"Wan, aku…."
"Hm."
"Aku menghamili seorang gadis," ucap Akram kembali terdiam dengan mata terpejam.
"Uhuk uhuk uhuk!!"
Riswan berusaha meredakan batuknya dan menoleh dengan syok. "APA?!!"
Akram sudah menduga akan menerima pukulan keras dari kakak sepupunya itu. Dirinya bahkan sama sekali tidak berniat mengelak. Hingga suara batuk Riswan tidak lagi terdengar, Akram perlahan membuka mata. Ia tidak berani menoleh ke samping. Sudut hatinya merasa lega dan ngilu disaat yang sama. Sejujurnya ia tidak sanggup menatap sepasang mata yang sudah seringkali menyembunyikan kesalahannya itu.
Akram tahu jika Riswan tidak akan melepaskannya kali ini. Dulu ketika Riswan memergokinya di kamar hotel dalam keadaan mabuk bersama seorang wanita, ia babak belur. Entah kali ini tangan atau kakinya yang akan patah, ia seolah tidak peduli. Saat ini... ia benar-benar butuh untuk dipukuli.
"Ulangi!" desis Riswan yang merasa jika baru saja mendengar sepupunya itu bergurau.
"Aku... telah menghamili seorang gadis dan yakin itu darah dagingku," jawab Akram lugas. Tersirat keyakinan dalam ucapannya.
Kejujurannya di depan Riswan membuat pertahanannya runtuh. Air matanya luruh begitu saja membayangkan penderitaan Arum. Tadi ia sedang menelusuri satu kata pencarian 'kehamilan' di internet. Kata yang membuat perasaannya campur aduk antara senang dan sedih.
Akram membaca semuanya berulang-ulang dan membayangkan bagaimana kesulitan yang dialami seorang ibu hamil. Terutama dimasa-masa awal kehamilan. Menghitung mundur kini sudah empat bulan sejak malam itu. Arum bahkan menghadapi ini sendiri tanpa didampingi seorang suami.
"Siapa?" Suara Riswan terdengar lebih menakutkan dibandingkan suara papa dan omnya selama ini.
Akram kembali memejamkan mata. Bibirnya bergetar begitu sulit menyebutkan nama dari gadis yang sudah ia nodai. Bahkan rasanya menyebut namanya membuatnya seolah tidak pantas. Hukuman ini belum apa-apa. Entah hukuman apa yang menantinya karena telah berbuat sehina ini.
"Arum. Arumi Liliana," jawab Akram yang kini merasakan kerah kemejanya ditarik paksa.
Bugh! Bugh!!
Sreeeet bugghhh!! Brakk!!!
"Beraninya kau!!!" teriak Riswan seraya mendorong tubuh sepupunya dan kembali memberikan pukulan.
Riswan berjanji jika kali ini ia tidak akan diam saja. Ia mengenal Arum sejak dirinya bekerja di Perusahaan Pradipta Event Organizer milik putra bungsu keluarga Pradipta. Ia juga sangat mengenal tabiat sepupunya ini. Sungguh rasa kecewa itu menusuknya. Akram ingkar janji dan tatapan matanya sama sekali tidak mengelak.
"Kau memaksanya?!" tanya Riswan kembali dengan cengkraman di kerah kemeja Akram.
Lutut kirinya bertumpu di sofa dengan posisi kepalan tangan kanan yang siap kembali melayangkan pukulannya. Selama ini ia selalu memperingatkan adik sepupunya itu agar menghentikan kebiasaan buruknya menghabiskan malam dengan wanita bayaran. Ia senang ketika Akram kembali sadar dan tidak lagi melakukannya. Katanya sudah tobat dan takut karma jika kedua adik perempuan mereka Adina dan Alyana sampai menerima akibatnya.
Tapi mendengar nama seorang gadis yang cukup familiar dan kadang kala bertemu dengannya di PLZT membuatnya terkejut. Arum bukan gadis yang seperti wanita-wanita yang terjerumus itu. Ia tahu karena sudah seringkali berinteraksi dengan gadis berkacamata itu.
Sekretaris Direktur Utama PLZT yang resign beberapa waktu lalu. Sempat menjadi buah bibir di perusahaan karena terkesan mendadak. Mungkinkah Akram penyebabnya? Siapa lagi?
"Kau benar, aku memaksanya. Aku mabuk dan...." Akram kembali meneteskan air matanya.
"Jangan tunjukkan air mata buayamu itu! Kali ini aku tidak akan melepaskanmu!!!" geram Riswan.
"Aku harus bagaimana sekarang? Di mana aku harus mencarinya?" tanyanya mengiba.
"Untuk apa? Kau ingin menyakitinya lagi?" desis Riswan kembali menghempaskan tubuh sepupunya itu. Kali ini bukan di sofa, melainkan di lantai. Rasanya tidak cukup dengan sekali dua pukul sehingga ia kembali melayangkan tinjunya.
"Aku sudah menyakitinya, lalu untuk apa aku harus menyakitinya lagi? Aku harus bertanggung jawab. Aku yakin itu adalah anakku. Darah dagingku," aku Akram kembali tergugu. Menangis menahan rasa sakit atas penyesalannya.
Riswan berdecih. Jujur ia muak mendengar kata-kata itu keluar dari mulut laki-laki yang terbaring di lantai apartemennya seperti orang pesakitan. Tidak bisa ia bayangkan perasaan keluarganya saat tahu kelakuan sepupunya ini. Begitu juga dengan penderitaan Arum yang hamil tanpa suami.
Penyesalan juga menghantam dadanya. Ini juga kesalahannya karena terkesan memanjakan Akram dan menyembunyikan kelakuan buruknya selama ini. Riswan rasanya ingin kembali mandi, tidak, lebih tepatnya berendam di dalam kolam renang demi membuat pikirannya tenang.
"Dia begitu ketakutan melihatku. Memeluk perutnya dan kabur meninggalkan aku begitu saja," lirih Akram mengerang frustasi. Penyesalannya kini membukit menyeruakkan rasa sakit. Rasa sakit yang mencekik sampai bernapas saja rasanya begitu sulit.
"Tentu saja dia takut, ada iblis yang ditemuinya," sarkas Riswan mencoba meredakan emosi.
Tadinya ia berniat membantu Akram untuk duduk. Setidaknya bersandar di tembok karena terlihat begitu sulit bernapas. Tapi membayangkan penderitaan Arum, Riswan kembali menghempaskan tubuh sepupunya. Ia tidak punya banyak tenaga saat ini untuk memberikan pelajaran pada adiknya.
Pekerjaannya sebagai Manajer Utama Pradipta Event Organizer milik Safwan Zayyan Pradipta membuatnya sangat sibuk belakang ini. Sejak kemarin ia terus terjaga. Tadi saja ia baru tidur sekitar dua jam. Terbangun karena mendengar suara pintu apartemennya dibuka seseorang.
Tadinya ia pikir yang datang adalah sahabatnya. Tapi ternyata sepupunya yang datang dan justru membawa kabar buruk. Diliriknya Akram yang masih menagis tergugu, membenamkan wajahnya di kedua telapak tangannya. Bukan seperti tadi dengan siku yang bertumpu di lutut. Melainkan masih berbaring di lantai apartemen.
Bahunya bergetar seiring suara tangis yang perlahan memenuhi ruang bersantai apartemen yang terhubung dengan dapur. Riswan memilih beranjak, membiarkan Akram melampiaskan semua beban yang bisa dilepaskannya saat ini. Sepupunya bukan lagi anak kecil yang harus dipaksa. Setidaknya Akram sadar jika dirinya harus bertanggung jawab.
Ia tidak harus memaksa adiknya bertanggung jawab atas kesalahannya. Memaksa seorang Akram adalah satu hal yang dihindarinya selama ini. Watak keras kepala dan nekat bukanlah hal yang mudah untuk ia hadapi dari seorang Akram Hazami Ardanuansyah. Ia hanya berharap semoga saja Akram tidak sedang menipunya dengan berpura-pura menyesal.
Bila Akram melakukan itu padanya. Maka ia sendiri yang akan menyeret laki-laki berusia 28 tahun itu ke kantor polisi. Di sisi lain, Riswan kembali terdiam karena mengingat beberapa hari lalu mendengar nama Arum disebut oleh seseorang dan bertemu mereka di Kafe ARU. Harapannya, Arum tidak meninggalkan kota ini setelah bertemu Akram.
Riswan berjanji pada dirinya sendiri. Dirinya tidak akan membuat semua ini mudah bagi sepupunya. Akram harus diberi pelajaran. Bukan dengan sedikit pelajaran, tapi berkali-kali yang akan ia berikan. Arum juga harus mendapatkan hak dan keadilan dari derita yang dialaminya.
Ketika meraih ponselnya, Riswan terdiam. Siapa yang harus dihubunginya untuk mengatasi masalah ini? Omnya sedang mengikuti pemilihan sebagai calon walikota dan putranya Akram malah membuat ulah. Hubungan yang sebelumnya buruk malah akan menjadi semakin buruk. Ingin menghubungi Om Hasalanuddin, omnya itu juga sedang kurang sehat sejak istrinya jatuh sakit. Ingin menghubungi papanya sendiri, Riswan masih sayang lehernya.
Padahal diam-diam ia sudah menyusun rencana agar bisa menunjukkan perubahan Akram di depan keluarga besar mereka. Akram sudah tidak seegois dulu dan mau mengemban tanggung jawab untuk menangani Yayasan HAS. Tapi fakta yang baru saja didengarnya ini seakan menghancurkan harapannya. Akram justru merealisasikan ucapan para orang tua dalam keluarganya. Si keras kepala yang suka membuat malu keluarga.
###
Dua jam sudah berlalu sejak pukulan-pukalan itu mendarat di wajahnya. Rasa sakit itu sudah terasa dan mulai berbekas. Besok pagi lebam itu akan menuai perhatian dan mengundang banyak tanya. Air matanya sudah mengering. Tapi Akram masih duduk terdiam memandang pintu kamar sepupunya.
Dirinya kali ini sungguh diabaikan. Dulu ia seringkali mengeluh ketika Riswan datang dan menasihati dirinya. Meski gendang telinganya sakit mendengar segala ocehannya, namun hatinya merasa hangat. Sepupunya yang terpaut dua setengah tahun lebih tua darinya itu tidak mengabaikannya apalagi meninggalkannya.
Makanan yang tadi diantarkan kurir masih ada di meja. Tidak disentuh sama sekali karena setelah makanan itu datang, Riswan memilih masuk kembali ke dalam kamarnya. Jangankan menegurnya, meliriknya saja tidak. Kini ia merasakan apa yang dirasakan sepupunya setiap kali dirinya acuh tak acuh.
Bayangan Arum kembali muncul dalam ingatannya. Telaga bening tanpa dibingkai kacamata itu membelalak ketakutan menatapnya. Sepertinya ucapan Riswan tadi benar. Seperti itulah reaksi seseorang ketika bertemu iblis dunia. Dan... salah satunya adalah dirinya.
Ceklek!
Pintu kamar Riswan terbuka dan sang pemilik apartemen baru saja berlalu menuju dapur. Pesawat terbakar pasti akan gosong, perut lapar memang tidak bisa berbohong. Itu realita dan sulit dipungkiri.
"Berdiri dan mandilah!" Bukan pinta melainkan perintah.
Akram mendongak menatap mata Riswan yang memandangnya lekat. Laki-laki itu masih tak sanggup berucap. Kakak sepupunya itu berdiri dengan kedua tangan berada di saku celana pendek selutut yang dikenakannya. Menghembuskan napas sejenak dari mulutnya seiring gerak bahunya yang jatuh.
Tidak ada sorot sendu yang menyentuh. Tidak ada senyum yang membuat luluh. Tidak ada gerak alis yang menukik dengan tuntutan penuh. Yang ada hanya hampa dan pasrah tanpa bisa mengeluh.
"Segarkan dulu tubuh dan pikiranmu. Sana kamu mandi dan berganti pakaian sekarang. Kita makan dan membicarakan masalah ini. Aku sudah meminta seseorang mencari tahu keberadaan Arum. Kali ini... kau tidak bisa bertindak sesukamu," ujar Riswan melangkah dan berjongkok di hadapan sepupunya itu.
"Sungguh? Aku pikirkan kau akan mengabaikanku," lirih Akram.
"Nyaris. Sejujurnya aku sangat kecewa padamu. Aku sudah sering melihat kelakuanmu. Tapi kali ini kau benar-benar menorehkan sayatan perih. Darahku mendidih sampai ke ubun-ubun, Akram. Obatnya hanyalah usahamu dalam membuktikan ucapanmu untuk bertanggung jawab. Kau sedikit beruntung karena Arum yatim piatu, sehingga ayahnya tidak bisa memenggal kepalamu. Jika itu terjadi pada Adina, Om Ardan pasti sudah menggantung laki-laki sepertimu di salah satu tiang listrik kota ini. Jika itu Alyana, mungkin Om Udin sudah mematahkan kedua tangan dan kakimu. Sekarang... coba kamu tanyakan pada dirimu sendiri Akram," kata Riswan sambil meremas salah satu bahu sepupunya. "Jika itu Adina atau Alyana, sebagai kakaknya... apa yang akan kau lakukan pada laki-laki yang sudah menyakiti adikmu?"
Akram mencelos tanpa bisa menemukan satu kata pun untuk ia sebut. Ia hanya bisa kembali terdiam mengigit bibirnya. Air matanya kembali jatuh menguntai sesal. Akram sadar, kini bukan hanya Arum yang ia sakiti. Bukan hanya bayi yang tidak berdosa itu. Tapi juga seluruh keluarganya.
Kedua adiknya yang manis itu mungkin tidak akan lagi mau melihat dan menerimanya sebagai kakak. Sungguh... penyesalannya saat ini bukanlah sekelumit. Jalan yang akan dilaluinya juga penuh rumit.
"Jika itu aku, aku akan membuatnya...." Riswan mendekat dan membisikkan sisa kalimat yang ingin ia perdengarkan. Akram kembali memejamkan mata. Bukan karena takut akan ucapan Riswan. Tapi hati dan pikirannya yang membenarkan ucapan sepupunya itu.
###
Bersambung....
Kak, aku bingung, cerita ini genrenya apa? Kubalas di sini ya.... genrenya romance, dan yang ditonjolkan adalah penyesalan. Bilang cinta itu tidak cukup, kamu harus buktikan bahwa kesalahan yang kamu lakukan sudah dilabeli penyesalan, dan terbukti dengaan semua bentuk perjuangan kamu. Kalau cari yang drama, boleh ke kisahnya Banb Riswan: JANDA TANGGUH DIKEJAR MANTAN SUAMI
"Di mana ini?" Suara lirih itu mengalihkan perhatian beberapa wanita yang sedang duduk memperhatikan katalog produk kecantikan. Wanita paruh baya yang duduk di sofa tunggal itu pun menghampirinya dan tersenyum hangat padanya. "Kepala kamu masih pusing? Ada yang sakit?" tanyanya masih dengan senyum yang terpatri di wajahnya. Wanita yang menurut Arum terlihat begitu cantik dan berkelas diusianya yang sudah tidak muda lagi. "Saya baik-baik saja. Di mana ini? Apa Nyonya yang membawa saya ke tempat ini? Apa ba-" "Dia sehat, bertahan demi ibunya," selanya. Arum menghela lega karena bayi dalam kandungannya baik-baik saja. Sempat terpikir hal buruk ketika merasakan sakit seperti tertusuk di bagian perut. Keterbatasan biaya membuatnya tidak ke rumah sakit memeriksakan kandungannya. "Kata putra teman saya, kamu kelelahan dan stres. Itu tidak baik loh untuk wanita hamil," lanjutnya masih dengan tersenyum. Seorang lagi turut menghampiri. "Saat ini kamu di klinik. Tadi pingsan di depan butik
Arum terdiam di kamar rawat inapnya di Klinik Mariska. Cukup terkejut mengetahui wanita berjilbab maroon itu adalah istri dari sang pemilik klinik dan menempatkannya di kamar VVIP kliniknya. Mengetahui hal itu ketika salah seorang dokter kandungan yang menurutnya masih sangat muda datang memeriksa kondisinya. Dokter bernama Dwi itu pun bertanya tentang hubungannya dengan sang pemilik klinik. Awalnya bingung karena ia sama sekali tidak tahu siapa pemilik klinik tempatnya berada sekarang. Setelah sang dokter mengatakan jika tadi melihat istri, anak, menantu dan cucu Prof. Hamizan dan beberapa orang di ruangannya, barulah Arum sadar maksud ucapannya. Pertanyaan itu diutarakan sambil menunjuk bordiran snellinya yang berlogo klinik dan terdapat tulisan 'Klinik Mariska' yang akhirnya memahami maksud pertanyaan itu. Arum akhirnya menjawab jika mereka tidak memiliki hubungan khusus. Dirinya hanya pernah bertemu dua kali dengan wanita paruh baya itu. Pertama kali saat acara resepsi pernikah
Haslan dan Hastuti saling lirik ketika melihat sang adik sudah mondar-mandir menunggu kedatangan putra sulungnya. Ardan memang sengaja ke rumah kakak perempuannya itu untuk menemui putranya. Ada hal penting yang penting dan mendesak ingin ia bicarakan dengan Akram. Istrinya berniat untuk menjodohkan Akram dengan seorang gadis dari keluarga pengusaha batu bara di Kalimantan. Sementara dirinya berniat menjodohkan Akram dengan putri bungsu dari salah satu anggota DPR pusat yang sudah pensiun dari dunia politik karena alasan kesehatan. Tapi sejak beberapa hari lalu mereka mengirim pesan, sama sekali tidak ditanggapi oleh Akram. Sudah berkali-kali suami istri itu menggeleng melihat Ardan. Sesekali terdengar mengumpat dengan ponselnya yang berdering namun tidak kunjung dijawab putranya. Suara mobil yang cukup familiar menarik perhatian mereka. Tak lama setelah itu muncul keponakan mereka yang lain, Riswan. Laki-laki yang baru beberapa hari lalu genap berusia 31 tahun itu menatap ketiganya
"Bagaimana Pak Ardan? Apakah putra Anda setuju untuk ikut serta dalam kampanye kita awal bulan nanti?" tanya Syarief. Tersirat ada permohonan dari intonasi suara dan pengucapannya.Ardan menarik napas dalam-dalam sembari memijat kepalanya. Kemudian menoleh menatap dua pemuda yang sedang sibuk di dapur. Terlihat keponakannya sedang memasak sesuatu di kompor. Sementara putranya sendiri sibuk mengambil nasi di rice cooker."In sya Allah Pak Syarief. Anda tahu sendiri hubungan saya dan Akram tidak sebaik hubungan Anda dengan anak-anak Anda. Tapi Akram tidak pernah bisa menolak keinginan kakak ipar saya. Jika bujukan saya tidak berhasil, maka Bang Haslan yang akan menyeretnya datang ke acara itu," jelas Ardan yang membuat rekan politiknya itu terkekeh."Keponakan Anda, Riswan, sore tadi mampir di posko induk. Dia bilang sama ketua tim sukses kita kalau tidak bisa hadir saat kampanye. Tapi dia pastikan akan cuti saat hari pemilihan nanti. Dia datang ke posko tidak dengan tangan kosong. Dia
Ardan kembali terdiam menatap punggung putranya yang pamit ingin masuk ke kamar. Sore tadi ia mencari putranya ke rumah kontrakannya. Tapi putra sulungnya tidak ada di sana, karena ternyata Akram berada di apartemen Riswan. Saat ia meminta asisten pribadinya untuk mampir mengecek ada tidaknya mobil putranya di parkiran basemen apartemen Riswan, tidak ada mobil putranya di sana. Harusnya ia meminta mengecek sampai ke pintu unit itu.Mobil Akram ternyata ada di bengkel dan baru saja diantarkan montir ke rumah kakaknya. Sayangnya saat tiba di rumah kakaknya, ia belum juga berhasil menemukan putranya. Seolah Akram sengaja menghindari dirinya dan itu membuatnya sangat kesal. Ada hal penting yang ingin dibicarakannya langsung dengan sang putra. Percuma bicara di telpon karena belum masuk ke topik utama, Akram akan mengakhiri panggilan tersebut.Kalimat panjang putranya tadi membuatnya bungkam. Ini pertama kalinya Ardan merasa jika selama ini ia lupa atau tepatnya tidak menyadari semua itu.
Riswan menatap bingung sepupunya yang kini dengan mudahnya tertidur pulas. Seolah masalah besar yang dihadapinya tidak berarti sama sekali. Sementara dirinya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sahabatnya Rian, baru saja mengirimkan pesan. Arum berada di sebuah klinik swasta tak jauh dari rumah orang tua Akram. Kabar itu akurat karena Rian menjemput ibu mertuanya di klinik itu.Awalnya cukup sulit melacak keberadaan Arum karena ponsel wanita itu tidak aktif. Walau nomor ponselnya sudah berganti, tapi tidak dengan akun email yang masih digunakan Arum untuk penelusuran internet. Dari situlah ahli IT itu tahu jika keberadaan Arum terakhir kali aktif adalah di sebuah pasar tradisional.Setelah tanpa sengaja bertemu dengan Arum. Rian menjelaskan jika adiknya, Tania sedang menemani mertuanya, Nyonya Delia menjenguk tetangganya yang dirawat di Kliknik Mariska. Keduanya bertemu Aluna, Mariska dan kedua anak kembarnya di parkiran klinik. Mereka berteriak pada paramedis untuk segera membantu memin
Suara lantunan ayat suci Al Quran dari pengeras suara di menara mesjid sudah mulai terdengar subuh ini. Sebentar lagi azan akan berkumandang. Riswan mengerjap dan akhirnya membuka lebar pasang matanya. Betapa terkejutnya ia melihat Akram sudah siap dengan pakaian rapi dan sibuk dengan ponselnya. Riswan beranjak dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi. Serajin itu memang mereka berdua jika berada di rumah ini. Tentu mereka berdua tidak lupa bagaimana dulu Haslanuddin membanting tubuh mereka berdua karena tidak sholat. Meski Riswan dan Akram terkadang masih meninggalkan sholat lima waktunya, tapi lain cerita jika berada di rumah ini. Mereka berdua seakan punya alarm khusus yang sudah terprogram. Terutama Akram yang tahu jika dirinya brengsek dan penimbun dosa. Pernah sekali ia membuat Hastuti tertawa lepas. Kala itu mereka menikmati sarapan pagi dan Akram mengatakan bahwa jika dirinya memasuki pagar rumah ini, ia akan seketika dapat hidayah. Itu bukan kalimat candaan, melainkan p
Riswan memarkir mobilnya di dekat gerbang sekolah Alyana. Gadis itu mendadak mengatakan jika perutnya kram. Minta tolong diantar ke sekolah karena tidak sanggup membawa sepeda motornya sendiri. Ingin izin tidak ke sekolah tapi hari ini ada ulangan harian. Sayangnya itu hanya trik adik sepupunya yang duduk termenung di bangku penumpang tanpa berniat melepas sabuk pengamannya.Riswan yang sejak tadi sibuk membalas pesan di ponselnya belum menyadari. Tapi ketika ia menoleh dan mendapati adik sepupunya sudah duduk miring menatapnya penuh curiga, ia tahu jika dirinya harus punya jawaban untuk pertanyaannya. Jangan lupakan senyum licik mirip senyum tantenya jika mengetahui kesalahannya. Riswan akhirnya sadar jika drama perut kram sebelum berangkat tadi berhasil menjebaknya."Soal hati cewek atau penyakitnya?" tanya Alyana."Maksud kamu?" tanya Riswan kebingungan."Aduh... Kak Riswan jangan pura-pura deh! Alya itu tahu kalau Kak Riswan pasti sudah tahu masalahnya Kak Akram. Kemarin malam itu
"Sayang, maaf ya hari ini aku tidak bisa temani mama kamu ke acara hajatan temannya. Sahabatku sakit, dia tinggal sendirian di kamar kostnya. Rencananya setelah belikan dia makan, aku mau bawa dia berobat ke klinik atau rumah sakit dekat kostnya," jelas kekasih Fatur yang terdengar berat hati menyampaikannya. Fatur melirik pintu kamar mamanya sejenak lalu membalas, "Iya, tidak apa. Nanti aku bilang sama mama. Kamu antarkan teman kamu berobat dulu. Kamu juga jaga kesehatan biar kamu tidak ikutan sakit. Belakangan cuaca memang tidak menentu." "Terima kasih ya, Sayang. Kamu memang pengertian. Makin sayang deh sama kamu," gombal gadis itu tersenyum dari layar ponsel Fatur. Setelah saling balas dengan salam, akhirnya panggilan video itu mereka akhiri. Fatur entah mengapa merasa gamang. Mamanya sudah antusias ingin mengajak kekasihnya itu untuk menghabiskan waktu bersama. Rencananya setelah mampir sebentar ke acara hajatan teman, mamanya berniat ingin mengajak gadis yang hendak dilamar Fa
Dua minggu berlalu setelah acara lamaran Riswan, kini mereka kembali merasakan suasana pesta. Kali ini mereka berkumpul di sebuah taman wisata yang menjadi lokasi akad sekaligus resepsi pernikahan Lintang dan Tasya. Kedua mempelai itu memang memilih taman ini agar segala rangkaian acara berpusat di satu tempat saja tanpa dekorasi berlebih. "Gugup?" tanya Akram pada sahabatnya yang sejak tadi melirik jam tangannya resah. "Mungkin," jawab Lintang mengatur napasnya berkali-kali. Akram mengulum senyum melihat Lintang meremas lutut kirinya. Menyelenggarakan acara di area outdoor seperti ini tidak juga mampu membuatnya bernapas lega. "Di taman ini aku sama Tasya pertama kali ketemu," ungkapnya mengenang kejadian beberapa tahun lalu. "Dan akan jadi gerbang pernikahan kamu," sambung Bian. "Aku sendiri merasa dejavu. Arum juga bilang begitu tadi. Dulu kami menikah di taman belakang Panti Asuhan Pradipta. Nuansanya kurang lebih seperti ini, meski ya… dekorasi kalian lebih mewah. Aku nikahny
Mendengar Alyana menginginkan bulan, rasanya semua tulang Ranu retak. Sempat berpikir mungkin jantungnya juga ikut berhenti berdetak. Otaknya malas berpikir karena semakin lama ia justru putus asa karena tidak kunjung menemukan solusi. Di tengah keramaian Kota Hongkong, Ranu justru merasa sepi. Setelah mengikuti kompetisi game hari ini, ia meminta timnya untuk beristirahat lebih awal. Jangan sampai mereka menyadari jika pikirannya sedang kacau. Berjalan sendiri di trotoar sembari menikmati pemandangan kota malam hari, Ranu hanya berusaha untuk menyegarkan pikiran. Mungkin saja akan menemukan ide baru saat mengamati sekitarnya. Berbeda dengan Jakarta, di tempatnya saat ini lebih banyak pejalan kaki. Melihat beberapa detik lagi lampu lintas akan berubah warna, Ranu menghentikan langkah. Ia menunggu sampai lampu lalu lintas berubah hijau agar bisa menyebrang jalan. Mendongak menatap langit, Ranu tersenyum melihat bulan purnama yang indah itu. "Sulit membawa bulan itu padamu, Al. Kalau
Bian baru saja selesai memberikan kuliah. Rasa penasarannya akan keributan para mahasiswi di depan ruangannya tidak terbendung. Pasalnya, ruangannya yang berada di pojok itu sama sekali tidak memiliki objek menarik. Bukan karena dirinya tidak memiliki barang yang berkenaan dengan passion atau background dirinya sebagai dosen lingkungan. Akan tetapi, baru dua hari ini ruangannya dipindahkan sehingga belum sempat berbenah. Lantas, hal apa yang menarik di sana dan membuat mereka berkerumun? "Kalian kenapa berkumpul di depan ruangan saya?" tanya Bian. "Eh, Pak Bian, itu loh Pak, ada model cover novel ala CEO yang lagi nongkrong di ruangan Bapak," jawab salah seorang mahasiswi dengan mata berbinar. Bian akhirnya berdeham sehingga barisan di depannya mulai bergeser memberinya akses jalan. Ketika netranya mendapati punggung tegap seseorang di balut jas mahal, Bian kembali berdeham. Pria dengan kedua tangan bersembunyi di saku celananya itu berbalik tanpa mengulas senyum. Justru Bian ditat
Begitu mendengar Adijaya Ufraj meminta Riswan mengajak Risa dan putranya datang di acara resepsi pernikahan Akram dan Arum, Latief dan Farah terkejut. Mereka tidak tahu alasan dibalik keputusan pria lanjut usia itu. Riswan langsung mengiyakan, bahkan akan mengajak wanita pilihannya itu untuk segera menemui sang kakek. Kedua orang tuanya hanya tersenyum. Diam-diam Farah berharap suaminya juga tidak akan keberatan. Selama ini Farah seringkali memperhatikan Risa ketika memarkir mobilnya tidak jauh dari toko pakaian anak milik wanita itu. Latar belakang wanita itu juga sudah ia ketahui. Ibu tunggal itu adalah seorang yatim piatu. Pernikahan pertama Risa penuh siksaan ketika mendiang ibu tirinya sengaja menjualnya pada seorang juragan sapi. Kemudian menikahkan Risa dengan putra pertamanya yang pemabuk. Sayangnya, suami Risa seringkali menyiksanya dan parahnya berselingkuh saat Risa hamil. Berbulan-bulan hidup luntang-lantung dengan kerja serabutan demi memenuhi kebutuhan hidup bersama pu
Beberapa bulan kemudian. Akram pulang dan wajahnya tersenyum lebar kala melihat putranya masih tertidur pulas di kasur lipat di ruang bersantai. Begitu pulas dibelai angin sepoi dari pintu taman samping rumah yang terbuka lebar. Boneka menyerupai robot itu masih setia dipeluk Aidan. Setelah mencium kening putranya, Akram beranjak ke kamar. Tentu saja dengan mengendap-endap agar Aidan tidak terusik. Begitu pintu kamarnya tertutup, telinganya mendengar suara percikan air di kamar mandi. Senyumnya merekah karena menduga Arum sedang mandi. Melirik jam tangannya, belum begitu sore, masih pukul 15.12 WITA. Diletakkannya sekotak perhiasan berwarna biru beludru di atas tempat tidur lalu menutup tirai jendela. Seikat bunga arum lili turut ia letakkan berdampingan dengan kotak itu. Setelah menyalakan lampu tidur di nakas, ia turut menyalakan beberapa lilin aroma terapi. Dengan tergesa Akram menabur mahkota bunga mawar merah di lantai. Berharap agar sang istri berlama-lama di dalam sana sampa
"A-aku cuma tidak mau kamu kaget. Lagian masa siang-siang begi-" "Apa kita perlu ganti model plafonnya?" tanya Akram menunjuk ke atas. Arum mendongak dan memindai langit-langit kamar. Menurutnya tidak perlu diganti karena sudah sangat bagus. Sengatan kecil di lehernya membuatnya seketika membeku. Sang suami sudah beraksi tanpa sanggup dicegah lagi. Rosleting dress yang dikenakannya juga sudah ditarik turun. Usapan halus seringan bulu di punggungnya membuat sekujur tubuhnya gemetar. Bibir itu mengeksplorasi leher mulus hingga ke ujung bahunya. Arum membuka matanya kala sang suami menarik diri. Permainan suaminya membuat Arum yang tadinya menolak, hanya bisa pasrah terseret arus gairah. "Tidak ada aturan waktu, Sayang. Setiap kali… saat kita saling menginginkan," bisik Akram mengecup dagu istrinya dan kembali memagut bibir candunya. Tangannya tidak diam saja sehingga mampu membuai sang istri sampai terdengar desahan yang membuatnya menginginkan lebih. Dert… dert…. Suara ponsel mil
"Sayang, Aruuuuum. Aku kenapa kamu cuekin begini Arum? Sayang!" panggilnya lagi saat melihat istrinya malah beranjak. Sudah dua hari lalu istrinya tidak mengajaknya bicara. Selalu saja adik atau mamanya yang jadi perantara. Sejak malam gala premiere itu, Arum seakan menganggapnya robot. Makan dan pakaiannya disiapkan, tapi selalu dihindari. Malam itu bahkan Arum, Adina dan Aidan bermalam di rumah Latief dengan alasan ingin mencoba menu sarapan baru buatan Ardito. Sementara dirinya sudah sampai di rumah lebih dulu karena ia mengantar Haslan, Hastuti dan Alyana pulang. Sementara setahunya, istri dan anaknya ikut pulang bersama papanya. Arum berbalik dan langsung membalas, "Aku kenapa kamu bohongi begini Akram?" Akram tersenyum masam mendengar tawa keluarganya. Bukan tawa bahagia seperti tawa putranya yang sudah bisa telungkup sambil memukul-mukulkan tangannya di atas kasur lipatnya. Mungkin minta ayahnya untuk segera meraihnya. Keluarganya malah tertawa jahat karena seharian ini Ar
Novita tetap kekeuh pada pendiriannya sehingga membuat Akram tidak berkutik. Arum hanya bisa terdiam karena sejak awal ia sudah menyerahkan segala keputusan pada suaminya. Siang ini mereka sudah bisa pulang, begitu juga dengan bayi mereka yang sudah tiga hari ini dipindahkan dari inkubator. Hampir dua pekan berada di rumah sakit membuat Akram rindu rumah kontrakannya. Nara saja sampai bertanya kapan dirinya akan pulang. Mengedarkan pandangan, Akram tersenyum masam tanpa seorang pun yang mau mendukungnya. "Ma, masa Akram masih harus num-" Lirikan tajam Novita pada putranya kembali membuat Akram diam. Inginnya, Akram ulang ke rumah kontrakannya. Dengan percaya diri ia mengatakan bahwa dirinya sudah baik-baik saja, apalagi ada Danu dan Wina serta Nara di rumahnya. "Papa setuju sama mama kamu," sahut Ardan ketika putranya itu menatap penuh permohonan. Tadinya begitu bersemangat ingin segera pulang setelah hampir dua pekan dirawat, tapi kini Akram memelas. "Berharap pada tali rapuh," k