Home / Pernikahan / Bukan Sekelumit Sesal / Part 1 Memeluk Perut

Share

Bukan Sekelumit Sesal
Bukan Sekelumit Sesal
Author: Rat!hka saja

Part 1 Memeluk Perut

Author: Rat!hka saja
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Tumpukan berkas di hadapannya sama sekali tidak menarik perhatiannya. Padahal pagi tadi ia sudah menargetkan jika hari ini akan lembur menyelesaikan semua pekerjaan yang menumpuk. Alasannya agar bisa menemani sang tante melakukan check up rutin besok pagi. Laki-laki yang sedang duduk di kursi Direktur Yayasan HAS itu adalah Akram Hazami Ardanuansyah. Putra dari pasangan seorang politikus ternama di Kota Makassar dan seorang dokter spesialis kulit.

Saat ini Akram tengah terdiam. Laki-laki berparas tampan itu larut dan tenggelam dalam pikirannya yang terjebak akan pertemuannya dengan seseorang. Tepatnya seorang gadis yang sudah beberapa waktu ini tidak pernah lagi ia temui. Bahkan saat mengunjungi sebuah kantor perusahaan yang tidak jauh dari kantornya sendiri. Tempat gadis itu bekerja, Pradipta Land Zona Timur atau lebih dikenal dengan PLZT.

Arum, gadis itu terlihat terkejut dan ketakutan melihat dirinya. Saking terkejutnya, gadis yang mengenakan dress putih selutut bermotif bunga itu sampai menjatuhkan kantong belanjaannya. Kemudian Arum pergi seolah kabur begitu saja. Hal yang paling mengusik Akram adalah reaksi gadis itu. Arum membelalak menatapnya sambil memeluk perutnya sendiri. Menggeleng seolah memohon jangan mendekat atau menyakitinya.

Masih terpatri dalam ingatan Akram wajah pucat Arum. Begitu juga penampilan gadis itu yang berbeda dari biasanya. Tidak ada setelan kemeja, blazer, rok ataupun celana panjang bahan yang memberikan kesan kaku padanya. Gadis yang berdiri tepat di hadapannya beberapa waktu lalu di depan sebuah minimarket itu terlihat anggun. 

"Bagaimana bisa dia terlihat secantik itu? Sejak kapan? Arum… dia benar-benar wujud dari bunga lili. Matanya… itu kali pertama aku melihat netra coklat seindah itu. Tapi kenapa selama ini dia sembunyikan?" gumam Akram sambil mengusap dagu dengan telunjuknya. 

Matanya terpejam seolah enggan kehilangan bayangan gadis yang jutek itu. Sekilas saja orang akan tahu ia menawan meski tanpa riasan. Sederhana dengan rambut yang terjepit sebagian. Bukan rambut terkuncir atau disanggul ketat dan rapi seperti biasanya. Terlebih mata gadis itu bisa bertatapan langsung dengan matanya tanpa terhalang kacamata yang biasa digunakannya. 

Seulas senyum terbit di wajah Akram dengan mengingat semua itu. Apalagi jika dirinya datang ke kantor Pradipta. Dirinya akan disambut gadis itu yang berstatus sebagai sekretaris Direktur Utama Pradipta Land Zona Timur. Gadis yang sejak pertemuan pertama membuatnya terpaku pada senyum sinis karena memujinya cantik. Kesan pertama yang dimilikinya untuk seorang Arumi Liliana adalah gadis mandiri, berani, pandai dan berpendirian.

Mengingat bagaimana gadis itu dengan berani memberinya peringatan untuk tidak sembarangan memujinya karena dirinya tidak membutuhkan hal itu. Basa-basi Akram langsung ditepis. Meminta dengan sopan agar dirinya segera mengatakan tujuan dan maksud kedatangannya. 

Saat sang atasan keluar dan menegur Arum, gadis itu menjawab dengan sopan pada atasannya. Jawaban yang menyentil hati Akram. Arum mengaku akan bersikap sopan jika tamu yang datang juga tidak melewati batas karena mereka sedang berada di kantor. Terlebih masih jam kerja, sehingga hanya akan membahas masalah pekerjaan, bukan masalah pribadi. Lagi-lagi Akram tersenyum mengingat hal itu.

Karakter Arum sangat mirip dengan karakter tantenya, Hastuti yang merupakan kakak dari papanya. Begitu juga putri dari pemilik Perusahaan Pradipta, Abhisa Sabiya yang merupakan cinta pertamanya. Mengetahui jika Biya sibuk menangani Pradipta Foundation yang sementara waktu menggantikan bundanya, Akram bertekad ingin kembali mendekati gadis itu. Terlebih pekerjaannya yang belakangan ini menggantikan tantenya yang sedang sakit membuka akses pertemuan dengan gadis pujaannya. Tapi pertemuannya dengan Arum tadi seketika menghadirkan dilema. Siapa yang harus ia kejar? Biya atau Arum?

"Pak Akram, Pak. Pak Akram!!" teriak Lita memanggil atasannya yang sudah melamun sejak beberapa menit yang lalu.

"Ada apa? Kenapa Bu Lita teriak? Saya tidak tuli!" bentak Akram yang terkesiap karena terkejut. Belum lagi ketukan keras sebuah pulpen di tepi meja kacanya. Sembari mengelus dadanya, Akram menatap wajah cemberut wanita 35 tahun itu. "Kalau saya jantungan seperti Tante Uti bagaimana?"

"Idih... Bos, ngaku ganteng tapi jantungnya lemah. Mengecewakan! Saya itu dari tadi ketuk pintu. Panggil atasan saya kayak panggil penjual cilok yang sudah hampir hilang di ujung gang. Saya berdiri di sini pun masih tidak dengar. Ya saya teriak lagi toh! Ada apa sih, Pak Akram melamun kayak orang diusir dari rumah saja?" tanya Lita dengan bibir manyunnya karena Akram melotot seolah hendak mencekiknya.

"Ya Allah, dosa apa saya harus punya sekretaris kayak Bu Lita? Ocehannya kayak Tante Uti saja. Ada apa?" Kini Akram serius bertanya.

"Mau buat Bos senang tak terkira," jawab wanita itu ambigu.

"Bawa kabar apa? Ada investor yang mau suntik dana ke yayasan?" tanya Akram yang akhirnya tersenyum. Belakangan ini memang yayasan milik om dan tantenya sedikit mengalami masalah keuangan. Itu menjadi salah satu faktor yang memicu stres tante kesayangannya.

"Belum ada. Saya ke sini mau menyampaikan kalau bulan depan... saya itu mau ajukan resign. Biar Bos tidak ketemu saya lagi." Wanita itu mengangguk mengulas senyum lega.

"Niat sekali pendam dendam sama saya? Memangnya ucapan saya selama jadi atasan Bu Lita, ditampung semua dan dibalas sekarang? Bu Lita benar-benar kesal sama saya? Saya seperti itu juga karena belum terbiasa dengan semua tekanan pekerjaan ini Mbak. Saya masih mau bebas kerjakan apa yang saya suka," keluh Akram.

Jika sudah menyebut 'Mbak' pada sekretaris tantenya yang selama beberapa bulan ini juga menjadi sekretarisnya, pasti Akram akan melupakan wibawanya. Ia akan berubah menjadi bocah yang merajuk dan mencurahkan perasaannya. Lita sudah bekerja hampir sembilan tahun dengan Hastuti. Wanita itu sudah cukup mengenal Akram. Begitu juga masalah yang dialami Akram sejak remaja. Pemuda itu lebih memilih untuk ikut tantenya sejak menanggalkan seragam abu-abunya dibandingkan tinggal bersama kedua orang tua kandungnya sendiri. 

Akram bukan sepupunya Riswan yang bisa diatur hidupnya oleh kedua orang tuanya. Ia lebih menyukai sastra dibandingkan politik atau bisnis. Tapi kedua orang tuanya seakan tidak mau tahu dan menganggap hal yang disukainya itu tidak akan mampu menunjang masa depannya kelak. Papanya yang pecinta nama baik dan sorotan publik. Sementara mamanya yang pencinta uang. Semua orang suka uang, tapi mamanya berada dalam kategori matre. Itu menurut Akram pribadi.

"Mbak mau resign karena mbak hamil. Suami mbak sarankan sebaiknya mbak ambil cuti. Tapi hasil pemeriksaan dokter bilang, kandungan mbak yang sekarang tidak sekuat kehamilan yang pertama. Kamu ingatkan, dulu mbak pernah keguguran? Sekarang mbak tidak mau ambil resiko lagi Ram," ungkap Lita sambil memeluk perutnya dengan kedua tangannya seolah ada yang akan menyakiti kandungnya. "Mbak bilang lebih awal supaya kamu bisa cepat cari pengganti. Kamu bisa seleksi dan pilih yang terbaik. Mbak sudah bilang sama Bu Hastuti dan Pak Haslanuddin. Alhamdulillah mereka mengerti sama keputusan mbak ini."

Prakk!!

Tumpukan map berkas di sudut meja jatuh. Sebagian isinya berserakan di lantai. Jatuh karena disenggol Akram yang tiba-tiba beranjak dari kursinya. Setelah beberapa saat memperhatikan tangan Lita yang memeluk perutnya, Akram berlari keluar dari ruangannya.

"Akram, kamu kenapa? Hei, kamu mau ke mana?! Pak Akram!!!" teriak Lita kebingungan. "Apa dia segitunya tidak ingin aku resign? Dia syok? Aneh?"

###

Akram memacu mobilnya kembali ke minimarket tempat dirinya bertemu Arum. Kini ia mengerti ekspresi wajah terkejut sekaligus ketakutan gadis itu ketika bertemu dengan dirinya. Gadis? Arum bukan lagi seorang gadis dan itu karena dirinya. 

Malam ketika dirinya yang setengah sadar menyentuh gadis itu memenuhi pikirannya. Tepatnya… tanpa sadar ia sudah memaksanya. Akram ingat bagaimana Arum menangis ketakutan menarik selimut dan mengancamnya untuk tidak mendekat. Begitu juga noda merah di seprei putih di tempat tidur tempatnya bangun dengan kepala yang nyaris meledak.

Akram memukul setir melampiaskan sesak di dadanya dan kembali menambah kecepatan mobilnya. Ia sadar jika perbuatannya salah dan demi apapun ia harus mencari tahu kebenarannya. Jika dugaannya benar Arum saat ini mengandung, maka ia yakin jika anak itu adalah darah dagingnya. Sudah cukup dosanya selama ini bermain wanita karena penolakan seorang Biya. 

Kehidupannya di Singapura yang kadang membayar wanita malam sudah ia tinggalkan. Akram belum siap menikah dengan perjodohan yang selama ini ditawarkan mamanya. Ditambah lagi permintaan papanya yang ingin dirinya terjun berpolitik. Hal yang membuatnya kabur ke Singapura dan menyusul sepupunya yang kuliah bisnis di sana.

Awalnya ia hanya melampiaskan stres dengan alkohol. Berharap minuman itu bisa membuatnya lupa dengan masalahnya. Pergaulan buruknya membawanya terjun ke dunia malam. Termasuk pergaulan bebas dengan sesekali melakukan ons. Tergiur dan terjerat dengan kenikmatan sesaat yang membuatnya sesat.

Kebutuhan biologis dan pelariannya dari masalah, menjadikan rangkaian perangai buruk itu sebagai pelampiasan dan penenang sejenak. Bermain aman karena tidak ingin terjebak. Hingga saat sepupunya datang dan bertanya tidakkah dirinya takut jika zina yang dilakukannya akan menjadi karma suatu hari nanti? Terlebih dirinya memiliki adik perempuan.

Setelah kembali ke Indonesia, ia tidak pernah lagi melakukan dosa itu. Meskipun kadang ia masih keluar masuk diskotik untuk menenggak beberapa gelas minuman haram. Bahkan kebiasaan buruknya dengan minuman itu sudah benar-benar ia jauhi sejak tantenya Hastuti jatuh sakit. Memintanya agar menyelamatkan yayasan milik keluarga suaminya. 

Awalnya Akram menolak karena selain merasa kurang mampu, ia juga malu. Namun melihat tantenya terus memohon ia pun akhirnya setuju. Hastuti memang tidak bisa memiliki keturunan sehingga suami istri pemilik Yayasan HAS itupun mengadopsi seorang anak. Tapi Aylana, gadis remaja yang kini duduk di kelas 2 SMA itu masih terlalu muda dan polos. Belum waktunya dibebani dengan urusan seberat itu. 

Tadi saat melihat Lita memeluk perutnya, Akram tertegun. Sama seperti yang dilakukan Arum dengan perutnya. Tapi ekspresi wajah keduanya sangat berbeda. Bisa dibilang justru reaksi keduanya bertolak belakang.

Lita dengan senyum bahagianya mengatakan dirinya sedang hamil, hendak mengajukan resign. Sementara Arum yang sempat dicari tahu kabarnya beberapa waktu telah resign dengan alasan sakit. Kini nama Arum menari-nari di dalam pikiran dengan segala tanda tanya yang kini memenuhi benaknya.

"Kamu resign karena sakit apa? Apa karena kamu hamil?" batin Akram kembali menggerutu karena terjebak macet.

###

Bersambung....

Rat!hka saja

Pembaca setia goodnovel, cerita ini akan update dua kali sehari. Siang sekitar pukul 13.00 WIB dan malam sekitar pukul 19.00 WIB. Tinggalkan komentar, kritik dan saran kamu. Aku tunggu vote dan dukungan kalian lainnya apapun bentuknya. Jangan lupa mampir baca ceritaku yang lainnya. Terima kasih.... Follow sosmed Ratihkasaja

| Like
Comments (6)
goodnovel comment avatar
Ratu Bee
Baru cek kembali ternyata part-nya sudah 90-an ... rajin up ya kakak
goodnovel comment avatar
sarimallarangeng
Koin sebanding ya sama panjang ceritanya. 180 K lumayan panjang, tapi suka karena sudah tamat. Tidak perlu ditunggu updatenya
goodnovel comment avatar
Lisani
Dari Pf sebelah aku ke sini
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Bukan Sekelumit Sesal   Part 2 Kesalahan Besar

    Ketakutan Arum ketika tatapan mereka bertemu seolah menjawab semuanya. Kini ia bisa menduga jika itu adalah salah satu alasan Arum resign dari Perusahaan Pradipta. Karir gadis itu sudah cemerlang. Bahkan dia menjadi salah satu karyawan favorit dan panutan di perusahaan itu karena kinerjanya yang totalitas. Lantas apa yang membuat Arum harus rela melepaskan pekerjaannya di perusahaan bonafit itu? Mengapa Arum terus menggeleng dan melangkah mundur menjauhinya? Berlari pergi bahkan meninggalkan kantong belanjaannya yang terjatuh ketika refleks memeluk perutnya. Dering ponselnya sejak tadi diabaikan Akram. Tidak peduli siapa yang sedang menghubunginya. Saat ini hanya satu nama yang memenuhi pikirannya, Arumi Liliana. Akram masih memiliki rasa takut akan dosa dan karma. Tentu saja ia tidak ingin jika hal itu menimpa adik kandungnya Adina dan Aylana adik sepupunya. Dirinya memang seorang pengecut. Tapi ia tidak ingin terus terjebak dalam kubangan dosa dan penyesalan yang akan menggerogot

  • Bukan Sekelumit Sesal   Part 3 Ketakutan

    "Wan, aku…." "Hm." "Aku menghamili seorang gadis," ucap Akram kembali terdiam dengan mata terpejam. "Uhuk uhuk uhuk!!" Riswan berusaha meredakan batuknya dan menoleh dengan syok. "APA?!!" Akram sudah menduga akan menerima pukulan keras dari kakak sepupunya itu. Dirinya bahkan sama sekali tidak berniat mengelak. Hingga suara batuk Riswan tidak lagi terdengar, Akram perlahan membuka mata. Ia tidak berani menoleh ke samping. Sudut hatinya merasa lega dan ngilu disaat yang sama. Sejujurnya ia tidak sanggup menatap sepasang mata yang sudah seringkali menyembunyikan kesalahannya itu. Akram tahu jika Riswan tidak akan melepaskannya kali ini. Dulu ketika Riswan memergokinya di kamar hotel dalam keadaan mabuk bersama seorang wanita, ia babak belur. Entah kali ini tangan atau kakinya yang akan patah, ia seolah tidak peduli. Saat ini... ia benar-benar butuh untuk dipukuli. "Ulangi!" desis Riswan yang merasa jika baru saja mendengar sepupunya itu bergurau. "Aku... telah menghamili seora

  • Bukan Sekelumit Sesal   Part 4 Para Penolong

    "Di mana ini?" Suara lirih itu mengalihkan perhatian beberapa wanita yang sedang duduk memperhatikan katalog produk kecantikan. Wanita paruh baya yang duduk di sofa tunggal itu pun menghampirinya dan tersenyum hangat padanya. "Kepala kamu masih pusing? Ada yang sakit?" tanyanya masih dengan senyum yang terpatri di wajahnya. Wanita yang menurut Arum terlihat begitu cantik dan berkelas diusianya yang sudah tidak muda lagi. "Saya baik-baik saja. Di mana ini? Apa Nyonya yang membawa saya ke tempat ini? Apa ba-" "Dia sehat, bertahan demi ibunya," selanya. Arum menghela lega karena bayi dalam kandungannya baik-baik saja. Sempat terpikir hal buruk ketika merasakan sakit seperti tertusuk di bagian perut. Keterbatasan biaya membuatnya tidak ke rumah sakit memeriksakan kandungannya. "Kata putra teman saya, kamu kelelahan dan stres. Itu tidak baik loh untuk wanita hamil," lanjutnya masih dengan tersenyum. Seorang lagi turut menghampiri. "Saat ini kamu di klinik. Tadi pingsan di depan butik

  • Bukan Sekelumit Sesal   Part 5 Merasa Iri

    Arum terdiam di kamar rawat inapnya di Klinik Mariska. Cukup terkejut mengetahui wanita berjilbab maroon itu adalah istri dari sang pemilik klinik dan menempatkannya di kamar VVIP kliniknya. Mengetahui hal itu ketika salah seorang dokter kandungan yang menurutnya masih sangat muda datang memeriksa kondisinya. Dokter bernama Dwi itu pun bertanya tentang hubungannya dengan sang pemilik klinik. Awalnya bingung karena ia sama sekali tidak tahu siapa pemilik klinik tempatnya berada sekarang. Setelah sang dokter mengatakan jika tadi melihat istri, anak, menantu dan cucu Prof. Hamizan dan beberapa orang di ruangannya, barulah Arum sadar maksud ucapannya. Pertanyaan itu diutarakan sambil menunjuk bordiran snellinya yang berlogo klinik dan terdapat tulisan 'Klinik Mariska' yang akhirnya memahami maksud pertanyaan itu. Arum akhirnya menjawab jika mereka tidak memiliki hubungan khusus. Dirinya hanya pernah bertemu dua kali dengan wanita paruh baya itu. Pertama kali saat acara resepsi pernikah

  • Bukan Sekelumit Sesal   Part 6 Sekarat

    Haslan dan Hastuti saling lirik ketika melihat sang adik sudah mondar-mandir menunggu kedatangan putra sulungnya. Ardan memang sengaja ke rumah kakak perempuannya itu untuk menemui putranya. Ada hal penting yang penting dan mendesak ingin ia bicarakan dengan Akram. Istrinya berniat untuk menjodohkan Akram dengan seorang gadis dari keluarga pengusaha batu bara di Kalimantan. Sementara dirinya berniat menjodohkan Akram dengan putri bungsu dari salah satu anggota DPR pusat yang sudah pensiun dari dunia politik karena alasan kesehatan. Tapi sejak beberapa hari lalu mereka mengirim pesan, sama sekali tidak ditanggapi oleh Akram. Sudah berkali-kali suami istri itu menggeleng melihat Ardan. Sesekali terdengar mengumpat dengan ponselnya yang berdering namun tidak kunjung dijawab putranya. Suara mobil yang cukup familiar menarik perhatian mereka. Tak lama setelah itu muncul keponakan mereka yang lain, Riswan. Laki-laki yang baru beberapa hari lalu genap berusia 31 tahun itu menatap ketiganya

  • Bukan Sekelumit Sesal   Part 7 Ungkapan Seorang Anak

    "Bagaimana Pak Ardan? Apakah putra Anda setuju untuk ikut serta dalam kampanye kita awal bulan nanti?" tanya Syarief. Tersirat ada permohonan dari intonasi suara dan pengucapannya.Ardan menarik napas dalam-dalam sembari memijat kepalanya. Kemudian menoleh menatap dua pemuda yang sedang sibuk di dapur. Terlihat keponakannya sedang memasak sesuatu di kompor. Sementara putranya sendiri sibuk mengambil nasi di rice cooker."In sya Allah Pak Syarief. Anda tahu sendiri hubungan saya dan Akram tidak sebaik hubungan Anda dengan anak-anak Anda. Tapi Akram tidak pernah bisa menolak keinginan kakak ipar saya. Jika bujukan saya tidak berhasil, maka Bang Haslan yang akan menyeretnya datang ke acara itu," jelas Ardan yang membuat rekan politiknya itu terkekeh."Keponakan Anda, Riswan, sore tadi mampir di posko induk. Dia bilang sama ketua tim sukses kita kalau tidak bisa hadir saat kampanye. Tapi dia pastikan akan cuti saat hari pemilihan nanti. Dia datang ke posko tidak dengan tangan kosong. Dia

  • Bukan Sekelumit Sesal   Part 8 Ingin Fokus

    Ardan kembali terdiam menatap punggung putranya yang pamit ingin masuk ke kamar. Sore tadi ia mencari putranya ke rumah kontrakannya. Tapi putra sulungnya tidak ada di sana, karena ternyata Akram berada di apartemen Riswan. Saat ia meminta asisten pribadinya untuk mampir mengecek ada tidaknya mobil putranya di parkiran basemen apartemen Riswan, tidak ada mobil putranya di sana. Harusnya ia meminta mengecek sampai ke pintu unit itu.Mobil Akram ternyata ada di bengkel dan baru saja diantarkan montir ke rumah kakaknya. Sayangnya saat tiba di rumah kakaknya, ia belum juga berhasil menemukan putranya. Seolah Akram sengaja menghindari dirinya dan itu membuatnya sangat kesal. Ada hal penting yang ingin dibicarakannya langsung dengan sang putra. Percuma bicara di telpon karena belum masuk ke topik utama, Akram akan mengakhiri panggilan tersebut.Kalimat panjang putranya tadi membuatnya bungkam. Ini pertama kalinya Ardan merasa jika selama ini ia lupa atau tepatnya tidak menyadari semua itu.

  • Bukan Sekelumit Sesal   Part 9 Masalah Arum

    Riswan menatap bingung sepupunya yang kini dengan mudahnya tertidur pulas. Seolah masalah besar yang dihadapinya tidak berarti sama sekali. Sementara dirinya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sahabatnya Rian, baru saja mengirimkan pesan. Arum berada di sebuah klinik swasta tak jauh dari rumah orang tua Akram. Kabar itu akurat karena Rian menjemput ibu mertuanya di klinik itu.Awalnya cukup sulit melacak keberadaan Arum karena ponsel wanita itu tidak aktif. Walau nomor ponselnya sudah berganti, tapi tidak dengan akun email yang masih digunakan Arum untuk penelusuran internet. Dari situlah ahli IT itu tahu jika keberadaan Arum terakhir kali aktif adalah di sebuah pasar tradisional.Setelah tanpa sengaja bertemu dengan Arum. Rian menjelaskan jika adiknya, Tania sedang menemani mertuanya, Nyonya Delia menjenguk tetangganya yang dirawat di Kliknik Mariska. Keduanya bertemu Aluna, Mariska dan kedua anak kembarnya di parkiran klinik. Mereka berteriak pada paramedis untuk segera membantu memin

Latest chapter

  • Bukan Sekelumit Sesal   Extra Part 5 Kisah Cinta Fatur Hancur

    "Sayang, maaf ya hari ini aku tidak bisa temani mama kamu ke acara hajatan temannya. Sahabatku sakit, dia tinggal sendirian di kamar kostnya. Rencananya setelah belikan dia makan, aku mau bawa dia berobat ke klinik atau rumah sakit dekat kostnya," jelas kekasih Fatur yang terdengar berat hati menyampaikannya. Fatur melirik pintu kamar mamanya sejenak lalu membalas, "Iya, tidak apa. Nanti aku bilang sama mama. Kamu antarkan teman kamu berobat dulu. Kamu juga jaga kesehatan biar kamu tidak ikutan sakit. Belakangan cuaca memang tidak menentu." "Terima kasih ya, Sayang. Kamu memang pengertian. Makin sayang deh sama kamu," gombal gadis itu tersenyum dari layar ponsel Fatur. Setelah saling balas dengan salam, akhirnya panggilan video itu mereka akhiri. Fatur entah mengapa merasa gamang. Mamanya sudah antusias ingin mengajak kekasihnya itu untuk menghabiskan waktu bersama. Rencananya setelah mampir sebentar ke acara hajatan teman, mamanya berniat ingin mengajak gadis yang hendak dilamar Fa

  • Bukan Sekelumit Sesal   Extra Part 4 Pengantin Dokter Preman

    Dua minggu berlalu setelah acara lamaran Riswan, kini mereka kembali merasakan suasana pesta. Kali ini mereka berkumpul di sebuah taman wisata yang menjadi lokasi akad sekaligus resepsi pernikahan Lintang dan Tasya. Kedua mempelai itu memang memilih taman ini agar segala rangkaian acara berpusat di satu tempat saja tanpa dekorasi berlebih. "Gugup?" tanya Akram pada sahabatnya yang sejak tadi melirik jam tangannya resah. "Mungkin," jawab Lintang mengatur napasnya berkali-kali. Akram mengulum senyum melihat Lintang meremas lutut kirinya. Menyelenggarakan acara di area outdoor seperti ini tidak juga mampu membuatnya bernapas lega. "Di taman ini aku sama Tasya pertama kali ketemu," ungkapnya mengenang kejadian beberapa tahun lalu. "Dan akan jadi gerbang pernikahan kamu," sambung Bian. "Aku sendiri merasa dejavu. Arum juga bilang begitu tadi. Dulu kami menikah di taman belakang Panti Asuhan Pradipta. Nuansanya kurang lebih seperti ini, meski ya… dekorasi kalian lebih mewah. Aku nikahny

  • Bukan Sekelumit Sesal   Extra Part 3 Pilihan Ranu Tanpa Ragu

    Mendengar Alyana menginginkan bulan, rasanya semua tulang Ranu retak. Sempat berpikir mungkin jantungnya juga ikut berhenti berdetak. Otaknya malas berpikir karena semakin lama ia justru putus asa karena tidak kunjung menemukan solusi. Di tengah keramaian Kota Hongkong, Ranu justru merasa sepi. Setelah mengikuti kompetisi game hari ini, ia meminta timnya untuk beristirahat lebih awal. Jangan sampai mereka menyadari jika pikirannya sedang kacau. Berjalan sendiri di trotoar sembari menikmati pemandangan kota malam hari, Ranu hanya berusaha untuk menyegarkan pikiran. Mungkin saja akan menemukan ide baru saat mengamati sekitarnya. Berbeda dengan Jakarta, di tempatnya saat ini lebih banyak pejalan kaki. Melihat beberapa detik lagi lampu lintas akan berubah warna, Ranu menghentikan langkah. Ia menunggu sampai lampu lalu lintas berubah hijau agar bisa menyebrang jalan. Mendongak menatap langit, Ranu tersenyum melihat bulan purnama yang indah itu. "Sulit membawa bulan itu padamu, Al. Kalau

  • Bukan Sekelumit Sesal   Extra Part 2 Dosen Typo Bilang Cantik

    Bian baru saja selesai memberikan kuliah. Rasa penasarannya akan keributan para mahasiswi di depan ruangannya tidak terbendung. Pasalnya, ruangannya yang berada di pojok itu sama sekali tidak memiliki objek menarik. Bukan karena dirinya tidak memiliki barang yang berkenaan dengan passion atau background dirinya sebagai dosen lingkungan. Akan tetapi, baru dua hari ini ruangannya dipindahkan sehingga belum sempat berbenah. Lantas, hal apa yang menarik di sana dan membuat mereka berkerumun? "Kalian kenapa berkumpul di depan ruangan saya?" tanya Bian. "Eh, Pak Bian, itu loh Pak, ada model cover novel ala CEO yang lagi nongkrong di ruangan Bapak," jawab salah seorang mahasiswi dengan mata berbinar. Bian akhirnya berdeham sehingga barisan di depannya mulai bergeser memberinya akses jalan. Ketika netranya mendapati punggung tegap seseorang di balut jas mahal, Bian kembali berdeham. Pria dengan kedua tangan bersembunyi di saku celananya itu berbalik tanpa mengulas senyum. Justru Bian ditat

  • Bukan Sekelumit Sesal   Extra Part 1 Pilihan Riswan

    Begitu mendengar Adijaya Ufraj meminta Riswan mengajak Risa dan putranya datang di acara resepsi pernikahan Akram dan Arum, Latief dan Farah terkejut. Mereka tidak tahu alasan dibalik keputusan pria lanjut usia itu. Riswan langsung mengiyakan, bahkan akan mengajak wanita pilihannya itu untuk segera menemui sang kakek. Kedua orang tuanya hanya tersenyum. Diam-diam Farah berharap suaminya juga tidak akan keberatan. Selama ini Farah seringkali memperhatikan Risa ketika memarkir mobilnya tidak jauh dari toko pakaian anak milik wanita itu. Latar belakang wanita itu juga sudah ia ketahui. Ibu tunggal itu adalah seorang yatim piatu. Pernikahan pertama Risa penuh siksaan ketika mendiang ibu tirinya sengaja menjualnya pada seorang juragan sapi. Kemudian menikahkan Risa dengan putra pertamanya yang pemabuk. Sayangnya, suami Risa seringkali menyiksanya dan parahnya berselingkuh saat Risa hamil. Berbulan-bulan hidup luntang-lantung dengan kerja serabutan demi memenuhi kebutuhan hidup bersama pu

  • Bukan Sekelumit Sesal   Part 90 Kejutan

    Beberapa bulan kemudian. Akram pulang dan wajahnya tersenyum lebar kala melihat putranya masih tertidur pulas di kasur lipat di ruang bersantai. Begitu pulas dibelai angin sepoi dari pintu taman samping rumah yang terbuka lebar. Boneka menyerupai robot itu masih setia dipeluk Aidan. Setelah mencium kening putranya, Akram beranjak ke kamar. Tentu saja dengan mengendap-endap agar Aidan tidak terusik. Begitu pintu kamarnya tertutup, telinganya mendengar suara percikan air di kamar mandi. Senyumnya merekah karena menduga Arum sedang mandi. Melirik jam tangannya, belum begitu sore, masih pukul 15.12 WITA. Diletakkannya sekotak perhiasan berwarna biru beludru di atas tempat tidur lalu menutup tirai jendela. Seikat bunga arum lili turut ia letakkan berdampingan dengan kotak itu. Setelah menyalakan lampu tidur di nakas, ia turut menyalakan beberapa lilin aroma terapi. Dengan tergesa Akram menabur mahkota bunga mawar merah di lantai. Berharap agar sang istri berlama-lama di dalam sana sampa

  • Bukan Sekelumit Sesal   Part 89 Jadi Rebutan

    "A-aku cuma tidak mau kamu kaget. Lagian masa siang-siang begi-" "Apa kita perlu ganti model plafonnya?" tanya Akram menunjuk ke atas. Arum mendongak dan memindai langit-langit kamar. Menurutnya tidak perlu diganti karena sudah sangat bagus. Sengatan kecil di lehernya membuatnya seketika membeku. Sang suami sudah beraksi tanpa sanggup dicegah lagi. Rosleting dress yang dikenakannya juga sudah ditarik turun. Usapan halus seringan bulu di punggungnya membuat sekujur tubuhnya gemetar. Bibir itu mengeksplorasi leher mulus hingga ke ujung bahunya. Arum membuka matanya kala sang suami menarik diri. Permainan suaminya membuat Arum yang tadinya menolak, hanya bisa pasrah terseret arus gairah. "Tidak ada aturan waktu, Sayang. Setiap kali… saat kita saling menginginkan," bisik Akram mengecup dagu istrinya dan kembali memagut bibir candunya. Tangannya tidak diam saja sehingga mampu membuai sang istri sampai terdengar desahan yang membuatnya menginginkan lebih. Dert… dert…. Suara ponsel mil

  • Bukan Sekelumit Sesal   Part 88 Tidak Bisa Menunggu Malam

    "Sayang, Aruuuuum. Aku kenapa kamu cuekin begini Arum? Sayang!" panggilnya lagi saat melihat istrinya malah beranjak. Sudah dua hari lalu istrinya tidak mengajaknya bicara. Selalu saja adik atau mamanya yang jadi perantara. Sejak malam gala premiere itu, Arum seakan menganggapnya robot. Makan dan pakaiannya disiapkan, tapi selalu dihindari. Malam itu bahkan Arum, Adina dan Aidan bermalam di rumah Latief dengan alasan ingin mencoba menu sarapan baru buatan Ardito. Sementara dirinya sudah sampai di rumah lebih dulu karena ia mengantar Haslan, Hastuti dan Alyana pulang. Sementara setahunya, istri dan anaknya ikut pulang bersama papanya. Arum berbalik dan langsung membalas, "Aku kenapa kamu bohongi begini Akram?" Akram tersenyum masam mendengar tawa keluarganya. Bukan tawa bahagia seperti tawa putranya yang sudah bisa telungkup sambil memukul-mukulkan tangannya di atas kasur lipatnya. Mungkin minta ayahnya untuk segera meraihnya. Keluarganya malah tertawa jahat karena seharian ini Ar

  • Bukan Sekelumit Sesal   Part 87 Ancaman Keluarga dan Atasan

    Novita tetap kekeuh pada pendiriannya sehingga membuat Akram tidak berkutik. Arum hanya bisa terdiam karena sejak awal ia sudah menyerahkan segala keputusan pada suaminya. Siang ini mereka sudah bisa pulang, begitu juga dengan bayi mereka yang sudah tiga hari ini dipindahkan dari inkubator. Hampir dua pekan berada di rumah sakit membuat Akram rindu rumah kontrakannya. Nara saja sampai bertanya kapan dirinya akan pulang. Mengedarkan pandangan, Akram tersenyum masam tanpa seorang pun yang mau mendukungnya. "Ma, masa Akram masih harus num-" Lirikan tajam Novita pada putranya kembali membuat Akram diam. Inginnya, Akram ulang ke rumah kontrakannya. Dengan percaya diri ia mengatakan bahwa dirinya sudah baik-baik saja, apalagi ada Danu dan Wina serta Nara di rumahnya. "Papa setuju sama mama kamu," sahut Ardan ketika putranya itu menatap penuh permohonan. Tadinya begitu bersemangat ingin segera pulang setelah hampir dua pekan dirawat, tapi kini Akram memelas. "Berharap pada tali rapuh," k

DMCA.com Protection Status