Niatnya untuk mengundurkan diri jelas dibatalkan oleh Yuka. Kalau tidak salah, mulai besok yang akan datang ke kantor adalah Yurika. Tapi ia bersyukur, dengan disibukan oleh pekerjaan kantor membuat kesedihannya akibat patah hati teralihkan. Meskipun ketika tiba di indekos dia akan tetap teringat dan merasa kesepian, setidaknya ia bisa mengulur waktu di luar. Dan kembali ketika lelah. Jadi tiba di kos Aneth hanya akan beristirahat, atau melakukan kesibukan lain seperlunya.
“Semoga penjualan menjelang Valentine laku keras lagi,” ujar Regina, salah satu tim promosi.
“Ya cewek-cewek pasti tergiur kosmetik di masa Valentine. Mikirin kencan, jalan sama teman, atau sekadar upload foto di medsos dengan make up.” Ivanka menimpali.
“Iya, nggak mau ketinggalan sama tren kan. Apa lagi kalau influencer dan seleb yang pakai. Omong-omong, siapa model berikutnya?”
“Ada tiga orang kalau nggak salah.”
Aneth hanya mendengarkan percaka
Btw cerita ini ikut kontes di GoodNovel, dukung Aneth dkk yaaa dengan memberi rate bintang dan gem~ Terima kasih semuaaaa <3
Ketiga tim masih berseliweran di ruangan yang lebih besar untuk berkolaborasi. Ini sudah hari kelima mereka lembur. Tapi hari ini mereka tampak lebih semangat menyelesaikan pekerjaannya karena malam ini mereka berencana untuk refreshing setelah pulang dari kantor. Memang sih Minggu depan mereka masih harus melewati dua hari lembur lagi, tapi besok kan Sabtu. “Apa salahnya mencari hiburan?” kata Regina saat mengobrol.Dua hari yang lalu, waktu sedang mengobrol asal, entah bagaimana yang lain jadi membicarakan pergi main bersama. Akhirnya Regina mengusulkan untuk main ke salah satu kelab malam yang letaknya tidak jauh dari kantor. Katanya kelab malam itu cukup terkenal. Banyak kalangan elit yang pergi ke sana.“Jadi, siapa aja yang mau?” tanyanya.Hampir semua yang berada di ruangan itu ikut kecuali seseorang dari tim IT yang sudah berkeluarga.“Nanti kita sewa kamar hotel terdekat aja. Satu kamar buat cewek,
Wajahnya masih memerah karena kejadian di kelab tadi. Waktu dua orang pria mengganggunya setelah mengambil kartu akses hotel dari Regina, tiba-tiba Yuka menarik tangannya. “Yuk, Neth,” tutur lelaki itu lalu merangkul erat pingggangnya. Sebelum beranjak dari sana, dia juga melayangkan tatapan tajam pada dua pria yang mengganggu Aneth seperti hendak menguliti mereka hidup-hidup. Laki-laki itu terus melingkarkan tangannya di pinggang Aneth bahkan sampai ke tempat parkir. Jantungnya bertalu-talu sepanjang perjalanan. Padahal ia tahu Yuka hanya bermaksud melindunginya dari pria-pria predator di kelab. Tapi karena baru patah hati, sekarang dia jadi mudah baper begini? Tidak, bukan begitu. Sepertinya memang pesona laki-laki itu saja yang terlalu kuat sejak awal. Meski tidak punya perasaan padanya pun, siapa sih wanita yang tetap bisa tenang dalam situasinya? Ditambah lagi ia harus duduk bersebelahan dengan Yuka di mobil selama perjalanan ke hotel. Ka
Siang itu seorang wanita duduk di sebuah coffee shop dengan buket bunga yang dibawanya. Tidak, ini bukan kencan di akhir pekan. Bukan juga perasaan senang akan bertemu seseorang. Malah sebaliknya. Di saat perasaannya masih kacau, buket bunga itu muncul lagi pagi tadi di depan pintu kamarnya. Tulisan yang awalnya hanya sapaan kian hari berubah menjadi ancaman dan cercaan. ‘Bit*h!’ Kali ini pesan singkat itu membuat Aneth marah. Dan kemarahannya harus dilampiaskan pada satu orang. Orang itu pasti bohong ketika bilang tidak tahu tempat tinggalnya. Kemungkinan yang telah dipikirkannya, dia selalu mendapatkan bunga itu setelah pertemuan dengan Valdi. Yang tahu skandalnya dengan Valdi hanya dua orang, Yuka dan Elden. Sementara jika Ivy tahu, sepertinya temannya itu akan langsung mendatanginya, tidak meneror dengan cara seperti ini. Sedangkan Yuka waktu itu sudah bicara padanya dan menganggap hub
Karena semuanya bekerja dengan giat untuk event mendatang, sepertinya proyek ini akan segera selesai hari ini. Jadi besok mereka tidak perlu lembur lagi. Semuanya tampak lega mengingat kantung mata yang jadi muncul akibat lembur seminggu.“Haah, rasanya gue pingin cepat pulang dan tidur,” tukas Regina sambil meregangkan badan.“Kemarin libur lo ngapain aja?” tanya teman satu timnya.“Treatment sama main dong! Akhir pekan waktunya senang-senang.”“Dasar!”“Pulang nanti gue mau maskeran pokoknya!” Regina berjoget di bangkunya, tapi tiba-tiba berhenti seperti teringat sesuatu. “Eh Neth, kok Jumat lalu lo pulang duluan, nggak ikut nginap di hotel?”Aneth bersusah payah membasahi kerongkongannya ketika mendengar kata hotel. Kejadian malam itu langsung terlintas di kepalanya. Sial.“Oh, iya. Gue ngantuk banget, jadi pulang duluan.”
Malam itu, suasana kantor sudah sepi. Aneth menekan tombol turun pada lift hendak ke kafetaria. Ia menunggu sambil melamun memerhatikan ujung-ujung sepatunya. Hingga kemudian lift berdenting dan terbuka, dia lalu mendongak. Terperangah mendapati siapa yang berdiri di dalam lift. “Mau turun?” tanya laki-laki itu ketika Aneth bergeming di tempat. “H-huh? Ya...” jawabnya terbata. “Silakan...” Laki-laki itu lalu bergeser. Aneth masuk ke dalam lift dengan canggung. Saking gugupnya ia hampir lupa bernapas. Laki-laki yang sekarang ada di sebelahkanya adalah orang yang belum lama men— “Tim kamu masih lembur?” Pertanyaan Yuka membuyarkan lamunannya. “Oh? Nggak, cuma saya.” Sebelah alis Yuka terangkat bingung. “Kenapa kamu lembur?” “Itu... file artwork saya nggak kesimpan, jadi harus ngulang desainnya,” Aneth menjawabnya tanpa menatap Yuka. Lebih tepatnya, ia tidak bisa
Aneth melangkah masuk dengan canggung. Baru kali ini ia datang ke rumah pria dewasa yang tinggal sendiri. Tidak, kalau dipikir lagi ini bukan pertama kali. Sebelumnya dia pernah dibawa ke rumah Elden. Ingatan tidak penting yang nyaris terlupakan.Awalnya ia tidak bisa mengiyakan tawaran Yuka. Tapi laki-laki itu berkata, “Ini udah malam, Neth. Kalo ternyata kuncinya nggak ketemu, besok kamu harus kerja, terus baju kamu gimana? Kalo kamu ke tempatku sekarang, kita bisa ke mal deket apartemenku belanja keperluan kamu untuk malam ini sebelum mal tutup.”Saat itu jam sudah menunjukkan hampir pukul sembilan. Dia memang harus cepat-cepat bergegas. Tapi entah kenapa Aneth masih ragu. Ditambah fakta bahwa ia akan tidur seatap dengan Yuka membuatnya sangat-sangat tidak nyaman.Seperti mengerti apa yang dipikirkan Aneth, laki-laki itu lalu menegaskan, “Kalo kamu takut aku macem-macem, aku bisa panggil Yurika ke tempatku.”Wajah Aneth yang sem
“Ndan, yang ini mau taruh di mana?” tanya seorang laki-laki mengeluarkan satu bal karung besar yang diikat tali dari dalam truk. Suasana pagi hari di pergudangan itu sudah ramai. Beberapa truk besar yang dipenuhi barang sudah terparkir di halaman sejak tadi. Para pegawai sibuk mengangkut karung-karung yang dibawa truk itu. “Di dekat rak sana aja,” Elden menjawabnya sambil menunjuk rak yang penuh karung sejenis. Sejak kepulangannya ke tanah air, ia membuat cabang bisnis impor orang tuanya untuk didistribusikan ke pedagang-pedagang yang tidak ingin repot mengurus ijin impor dan segala perintilannya yang menyulitkan. Karena keluarga Elden memiliki koneksi pada bidang perijinan impor, prosesnya tentu jadi lebih mudah baginya, dan bisa membantu para pengusaha pada bisnis skala kecil hingga besar. “Jangan lupa hitung barang yang datang udah sesuai belum,” ucapnya lagi. “Siap Komandan!” jawab pegawainya dengan kompak. Elden mengeluarkan ponse
Tinggal menumpang di rumah orang lain tanpa membayar sewa rasanya tidak nyaman. Terlebih ia malah tidur di kamar, dan Tuan rumah tidur di sofa. Ranjang yang dipesan Yuka belum datang juga. Belum lagi Bosnya selalu mentraktirnya makan malam bersama.Meski Aneth telah mengucapkan beribu terima kasih, masih terasa tidak sepadan dengan apa yang diterimanya. Oleh karena itu kemarin Aneth bertanya, apa ada yang bisa dia lakukan untuk Yuka. Apa ada yang diinginkan laki-laki itu?Kemudian di sinilah Aneth, berkutat di dapur setelah berbelanja. Hari ini Yuka pulang lebih telat darinya. Dia sudah tidak lembur lagi karena desainnya sudah selesai kemarin. Karena Yuka memberikan satu kartu akses masuk ke unit apartemennya, Aneth bisa langsung masuk walau pulang lebih dulu.Pulang.Mungkin kata datang lebih tepat.Ini bukan rumahnya.Laki-laki itu kemarin bertanya, apa Aneth bisa memasak. Katanya, makan masakan rumah sepertinya menjadi hal yang d
“Kamu tau, pertemuan kita waktu membahas kontrak... itu bukan pertemuan pertama kita?” tutur Yuka saat mereka duduk di ruang tengah. Sepasang alis Aneth terangkat naik menanggapi. “Ah, kamu ingat?” “Huh? Ternyata kamu tau? Kita pernah ketemu waktu—” “Waktu aku wisuda.” “Waktu aku masih kuliah.” Mereka bicara berbarengan. “Huh?” “Eh?” Keduanya bingung dengan jawaban yang tidak sinkron. “Waktu kamu wisuda?” Yuka mengulang jawaban Aneth dengan pertanyaan. “Iya, waktu itu lift penuh. Aku buru-buru naik tangga ke auditorium terus kesandung karena rok kebaya aku. Tapi kamu bantu menahanku di tangga dan ambilin tabung wisuda aku yang jatuh. Aku sempat kira kamu Valdi, tapi kamu nggak pakai toga.” “Ahh... waktu aku datang ke acara wisudanya Valdi, ya? Wisudanya kamu juga.” Aneth lalu mengangguk. Kemudian ganti ia yang bertanya. “Kalo waktu kamu kuliah itu, maksudnya kapan?” “Hm..
Setelah pesta pernikahan, banyak orang yang mengaitkannya dengan malam pertama. Nyatanya, gagasan mengenai malam pertama setelah pernikahan tidak selalu terjadi karena para pasangan cenderung lelah setelah seharian menjamu tamu. Tidur hanya dua hingga tiga jam sebelum acara, harus bangun dini hari khususnya pengantin wanita untuk berdandan, menghadiri acara peneguhan sesuai kepercayaan masing-masing, kemudian resepsi. Aneth yang baru pertama kali menikah—begitu juga dengan Yuka sebetulnya—merasa sekujur tubuh dan kakinya sakit karena terlalu lama berdiri. Padahal gaun pengantin didesain senyaman dan seringan mungkin untuk dikenakan di tubuh. Tapi tetap saja. Aneth sangat lelah berdiri dan menarik senyum senyum seharian. Setelah dibantu oleh kru untuk melepaskan gaunnya, ia masih harus membersihkan riasan dan melepas jepit-jepit di rambut. Saking lelahnya, Aneth dan Yuka langsung bergegas tidur semalam. Ya. Hanya tidur. “Morning,
Jalan-jalan sekitar resort, makan malam, dan bersantai sejenak. Saking semangatnya, rasanya Aneth tidak bisa memejamkan mata malam ini. Ia menyukai suasana di Bintan walaupun siang hari sangat terik. “Kamu belum mau tidur?” tanya Yuka yang melihat wajah Aneth masih tampak segar. “Aku belum ngantuk.” “Kamu suka di sini?” Aneth mengangguk sambil tersenyum lebar. “Kamu tau,” ucapnya memberi jeda sejenak. “Aku pernah berharap bisa pensiun dini dan menghabiskan sisa hidupku traveling ke berbagai tempat indah seperti ini.” “Aku bisa kabulin harapan kamu. Kita bisa pergi ke tempat-tempat yang kamu mau.” Aneth tersenyum. “Kalo jadi semudah itu rasanya aneh. Lagi pula pulang dari sini nanti kerjaan kamu udah menanti.” “Err... tolong jangan ingetin aku.” Keduanya lalu tertawa. “Aku mau ke jacuzzi, kamu mau ikut?” Yuka terdiam memandangi Aneth. Menyadari ajakan ambigunya, buru-buru Aneth menimpali, “Ma-mak
Semenjak bertemu dengan keluarga Yuka, Aneth sesekali diundang ke rumah orang tuanya pada akhir pekan. Katanya sekalian mengakrabkan diri karena mereka akan menikah. Jujur saja, sewaktu Yuka mengatakan ingin menikahi Aneth di depan kedua orang tuanya, Aneth masih merasa abu-abu. Menikah. Dulu, kata itu menjadi hal terakhir yang ada di pikirannya. Bahkan tidak masuk dalam rencana masa depannya. Tetapi sejak bersama Yuka, semuanya berubah. Keinginannya mulai berubah. Rencananya tak lagi miliknya sendiri. Belum lama ini dia juga baru tahu, kalau Yuka mengunjungi rumah Mama tanpa sepengetahuannya. Sewaktu Aneth pulang ke rumah, mamanya menceritakan apa yang disampaikan Yuka, termasuk hubungan mereka. Aneth sempat merasa takut dan tidak enak hati untuk mengakui. Tapi Mama kemudian berkata, “Kalau kamu memang mau menikah, jangan diam-diam aja. Setidaknya kasih tau kapan rencana kalian. Kamu juga bisa tanya persiapannya ke Kak Rena yang udah pengalaman
Benang kusut yang selama ini menghambat hubungan mereka sedikit demi sedikit terurai. Yuka telah mengumpulkan kepingan fakta yang menjadi sumber tanyanya pada gadis itu. Tinggal selangkah lagi. Hingga untaian benang yang berantakan lurus seutuhnya. Tatkala di pagi yang cerah, mobilnya yang kontras berhenti di depan rumah konvensional bergaya sederhana yang pernah dikunjunginya. Dia melangkah turun dari mobil. Berdiri di depan pagar hitam dengan ujung-ujung runcing yang tingginya melewati kepalanya. Dari celah pagar itu ia melongok ke pintu rumah yang terbuka. Berharap orang yang dicarinya ada di dalam. Sambil menghela napas dalam-dalam, ia mengumpulkan keberanian. Mengadu gembok yang tergantung di pagar agar menimbulkan suara bunyi. “Permisi,” panggilnya. Bukan, dia bukan mau jadi sales panci atau semacamnya. Dia perlu menemui seseorang. Tak lama kemudian tampak seorang wanita keluar dari dalam. Dengan raut keheranan berhenti melangkah di tera
Semakin langit menggelap, ruangan itu semakin ramai. Tidak seperti siang tadi yang sepi. Mungkin karena bukan akhir pekan, mereka baru menyempatkan datang sepulang kerja. Sebagian besar orang yang hadir mengenakan pakaian berwarna putih. Orang-orang sibuk menyalami keluarganya, memberikan ucapan belasungkawa. Di tengah suasana duka yang pekat, gadis itu sama sekali tidak merasakan apa-apa. Dia tidak menitikkan air mata seperti beberapa dari mereka yang datang. “Neth, gantian kamu sama Niko makan, gih di kamar. Biar Kak Rena sama Kak Denny aja yang jaga.” “Iya, Kak.” Aneth beranjak dari duduknya, diikuti Niko dengan mata sembab dan wajah bengkaknya sehabis menangis. Aneth tidak tahu lagi apa yang harus ia rasakan sementara orang-orang jelas menunjukkan kesedihan mereka. Bisa saja dia mengikuti yang lainnya, berpura-pura menangis. Namun, Aneth tidak suka bersikap munafik. Ada rasa sesak yang mengganjal, tapi bukan kesedihan. Mungkin penyesalan.
Banyak yang telah terjadi selama empat bulan ini. Mulai dari hal yang kurang menyenangkan hingga hal baik. Memori buruk yang terus dipendam dan menghantuinya selama bertahun-tahun ternyata dapat memudar hanya dalam watu beberapa bulan. Alasan baru baginya untuk tetap bertahan dan memiliki arti hidup yang sesungguhnya. Apakah ini takdir? Ataukah keberuntungan? Yang pasti ia akan memanfaatkannya sebaik mungkin. Segala hal yang semula bertentangan dengannya perlahan berbalik mendukungnya. Sampai suatu hari ketika terbangun, dia masih merasa semuanya bagai mimpi. Tapi ketika membuka ponselnya di pagi hari, Aneth tahu. Apa yang dialaminya adalah kenyataan. Setiap membuka mata, pesan itu selalu meyakinkannya. Ucapan selamat tidur, selamat pagi, atau sisa percakapan semalam yang membuatnya ketiduran. Bukan karena membosankan, hanya dia terlalu nyaman. Hingga insomnia tidak lagi dirasakannya akhir-akhir ini. *** “Kamu... gila....
Perasaan bahagia menyelimutinya sejak turun dari pesawat. Ia tak bisa menahan sudut-sudut bibirnya yang mengembang. Setelah beberapa hari terpisah, akhirnya dia akan menemui pujaan hati di rumah. Andai bisa seperti ini setiap hari, batinnya. Disambut di rumah sepulang kerja, terlelap bersisian dan bangun memandangi wajahnya, menghabiskan waktu senggang, juga melakukan aktivitas dengannya. Ia pasti menjadi laki-laki paling bahagia di dunia jika itu terjadi. “Pak, biar saya bawakan kopernya.” “Nggak pa-pa, Ren. Barang yang kamu udah banyak. Cari troli aja dulu.” Rendy kemudian mengangguk mengiyakan. Selama dua tahun bekerja menjadi asisten Yuka Damiani Leovin, ia diperlakukan dengan amat baik. Pria itu tidak pernah menyuruhnya sesuka hati dan bertingkah semena-mena, menghormati waktu kerja dan hari liburnya, menggunakan tutur kata yang sopan meski ia bawahannya. Bagi Rendy, baru kali ini dia bekerja senyaman ini walau aktivitasnya selama jam kerja padat
“Anda panggil saya?” tanya Aneth formal ketika memasuki ruangan. “Astaga, kita cuma berdua. Ngomong kayak biasa aja, Sayang,” “Kamu, nih. Kalo kedengaran orang lain kan, nggak enak. Udah cukup ya, Regina tau tentang kita. Jangan sampe ada pegawai lain lagi yang tau.” Melirik ke arah pintu besar yang baru ditutupnya. “Becca tau, Rendy tau, supirku juga tau. Memang kenapa kalo yang lainnya tau?” “Oke, mereka nggak masuk hitungan. Mereka orang kepercayaan kamu. Tapi kalau staf lain, bisa jadi biang gosip sekantor!” “Tenang ajaa. Yang lebih penting, aku pergi sore ini, loh. Kita nggak bisa ketemu beberapa hari. Memang kamu nggak bakal kangen?” Beranjak dari bangkunya, Yuka berjalan melewati Aneth yang masih berdiri. Berpindah duduk ke sofa. “Sini,” pinta laki-laki itu. Aneth pun mau tak mau mengikutinya, mengambil tempat di sebelahnya. Memiringkan badan saling berhadapan. Terasa sedikit aneh, ruang Direksi waktu itu menjadi