur lagi, tapi besok kan Sabtu. “Apa salahnya mencari hiburan?” kata Regina saat mengobrol.Dua hari yang lalu, waktu sedang mengobrol asal, entah bagaimana yang lain jadi membicarakan pergi main bersama. Akhirnya Regina mengusulkan untuk main ke salah satu kelab malam yang letaknya tidak jauh dari kantor. Katanya kelab malam itu cukup terkenal. Banyak kalangan elit yang pergi ke sana.“Jadi, siapa aja yang mau?” tanyanya.Hampir semua yang berada di ruangan itu ikut kecuali seseorang dari tim IT yang sudah berkeluarga.“Nanti kita sewa kamar hotel terdekat aja. Satu kamar buat cewek,
Wajahnya masih memerah karena kejadian di kelab tadi. Waktu dua orang pria mengganggunya setelah mengambil kartu akses hotel dari Regina, tiba-tiba Yuka menarik tangannya. “Yuk, Neth,” tutur lelaki itu lalu merangkul erat pingggangnya. Sebelum beranjak dari sana, dia juga melayangkan tatapan tajam pada dua pria yang mengganggu Aneth seperti hendak menguliti mereka hidup-hidup. Laki-laki itu terus melingkarkan tangannya di pinggang Aneth bahkan sampai ke tempat parkir. Jantungnya bertalu-talu sepanjang perjalanan. Padahal ia tahu Yuka hanya bermaksud melindunginya dari pria-pria predator di kelab. Tapi karena baru patah hati, sekarang dia jadi mudah baper begini? Tidak, bukan begitu. Sepertinya memang pesona laki-laki itu saja yang terlalu kuat sejak awal. Meski tidak punya perasaan padanya pun, siapa sih wanita yang tetap bisa tenang dalam situasinya? Ditambah lagi ia harus duduk bersebelahan dengan Yuka di mobil selama perjalanan ke hotel. Ka
Siang itu seorang wanita duduk di sebuah coffee shop dengan buket bunga yang dibawanya. Tidak, ini bukan kencan di akhir pekan. Bukan juga perasaan senang akan bertemu seseorang. Malah sebaliknya. Di saat perasaannya masih kacau, buket bunga itu muncul lagi pagi tadi di depan pintu kamarnya. Tulisan yang awalnya hanya sapaan kian hari berubah menjadi ancaman dan cercaan. ‘Bit*h!’ Kali ini pesan singkat itu membuat Aneth marah. Dan kemarahannya harus dilampiaskan pada satu orang. Orang itu pasti bohong ketika bilang tidak tahu tempat tinggalnya. Kemungkinan yang telah dipikirkannya, dia selalu mendapatkan bunga itu setelah pertemuan dengan Valdi. Yang tahu skandalnya dengan Valdi hanya dua orang, Yuka dan Elden. Sementara jika Ivy tahu, sepertinya temannya itu akan langsung mendatanginya, tidak meneror dengan cara seperti ini. Sedangkan Yuka waktu itu sudah bicara padanya dan menganggap hub
“Kamu tau, pertemuan kita waktu membahas kontrak... itu bukan pertemuan pertama kita?” tutur Yuka saat mereka duduk di ruang tengah. Sepasang alis Aneth terangkat naik menanggapi. “Ah, kamu ingat?” “Huh? Ternyata kamu tau? Kita pernah ketemu waktu—” “Waktu aku wisuda.” “Waktu aku masih kuliah.” Mereka bicara berbarengan. “Huh?” “Eh?” Keduanya bingung dengan jawaban yang tidak sinkron. “Waktu kamu wisuda?” Yuka mengulang jawaban Aneth dengan pertanyaan. “Iya, waktu itu lift penuh. Aku buru-buru naik tangga ke auditorium terus kesandung karena rok kebaya aku. Tapi kamu bantu menahanku di tangga dan ambilin tabung wisuda aku yang jatuh. Aku sempat kira kamu Valdi, tapi kamu nggak pakai toga.” “Ahh... waktu aku datang ke acara wisudanya Valdi, ya? Wisudanya kamu juga.” Aneth lalu mengangguk. Kemudian ganti ia yang bertanya. “Kalo waktu kamu kuliah itu, maksudnya kapan?” “Hm..
Setelah pesta pernikahan, banyak orang yang mengaitkannya dengan malam pertama. Nyatanya, gagasan mengenai malam pertama setelah pernikahan tidak selalu terjadi karena para pasangan cenderung lelah setelah seharian menjamu tamu. Tidur hanya dua hingga tiga jam sebelum acara, harus bangun dini hari khususnya pengantin wanita untuk berdandan, menghadiri acara peneguhan sesuai kepercayaan masing-masing, kemudian resepsi. Aneth yang baru pertama kali menikah—begitu juga dengan Yuka sebetulnya—merasa sekujur tubuh dan kakinya sakit karena terlalu lama berdiri. Padahal gaun pengantin didesain senyaman dan seringan mungkin untuk dikenakan di tubuh. Tapi tetap saja. Aneth sangat lelah berdiri dan menarik senyum senyum seharian. Setelah dibantu oleh kru untuk melepaskan gaunnya, ia masih harus membersihkan riasan dan melepas jepit-jepit di rambut. Saking lelahnya, Aneth dan Yuka langsung bergegas tidur semalam. Ya. Hanya tidur. “Morning,
Jalan-jalan sekitar resort, makan malam, dan bersantai sejenak. Saking semangatnya, rasanya Aneth tidak bisa memejamkan mata malam ini. Ia menyukai suasana di Bintan walaupun siang hari sangat terik. “Kamu belum mau tidur?” tanya Yuka yang melihat wajah Aneth masih tampak segar. “Aku belum ngantuk.” “Kamu suka di sini?” Aneth mengangguk sambil tersenyum lebar. “Kamu tau,” ucapnya memberi jeda sejenak. “Aku pernah berharap bisa pensiun dini dan menghabiskan sisa hidupku traveling ke berbagai tempat indah seperti ini.” “Aku bisa kabulin harapan kamu. Kita bisa pergi ke tempat-tempat yang kamu mau.” Aneth tersenyum. “Kalo jadi semudah itu rasanya aneh. Lagi pula pulang dari sini nanti kerjaan kamu udah menanti.” “Err... tolong jangan ingetin aku.” Keduanya lalu tertawa. “Aku mau ke jacuzzi, kamu mau ikut?” Yuka terdiam memandangi Aneth. Menyadari ajakan ambigunya, buru-buru Aneth menimpali, “Ma-mak
Semenjak bertemu dengan keluarga Yuka, Aneth sesekali diundang ke rumah orang tuanya pada akhir pekan. Katanya sekalian mengakrabkan diri karena mereka akan menikah. Jujur saja, sewaktu Yuka mengatakan ingin menikahi Aneth di depan kedua orang tuanya, Aneth masih merasa abu-abu. Menikah. Dulu, kata itu menjadi hal terakhir yang ada di pikirannya. Bahkan tidak masuk dalam rencana masa depannya. Tetapi sejak bersama Yuka, semuanya berubah. Keinginannya mulai berubah. Rencananya tak lagi miliknya sendiri. Belum lama ini dia juga baru tahu, kalau Yuka mengunjungi rumah Mama tanpa sepengetahuannya. Sewaktu Aneth pulang ke rumah, mamanya menceritakan apa yang disampaikan Yuka, termasuk hubungan mereka. Aneth sempat merasa takut dan tidak enak hati untuk mengakui. Tapi Mama kemudian berkata, “Kalau kamu memang mau menikah, jangan diam-diam aja. Setidaknya kasih tau kapan rencana kalian. Kamu juga bisa tanya persiapannya ke Kak Rena yang udah pengalaman
Benang kusut yang selama ini menghambat hubungan mereka sedikit demi sedikit terurai. Yuka telah mengumpulkan kepingan fakta yang menjadi sumber tanyanya pada gadis itu. Tinggal selangkah lagi. Hingga untaian benang yang berantakan lurus seutuhnya. Tatkala di pagi yang cerah, mobilnya yang kontras berhenti di depan rumah konvensional bergaya sederhana yang pernah dikunjunginya. Dia melangkah turun dari mobil. Berdiri di depan pagar hitam dengan ujung-ujung runcing yang tingginya melewati kepalanya. Dari celah pagar itu ia melongok ke pintu rumah yang terbuka. Berharap orang yang dicarinya ada di dalam. Sambil menghela napas dalam-dalam, ia mengumpulkan keberanian. Mengadu gembok yang tergantung di pagar agar menimbulkan suara bunyi. “Permisi,” panggilnya. Bukan, dia bukan mau jadi sales panci atau semacamnya. Dia perlu menemui seseorang. Tak lama kemudian tampak seorang wanita keluar dari dalam. Dengan raut keheranan berhenti melangkah di tera
Semakin langit menggelap, ruangan itu semakin ramai. Tidak seperti siang tadi yang sepi. Mungkin karena bukan akhir pekan, mereka baru menyempatkan datang sepulang kerja. Sebagian besar orang yang hadir mengenakan pakaian berwarna putih. Orang-orang sibuk menyalami keluarganya, memberikan ucapan belasungkawa. Di tengah suasana duka yang pekat, gadis itu sama sekali tidak merasakan apa-apa. Dia tidak menitikkan air mata seperti beberapa dari mereka yang datang. “Neth, gantian kamu sama Niko makan, gih di kamar. Biar Kak Rena sama Kak Denny aja yang jaga.” “Iya, Kak.” Aneth beranjak dari duduknya, diikuti Niko dengan mata sembab dan wajah bengkaknya sehabis menangis. Aneth tidak tahu lagi apa yang harus ia rasakan sementara orang-orang jelas menunjukkan kesedihan mereka. Bisa saja dia mengikuti yang lainnya, berpura-pura menangis. Namun, Aneth tidak suka bersikap munafik. Ada rasa sesak yang mengganjal, tapi bukan kesedihan. Mungkin penyesalan.
Banyak yang telah terjadi selama empat bulan ini. Mulai dari hal yang kurang menyenangkan hingga hal baik. Memori buruk yang terus dipendam dan menghantuinya selama bertahun-tahun ternyata dapat memudar hanya dalam watu beberapa bulan. Alasan baru baginya untuk tetap bertahan dan memiliki arti hidup yang sesungguhnya. Apakah ini takdir? Ataukah keberuntungan? Yang pasti ia akan memanfaatkannya sebaik mungkin. Segala hal yang semula bertentangan dengannya perlahan berbalik mendukungnya. Sampai suatu hari ketika terbangun, dia masih merasa semuanya bagai mimpi. Tapi ketika membuka ponselnya di pagi hari, Aneth tahu. Apa yang dialaminya adalah kenyataan. Setiap membuka mata, pesan itu selalu meyakinkannya. Ucapan selamat tidur, selamat pagi, atau sisa percakapan semalam yang membuatnya ketiduran. Bukan karena membosankan, hanya dia terlalu nyaman. Hingga insomnia tidak lagi dirasakannya akhir-akhir ini. *** “Kamu... gila....
Perasaan bahagia menyelimutinya sejak turun dari pesawat. Ia tak bisa menahan sudut-sudut bibirnya yang mengembang. Setelah beberapa hari terpisah, akhirnya dia akan menemui pujaan hati di rumah. Andai bisa seperti ini setiap hari, batinnya. Disambut di rumah sepulang kerja, terlelap bersisian dan bangun memandangi wajahnya, menghabiskan waktu senggang, juga melakukan aktivitas dengannya. Ia pasti menjadi laki-laki paling bahagia di dunia jika itu terjadi. “Pak, biar saya bawakan kopernya.” “Nggak pa-pa, Ren. Barang yang kamu udah banyak. Cari troli aja dulu.” Rendy kemudian mengangguk mengiyakan. Selama dua tahun bekerja menjadi asisten Yuka Damiani Leovin, ia diperlakukan dengan amat baik. Pria itu tidak pernah menyuruhnya sesuka hati dan bertingkah semena-mena, menghormati waktu kerja dan hari liburnya, menggunakan tutur kata yang sopan meski ia bawahannya. Bagi Rendy, baru kali ini dia bekerja senyaman ini walau aktivitasnya selama jam kerja padat
“Anda panggil saya?” tanya Aneth formal ketika memasuki ruangan. “Astaga, kita cuma berdua. Ngomong kayak biasa aja, Sayang,” “Kamu, nih. Kalo kedengaran orang lain kan, nggak enak. Udah cukup ya, Regina tau tentang kita. Jangan sampe ada pegawai lain lagi yang tau.” Melirik ke arah pintu besar yang baru ditutupnya. “Becca tau, Rendy tau, supirku juga tau. Memang kenapa kalo yang lainnya tau?” “Oke, mereka nggak masuk hitungan. Mereka orang kepercayaan kamu. Tapi kalau staf lain, bisa jadi biang gosip sekantor!” “Tenang ajaa. Yang lebih penting, aku pergi sore ini, loh. Kita nggak bisa ketemu beberapa hari. Memang kamu nggak bakal kangen?” Beranjak dari bangkunya, Yuka berjalan melewati Aneth yang masih berdiri. Berpindah duduk ke sofa. “Sini,” pinta laki-laki itu. Aneth pun mau tak mau mengikutinya, mengambil tempat di sebelahnya. Memiringkan badan saling berhadapan. Terasa sedikit aneh, ruang Direksi waktu itu menjadi