Semua harta termasuk anak memang hanya titipan dari-Nya. Aku bingung... ini mau happy ending atau sad ending?
Arum baru saja meletakkan gelas susunya yang sudah kosong. Ponselnya berdering tapi belum sempat ia mengecek nama si penelpon, sebuah pesan masuk di kotak pesannya. Ternyata berisi video yang diawali dengan penutupan pidato dari papa mertuanya. Arum masih ingat betapa hangatnya senyum Ardan kala mengusap puncak kepalanya. Papa mertuanya juga kadang bertanya apakah dirinya ngidam dan ingin sesuatu, maka jangan sungkan memintanya. Sebuah perlakuan yang dulu tidak pernah berani diharapkannya. Senyuman Ardan mengingatkannya pada ayah kandungnya. Perlahan setelah tepuk tangan meriah itu, senyum Arum luntur. Fakta hubungannya dengan Akram dibongkar dalam acara itu. Arum yakin jika semua orang yang mengenalnya pasti sudah tahu termasuk keluarga di Jakarta, teman-temannya, atasannya dan rekan-rekan kerjanya. Brakk!!! Ponsel Arum baru saja membentur lantai keramik dan mengejutkan Danu dan Wina. Keduanya memang berada di sini untuk menemaninya. Wina langsung berlari ke arahnya dan memegangin
"Bagaimana kondisi putra kami, Dokter? Dia baik-baik saja, kan?" desak Ardan. "Sejauh ini aman, pasien mampu bertahan. Pelurunya sudah berhasil dikeluarkan. Beruntung karena peluru tidak mengenai jantung. Tepatnya sekitar tiga centimeter di dekat jantung, tapi menyebabkan salah satu rusuknya patah. Mohon maaf, saya harus menyampaikan hal ini, kondisi pasien masih kritis dan masih harus dipantau. Kami akan upayakan yang terbaik untuk pasien. Kita sama-sama berdoa untuk keselamatannya. Saya ingin tahu siapa dokter yang menangani luka tusuk di punggungnya. Ada hal yang perlu saya diskusikan," ujar dokter yang menangani operasi Akram. “Luka di punggung?” tanya Novita mengernyit. "Iya Dok, dari hasil pengamatan saya, itu luka tusuk," jawab dokter itu menatap Novita lalu beralih pada keluarga pasien bergantian. Harapannya ada salah seorang di antara mereka yang bisa menjelaskan. Pijakan Ardan goyah dan tubuhnya limbung. Haslan yang menahannya memberi kode dengan menekan kuat jempolnya di
"Buat dirimu susah ditolak!" sahut Lintang yang baru saja keluar dari ruang ICU. Tadinya ia mengira hanya Ardan dan Haslan saja yang menunggu di luar ruangan. Ternyata Rian dan Riswan belum beranjak. "Prinsip macam apa itu?" tanya Latief tapi Lintang justru menanggapi dengan serius. Gebetan Adina itu tidak hanya menemui Riswan, Akram dan Alyana. Dia juga berhasil mengambil hati sahabat-sahabat Riswan dan Akram. Sebagai salah satu sahabat Riswan, Rian turut membenarkan dan pemuda itu sudah memenuhi tantangan darinya. "Om mau dengar rekaman suaranya waktu telpon Lintang, Bian sama Ranu dipanggilan grup?" tanya Lintang menawarkan. Dokter yang satu itu berjongkok di samping Riswan dan memutar recording dari panggilan telponnya. Ketiga pria paruh baya itu terkekeh dan Riswan merasa sangat bersyukur. Akhirnya sejak tadi, mereka bertiga bisa sejenak melupakan kesedihan yang menimpa mereka. "Sebenarnya gebetan Adina itu, dia putranya siapa, Wan? Di tempat bimbel itu, kata asisten om, tida
"Sudah bangun?" Seorang wanita yang duduk di balik setir mobil itu mengulas senyum pada Arum. "Maaf, Ibu sebenarnya siapa? Kenapa Ibu mengancam saya seperti ini?" tanya Arum mencoba menjauh kala tangan wanita itu hendak mengusap wajahnya. Kuku yang panjang berwarna merah itu nampak menakutkan di mata Arum. Arum bisa menilai kelembutan dan ketulusan senyum wanita itu. Tapi sorot matanya berbeda, seakan wanita itu hendak menancapkan sesuatu padanya. Ada kebencian yang tersirat dan Arum semakin yakin ketika merasakan dagunya dicengkeram kuat. "Kamu itu penyintas dalam skenario yang sudah aku susun. Kamu bahkan sampai mengandung benih anak itu. Harusnya kamu itu tidak pernah muncul di sana dan mengacaukan semua ini!" Bisikan penuh penekanan itu membuat tubuh Arum gemetar. Arum mencoba memberanikan diri untuk kembali menatap wanita asing itu. "Apa yang Nyonya mau?" "Nyonya Helena. Aku ini temannya Novita dan kami berniat menjodohkan anak-anak kami. Tapi kamu malah menjebak Akram dan me
Akram akhirnya membuka mata, tersadar setelah tiga hari terbaring di ICU. Telinganya terus mencerna suara tangis di sekitarnya. Matanya yang mengerjap perlahan memindai ruangan serba putih hijau di sekitarnya. Seseorang duduk di samping tempatnya berbaring dengan kepala yang tertunduk di atas tumpuan tangan yang menggenggam tangannya. "Kak?!" seru Adina ketika merasakan tangannya merasakan remasan kecil. Kakaknya merespon dan ketika ia menoleh, kedua mata kakaknya menatapnya. "Papa... pa-" Akram kembali terpejam menahan sakit di bagian dadanya. Ia ingin tahu keadaan papanya karena yang teringat olehnya adalah saat Ardan berdiri di podium dan bidik. "Dok! Dokter! Dokter!" panggil Adina yang bergegas keluar untuk memberitahu jika kakaknya sudah sadar. Akram memandang punggung adiknya menjauh sampai terdengar suara benda bergeser. Otaknya masih bisa menerka itu pintu. Namun ia belum bisa memahami di mana dirinya saat ini sampai ia menoleh ke kiri melihat elektrokardiograf dan infus di
Akram mengangguk dan mengatur posisi hospital bed sedikit tegak dari sebelumnya. Kemudian ia duduk di tepi dan menarik Arum dalam dekapannya. Meski susah payah dan harus menahan rasa sakit serta ngilu di dadanya, Akram tetap berusaha terlihat baik-baik saja. Dalam isak tangisnya Arum terus saja meminta maaf. Akram sendiri hanya diam membiarkan Arum mengungkapkan apa saja yang ingin disampaikannya. Gadis yang telah menderita karenanya itu meminta maaf karena tidak bisa menjaga putra mereka dengan baik. Arum menceritakan betapa ketakutannya dirinya saat memikirkan kondisi kandungannya. Menceritakan bahwa dengan sangat terpaksa Riswan menjauh dan menggantikan dirinya terkena suntikan. Arum merasa begitu bersalah karena ketidakberdayaannya. Akram sudah mendengar jika ada yang mencoba menyakiti Arum tapi berhasil digagalkan Riswan dan Rian. Meski begitu, keluarganya tidak menceritakan detail kejadiannya. "Sekarang semuanya sudah baik-baik saja. Kita semua sudah aman Arum. Putra kita juga
Pintu ruang rawat inap Akram dan Arum baru saja terbuka. Adina datang dengan menenteng kantong kresek berisi belanjaan dari minimarket lobi rumah sakit. Di belakangnya ada seorang pemuda bertubuh tinggi. Saking tingginya, Adina hanya sebatas bahunya saja. "Assalamualaikum," ucap keduanya. Salam pun dibalas oleh seluruh orang yang saat ini juga datang membesuk Akram dan Arum. Setelahnya tidak ada suara lain yang terdengar selain suara kantong kresek yang diletakkan Adina. Semua orang fokus menatap pemuda yang mengulas senyum sembari mengulurkan paper bag yang dibawanya pada Adina. "Saya tidak setampan aktor Tom Cruise. Jadi tolong, saya jangan ditatap terus," ucap pemuda itu santai. Tapi candaannya itu berhasil membuat mereka tersenyum menahan tawa. "Loh? Kamu bukannya atlet basket yang kembar itu ya? Hari itu kalian makan siang bersama di restonya tante kan, Ram?" tanya Farah teringat foto yang ditunjukkan karyawan restonya yang memang suka bergosip dan menoleh pada keponakannya ya
Novita tetap kekeuh pada pendiriannya sehingga membuat Akram tidak berkutik. Arum hanya bisa terdiam karena sejak awal ia sudah menyerahkan segala keputusan pada suaminya. Siang ini mereka sudah bisa pulang, begitu juga dengan bayi mereka yang sudah tiga hari ini dipindahkan dari inkubator. Hampir dua pekan berada di rumah sakit membuat Akram rindu rumah kontrakannya. Nara saja sampai bertanya kapan dirinya akan pulang. Mengedarkan pandangan, Akram tersenyum masam tanpa seorang pun yang mau mendukungnya. "Ma, masa Akram masih harus num-" Lirikan tajam Novita pada putranya kembali membuat Akram diam. Inginnya, Akram ulang ke rumah kontrakannya. Dengan percaya diri ia mengatakan bahwa dirinya sudah baik-baik saja, apalagi ada Danu dan Wina serta Nara di rumahnya. "Papa setuju sama mama kamu," sahut Ardan ketika putranya itu menatap penuh permohonan. Tadinya begitu bersemangat ingin segera pulang setelah hampir dua pekan dirawat, tapi kini Akram memelas. "Berharap pada tali rapuh," k