Ranu bergerak, akan seperti apa caranya membongkar rahasia Akram. Ikuti terus kisahnya ya...
Lima hari berlalu sejak rahasia besar itu terkuak. Keadaan Arum pun mulai membaik. Sekarang ia sudah tidak diharuskan selalu berbaring di tempat tidur. Sore ini Akram pulang dari kantor dan langsung mencari keberadaannya. Semalam ia menginap di rumah orang tuanya agar tidak mengundang kecurigaan karena terlalu lama menginap di rumah omnya. Mendapati kamar tamu yang ditempatinya selama beberapa hari ini bersama Arum dalam keadaan kosong, membuatnya panik seketika. "Arum! Arum! Tante Uti…" panggil Akram yang beranjak ke dapur. Tapi yang didapatinya hanya ART paruh waktu tantenya yang sudah selesai merapikan dapur dan bersiap untuk pulang. "Bi, Bi Ama, Bibi lihat…." Telunjuk Akram mengarah ke arah pintu kamar tamu. Wanita paruh baya ini memang baru kembali bekerja hari ini sehingga menurut Akram wanita itu belum tahu apa-apa. "Istrinya Nak Akram ada di belakang, lagi makan jambu sama ibu. Kalau bapak belum pulang, Nak Alya cuma pulang sebentar, makan dan mandi, lalu pamit lagi ke tempa
"Aish! Lintang ini tidur apa pindah ke dunia lain sih? Susah amat dia dihubungi. Tasya bilang kalau tadi calon suaminya itu habis operasi pasien, langsung balik ke Makassar. Masa iya masih tidur di pesawat terus balik lagi ke Surabaya? Harusnya kita itu minta disambut dan dijemput sama dia!" celutuk Ranu saat mereka sudah mendarat. "Menurut kamu Akram itu lagi ada masalah apa sih? Tidak biasanya Akram, Adina sama Alyana kompak diam seperti ini. Dua ceriwis itu mendadak diam juga Bian. Aneh bukan?" Masih dengan panggilan yang berdering di telinga kanannya, Ranu membantu membawa ransel besar milik Bian. Sementara Bian yang sejak tadi diam mengirim pesan hanya geleng-geleng kepala mendengar omelan sahabatnya. Sejujurnya ia juga sedikit heran karena seharian Lintang sulit dihubungi, begitu juga halnya Akram. Dosen yang satu itu memilih menghubungi pihak rumah sakit kemudian menghubungi Adina dan Riswan. Sama saja, tidak ada yang menjawab. Setelah pamit dengan rekan-rekannya, Bian dan Ra
“Harus apa?” tanya Lintang. Dokter itu tidak ingin terjebak rencana terselubung Ranu. “Kamu modus,” tukas Bian menarik turun tangan Ranu sampai menepuk lutut pemuda itu sendiri. “Padahal aku baru mau buat penawaran besar. Dari ceritanya Akram, pelakunya aku yakin 100% wanita yang dendam!” tegas Ranu. Sementara Bian dan Lintang saling lirik, Akram hanya menggeleng. “Aku serius, wanita yang dendam itu menakutkan seperti gunung berapi. Selalu menakuti kita dengan erupsinya, sama, wanita yang dendam juga begitu. Mereka selalu memantik agar target diaduk-aduk sendiri dengan emosinya," ungkap Ranu menggebu. Haslan terkekeh mendengar penuturan Ranu. Ia sepakat, karena itulah beberapa waktu lalu ia mengungkapkan hal tersebut pada keponakannya. Melihat mereka berempat berkumpul lagi di rumahnya mengingatkannya pada beberapa tahun lalu jika mereka datang untuk kerja tugas kemudian menginap. Sesuatu yang membuat rumahnya menjadi ramai dan tentu saja membuat istrinya senang menyiapkan kudapan
Lintang menoleh lalu bertanya, “Apa Arum punya pacar atau mantan?” Akram menggeleng lalu menyebutkan beberapa nama pria yang diingatnya saat diberitahu oleh Rian. Termasuk senior Arum yang sampai saat ini masih sering menanyakan Arum pada adik sepupunya. Pria itu cukup kaya dan mungkin saja diam-diam meminta orang lain memata-matainya. “Jika peneror itu seorang pria yang menyukai Arum, mungkin dia ingin agar anak kami tidak menjadi tanggungan Arum. Dia hanya berpura-pura sebagai orang yang dendam padaku atau orang tuaku. Karena jika papa mamaku tahu, mereka pasti berusaha mendapatkan hak asuh anakku bukan? Itu darah daging mereka juga,” tutur Akram mengutarakan hal yang sebenarnya diam-diam telah mengusiknya. Lintang tidak menjawab dan Akram menduga sahabatnya itu sudah pulas. Jam digital ponselnya sudah menunjukkan pukul 03.12 WITA dini hari. Akram kembali membuka mata. Sejak tadi ia mencoba untuk tidur, tapi hatinya masih dihinggapi resah. Melihat ketiga sahabatnya sudah terlelap
Akram memarkir mobilnya di anjungan Pantai Losari. Suasana sore ini tampak ramai namun tidak mampu menghibur hati dan pikirannya. Terlebih ponselnya tertinggal dan ia baru menyadari saat hendak menghubungi Bian. Setahunya sahabatnya yang satu itu belum berangkat ke Palu untuk sebuah proyek penelitian lanjutan. “Kak Akram?” sapa seseorang yang melaju dengan skateboard miliknya. Senyum merekah yang sudah tidak asing lagi di mata Akram. “Kamu di sini? Saya kira kamu lagi sama Adina?” tanyanya pada seorang pemuda yang mengenakan kaos hitam polos dan celana pendek selutut berwarna abu-abu. Pemuda itu tersenyum dan beranjak ke samping Akram. Skateboard miliknya disandarkan di bangku. “Saya Raiz Kak, bukan Faiz,” jawabnya. Lagi-lagi Akram salah orang, jadi malu. “Ah, sampai sekarang masih sulit untuk saya membedakan kalian. Kalian itu identik, bukan hanya dari rupa, tapi tingkahnya juga sama,” ujar Akram dan pemuda itu mengangguk mengakui bahwa ungkapan itu benar adanya. Sembari meregang
Awalnya hanya di pipi kanan saja titik air mata itu jatuh. Tapi ketika matanya berkedip, genangan di pelupuk mata Akram sudah tidak terbendung. Tetesan bening itu jatuh berkali-kali di kedua pipinya. Sebisa mungki ia menahan suaranya agar om dan tantenya tidak terbangun. Ia sama sekali tidak menduga jika Arum tahu keinginannya itu. “Na-nasabnya,” jawab Akram akhirnya tertunduk dan terduduk lemah di lantai. Pria itu membenamkan wajahnya di atas kedua lutut istrinya. Bibirnya terkatup rapat meredam isak tangis. Tapi bahunya yang bergetar hebat tidak mampu menyembunyikan betapa hancurnya pria itu membayangkan jika hal yang ditakutkannya sampai terjadi. Arum bukan orang tahu banyak tentang ajaran agama meski dirinya seorang muslim. Ia pernah mendengar hal itu namun tidak begitu memahaminya. Selama ini jika ia ingin meminta pendapat, maka terkadang ia akan bertanya pada salah seorang anggota pengajian yang merupakan teman atasannya. Usapan lembut di kepala Akram membuatnya mencengram ku
Hastuti melirik keponakannya sekilas lalu berujar, “Tante bosan lihat kamu. Lagipula kami sudah tidak sabar mau bergosip, eh… kamu belum peka juga buat cepat-cepat pergi. Belajar dong kayak om kamu. Dia cuma duduk sebentar, terus pamit ke kamar. Ini sudah sore, harusnya kamu mandi dan siap-siap ke masjid!” Arum dan Alyana tidak bisa menahan tawa melihat Akram tercengang. Suara bel yang terdengar mengalihkan perhatian mereka. Alyana yang begitu bersemangat keluar seolah yang datang memanglah tamu yang dinanti. Hanya berselang beberapa menit ia kembali dengan membawa bungkusan paket yang cukup besar. “Kamu beli apa, Nak?” tanya Hastuti tersenyum melihat putrinya yang begitu semangat membuka bungkusan paketnya. “Baju rajut, Umi. Cuma modal jari klik ini itu, Alya disuruh Kak Akram beli baju rajut. Sebenarnya paket ini tuh punyanya Kak Arum. Kak Akram bayarnya enam, tiga buat istrinya,” kata Alya dengan penuh semangat mendorong baju rajut ukuran over size itu pada Akram. “Tapi aku maun
Ponsel Akram berdering dengan private number. Namun ia mengabaikannya saat mendengar tepuk tangan para tamu atas sambutan yang diberikan papanya dan rekan terpilihnya. Akan tetapi, ia akhirnya meraih ponsel saat melihat ada notifikasi pesan berisi foto. Karena rasa penasarannya, Akram pun membuka pesan tersebut. Seketika matanya membelalak melihat foto papanya di atas panggung. Foto yang baru saja diterimanya itu menunjukkan jika pelaku yang menerornya berada di sekitarnya. Akram mulai memperhatikan ke arah kanan. Arah yang menurutnya sudut pengambilan gambar dari foto itu. Matanya mulai memindai siapa di antara mereka yang terlihat mencurigakan. Melihat beberapa orang menunjukkan reaksi syok, Akram turut menoleh ke arah panggung. Papanya dibidik dan yang terpikirkan olehnya adalah menyelamatkan papanya. Akram berlari menyusul Riswan yang sudah beranjak lebih dulu disusul oleh Latief. Omnya itu sempat menoleh dan meminta sang istri tidak beranjak. Akram hanya tahu jika di belakangny
"Sayang, maaf ya hari ini aku tidak bisa temani mama kamu ke acara hajatan temannya. Sahabatku sakit, dia tinggal sendirian di kamar kostnya. Rencananya setelah belikan dia makan, aku mau bawa dia berobat ke klinik atau rumah sakit dekat kostnya," jelas kekasih Fatur yang terdengar berat hati menyampaikannya. Fatur melirik pintu kamar mamanya sejenak lalu membalas, "Iya, tidak apa. Nanti aku bilang sama mama. Kamu antarkan teman kamu berobat dulu. Kamu juga jaga kesehatan biar kamu tidak ikutan sakit. Belakangan cuaca memang tidak menentu." "Terima kasih ya, Sayang. Kamu memang pengertian. Makin sayang deh sama kamu," gombal gadis itu tersenyum dari layar ponsel Fatur. Setelah saling balas dengan salam, akhirnya panggilan video itu mereka akhiri. Fatur entah mengapa merasa gamang. Mamanya sudah antusias ingin mengajak kekasihnya itu untuk menghabiskan waktu bersama. Rencananya setelah mampir sebentar ke acara hajatan teman, mamanya berniat ingin mengajak gadis yang hendak dilamar Fa
Dua minggu berlalu setelah acara lamaran Riswan, kini mereka kembali merasakan suasana pesta. Kali ini mereka berkumpul di sebuah taman wisata yang menjadi lokasi akad sekaligus resepsi pernikahan Lintang dan Tasya. Kedua mempelai itu memang memilih taman ini agar segala rangkaian acara berpusat di satu tempat saja tanpa dekorasi berlebih. "Gugup?" tanya Akram pada sahabatnya yang sejak tadi melirik jam tangannya resah. "Mungkin," jawab Lintang mengatur napasnya berkali-kali. Akram mengulum senyum melihat Lintang meremas lutut kirinya. Menyelenggarakan acara di area outdoor seperti ini tidak juga mampu membuatnya bernapas lega. "Di taman ini aku sama Tasya pertama kali ketemu," ungkapnya mengenang kejadian beberapa tahun lalu. "Dan akan jadi gerbang pernikahan kamu," sambung Bian. "Aku sendiri merasa dejavu. Arum juga bilang begitu tadi. Dulu kami menikah di taman belakang Panti Asuhan Pradipta. Nuansanya kurang lebih seperti ini, meski ya… dekorasi kalian lebih mewah. Aku nikahny
Mendengar Alyana menginginkan bulan, rasanya semua tulang Ranu retak. Sempat berpikir mungkin jantungnya juga ikut berhenti berdetak. Otaknya malas berpikir karena semakin lama ia justru putus asa karena tidak kunjung menemukan solusi. Di tengah keramaian Kota Hongkong, Ranu justru merasa sepi. Setelah mengikuti kompetisi game hari ini, ia meminta timnya untuk beristirahat lebih awal. Jangan sampai mereka menyadari jika pikirannya sedang kacau. Berjalan sendiri di trotoar sembari menikmati pemandangan kota malam hari, Ranu hanya berusaha untuk menyegarkan pikiran. Mungkin saja akan menemukan ide baru saat mengamati sekitarnya. Berbeda dengan Jakarta, di tempatnya saat ini lebih banyak pejalan kaki. Melihat beberapa detik lagi lampu lintas akan berubah warna, Ranu menghentikan langkah. Ia menunggu sampai lampu lalu lintas berubah hijau agar bisa menyebrang jalan. Mendongak menatap langit, Ranu tersenyum melihat bulan purnama yang indah itu. "Sulit membawa bulan itu padamu, Al. Kalau
Bian baru saja selesai memberikan kuliah. Rasa penasarannya akan keributan para mahasiswi di depan ruangannya tidak terbendung. Pasalnya, ruangannya yang berada di pojok itu sama sekali tidak memiliki objek menarik. Bukan karena dirinya tidak memiliki barang yang berkenaan dengan passion atau background dirinya sebagai dosen lingkungan. Akan tetapi, baru dua hari ini ruangannya dipindahkan sehingga belum sempat berbenah. Lantas, hal apa yang menarik di sana dan membuat mereka berkerumun? "Kalian kenapa berkumpul di depan ruangan saya?" tanya Bian. "Eh, Pak Bian, itu loh Pak, ada model cover novel ala CEO yang lagi nongkrong di ruangan Bapak," jawab salah seorang mahasiswi dengan mata berbinar. Bian akhirnya berdeham sehingga barisan di depannya mulai bergeser memberinya akses jalan. Ketika netranya mendapati punggung tegap seseorang di balut jas mahal, Bian kembali berdeham. Pria dengan kedua tangan bersembunyi di saku celananya itu berbalik tanpa mengulas senyum. Justru Bian ditat
Begitu mendengar Adijaya Ufraj meminta Riswan mengajak Risa dan putranya datang di acara resepsi pernikahan Akram dan Arum, Latief dan Farah terkejut. Mereka tidak tahu alasan dibalik keputusan pria lanjut usia itu. Riswan langsung mengiyakan, bahkan akan mengajak wanita pilihannya itu untuk segera menemui sang kakek. Kedua orang tuanya hanya tersenyum. Diam-diam Farah berharap suaminya juga tidak akan keberatan. Selama ini Farah seringkali memperhatikan Risa ketika memarkir mobilnya tidak jauh dari toko pakaian anak milik wanita itu. Latar belakang wanita itu juga sudah ia ketahui. Ibu tunggal itu adalah seorang yatim piatu. Pernikahan pertama Risa penuh siksaan ketika mendiang ibu tirinya sengaja menjualnya pada seorang juragan sapi. Kemudian menikahkan Risa dengan putra pertamanya yang pemabuk. Sayangnya, suami Risa seringkali menyiksanya dan parahnya berselingkuh saat Risa hamil. Berbulan-bulan hidup luntang-lantung dengan kerja serabutan demi memenuhi kebutuhan hidup bersama pu
Beberapa bulan kemudian. Akram pulang dan wajahnya tersenyum lebar kala melihat putranya masih tertidur pulas di kasur lipat di ruang bersantai. Begitu pulas dibelai angin sepoi dari pintu taman samping rumah yang terbuka lebar. Boneka menyerupai robot itu masih setia dipeluk Aidan. Setelah mencium kening putranya, Akram beranjak ke kamar. Tentu saja dengan mengendap-endap agar Aidan tidak terusik. Begitu pintu kamarnya tertutup, telinganya mendengar suara percikan air di kamar mandi. Senyumnya merekah karena menduga Arum sedang mandi. Melirik jam tangannya, belum begitu sore, masih pukul 15.12 WITA. Diletakkannya sekotak perhiasan berwarna biru beludru di atas tempat tidur lalu menutup tirai jendela. Seikat bunga arum lili turut ia letakkan berdampingan dengan kotak itu. Setelah menyalakan lampu tidur di nakas, ia turut menyalakan beberapa lilin aroma terapi. Dengan tergesa Akram menabur mahkota bunga mawar merah di lantai. Berharap agar sang istri berlama-lama di dalam sana sampa
"A-aku cuma tidak mau kamu kaget. Lagian masa siang-siang begi-" "Apa kita perlu ganti model plafonnya?" tanya Akram menunjuk ke atas. Arum mendongak dan memindai langit-langit kamar. Menurutnya tidak perlu diganti karena sudah sangat bagus. Sengatan kecil di lehernya membuatnya seketika membeku. Sang suami sudah beraksi tanpa sanggup dicegah lagi. Rosleting dress yang dikenakannya juga sudah ditarik turun. Usapan halus seringan bulu di punggungnya membuat sekujur tubuhnya gemetar. Bibir itu mengeksplorasi leher mulus hingga ke ujung bahunya. Arum membuka matanya kala sang suami menarik diri. Permainan suaminya membuat Arum yang tadinya menolak, hanya bisa pasrah terseret arus gairah. "Tidak ada aturan waktu, Sayang. Setiap kali… saat kita saling menginginkan," bisik Akram mengecup dagu istrinya dan kembali memagut bibir candunya. Tangannya tidak diam saja sehingga mampu membuai sang istri sampai terdengar desahan yang membuatnya menginginkan lebih. Dert… dert…. Suara ponsel mil
"Sayang, Aruuuuum. Aku kenapa kamu cuekin begini Arum? Sayang!" panggilnya lagi saat melihat istrinya malah beranjak. Sudah dua hari lalu istrinya tidak mengajaknya bicara. Selalu saja adik atau mamanya yang jadi perantara. Sejak malam gala premiere itu, Arum seakan menganggapnya robot. Makan dan pakaiannya disiapkan, tapi selalu dihindari. Malam itu bahkan Arum, Adina dan Aidan bermalam di rumah Latief dengan alasan ingin mencoba menu sarapan baru buatan Ardito. Sementara dirinya sudah sampai di rumah lebih dulu karena ia mengantar Haslan, Hastuti dan Alyana pulang. Sementara setahunya, istri dan anaknya ikut pulang bersama papanya. Arum berbalik dan langsung membalas, "Aku kenapa kamu bohongi begini Akram?" Akram tersenyum masam mendengar tawa keluarganya. Bukan tawa bahagia seperti tawa putranya yang sudah bisa telungkup sambil memukul-mukulkan tangannya di atas kasur lipatnya. Mungkin minta ayahnya untuk segera meraihnya. Keluarganya malah tertawa jahat karena seharian ini Ar
Novita tetap kekeuh pada pendiriannya sehingga membuat Akram tidak berkutik. Arum hanya bisa terdiam karena sejak awal ia sudah menyerahkan segala keputusan pada suaminya. Siang ini mereka sudah bisa pulang, begitu juga dengan bayi mereka yang sudah tiga hari ini dipindahkan dari inkubator. Hampir dua pekan berada di rumah sakit membuat Akram rindu rumah kontrakannya. Nara saja sampai bertanya kapan dirinya akan pulang. Mengedarkan pandangan, Akram tersenyum masam tanpa seorang pun yang mau mendukungnya. "Ma, masa Akram masih harus num-" Lirikan tajam Novita pada putranya kembali membuat Akram diam. Inginnya, Akram ulang ke rumah kontrakannya. Dengan percaya diri ia mengatakan bahwa dirinya sudah baik-baik saja, apalagi ada Danu dan Wina serta Nara di rumahnya. "Papa setuju sama mama kamu," sahut Ardan ketika putranya itu menatap penuh permohonan. Tadinya begitu bersemangat ingin segera pulang setelah hampir dua pekan dirawat, tapi kini Akram memelas. "Berharap pada tali rapuh," k