“Ndan, yang ini mau taruh di mana?” tanya seorang laki-laki mengeluarkan satu bal karung besar yang diikat tali dari dalam truk.
Suasana pagi hari di pergudangan itu sudah ramai. Beberapa truk besar yang dipenuhi barang sudah terparkir di halaman sejak tadi. Para pegawai sibuk mengangkut karung-karung yang dibawa truk itu.
“Di dekat rak sana aja,” Elden menjawabnya sambil menunjuk rak yang penuh karung sejenis.
Sejak kepulangannya ke tanah air, ia membuat cabang bisnis impor orang tuanya untuk didistribusikan ke pedagang-pedagang yang tidak ingin repot mengurus ijin impor dan segala perintilannya yang menyulitkan. Karena keluarga Elden memiliki koneksi pada bidang perijinan impor, prosesnya tentu jadi lebih mudah baginya, dan bisa membantu para pengusaha pada bisnis skala kecil hingga besar.
“Jangan lupa hitung barang yang datang udah sesuai belum,” ucapnya lagi.
“Siap Komandan!” jawab pegawainya dengan kompak.
Elden mengeluarkan ponse
Salam elegan, Lunetha Lu.
Tinggal menumpang di rumah orang lain tanpa membayar sewa rasanya tidak nyaman. Terlebih ia malah tidur di kamar, dan Tuan rumah tidur di sofa. Ranjang yang dipesan Yuka belum datang juga. Belum lagi Bosnya selalu mentraktirnya makan malam bersama.Meski Aneth telah mengucapkan beribu terima kasih, masih terasa tidak sepadan dengan apa yang diterimanya. Oleh karena itu kemarin Aneth bertanya, apa ada yang bisa dia lakukan untuk Yuka. Apa ada yang diinginkan laki-laki itu?Kemudian di sinilah Aneth, berkutat di dapur setelah berbelanja. Hari ini Yuka pulang lebih telat darinya. Dia sudah tidak lembur lagi karena desainnya sudah selesai kemarin. Karena Yuka memberikan satu kartu akses masuk ke unit apartemennya, Aneth bisa langsung masuk walau pulang lebih dulu.Pulang.Mungkin kata datang lebih tepat.Ini bukan rumahnya.Laki-laki itu kemarin bertanya, apa Aneth bisa memasak. Katanya, makan masakan rumah sepertinya menjadi hal yang d
Semalaman ia tidak bisa tidur dengan nyenyak karena perlakuan Yuka. Laki-laki itu tidak menyentuhnya, tapi menyiksa hati dan pikirannya dengan tingkah laku yang membingungkan. Apa sikap seperti itu disebut menggoda?‘Ah, gila. Kepedean banget sih, Neth.Mana mungkin orang seperti Yuka menggodanya?’Maksudnya, kalau mau marayu ya minimal yang levelnya seperti Ivy. Atau seperti wanita yang pernah berciuman dengan Yuka waktu itu.Ponselnya tiba-tiba bergetar membuyarkan lamunannya. Panggilan masuk dari ibunya.“Halo,” jawab Aneth malas.“Ke mana aja kamu nggak pernah telepon, nggak mampir juga di akhir pekan?”“Lembur.”“Bulan depan ada libur kan? Pulanglah ke rumah. Jangan cuma habisin waktu bekerja. Percuma kamu kerja setiap hari, sementara di usia segini anak gadis lain udah mempersiapkan pernikahan. Tetangga kita Tante Leny anaknya mau nikah bulan depan,&r
Hangat, nyaman, harum, dan sempit. Baru kali ini Aneth tidur senyenyak dan senyaman ini. Seperti ada kelegaan tersendiri. Sepanjang malam seperti dilingkupi aroma terapi selama tidurnya. Ia meregang sebentar sebelum membuka mata hingga menyadari badannya terbelit sesuatu namun bukan selimut.Bukan selimut???Dia pun membuka matanya yang masih berat. Seketika mengerjap kaget mendapati tangan kekar yang melingkari tubuhnya.‘Apa ini?!’Dia ketiduran di rumah Elden lagi?Tapi dia tidak bertemu laki-laki itu. Dia kan di apartemen Yuka.Apartemen Yuka.Begitu kata-kata itu terulang di kepalanya. Gadis itu membalikkan badan dan langsung terkesiap ketika melihat wajah tidur Yuka. Benar juga, kemarin Aneth menungguinya yang sedang demam. Laki-laki itu kembali merangkulnya setelah ia mandi.Ya, dia meninggalkan Yuka lebih dari lima menit kemarin. Tapi ternyata Bosnya belum tidur juga. Terpaksa Aneth mengham
Pertama kali dalam hidupnya Aneth dapat menikmati berciuman dengan seorang pria. Berciuman dengan normal tanpa didasari rasa takut, rasa bersalah, cemas, maupun keterpaksaan. Jika diingat, kemarin bahkan mereka melakukannya dengan penuh gairah. Hingga sebelum tidur, mereka melakukannya lagi berkali-kali dan lebih lama di ranjang. Meski gerakannya menuntut, tapi perlakuan lembut Yuka menenangkan.Ya, mereka memang tidur di ranjang yang sama. Tapi tidak ada hal lain yang dilakukan setelah itu. Lebih tepatnya karena Aneth tidak menghendakinya. Ia tidak mungkin memperlihatkan pada Yuka keadaan tubuhnya.Selama ini berciuman adalah hal yang menakutkan bagi gadis itu. Hal yang hanya pernah dilakukannya dengan Elden. Tanda yang akan mengingatkannya pada kejadian itu. Sebagai bentuk penebus atas apa yang ingin disimpannya rapat-rapat.Aneth tidak tahu, mengapa kali ini dia bisa melakukannya semudah itu. Saat dengan Valdi jelas-jelas kecemasan menyelubungi dirinya walau
“Ayo, Yuka juga duduk, makan sama-sama. Nggak buru-buru, kan?”“Nggak kok,” jawab Yuka menebar senyum menawannya.Tadi, sewaktu Aneth turun dari mobil, pas sekali saat kak Rena juga baru tiba di rumah Mama. Dia memanggil Aneth dan bertanya siapa yang mengantarnya. Lalu dengan wajah berbinar seperti matahari yang terik siang itu, laki-laki itu turun dari mobilnya menyapa kak Rena.‘Kukutuk kamu, Bos!’“Halo...” Yuka mengangguk sopan.“Oh,” Kak Rena terpukau sesaat menatap sosok yang super tampan itu. “Halo,”“Temennya Aneth?” tanya kak Rena kemudian.“D-dia atasanku di kantor kak!”“Atasan di kantor? Kamu diantar ke sini?”“I-itu tadi... sebelum ke sini ada urusan sebentar,” jawab Aneth tidak sepenuhnya berdusta. Mereka memang ada urusan di kos Aneth, kan.Yuka melirik Aneth sekilas
Aneth hanya melamun selama perjalanan, teringat pada perdebatannya dengan Om Ben dan kata-kata Mama yang terus membawa pikirannya berkelana pada kejadian-kejadian yang telah dialaminya. Ironisnya ia seperti ditampar oleh fakta bahwa dirinya dan Yuka sama sekali tak cocok.Ia juga tahu sejak awal mereka sangat berbeda bagai langit dan bumi. Yuka lelaki yang tampan, dari keluarga terpandang, cerdas, berkepribadian baik, pekerja keras, dan segudang kelebihan lain yang dia miliki, yang bisa membuat orang lain iri padanya, termasuk Aneth.Sementara Aneth, perempuan biasa dengan jerih payahnya, bukan golongan wanita super cantik, tidak pandai bergaul, tidak punya sesuatu yang patut dibanggakannya, gangguan mental yang kadang menyiksanya. Terlebih, ia bercacat. Meski telah bekerja keras dan berdoa, jika semesta tetap tidak mendukung, memang apa yang bisa diperbuat?Kemenangannya dalam sayembara itu pun pertama kali dalam hidupnya. Sesuatu tak terduga sepanjang sejarah.
Yuka masih tidak habis pikir. Ia baru saja ditolak mentah-mentah. Baru kali ini ada wanita yang mengabaikan perasaannya dengan sedingin itu. Sudah kesekian kalinya ia menghela napas. Duduk di sofa memindah-mindah siaran telivisi kabel di rumah orang tuanya tanpa berniat menonton.“Heh! Nanti remotnya rusak!” omel Yurika melempar diri ke sofa. “Kenapa sih lo?”Laki-laki itu menoleh sekilas dengan tatapan lesu. Lalu kembali sibuk menatap layar televisi yang berganti-ganti acara karena dia masih memainkan remot.“Tumben lo belom mandi siang begini, biasa lo paling rajin mandi bangun tidur?”Adik lelaki pertamanya masih diam tanpa semangat.“Abis ditolak lo ya?” Yurika masih lanjut bertanya.Respon Yuka yang memutar bola matanya membuat Yurika yakin kalau tebakannya tepat.“Ditolak siapa sih? Lo emang lagi deket sama siapa ya terakhir? Tumben nggak ada kabar beritanya,”&l
“Gila! Sialan! Brengsek! Beruntung banget lacur itu dikelilingin cowok ganteng hidupnya!” umpat seorang gadis mungil duduk di meja Bar.“Temen katanya?” Ia tersenyum sinis. “Paling-paling cowok yang dia goda juga,”Entah sudah gelas ke berapa bir yang diteguknya. Tubuhnya sudah tidak seimbang, gerakannya mulai kacau dengan pandangan sayu.“Yakin gue, dia nggak lebih dari cewek yang pindah laki pindah ranjang.”“Ka, udah berhenti! Lo udah mabuk parah tau nggak!” omel lelaki di sebelahnya.Gadis itu menggeleng. “Lo belain dia?! Lo di pihak siapa sih? Katanya lo suka gue? Jadi itu bohong?”“Nggak Ka,” Laki-laki itu melunak. “Tapi lo udah kebanyakan minum, besok masih kerja kan.”Ivanka mencondongkan tubuhnya dan menunduk ke arah Alex. Memperlihatkan belahan dadanya dari blus berpotongan rendah yang dikenakannya. Jemari tangannya yang tidak mem
“Kamu tau, pertemuan kita waktu membahas kontrak... itu bukan pertemuan pertama kita?” tutur Yuka saat mereka duduk di ruang tengah. Sepasang alis Aneth terangkat naik menanggapi. “Ah, kamu ingat?” “Huh? Ternyata kamu tau? Kita pernah ketemu waktu—” “Waktu aku wisuda.” “Waktu aku masih kuliah.” Mereka bicara berbarengan. “Huh?” “Eh?” Keduanya bingung dengan jawaban yang tidak sinkron. “Waktu kamu wisuda?” Yuka mengulang jawaban Aneth dengan pertanyaan. “Iya, waktu itu lift penuh. Aku buru-buru naik tangga ke auditorium terus kesandung karena rok kebaya aku. Tapi kamu bantu menahanku di tangga dan ambilin tabung wisuda aku yang jatuh. Aku sempat kira kamu Valdi, tapi kamu nggak pakai toga.” “Ahh... waktu aku datang ke acara wisudanya Valdi, ya? Wisudanya kamu juga.” Aneth lalu mengangguk. Kemudian ganti ia yang bertanya. “Kalo waktu kamu kuliah itu, maksudnya kapan?” “Hm..
Setelah pesta pernikahan, banyak orang yang mengaitkannya dengan malam pertama. Nyatanya, gagasan mengenai malam pertama setelah pernikahan tidak selalu terjadi karena para pasangan cenderung lelah setelah seharian menjamu tamu. Tidur hanya dua hingga tiga jam sebelum acara, harus bangun dini hari khususnya pengantin wanita untuk berdandan, menghadiri acara peneguhan sesuai kepercayaan masing-masing, kemudian resepsi. Aneth yang baru pertama kali menikah—begitu juga dengan Yuka sebetulnya—merasa sekujur tubuh dan kakinya sakit karena terlalu lama berdiri. Padahal gaun pengantin didesain senyaman dan seringan mungkin untuk dikenakan di tubuh. Tapi tetap saja. Aneth sangat lelah berdiri dan menarik senyum senyum seharian. Setelah dibantu oleh kru untuk melepaskan gaunnya, ia masih harus membersihkan riasan dan melepas jepit-jepit di rambut. Saking lelahnya, Aneth dan Yuka langsung bergegas tidur semalam. Ya. Hanya tidur. “Morning,
Jalan-jalan sekitar resort, makan malam, dan bersantai sejenak. Saking semangatnya, rasanya Aneth tidak bisa memejamkan mata malam ini. Ia menyukai suasana di Bintan walaupun siang hari sangat terik. “Kamu belum mau tidur?” tanya Yuka yang melihat wajah Aneth masih tampak segar. “Aku belum ngantuk.” “Kamu suka di sini?” Aneth mengangguk sambil tersenyum lebar. “Kamu tau,” ucapnya memberi jeda sejenak. “Aku pernah berharap bisa pensiun dini dan menghabiskan sisa hidupku traveling ke berbagai tempat indah seperti ini.” “Aku bisa kabulin harapan kamu. Kita bisa pergi ke tempat-tempat yang kamu mau.” Aneth tersenyum. “Kalo jadi semudah itu rasanya aneh. Lagi pula pulang dari sini nanti kerjaan kamu udah menanti.” “Err... tolong jangan ingetin aku.” Keduanya lalu tertawa. “Aku mau ke jacuzzi, kamu mau ikut?” Yuka terdiam memandangi Aneth. Menyadari ajakan ambigunya, buru-buru Aneth menimpali, “Ma-mak
Semenjak bertemu dengan keluarga Yuka, Aneth sesekali diundang ke rumah orang tuanya pada akhir pekan. Katanya sekalian mengakrabkan diri karena mereka akan menikah. Jujur saja, sewaktu Yuka mengatakan ingin menikahi Aneth di depan kedua orang tuanya, Aneth masih merasa abu-abu. Menikah. Dulu, kata itu menjadi hal terakhir yang ada di pikirannya. Bahkan tidak masuk dalam rencana masa depannya. Tetapi sejak bersama Yuka, semuanya berubah. Keinginannya mulai berubah. Rencananya tak lagi miliknya sendiri. Belum lama ini dia juga baru tahu, kalau Yuka mengunjungi rumah Mama tanpa sepengetahuannya. Sewaktu Aneth pulang ke rumah, mamanya menceritakan apa yang disampaikan Yuka, termasuk hubungan mereka. Aneth sempat merasa takut dan tidak enak hati untuk mengakui. Tapi Mama kemudian berkata, “Kalau kamu memang mau menikah, jangan diam-diam aja. Setidaknya kasih tau kapan rencana kalian. Kamu juga bisa tanya persiapannya ke Kak Rena yang udah pengalaman
Benang kusut yang selama ini menghambat hubungan mereka sedikit demi sedikit terurai. Yuka telah mengumpulkan kepingan fakta yang menjadi sumber tanyanya pada gadis itu. Tinggal selangkah lagi. Hingga untaian benang yang berantakan lurus seutuhnya. Tatkala di pagi yang cerah, mobilnya yang kontras berhenti di depan rumah konvensional bergaya sederhana yang pernah dikunjunginya. Dia melangkah turun dari mobil. Berdiri di depan pagar hitam dengan ujung-ujung runcing yang tingginya melewati kepalanya. Dari celah pagar itu ia melongok ke pintu rumah yang terbuka. Berharap orang yang dicarinya ada di dalam. Sambil menghela napas dalam-dalam, ia mengumpulkan keberanian. Mengadu gembok yang tergantung di pagar agar menimbulkan suara bunyi. “Permisi,” panggilnya. Bukan, dia bukan mau jadi sales panci atau semacamnya. Dia perlu menemui seseorang. Tak lama kemudian tampak seorang wanita keluar dari dalam. Dengan raut keheranan berhenti melangkah di tera
Semakin langit menggelap, ruangan itu semakin ramai. Tidak seperti siang tadi yang sepi. Mungkin karena bukan akhir pekan, mereka baru menyempatkan datang sepulang kerja. Sebagian besar orang yang hadir mengenakan pakaian berwarna putih. Orang-orang sibuk menyalami keluarganya, memberikan ucapan belasungkawa. Di tengah suasana duka yang pekat, gadis itu sama sekali tidak merasakan apa-apa. Dia tidak menitikkan air mata seperti beberapa dari mereka yang datang. “Neth, gantian kamu sama Niko makan, gih di kamar. Biar Kak Rena sama Kak Denny aja yang jaga.” “Iya, Kak.” Aneth beranjak dari duduknya, diikuti Niko dengan mata sembab dan wajah bengkaknya sehabis menangis. Aneth tidak tahu lagi apa yang harus ia rasakan sementara orang-orang jelas menunjukkan kesedihan mereka. Bisa saja dia mengikuti yang lainnya, berpura-pura menangis. Namun, Aneth tidak suka bersikap munafik. Ada rasa sesak yang mengganjal, tapi bukan kesedihan. Mungkin penyesalan.
Banyak yang telah terjadi selama empat bulan ini. Mulai dari hal yang kurang menyenangkan hingga hal baik. Memori buruk yang terus dipendam dan menghantuinya selama bertahun-tahun ternyata dapat memudar hanya dalam watu beberapa bulan. Alasan baru baginya untuk tetap bertahan dan memiliki arti hidup yang sesungguhnya. Apakah ini takdir? Ataukah keberuntungan? Yang pasti ia akan memanfaatkannya sebaik mungkin. Segala hal yang semula bertentangan dengannya perlahan berbalik mendukungnya. Sampai suatu hari ketika terbangun, dia masih merasa semuanya bagai mimpi. Tapi ketika membuka ponselnya di pagi hari, Aneth tahu. Apa yang dialaminya adalah kenyataan. Setiap membuka mata, pesan itu selalu meyakinkannya. Ucapan selamat tidur, selamat pagi, atau sisa percakapan semalam yang membuatnya ketiduran. Bukan karena membosankan, hanya dia terlalu nyaman. Hingga insomnia tidak lagi dirasakannya akhir-akhir ini. *** “Kamu... gila....
Perasaan bahagia menyelimutinya sejak turun dari pesawat. Ia tak bisa menahan sudut-sudut bibirnya yang mengembang. Setelah beberapa hari terpisah, akhirnya dia akan menemui pujaan hati di rumah. Andai bisa seperti ini setiap hari, batinnya. Disambut di rumah sepulang kerja, terlelap bersisian dan bangun memandangi wajahnya, menghabiskan waktu senggang, juga melakukan aktivitas dengannya. Ia pasti menjadi laki-laki paling bahagia di dunia jika itu terjadi. “Pak, biar saya bawakan kopernya.” “Nggak pa-pa, Ren. Barang yang kamu udah banyak. Cari troli aja dulu.” Rendy kemudian mengangguk mengiyakan. Selama dua tahun bekerja menjadi asisten Yuka Damiani Leovin, ia diperlakukan dengan amat baik. Pria itu tidak pernah menyuruhnya sesuka hati dan bertingkah semena-mena, menghormati waktu kerja dan hari liburnya, menggunakan tutur kata yang sopan meski ia bawahannya. Bagi Rendy, baru kali ini dia bekerja senyaman ini walau aktivitasnya selama jam kerja padat
“Anda panggil saya?” tanya Aneth formal ketika memasuki ruangan. “Astaga, kita cuma berdua. Ngomong kayak biasa aja, Sayang,” “Kamu, nih. Kalo kedengaran orang lain kan, nggak enak. Udah cukup ya, Regina tau tentang kita. Jangan sampe ada pegawai lain lagi yang tau.” Melirik ke arah pintu besar yang baru ditutupnya. “Becca tau, Rendy tau, supirku juga tau. Memang kenapa kalo yang lainnya tau?” “Oke, mereka nggak masuk hitungan. Mereka orang kepercayaan kamu. Tapi kalau staf lain, bisa jadi biang gosip sekantor!” “Tenang ajaa. Yang lebih penting, aku pergi sore ini, loh. Kita nggak bisa ketemu beberapa hari. Memang kamu nggak bakal kangen?” Beranjak dari bangkunya, Yuka berjalan melewati Aneth yang masih berdiri. Berpindah duduk ke sofa. “Sini,” pinta laki-laki itu. Aneth pun mau tak mau mengikutinya, mengambil tempat di sebelahnya. Memiringkan badan saling berhadapan. Terasa sedikit aneh, ruang Direksi waktu itu menjadi