Ketakutan Arum ketika tatapan mereka bertemu seolah menjawab semuanya. Kini ia bisa menduga jika itu adalah salah satu alasan Arum resign dari Perusahaan Pradipta. Karir gadis itu sudah cemerlang. Bahkan dia menjadi salah satu karyawan favorit dan panutan di perusahaan itu karena kinerjanya yang totalitas. Lantas apa yang membuat Arum harus rela melepaskan pekerjaannya di perusahaan bonafit itu?
Mengapa Arum terus menggeleng dan melangkah mundur menjauhinya? Berlari pergi bahkan meninggalkan kantong belanjaannya yang terjatuh ketika refleks memeluk perutnya. Dering ponselnya sejak tadi diabaikan Akram. Tidak peduli siapa yang sedang menghubunginya. Saat ini hanya satu nama yang memenuhi pikirannya, Arumi Liliana.
Akram masih memiliki rasa takut akan dosa dan karma. Tentu saja ia tidak ingin jika hal itu menimpa adik kandungnya Adina dan Aylana adik sepupunya. Dirinya memang seorang pengecut. Tapi ia tidak ingin terus terjebak dalam kubangan dosa dan penyesalan yang akan menggerogoti hidupnya.
Akram tahu jika Arum adalah gadis baik-baik. Meskipun sejak kecil sudah menjadi yatim piatu, gadis itu jelas terdidik. Bisa ia lihat bagaimana kebiasaan Arum menjaga dan membatasi pergaulannya. Bibir kecilnya yang sedikit tipis itu sangat irit bicara, hanya seperlunya. Sekali bicara panjang lebar hanya akan membahas pekerjaan atau mengemukakan pendapatnya jika tidak menyukai sesuatu.
Satu hal yang pasti tentang Arum. Dia bukan gadis munafik dan bukan pula gadis yang suka tebar pesona. Salah satu di antara banyak karyawan yang menaruh hati pada Arum pernah ia dengar sedang mengungkapkan kekagumannya pada sosok gadis dingin itu. Tegas karena tidak ingin ditindas.
Ucapan Arum memang terdengar pedas di telinganya. Tapi itu juga karena ulahnya yang suka mencoba menggodanya. Akram suka berdebat dengan gadis itu karena harus ia akui jika jawaban Arum seringkali terdengar realistis. Meski begitu sikapnya tetap elegan dan jangan lupakan aura gadis itu. Aura dan pembawaan yang tenang sehingga orang asing yang bertemu dengannya tidak akan meremehkan dirinya.
Mengadu nasib di Kota metropolitan Jakarta. Kemudian pindah ke Makassar atas permintaan atasannya yang dulu, Darwenda Pradipta. Setelah bekerja sebagai sekretaris di Pradipta Foundation, Arum kemudian dipindahkan ke kota ini. Gadis itu fokus menjadi sekretaris dari Fadlan Agustamin, Direktur Utama Pradipta Land Zona Timur (PLZT) yang merupakan teman tantenya Hastuti.
Tapi sejak beberapa bulan ini, Akram memang tidak pernah lagi bertemu dengannya. Sejak kejadian malam itu, Arum selalu saja menolak telponnya. Gadis itu bahkan menghindarinya atau kadang tidak menganggap keberadaannya saat berada di ruangan yang sama.
Ingin sekali ia meminta maaf pada Arum. Tapi Arum selalu acuh tak acuh padanya. Belum lagi masalahnya dengan sang papa yang terus saja membuatnya kehilangan kesempatan. Bukan sekali, Arum beberapa kali menghindarinya dan menganggap dirinya seperti tembok. Tidak dianggap atau mungkin menjijikan di matanya. siapa juga yang akan bersikap baik pada orang sudah merenggut keperawanannya dengan paksa? Mungkin hanya gadis gila.
Saat ke kantor PLZT karena urusan pekerjaan. Akram pun menyempatkan diri untuk bertemu Arum. Tapi yang didapatinya adalah seorang sekretaris pria, bukan lagi Arum. Kekecewaan hadir namun coba ia tepis. Tadinya ia pikir, ucapan Arum malam itu benar-benar tidak ada pengaruhnya. Tersentil karena egonya terluka, Akram memilih melupakannya.
Sebuah fakta baru membuat tubuhnya bergeming. Rungunya disapa hening dan kepalanya pening. Gadis yang dicarinya sudah resign dua bulan yang lalu dengan alasan sedang sakit dan ingin berobat. Saat itu ketika ingin memasuki lift, Akram bertemu dengan Pak Fadlan. Rasa penasaran akan Arum mendesak batinnya yang resah.
Akram mulai berbasa-basi mengatakan cukup terkejut mengetahui jika salah satu sahabat tantenya itu sudah berganti sekretaris. Pak Fadlan pun mengungkapkan jika Arumi sakit. Beberapa waktu sebelum mengajukan resign karena seringkali pingsan dan pucat. Pihak perusahaan menyetujui, terlebih akan dilakukan pergantian direktur.
Sakit? Tapi sakit apa? Kemungkinan yang ada dalam benaknya sekarang, sama sekali tidak terlintas kala itu. Dulu ia berpikir Arum benar-benar menjauhinya.
Arum memang memiliki tubuh yang sedikit kurus dan pipinya sedikit tirus. Namun yang dilihatnya tadi bukanlah Arumi Liliana yang dulu. Tubuhnya sudah sedikit berisi dan pipinya mulai chubby. Hal yang membuatnya tertegun karena tidak menyangka jika Arumi terlihat berbeda dengan penampilannya selama ini. Terlihat jauh lebih cantik dan menarik.
Kini mobilnya sudah terparkir dan langkah panjangnya menuju ke pos security. Ingin melihat Arum dari rekaman cctv. Setidaknya mengetahui plat kendaraan taksi yang ditumpangi Arum. Seorang security pun mengingat dirinya dan mengatakan jika tadi melihat Akram memanggil wanita itu dan menarik perhatiannya. Akram akui jika teriakannya tadi memang cukup keras.
Pria itu beranjak ke dalam ruangan dan mengulurkan sebuah kantong plastik berisi beberapa belanjaan. Mengatakan pada Akram jika itu milik wanita yang ada di cctv yang tadi dipanggilnya. Akram seketika merasakan dadanya berdenyut nyeri. Sesak melihat sekotak susu rasa vanilla khusus ibu hamil.
Dugaannya tidak meleset. Arum sedang hamil dan kini wanita itu meninggalkan belanjaannya begitu saja setelah melihatnya. Tapi mengapa Arum pergi menjauh? Harusnya Arum menghampiri dan menamparnya. Memintanya bertanggung jawab atas apa yang sudah dilakukannya.
Akram baru saja menghubungi perusahaan taksi yang dilihatnya tadi. Dirinya terhubung dengan supir taksi tersebut dengan alasan mencari barangnya yang mungkin terjatuh dalam taksi. Sampai akhirnya ia bertanya tentang wanita dengan ciri-ciri Arum tadi. Supir taksi itu mengingatnya.
Penumpang yang dikonfirmasinya sesuai dengan ciri-ciri Arum turun sekitar satu kilometer dari minimarket. Tepat di depan gerbang sebuah pasar tradisional. Setelah kembali duduk di dalam mobilnya, Akram menghela berat. Sesak? Tentu saja. Malu? Pasti!
Mencoba peruntungannya dengan menghubungi salah satu rekan sekretaris Arum di PLZT, ia bertanya di mana Arum tinggal? Tapi tidak ada yang tahu karena Arum sudah tidak tinggal lagi di apartemen khusus karyawan Perusahaan Pradipta. Ke mana dirinya harus mencari Arum? Nomor ponselnya juga sudah tidak aktif.
Mencoba menghubungi beberapa rumah sakit dengan bertanya pasien atas nama Arum juga tidak ada. Akram baru sadar setelah beberapa saat. Mengingat penampilan Arum tadi, wanita itu tidak mungkin sedang dirawat inap. Alasan sakit yang dikemukakan Arum untuk resign mungkin hanya kamuflase.
Sekarang... pada siapa dirinya harus meminta tolong? Akram tidak ingin bertindak gegabah lagi kali ini. Apalagi papanya sedang mencalonkan diri sebagai walikota.
###
"Ada apa denganmu sepupu?" tanya Riswan yang baru saja keluar dari dalam kamarnya.
Di sinilah Akram duduk merenungi kesalahannya. Di apartemen milik Riswan di Kawasan PLZT ini dirinya memang bebas melenggang masuk kapan pun dirinya mau. Terkadang apartemen itu menjadi tempatnya bersembunyi dari kecaman papa dan mamanya yang selalu memintanya pulang. Kadang pula menjadi tempatnya bersembunyi karena kabur dari kencan buta yang diatur mamanya.
Penampilan Riswan yang segar setelah mandi berbanding terbalik dengan Akram saat ini. Aroma mint dari sabun yang digunakannya menggelitik penciuman Akram. Keduanya saling tatap sesaat hingga akhirnya Akram yang lebih dulu memalingkan wajahnya. Saat ini hanya sepupunya yang satu ini yang bisa diandalkannya.
Akram sudah membulatkan tekad untuk mengungkapkan masalahnya. Ia tidak bisa terus menyembunyikan masalah sebesar ini. Harus ada yang membantunya, secepatnya. Terutama menemukan keberadaan Arum. Sosok yang menjadi pilihannya adalah... kakak sepupunya, Riswan Arvin Latiefiransyah.
Ketika mengingat Riswan dulu yang membulatkan tekad untuk keluar dari aturan keluarga yang jujur saja bisa dikatakan sudah mencekik. Akhirnya ia sendiri pun ikut mengambil tindakan. Menentang keinginan orang tuanya untuk terjun ke dunia politik dan memilih membantu om dan tantenya. Ketika merasakan pundaknya dilempari batu salak, Akram menoleh.
"Aku tanya ada apa?" geram Riswan duduk di sampingnya sambil mengulurkan sebotol minuman dingin rasa jeruk yang sudah dibuka tutup ulirnya.
Akram mencebik karena sepupunya mendengus kesal menatapnya. Tapi ia juga sadar jika sepupunya seakan tahu jika dirinya saat ini tidak punya tenaga untuk berdebat. Mungkin tenaga untuk sekedar membuka tutup ulir botol itu pun ia tidak sanggup. Bahunya sudah merosot dan tatapannya hanya lurus ke acara gosip salah satu stasiun televisi swasta.
Riswan kembali buka mulut dan mencibir, "Pulang saja kalau kau tidak mau cerita!"
"Aku membuat kesalahan besar. Dosa yang sangat besar sampai aku sesak dan tidak bisa menanggungnya," lirih Akram.
"Sebesar apa?" tanya Riswan diiringi kekehan melihat wajah murung sepupunya.
"Gunung Bromo atau mungkin Gunung Kerinci. Sampai aku membenci diriku sendiri," aku Akram yang membuat Riswan kembali meletakkan botol minuman miliknya. Posisi duduknya ia ubah menjadi menyamping.
"Apa kau menyakiti hati Tante Uti?" tanya Riswan yang tahu jika sepupunya ini sangat menyayangi tante mereka yang satu itu. Dugaannya kali ini terkait masalah pekerjaan. Penampilan Akram seperti karyawan yang baru saja kena PHK tanpa pesangon.
Hastuti dan Haslanuddin adalah tante dan om mereka yang tegas namun paling pengertian. Mau saling bertukar pikiran dan pandangan dengan mereka yang masih muda tanpa memaksa. Tanpa menekan dan selalu memberi mereka petunjuk saat ada masalah. Berbeda dengan orang tua mereka berdua yang terkesan otoriter.
Riswan jelas saja merasa bingung. Jika sepupunya ini tidak datang pada suami istri itu dan malah menemuinya, maka bisa saja masalah itu berkaitan dengan keduanya. Atau mungkin karena Akram malu mengungkapkan masalahnya pada mereka. Sudah mengenal Akram sejak kecil, Riswan tahu kali ini masalah yang dihadapi sepupunya itu pasti benar-benar berat.
"Aku menyakiti dan mengecewakannya. Mengecewakan semua orang yang menyayangiku. Aku belum mengatakan masalah ini pada siapa pun. Tapi aku yakin Tante Uti dan Om Udin akan sangat kecewa. Mungkin mereka tidak mau melihat wajahku lagi. Mungkin mereka tidak akan mengakuiku lagi. Mungkin mereka akan melaporkan aku ke polisi. Aku harus bagaimana sekarang?" tanya Akram bertubi mencengkram kuat rambutnya.
"Harus cerita. Aku tidak tahu apa masalahmu? Dari tadi kau meracau tidak jelas," sindir Riswan yang akhirnya memilih menenggak minuman botolnya dan mengabaikan Akram. Meraih remot televisi dan mulai memilih tayangan menarik sambil menunggu pesanan makanannya tiba.
"Aku...."
Terdengar helaan napas yang begitu berat. Diam meragu memupuk penat. Lidah yang biasanya lugas berucap untuk mencibir atau menggoda, kini kelu. Tapi Akram sadar, demi menyelesaikan masalahnya ini, ia harus bisa menepis malu.
"Aku apa? Kau seperti gadis yang ketakutan ingin dijodohkan dengan lansia saja," ledek Riswan seraya menggelengkan kepala. Melirik sekilas pada layar ponselnya yang berkedip. Driver yang membawakan pesanannya baru saja meninggalkan resto.
"Wan, aku…."
###
Bersambung....
Aku juga buat kesalahan besar karena baru update cerita ini untuk kalian baca. Maaf ya, yang baca di pf sebelah sekarang bisa baca sampai tuntas. Aku tunggu komentar dan sarannya.... Yang penasaran ceritanyanBang Riswan boleh tambahkan dulu dimpustakanya, judul: JANDA TANGGUH DIKEJAR MANTAN SUAMI
"Wan, aku…." "Hm." "Aku menghamili seorang gadis," ucap Akram kembali terdiam dengan mata terpejam. "Uhuk uhuk uhuk!!" Riswan berusaha meredakan batuknya dan menoleh dengan syok. "APA?!!" Akram sudah menduga akan menerima pukulan keras dari kakak sepupunya itu. Dirinya bahkan sama sekali tidak berniat mengelak. Hingga suara batuk Riswan tidak lagi terdengar, Akram perlahan membuka mata. Ia tidak berani menoleh ke samping. Sudut hatinya merasa lega dan ngilu disaat yang sama. Sejujurnya ia tidak sanggup menatap sepasang mata yang sudah seringkali menyembunyikan kesalahannya itu. Akram tahu jika Riswan tidak akan melepaskannya kali ini. Dulu ketika Riswan memergokinya di kamar hotel dalam keadaan mabuk bersama seorang wanita, ia babak belur. Entah kali ini tangan atau kakinya yang akan patah, ia seolah tidak peduli. Saat ini... ia benar-benar butuh untuk dipukuli. "Ulangi!" desis Riswan yang merasa jika baru saja mendengar sepupunya itu bergurau. "Aku... telah menghamili seora
"Di mana ini?" Suara lirih itu mengalihkan perhatian beberapa wanita yang sedang duduk memperhatikan katalog produk kecantikan. Wanita paruh baya yang duduk di sofa tunggal itu pun menghampirinya dan tersenyum hangat padanya. "Kepala kamu masih pusing? Ada yang sakit?" tanyanya masih dengan senyum yang terpatri di wajahnya. Wanita yang menurut Arum terlihat begitu cantik dan berkelas diusianya yang sudah tidak muda lagi. "Saya baik-baik saja. Di mana ini? Apa Nyonya yang membawa saya ke tempat ini? Apa ba-" "Dia sehat, bertahan demi ibunya," selanya. Arum menghela lega karena bayi dalam kandungannya baik-baik saja. Sempat terpikir hal buruk ketika merasakan sakit seperti tertusuk di bagian perut. Keterbatasan biaya membuatnya tidak ke rumah sakit memeriksakan kandungannya. "Kata putra teman saya, kamu kelelahan dan stres. Itu tidak baik loh untuk wanita hamil," lanjutnya masih dengan tersenyum. Seorang lagi turut menghampiri. "Saat ini kamu di klinik. Tadi pingsan di depan butik
Arum terdiam di kamar rawat inapnya di Klinik Mariska. Cukup terkejut mengetahui wanita berjilbab maroon itu adalah istri dari sang pemilik klinik dan menempatkannya di kamar VVIP kliniknya. Mengetahui hal itu ketika salah seorang dokter kandungan yang menurutnya masih sangat muda datang memeriksa kondisinya. Dokter bernama Dwi itu pun bertanya tentang hubungannya dengan sang pemilik klinik. Awalnya bingung karena ia sama sekali tidak tahu siapa pemilik klinik tempatnya berada sekarang. Setelah sang dokter mengatakan jika tadi melihat istri, anak, menantu dan cucu Prof. Hamizan dan beberapa orang di ruangannya, barulah Arum sadar maksud ucapannya. Pertanyaan itu diutarakan sambil menunjuk bordiran snellinya yang berlogo klinik dan terdapat tulisan 'Klinik Mariska' yang akhirnya memahami maksud pertanyaan itu. Arum akhirnya menjawab jika mereka tidak memiliki hubungan khusus. Dirinya hanya pernah bertemu dua kali dengan wanita paruh baya itu. Pertama kali saat acara resepsi pernikah
Haslan dan Hastuti saling lirik ketika melihat sang adik sudah mondar-mandir menunggu kedatangan putra sulungnya. Ardan memang sengaja ke rumah kakak perempuannya itu untuk menemui putranya. Ada hal penting yang penting dan mendesak ingin ia bicarakan dengan Akram. Istrinya berniat untuk menjodohkan Akram dengan seorang gadis dari keluarga pengusaha batu bara di Kalimantan. Sementara dirinya berniat menjodohkan Akram dengan putri bungsu dari salah satu anggota DPR pusat yang sudah pensiun dari dunia politik karena alasan kesehatan. Tapi sejak beberapa hari lalu mereka mengirim pesan, sama sekali tidak ditanggapi oleh Akram. Sudah berkali-kali suami istri itu menggeleng melihat Ardan. Sesekali terdengar mengumpat dengan ponselnya yang berdering namun tidak kunjung dijawab putranya. Suara mobil yang cukup familiar menarik perhatian mereka. Tak lama setelah itu muncul keponakan mereka yang lain, Riswan. Laki-laki yang baru beberapa hari lalu genap berusia 31 tahun itu menatap ketiganya
"Bagaimana Pak Ardan? Apakah putra Anda setuju untuk ikut serta dalam kampanye kita awal bulan nanti?" tanya Syarief. Tersirat ada permohonan dari intonasi suara dan pengucapannya.Ardan menarik napas dalam-dalam sembari memijat kepalanya. Kemudian menoleh menatap dua pemuda yang sedang sibuk di dapur. Terlihat keponakannya sedang memasak sesuatu di kompor. Sementara putranya sendiri sibuk mengambil nasi di rice cooker."In sya Allah Pak Syarief. Anda tahu sendiri hubungan saya dan Akram tidak sebaik hubungan Anda dengan anak-anak Anda. Tapi Akram tidak pernah bisa menolak keinginan kakak ipar saya. Jika bujukan saya tidak berhasil, maka Bang Haslan yang akan menyeretnya datang ke acara itu," jelas Ardan yang membuat rekan politiknya itu terkekeh."Keponakan Anda, Riswan, sore tadi mampir di posko induk. Dia bilang sama ketua tim sukses kita kalau tidak bisa hadir saat kampanye. Tapi dia pastikan akan cuti saat hari pemilihan nanti. Dia datang ke posko tidak dengan tangan kosong. Dia
Ardan kembali terdiam menatap punggung putranya yang pamit ingin masuk ke kamar. Sore tadi ia mencari putranya ke rumah kontrakannya. Tapi putra sulungnya tidak ada di sana, karena ternyata Akram berada di apartemen Riswan. Saat ia meminta asisten pribadinya untuk mampir mengecek ada tidaknya mobil putranya di parkiran basemen apartemen Riswan, tidak ada mobil putranya di sana. Harusnya ia meminta mengecek sampai ke pintu unit itu.Mobil Akram ternyata ada di bengkel dan baru saja diantarkan montir ke rumah kakaknya. Sayangnya saat tiba di rumah kakaknya, ia belum juga berhasil menemukan putranya. Seolah Akram sengaja menghindari dirinya dan itu membuatnya sangat kesal. Ada hal penting yang ingin dibicarakannya langsung dengan sang putra. Percuma bicara di telpon karena belum masuk ke topik utama, Akram akan mengakhiri panggilan tersebut.Kalimat panjang putranya tadi membuatnya bungkam. Ini pertama kalinya Ardan merasa jika selama ini ia lupa atau tepatnya tidak menyadari semua itu.
Riswan menatap bingung sepupunya yang kini dengan mudahnya tertidur pulas. Seolah masalah besar yang dihadapinya tidak berarti sama sekali. Sementara dirinya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sahabatnya Rian, baru saja mengirimkan pesan. Arum berada di sebuah klinik swasta tak jauh dari rumah orang tua Akram. Kabar itu akurat karena Rian menjemput ibu mertuanya di klinik itu.Awalnya cukup sulit melacak keberadaan Arum karena ponsel wanita itu tidak aktif. Walau nomor ponselnya sudah berganti, tapi tidak dengan akun email yang masih digunakan Arum untuk penelusuran internet. Dari situlah ahli IT itu tahu jika keberadaan Arum terakhir kali aktif adalah di sebuah pasar tradisional.Setelah tanpa sengaja bertemu dengan Arum. Rian menjelaskan jika adiknya, Tania sedang menemani mertuanya, Nyonya Delia menjenguk tetangganya yang dirawat di Kliknik Mariska. Keduanya bertemu Aluna, Mariska dan kedua anak kembarnya di parkiran klinik. Mereka berteriak pada paramedis untuk segera membantu memin
Suara lantunan ayat suci Al Quran dari pengeras suara di menara mesjid sudah mulai terdengar subuh ini. Sebentar lagi azan akan berkumandang. Riswan mengerjap dan akhirnya membuka lebar pasang matanya. Betapa terkejutnya ia melihat Akram sudah siap dengan pakaian rapi dan sibuk dengan ponselnya. Riswan beranjak dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi. Serajin itu memang mereka berdua jika berada di rumah ini. Tentu mereka berdua tidak lupa bagaimana dulu Haslanuddin membanting tubuh mereka berdua karena tidak sholat. Meski Riswan dan Akram terkadang masih meninggalkan sholat lima waktunya, tapi lain cerita jika berada di rumah ini. Mereka berdua seakan punya alarm khusus yang sudah terprogram. Terutama Akram yang tahu jika dirinya brengsek dan penimbun dosa. Pernah sekali ia membuat Hastuti tertawa lepas. Kala itu mereka menikmati sarapan pagi dan Akram mengatakan bahwa jika dirinya memasuki pagar rumah ini, ia akan seketika dapat hidayah. Itu bukan kalimat candaan, melainkan p
"Sayang, maaf ya hari ini aku tidak bisa temani mama kamu ke acara hajatan temannya. Sahabatku sakit, dia tinggal sendirian di kamar kostnya. Rencananya setelah belikan dia makan, aku mau bawa dia berobat ke klinik atau rumah sakit dekat kostnya," jelas kekasih Fatur yang terdengar berat hati menyampaikannya. Fatur melirik pintu kamar mamanya sejenak lalu membalas, "Iya, tidak apa. Nanti aku bilang sama mama. Kamu antarkan teman kamu berobat dulu. Kamu juga jaga kesehatan biar kamu tidak ikutan sakit. Belakangan cuaca memang tidak menentu." "Terima kasih ya, Sayang. Kamu memang pengertian. Makin sayang deh sama kamu," gombal gadis itu tersenyum dari layar ponsel Fatur. Setelah saling balas dengan salam, akhirnya panggilan video itu mereka akhiri. Fatur entah mengapa merasa gamang. Mamanya sudah antusias ingin mengajak kekasihnya itu untuk menghabiskan waktu bersama. Rencananya setelah mampir sebentar ke acara hajatan teman, mamanya berniat ingin mengajak gadis yang hendak dilamar Fa
Dua minggu berlalu setelah acara lamaran Riswan, kini mereka kembali merasakan suasana pesta. Kali ini mereka berkumpul di sebuah taman wisata yang menjadi lokasi akad sekaligus resepsi pernikahan Lintang dan Tasya. Kedua mempelai itu memang memilih taman ini agar segala rangkaian acara berpusat di satu tempat saja tanpa dekorasi berlebih. "Gugup?" tanya Akram pada sahabatnya yang sejak tadi melirik jam tangannya resah. "Mungkin," jawab Lintang mengatur napasnya berkali-kali. Akram mengulum senyum melihat Lintang meremas lutut kirinya. Menyelenggarakan acara di area outdoor seperti ini tidak juga mampu membuatnya bernapas lega. "Di taman ini aku sama Tasya pertama kali ketemu," ungkapnya mengenang kejadian beberapa tahun lalu. "Dan akan jadi gerbang pernikahan kamu," sambung Bian. "Aku sendiri merasa dejavu. Arum juga bilang begitu tadi. Dulu kami menikah di taman belakang Panti Asuhan Pradipta. Nuansanya kurang lebih seperti ini, meski ya… dekorasi kalian lebih mewah. Aku nikahny
Mendengar Alyana menginginkan bulan, rasanya semua tulang Ranu retak. Sempat berpikir mungkin jantungnya juga ikut berhenti berdetak. Otaknya malas berpikir karena semakin lama ia justru putus asa karena tidak kunjung menemukan solusi. Di tengah keramaian Kota Hongkong, Ranu justru merasa sepi. Setelah mengikuti kompetisi game hari ini, ia meminta timnya untuk beristirahat lebih awal. Jangan sampai mereka menyadari jika pikirannya sedang kacau. Berjalan sendiri di trotoar sembari menikmati pemandangan kota malam hari, Ranu hanya berusaha untuk menyegarkan pikiran. Mungkin saja akan menemukan ide baru saat mengamati sekitarnya. Berbeda dengan Jakarta, di tempatnya saat ini lebih banyak pejalan kaki. Melihat beberapa detik lagi lampu lintas akan berubah warna, Ranu menghentikan langkah. Ia menunggu sampai lampu lalu lintas berubah hijau agar bisa menyebrang jalan. Mendongak menatap langit, Ranu tersenyum melihat bulan purnama yang indah itu. "Sulit membawa bulan itu padamu, Al. Kalau
Bian baru saja selesai memberikan kuliah. Rasa penasarannya akan keributan para mahasiswi di depan ruangannya tidak terbendung. Pasalnya, ruangannya yang berada di pojok itu sama sekali tidak memiliki objek menarik. Bukan karena dirinya tidak memiliki barang yang berkenaan dengan passion atau background dirinya sebagai dosen lingkungan. Akan tetapi, baru dua hari ini ruangannya dipindahkan sehingga belum sempat berbenah. Lantas, hal apa yang menarik di sana dan membuat mereka berkerumun? "Kalian kenapa berkumpul di depan ruangan saya?" tanya Bian. "Eh, Pak Bian, itu loh Pak, ada model cover novel ala CEO yang lagi nongkrong di ruangan Bapak," jawab salah seorang mahasiswi dengan mata berbinar. Bian akhirnya berdeham sehingga barisan di depannya mulai bergeser memberinya akses jalan. Ketika netranya mendapati punggung tegap seseorang di balut jas mahal, Bian kembali berdeham. Pria dengan kedua tangan bersembunyi di saku celananya itu berbalik tanpa mengulas senyum. Justru Bian ditat
Begitu mendengar Adijaya Ufraj meminta Riswan mengajak Risa dan putranya datang di acara resepsi pernikahan Akram dan Arum, Latief dan Farah terkejut. Mereka tidak tahu alasan dibalik keputusan pria lanjut usia itu. Riswan langsung mengiyakan, bahkan akan mengajak wanita pilihannya itu untuk segera menemui sang kakek. Kedua orang tuanya hanya tersenyum. Diam-diam Farah berharap suaminya juga tidak akan keberatan. Selama ini Farah seringkali memperhatikan Risa ketika memarkir mobilnya tidak jauh dari toko pakaian anak milik wanita itu. Latar belakang wanita itu juga sudah ia ketahui. Ibu tunggal itu adalah seorang yatim piatu. Pernikahan pertama Risa penuh siksaan ketika mendiang ibu tirinya sengaja menjualnya pada seorang juragan sapi. Kemudian menikahkan Risa dengan putra pertamanya yang pemabuk. Sayangnya, suami Risa seringkali menyiksanya dan parahnya berselingkuh saat Risa hamil. Berbulan-bulan hidup luntang-lantung dengan kerja serabutan demi memenuhi kebutuhan hidup bersama pu
Beberapa bulan kemudian. Akram pulang dan wajahnya tersenyum lebar kala melihat putranya masih tertidur pulas di kasur lipat di ruang bersantai. Begitu pulas dibelai angin sepoi dari pintu taman samping rumah yang terbuka lebar. Boneka menyerupai robot itu masih setia dipeluk Aidan. Setelah mencium kening putranya, Akram beranjak ke kamar. Tentu saja dengan mengendap-endap agar Aidan tidak terusik. Begitu pintu kamarnya tertutup, telinganya mendengar suara percikan air di kamar mandi. Senyumnya merekah karena menduga Arum sedang mandi. Melirik jam tangannya, belum begitu sore, masih pukul 15.12 WITA. Diletakkannya sekotak perhiasan berwarna biru beludru di atas tempat tidur lalu menutup tirai jendela. Seikat bunga arum lili turut ia letakkan berdampingan dengan kotak itu. Setelah menyalakan lampu tidur di nakas, ia turut menyalakan beberapa lilin aroma terapi. Dengan tergesa Akram menabur mahkota bunga mawar merah di lantai. Berharap agar sang istri berlama-lama di dalam sana sampa
"A-aku cuma tidak mau kamu kaget. Lagian masa siang-siang begi-" "Apa kita perlu ganti model plafonnya?" tanya Akram menunjuk ke atas. Arum mendongak dan memindai langit-langit kamar. Menurutnya tidak perlu diganti karena sudah sangat bagus. Sengatan kecil di lehernya membuatnya seketika membeku. Sang suami sudah beraksi tanpa sanggup dicegah lagi. Rosleting dress yang dikenakannya juga sudah ditarik turun. Usapan halus seringan bulu di punggungnya membuat sekujur tubuhnya gemetar. Bibir itu mengeksplorasi leher mulus hingga ke ujung bahunya. Arum membuka matanya kala sang suami menarik diri. Permainan suaminya membuat Arum yang tadinya menolak, hanya bisa pasrah terseret arus gairah. "Tidak ada aturan waktu, Sayang. Setiap kali… saat kita saling menginginkan," bisik Akram mengecup dagu istrinya dan kembali memagut bibir candunya. Tangannya tidak diam saja sehingga mampu membuai sang istri sampai terdengar desahan yang membuatnya menginginkan lebih. Dert… dert…. Suara ponsel mil
"Sayang, Aruuuuum. Aku kenapa kamu cuekin begini Arum? Sayang!" panggilnya lagi saat melihat istrinya malah beranjak. Sudah dua hari lalu istrinya tidak mengajaknya bicara. Selalu saja adik atau mamanya yang jadi perantara. Sejak malam gala premiere itu, Arum seakan menganggapnya robot. Makan dan pakaiannya disiapkan, tapi selalu dihindari. Malam itu bahkan Arum, Adina dan Aidan bermalam di rumah Latief dengan alasan ingin mencoba menu sarapan baru buatan Ardito. Sementara dirinya sudah sampai di rumah lebih dulu karena ia mengantar Haslan, Hastuti dan Alyana pulang. Sementara setahunya, istri dan anaknya ikut pulang bersama papanya. Arum berbalik dan langsung membalas, "Aku kenapa kamu bohongi begini Akram?" Akram tersenyum masam mendengar tawa keluarganya. Bukan tawa bahagia seperti tawa putranya yang sudah bisa telungkup sambil memukul-mukulkan tangannya di atas kasur lipatnya. Mungkin minta ayahnya untuk segera meraihnya. Keluarganya malah tertawa jahat karena seharian ini Ar
Novita tetap kekeuh pada pendiriannya sehingga membuat Akram tidak berkutik. Arum hanya bisa terdiam karena sejak awal ia sudah menyerahkan segala keputusan pada suaminya. Siang ini mereka sudah bisa pulang, begitu juga dengan bayi mereka yang sudah tiga hari ini dipindahkan dari inkubator. Hampir dua pekan berada di rumah sakit membuat Akram rindu rumah kontrakannya. Nara saja sampai bertanya kapan dirinya akan pulang. Mengedarkan pandangan, Akram tersenyum masam tanpa seorang pun yang mau mendukungnya. "Ma, masa Akram masih harus num-" Lirikan tajam Novita pada putranya kembali membuat Akram diam. Inginnya, Akram ulang ke rumah kontrakannya. Dengan percaya diri ia mengatakan bahwa dirinya sudah baik-baik saja, apalagi ada Danu dan Wina serta Nara di rumahnya. "Papa setuju sama mama kamu," sahut Ardan ketika putranya itu menatap penuh permohonan. Tadinya begitu bersemangat ingin segera pulang setelah hampir dua pekan dirawat, tapi kini Akram memelas. "Berharap pada tali rapuh," k